Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?
Oleh Kenny Tjhin, Jakarta
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).
Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi “you attract what you are”, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.
Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!
To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.
Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.
Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.
Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach
Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.
Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: “Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”
Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.
Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.
Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.
Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.
Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.
Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥