Posts

Mengapa Orang Kristen Harus Berjuang Merawat Bumi Jika Nanti Setelah Yesus Datang Akan Ada Langit dan Bumi yang Baru?

Oleh Paul Wong
Artikel ini telah ditayangkan di YMI.Today

Bagian akhir dari Alkitab menceritakan tentang sebuah realitas baru yang luar biasa: langit dan bumi yang baru, dan Allah berdiam di tengah-tengah manusia (Wahyu 21:1-4). Inilah akhir paling klimaks dari kisah sejarah: Allah, membuat segala sesuatunya baru, dalam relasi yang sempurna dengan anak-anak-Nya. Tidak ada lagi pandemi, tidak ada lagi rasisme, tidak ada lagi maut, penderitaan, dosa. Dunia yang lama akan berlalu dan yang baru akan datang.

Jika itu adalah kenyataan yang kita nantikan, lantas mengapa orang-orang Kristen masih perlu peduli terhadap bumi ini? Inilah 4 alasannya.

Anugerah dan penatalayanan. Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa meskipun dunia telah dirusak oleh dosa, segala ciptaan di dalam dunia ini tetap merupakan anugerah Allah yang diberikan bagi seluruh manusia—sebuah pemberian yang baik dari Allah bagi kita. Yesus berkata, “…[Bapa] yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45). Matahari dan hujan adalah bagian dari ciptaan, itu diciptakan sebagai sarana dari-Nya untuk menopang kehidupan manusia. Tidak ada matahari dan hujan berarti tidak akan ada makanan bagi kita. Apa yang Allah ciptakan tak diragukan lagi adalah berkat bagi kita. Nah, jika kita dengan sengaja mengabaikan kerusakan planet ini, atau terus menerus menghancurkannya demi keserakahan, maka kita dengan bodohnya merusak sarana yang Tuhan telah berikan untuk menopang kehidupan. Kita menjadi penatalayan yang buruk atas bumi yang telah dipercayakan bagi kita.

Common Sense: Alasan lain untuk merawat bumi adalah karena itu sudah sewajarnya. Meski kita tahu suatu hari nanti langit dan bumi akan berlalu (Wahyu 21:1), Yesus berkata kalau tidak ada seorang pun yang tahu kapan pastinya itu akan terjadi. Bisa saja besok, atau dalam ribuan tahun ke depan. Tidak ada gunanya berspekulasi. Lebih baik bagi kita untuk menyadari: aku dan kamu dapat berasumsi kalau kita akan tinggal di bumi untuk hari ini dan esok, sembari menanti dengan penuh harap akan hari-Nya Tuhan.

Jadi, hidup di bumi tapi tidak merawatnya seolah-olah hari esok tidak akan datang adalah pemahaman yang buruk. Ini jugalah konsep yang dimaksud dalam Yeremia 29:4-10 ketika Allah memanggil umat-Nya, para orang buangan untuk ‘mengupayakan kesejahteraan’ Babel. Mereka akan terjebak di sana setidaknya selama satu generasi. Mereka perlu menyadari kenyataan itu, dan untuk melanjutkan hidup di Babel mereka perlu “membuat kebun untuk dinikmati hasilnya, mengambil isteri untuk memperanakkan keturunan (Yeremia 29:5-6), dan mengupayakan kesejahteraan kota demi kebaikan mereka juga, alih-alih berpikir kalau mereka akan segera keluar dari pembuangan.

Prinsip yang sama berlaku juga buat kita: ‘Babel’ yang kita tinggali akan lenyap di hari esok, tapi kita masih tetap harus hidup di dalamnya hari ini, dan melanjutkan pekerjaan kita di waktu-waktu sekarang sebagai duta Kristus. Tidaklah baik untuk merusak rumah yang menjadi tempat hidup kita.

Mengasihi sesama kita: Ketiga, yang kedua dari perintah terbesar yang Yesus berikan adalah untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Orang Kristen diperintahkan Tuhan untuk mengasihi sesama, meskipun kita melakukannya dengan tidak sempurna. Yang pasti, ungkapan kasih yang utama adalah mengarahkan sesama kita kepada kasih Yesus, seperti yang diungkapkan-Nya di kayu salib (1 Yohanes 4:10).

Namun, ada sesuatu yang lebih yang harus kita lakukan. Setelah bercerita tentang perumpamaan orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37), Yesus menyuruh ahli Taurat untuk “pergi dan lakukan hal yang sama”, tetapi ketika Dia mengatakan itu, Yesus tidak bermaksud “hanya melakukan penginjilan”. Yang Yesus maksudkan: “lakukanlah seperti yang orang Samaria itu lakukan. Merawat sesamamu.” Dalam konteks pemanasan global dan bencana alam yang sering terjadi di hari-hari ini, merawat lingkungan adalah salah satu aspek sederhana dari mengasihi sesama.

Menjadi saksi yang baik: Berita Injil adalah satu-satunya harapan bagi mereka yang mati secara spiritual. Injil mengandung kuasa Allah atas keselamatan (Roma 1:16). Dengan membuat Injil didengar, kepedulian kita terhadap lingkungan menjadi lebih relevan. Jika orang Kristen dipandang oleh orang-orang yang tidak percaya sebagai orang yang tidak peduli dengan bumi, atau bersikap dingin terhadap penderitaan dari pemanasan global, maka Kabar Baik yang kita bawa akan diabaikan begitu saja karena dianggap tidak relevan. Kita akan dilihat sebagai saksi yang buruk, yang berpotensi mengurangi dampak dari kesaksian kita yang seharusnya mengarahkan orang pada pertobatan dan iman.

Tapi… kita harus menjaga yang utama, yang utama

Akhirnya, memang pantas dikatakan bahwa kita banyak berbuat salah ketika kita gagal untuk menegaskan apa yang Alkitab tegaskan. Kita perlu menjaga yang utama—memberitakan Injil. Kepedulian kita terhadap bumi mungkin saja menjadi prinsip yang tak tergoyahkan bagi generasi milenial Kristen, bahkan nilainya melebihi dari hal-hal yang Alkitab tekankan. Tapi… ini akan jadi kesalahan besar.

Berkali-kali, Alkitab menekankan bahwa umat manusia akan menghadapi penghakiman Allah atas pemberontakan mereka. Alkitab juga memberitahu kita bahwa dunia yang hancur adalah bukti dari penghakiman ini (Kejadian 3:17; Roma 8:20-22). Lingkungan kita yang rusak adalah cara Tuhan untuk memberikan panggilan pertobatan bagi kita. Murka Allah atas dosa-dosa kita adalah masalah yang Yesus perbaiki dengan kedatangan dan kematian-Nya. Jadi, pada akhirnya, jika upaya kita untuk memperbaharui ciptaan tanpa dibarengi dengan pewartaan Injil, itu adalah upaya yang sia-sia.

Oleh karena itu, bagian dari bumi ini yang harus kita pedulikan adalah umat-Nya: ciptaan yang Allah kasihi dan dipersiapkan untuk kekekalan. Allah pun telah melakukannya: Yesus tidak mati untuk menyelamatkan pepohonan. Dia mati di atas kayu salib yang terambil dari pohon (Kisah Para Rasul 5:30 versi ESV), sehingga kita bisa berada di tempat di mana pohon-pohon tidak akan mati lagi, tetapi ada bagi pemulihan bangsa-bangsa (Wahyu 22:2).

Greta Thunberg berkata pada acara World Economic Forum di Davos tahun 2019: “Aku mau kamu bertindak seolah-olah rumahmu sedang terbakar, karena inilah yang memang terjadi.” Dia tidaklah salah. Pemanasan global yang terus berlangsung mengakibatkan penderitaan-penderitaan yang tak terliput media bagi jutaan orang dan akan terus berlanjut jika tidak ada penanggulangan apa pun. Sebagai orang Kristen, kita tak boleh lupa bahwa ada api yang turun, yang tak terpadamkan selamanya. Kita harus ingat dan menjaga hal utama sebagai hal utama dan melanjutkan misi dari Gereja tanpa teralihkan fokusnya. Rumah kita sedang terbakar, tapi tersedia air kehidupan bagi dunia (Yohanes 4:13-14). Jika kita sungguh peduli pada ciptaan-Nya, kita akan memberitakan Kabar Baik.

Perbedaan Apa yang Yesus Sanggup Lakukan dalam Hidupmu?

Oleh Paul Wong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Difference Does Jesus Make?

Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Filipi 3:8-9).

Pria yang menulis kata-kata itu menulisnya di sebuah penjara yang dingin dan sepi sekitar tahun 60 masehi. Dia dibelenggu seorang tentara Romawi selama 24 jam penuh setiap harinya. Seiring dia menuliskan surat ini, reputasi dan nama baiknya sedang diruntuhkan oleh lawan-lawannya yang iri pada pengaruhnya terhadap gereja-gereja di Asia dan Makedonia. Dan, gereja-gereja yang telah dia bangun, termasuk jemaat Filipi yang menjadi penerima surat ini, sedang mengalami ancaman dari penganiayaan dan ajaran-ajaran sesat. Singkatnya, segala hal yang telah orang ini usahakan dan capai dalam hidupnya selama beberapa tahun terakhir sedang diserang dan menghadapi kemungkinan untuk dihancurkan.

Tahukah kamu siapa gerangan orang itu? Dia adalah Paulus. Alkitab mencatat kisah pertobatan Saulus yang kemudian berubah nama menjadi Paulus. Tapi, apakah dengan mengikut Yesus kisah hidup Paulus menjadi lebih baik? Dampak apa yang Paulus orang Tarsus rasakan melalui kepercayaannya pada Yesus? Mungkin pada satu sisi kita bisa berkata: Banyak, namun bukan dalam artian yang baik.

Ketika dalam suratnya Paulus menuliskan bahwa dia telah kehilangan segala sesuatunya, dia benar-benar merasakannya. Status, rasa aman—semua hilang.

Maka seharusnya pertanyaan besar kita adalah: Mengapa Paulus bisa menganggap bahwa “memperoleh Kristus” adalah hal yang lebih berharga dan mulia jika dibandingkan dengan kehilangan segala sesuatu secara harafiah? Mengapa dia menggambarkan kehidupan lamanya yang nyaman sebagai “sampah”, ketika dia sekarang tersiksa di penjara?

Pengampunan dan relasi

Ketika Yesus dilahirkan di Yudea, Dia datang dengan sebuah tujuan. Kejadian-kejadian yang terjadi pada kelahiran-Nya yang ajaib membuktikannya. Sebuah catatan saksi mata dari kehidupan-Nya mengatakan bahwa Dia dinamakan Yesus (yang berarti “Allah menyelamatkan”) “karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Matius 1:21). Hal itu berarti tujuan-Nya di dunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari hukuman yang pantas kita terima akibat penolakan kita terhadap Tuhan.

Aku ingin tahu pendapat kalian tentang hal itu. Mungkin kalian berpikir kalian sesungguhnya adalah orang yang baik—karena itu pemikiran tentang hukuman “dosa” adalah suatu hal yang konyol.

Namun, jujurlah pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar “orang baik”? Lagipula, siapa yang berhak menentukannya? Paulus mengatakan pada kita bahwa di mata semua orang dia adalah orang baik—tidak bercacat dalam pemahamannya tentang hukum Taurat (Filipi 3:4-6)—namun tetap sebuah kegagalan total di hadapan Allah yang kudus dan adil.

Ini alasannya: Allah tidak sekadar memandang “dosa” sebagai perbuatan buruk yang kamu dan aku lakukan setiap hari. Yang Allah artikan sebagai dosa adalah hal yang jauh lebih parah. Allah berkata bahwa kita hidup di dalam kegelapan, memberontak terhadap-Nya. Manusia sedang mendiami (bahkan menghancurkan) dunia-Nya, menggunakan benda-benda ciptaan-Nya dan menghirup udara-Nya, tanpa rasa hormat pada-Nya. Dan itu merupakan sebuah masalah karena jika Allah adalah kudus dan adil dan baik, dan jika kita menjalani hidup seakan-akan Dia tidak ada, maka sikap seperti itu pantas menerima penghakiman—tanya saja pada orang tua manapun.

Tetapi Allah, dalam kasih-Nya pada ciptaan-Nya dan kerinduan-Nya akan sebuah relasi dengan umat-Nya, berinisiatif memberikan obat penawarnya dengan mengutus Yesus. Dan caranya adalah dengan Yesus mati di kayu salib, menanggung segala hukuman tersebut sebagai ganti kita. Pengorbanan Yesus merupakan jaminan pengampunan bagi kita.

Meyakini pengorbanan itu berarti Allah sekarang memandang kita sebagaimana Allah memandang Yesus. Yang menakjubkan, Allah tidak lagi melihat dosa kita, melainkan kesempurnaan Anak-Nya. Dan hal yang paling krusial adalah, pertobatan (berbalik dari pemberontakan kita) dan iman (mempercayai Yesus) membawa kita pada relasi dengan Allah.

Inilah pemahaman yang mengubah segalanya.

Karena dia adalah seorang Kristen, Paulus dari Tarsus dapat yakin bahwa dia tidak perlu takut terhadap penghakiman Allah. Dia bisa saja mati dihukum sebagai seorang kriminal, namun sejatinya dia tahu bahwa dia telah didamaikan dengan Penciptanya.

Apa perbedaan dari hidup yang percaya pada Yesus? Ia menawarkan pengampunan atas penolakan kita terhadap Tuhan, dan sebuah relasi yang dimulai sejak sekarang dan akan bertahan selamanya. Dan itulah segala hal yang penting di dunia ini.

Jangka waktu yang berbeda

Meski begitu, bagi Paulus, semua itu tidak hanya sampai di sana.

Sebelum Yesus mati, Dia berjanji untuk datang kembali. Dan bagi mereka yang percaya pada-Nya, ada sebuah janji akan kehidupan yang kekal—namun bukan di dunia yang rusak ini, melainkan di sebuah tempat di mana kekecewaan dari hidup ini hanya akan menjadi sebuah kenangan. Sebuah surga yang sempurna, tanpa dosa, penderitaan, maupun rasa sakit.

Menjadi seorang Kristen tidak menjadikan hidupmu lebih baik sekarang juga. Justru dalam banyak hal menjadi seorang Kristen akan membuat hidupmu lebih sulit (tanyakan saja pada Paulus!). Tetapi dampak dari menjadi seorang Kristen adalah mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan secara radikal. Menjadi seorang Kristen akan menggeser pemahaman kita tentang “hidup” dari 70-90 tahun di bumi menjadi hidup di kekekalan.

Yang terpenting dari apa yang Yesus janjikan adalah sebuah relasi dengan-Nya yang memuaskan jiwa karena relasi tersebut bukanlah sekadar relasi yang sementara, melainkan sebuah relasi dengan Allah penguasa semesta yang dimulai dari sekarang dan akan bertahan melampaui kematian kita. Itulah pemahaman yang mengubah segalanya.

Menjalani hidup sebagai seorang Kristen yang berkomitmen di dunia bukanlah hal yang mudah seperti berjalan-jalan di taman. Pertempuran terhadap dosa membawaku untuk berlutut dan berdoa.

Pekerjaanku sebagai youth pastor seringkali menyibukkan, dan terkadang juga membuat stres dan kecewa. Beberapa kerabatku yang bukan Kristen menganggap pekerjaanku sebagai sesuatu yang tidak berguna. Rasanya ada banyak tantangan dan kekecewaan di tiap hal yang kulakukan. Kadang aku membayangkan bagaimana hidupku akan lebih baik dan menyenangkan jika aku waktu itu tetap memilh menjadi seorang pengacara. Aku tahu suara dalam hatiku itu adalah keinginan manusiawiku.

Namun di tengah masa-masa yang membuatku goyah ini, aku diteguhkan di hadapan sebuah kebenaran yang mulia, yaitu bahwa aku telah diampuni, dan sedang berjalan menuju masa depan yang lebih baik, cerah dan kekal bersama Juruselamatku. Jika Alkitab benar, maka kesulitan akibat menjadi Kristen yang sesungguhnya jarang terjadi ini hanyalah sebuah kilat di dalam jangka waktu Allah (Roma 8:18).

Jadi, apa perbedaan dari hidup mempercayai Yesus bagi Paulus? Sederhananya kamu dapat bilang: Banyak, dan dalam makna yang paling positif. Ketika Paulus menulis bahwa pengenalan akan Kristus adalah jauh lebih mulia, dia benar-benar serius. Dia mendapatkan pengampunan dan relasi dengan Allah yang terjamin, dan sebuah sukacita abadi untuk dinantikan. Dan semua ini diperoleh dari keselamatan melalui kepercayaannya pada Kristus.

Apakah kamu mau mempertimbangkan untuk menaruh kepercayaanmu pada Yesus?

* * *

Tentang penulis:

Paul adalah seorang pastor kampus di Singapore Management University’s Christian Fellowship (SMUCF). Dalam waktu senggangnya dia menikmati fotografi, membaca sejarah yang terkenal, dan menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Baca Juga:

Pengakuan Terjujur di Hidupku

Sahabat, aku pernah remuk oleh karena dosa yang kuperbuat. Berat bagiku untuk mengakui ini. Tapi, melalui tulisan ini, izinkanlah aku menuturkannya kepadamu.

Meninggalkan Karier Sebagai Pengacara Terkenal untuk Melayani Tuhan, Inilah Kisah Paul Wong

meninggalkan-karier-sebagai-pengacara-terkenal-untuk-melayani-tuhan-inilah-kisah-paul-wong

Oleh Janice Tai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Paul Wong: Hotshot Lawyer to Devoted Campus Pastor

Sebagai putra dari seorang pengacara terkenal di Singapura, Paul Wong tampaknya akan mengikuti jejak ayahnya.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Cambridge, Paul kemudian bekerja di Linklaters, sebuah firma hukum terkemuka di London yang merupakan salah satu dari lima firma hukum terbaik di Inggris.

Sebagai seorang pengacara korporat, dia membantu perusahaan-perusahaan FTSE 100 (100 perusahaan dengan nilai pasar tertinggi di Bursa Saham London) untuk meraup miliaran dolar dengan membuatkan mereka dokumen yang membantu mereka dalam menjual saham-saham mereka.

Namun di masa keemasannya di usia 30 tahun, Paul memutuskan untuk melepaskan seluruh karier yang telah dibangunnya dan berjalan mengikuti arahan dari Tuhan.

Awalnya dia tidak pernah berpikir bahwa dia mampu atau mau meneruskan jejak ayahnya. Ayah Paul, Lucien Wong, baru-baru ini diangkat sebagai pengacara penasihat negara Singapura pada bulan November 2016. Sebelumnya, Lucien sempat memimpin firma Allen & Gledhill, salah satu firma hukum terbesar di Singapura.

Karier Paul di Inggris juga tampak sangat menjanjikan. Saat dia memutuskan untuk mengundurkan diri dua tahun yang lalu, gajinya sudah mencapai lebih dari Rp 1 miliar setahun. Dia mungkin juga bisa menjalin berbagai kemitraan jika saja dia bertahan selama dua hingga lima tahun lagi.

Namun, Paul memilih untuk mengundurkan diri dan mengikuti sebuah pelatihan untuk menjadi seorang pengkhotbah dan pengajar Alkitab. Di akhir bulan Agustus 2016, dia kembali ke Singapura untuk menjadi pendeta kampus dalam kelompok persekutuan Kristen di Singapore Management University (SMU).

Dari sebuah firma hukum raksasa yang mempekerjakan 2.000 pengacara, Paul pindah ke sebuah tempat kerja yang hanya memiliki seorang karyawan, yaitu dirinya, dan seorang pekerja magang.

Jadi mengapa dia membuat perubahan yang begitu besar ini dalam kariernya?

Paul-Wong-4

Ada di titik terbawah

Coba tanya seorang pemuda berusia 33 tahun, apakah dia pernah berpikir untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, dan mungkin kamu akan mendapat jawaban yang cepat: Tidak pernah.

Sewaktu Paul masih remaja, dia juga pernah melakukan kenakalan. Ketika SMP, dia sering bolos sekolah beberapa kali seminggu untuk bermain biliar di Lucky Plaza atau menonton bioskop.

Namun, dia memastikan dia menjalani “kewajibannya” sebagai orang Kristen. Setiap hari Minggu dia pergi ke Gereja Methodist Wesley dan bermain gitar dalam persekutuan pemuda. Ketika dia di London, dia pergi ke sebuah gereja lokal yang berjarak setengah jam perjalanan dari tempat dia tinggal dan bekerja.

“Gereja hanyalah aktivitas hari Minggu pagi bagiku dan tidak berdampak banyak bagi hidupku, keputusan-keputusanku, dan cara pandangku,” kata Paul. “Ketika aku menghadapi dilema antara pekerjaan atau gereja, pekerjaanlah yang selalu menang.”

Paul bekerja sangat keras. Dia ada di kantor enam hari seminggu. Sebuah hari yang baik baginya adalah jika dia dapat meninggalkan kantor sebelum tengah malam dan dapat cukup tidur sepanjang malam. Pernah suatu kali dia bekerja dua malam berturut-turut dan ada di kantor terus selama tiga hari untuk memenuhi tenggat waktu pekerjaannya.

“Dulu aku berpikir, jika Tuhan menempatkanmu di sebuah kampus atau firma hukum, hal terbaik yang memuliakan Tuhan yang dapat kamu lakukan adalah dengan menjadi mahasiswa terbaik atau menjadi pengacara terbaik. Tapi aku kemudian menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang salah,” kata Paul.

Menurutnya, kehidupan rohaninya ada di “titik terbawah” ketika dia berhenti hidup dan berpikir seperti yang Tuhan inginkan.

Kebangkitan rohani

Pada sebuah hari Minggu di tahun 2011, Paul merasa malas pergi ke gereja. Dia sudah ada di kantornya, dan dia merasa malas jika dia harus pergi dan kemudian kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Rekan kerjanya menyarankannya untuk pergi ke gereja lain yang hanya berjarak lima menit perjalanan.

Dia akhirnya pergi ke gereja itu dan begitu terkesan dengan apa yang dilihat dan didengarnya di sana. “Aku telah mendengar banyak khotbah-khotbah bagus, tapi semuanya hanya masuk di telinga kiri lalu keluar di telinga kanan. Tapi, di gereja itu aku melihat firman Tuhan diberitakan dengan tegas dan bertujuan untuk mengoreksi diri. Dan orang-orang yang ada di sana menghidupi nilai-nilai itu. Roh Kudus bekerja melalui firman Tuhan yang mengubah segalanya,” kata Paul.

Dia mulai rutin datang ke gereja itu dan juga mengikuti kelompok pendalaman Alkitab yang ada. Mereka sedang mempelajari kitab Markus selama setahun penuh. Itu menjadi sebuah pengalaman yang mengajarkan Paul untuk menjadi rendah hati.

“Waktu itu aku berpikir, kitab Markus adalah kitab Injil terpendek di dalam Alkitab dan aku sudah membacanya setidaknya 10 kali. Mengapa kita perlu waktu setahun untuk mempelajarinya?” dia bertanya. “Tapi dalam prosesnya, aku baru tahu bahwa sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu cara membaca Alkitab. Itu adalah pengalaman yang mengajarkanku menjadi rendah hati. Dulu aku berpikir boleh-boleh saja menjadikan Alkitab seperti sebuah buku ajaib di mana aku bisa mengartikan isinya sesuka hati tanpa memperhatikan konteksnya. Ironisnya, sebagai seorang pengacara, aku tahu bahwa itu adalah cara terburuk dalam membaca sebuah tulisan.”

Suatu kali, kelompok pendalaman Alkitab Paul sedang membaca Markus 8, di mana Yesus memberitahukan kepada orang banyak bahwa setiap orang yang mau menjadi murid-Nya harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Dia. “Aku sadar bahwa meskipun aku menyebut diriku Kristen, aku masih hidup bagi diriku sendiri. Itu membuatku berpikir tentang apa artinya mengikut Tuhan, dan aku menyadari bahwa aku sama sekali belum mengerti tentang pemuridan,” kata Paul.

Setelah mendapatkan pencerahan itu, Paul mulai mengubah secara drastis bagaimana dia menggunakan waktunya. Dia mulai melayani dalam persekutuan jam makan siang di Linklaters dan melakukan pendalaman Alkitab privat dengan rekan-rekan di kantor dan gerejanya. Untuk melakukan itu, Paul harus mengurangi jam kerjanya setidaknya tujuh jam seminggu. Keputusannya mengurangi jam kerjanya itu pun mempengaruhi perusahaannya dan prospek kariernya.

“Aku punya seorang atasan yang pengertian dan aku merasa tidak perlu lagi menjadi seorang pengacara terbaik. Yang kuinginkan saat itu adalah menjadi pengacara yang paling setia. Yang harus aku lakukan adalah bekerja keras dan dengan integritas dan membuat Tuhan dikenal oleh orang-orang di sekitarku,” kata Paul.

Perubahan mendadak dalam cara Paul menyusun prioritas hidupnya itu membuat ibunya terkejut. Ibunya bahkan mengira Paul bergabung dengan sebuah kelompok sesat. Ibunya menginginkan Paul lebih berfokus ke kariernya di dunia hukum.

“Aku bisa saja jatuh semakin jauh dari imanku dalam tahun-tahun itu tapi Tuhan mengubah dosa-dosaku menjadi sebuah kebaikan,” kenang Paul. Dia menikahi Angela tiga tahun lalu dan kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang telah berusia satu tahun, Elizabeth.

Kehidupan yang baru

Dukungan yang diberikan Angela sangat penting dalam titik balik kehidupan Paul selanjutnya.
Ketika Paul mulai mengajar Alkitab lebih sering, pemimpin gereja Paul mulai memintanya mempertimbangkan untuk melayani sepenuh waktu di tahun 2013. Paul kemudian mendiskusikannya dengan beberapa orang, termasuk Angela, dan mendoakannya.

Paul tidak mendapatkan “panggilan” berupa mimpi atau penglihatan yang supernatural dari Tuhan. “Beberapa orang mungkin mengalami itu, tapi aku pikir tidak semua orang harus mengalami panggilan yang khusus seperti itu. Satu-satunya panggilan yang ada dalam Alkitab adalah panggilan untuk merespons Yesus. Sejak aku diberitahu bahwa karuniaku adalah mengajar dan aku harus menggunakannya, aku memutuskan untuk taat dan menggunakan karunia itu untuk Tuhan,” kata Paul.

Selain itu, Paul berpikir, melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang pengacara akan membuat waktunya untuk mengajar semakin terbatas. Menurutnya, dampak yang dihasilkannya akan lebih besar jika dia menjadi seorang pengajar yang memperlengkapi siswa-siswa, daripada jika dia menjadi pekerja kantoran.

Jadi, di tahun 2014 dia mengambil keputusan untuk mengikuti dua tahun pelatihan untuk pelayanan penuh waktu, sebelum dia bergabung dengan persekutuan Kristen SMU di tahun 2016. Ada sekitar 90 mahasiswa dalam persekutuan itu. Mereka bersekutu setiap hari Selasa dan Paul berkhotbah di sana. Selain itu, Paul juga melatih para pemimpin kelompok mahasiswa untuk memulai kelompok pendalaman Alkitab di kampus. “Sungguh suatu sukacita ketika aku dapat melihat orang-orang yang merindukan Tuhan dan juga membimbing mereka dalam masa mereka membentuk identitas dan pemikiran mereka tentang dunia ini,” katanya.

Paul-Wong-3

Paul masih bekerja selama enam hari dalam seminggu karena dia lebih senang mempersiapkan khotbah di hari Minggu. Tapi menurutnya tekanan yang dihadapinya kini lebih berarti. Daripada mengejar tenggat waktu, dia kini lebih memperhatikan orang-orang dan pertumbuhan rohani mereka.

“Bagian tersulit dari pelayanan penuh waktu bukanlah ketika aku mengambil keputusan itu, tapi ketika aku harus menjelaskan kepada orang-orang di sekitarku mengapa aku mengambil keputusan itu,” kata Paul. Istrinya mendukung keputusannya. Dan yang tidak disangkanya, ayahnya juga mendukungnya dan mengatakan kepadanya untuk melakukan apapun yang dia pikir benar.

Uniknya, justru ibunya—yang adalah seorang pemimpin awam di gereja, dan yang membimbing Paul menjadi seorang Kristen setelah kedua orangtuanya berpisah—yang awalnya paling menentang keputusan Paul. Ibu Paul merasa tidak seharusnya Paul menyia-nyiakan “gelar sarjananya” atau “masa depannya yang cerah”. Seharusnya, Paul bekerja lebih keras untuk mempersiapkan tabungannya untuk masa pensiun kelak. Tapi, ibu Paul kini telah berubah dan akhirnya mendukung pelayanan Paul sepenuhnya.

Selama mengikuti pelatihan, Paul harus menekan pengeluarannya, karena dia tidak mendapatkan penghasilan apapun selama masa pelatihan itu. Itu berarti dia tidak dapat naik taksi atau makan di restoran-restoran. Kini, dia mendapatkan penghasilan rata-rata seorang guru. Istrinya merawat putri mereka dan menjadi ibu rumah tangga.

Paul-Wong-2

Namun bagi Paul, pengorbanan terbesarnya bukanlah karena dia harus melepas gajinya yang besar, tapi karena dia harus menurunkan harga diri dan ambisinya dahulu. “Selain karier dan penghasilan yang jauh berbeda, statusku pun menjadi sangat berbeda daripada teman-teman sepermainanku. Namun aku takkan menukar apa yang kulakukan saat ini dengan apapun yang ada di dunia ini,” kata Paul.

Bagian Alkitab favoritnya adalah Yesaya 25, yang melukiskan sebuah gambaran tentang masa depan dan harapan yang akan datang. Ayat-ayat dalam pasal itu memotivasi Paul untuk mengejar upah yang kekal—bukan harta duniawi.

“Ayat itu membentuk cara pandangku terhadap dunia ini,” katanya. “Dunia yang fana ini hanya akan berakhir pada kehancuran dan satu-satunya yang akan bertahan adalah orang-orang yang diselamatkan Tuhan. Itulah yang membangun alasanku untuk hidup, bagaimana aku hidup, dan mengapa aku melakukan pekerjaan ini.”

Photo credit: Ian Tan dan Paul Wong

Baca Juga:

SinemaKaMu: Silence—Siapkah Kamu Memikul Salib?

Apa yang akan kita lakukan jika kita dihadapkan pada keadaan yang menguji iman kita? Untuk menjawab pertayaan ini, aku ingin mengajakmu untuk berefleksi sejenak dari sebuah film berjudul “Silence” yang bercerita tentang dilema yang harus dihadapi oleh orang-orang Kristen di Jepang beberapa abad lalu.