Posts

Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi you attract what you are, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.

Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!

To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.

Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata  “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.

Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach

Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.

Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”

Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.

Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.

Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.

Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.

Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.

Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Apakah Ia Benar Jodohku? Kehendak Tuhan vs. Kehendak Manusia, Why Not Both?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

Dear single fighter maupun muda-mudi yang sedang pacaran, ada yang notice-kah dengan berita yang sedang trending akhir-akhir ini? Wakil Presiden kita, Pak Ma’ruf Amin, mengimbau anak-anak muda (yang termasuk Generasi Z) untuk tidak menunda nikah. Beliau melandaskan imbauannya pada laporan adanya pengurangan jumlah kelahiran di Indonesia. Reaksi warganet pun beragam, salah satunya adalah komentar di Instagram Story pacarku mengenai isu tersebut, “Ya, gapapa, sih, Pak asal sama orang yang bener.” Mungkin sebagian kita yang masih single akan mengangguk-angguk dengan pernyataan warganet itu. Bahkan ketika membaca komentarnya, kita (dan aku) yang sedang berpacaran mungkin juga memikirkan kembali, “Apakah benar pacarku yang sekarang ini memang adalah pasangan yang benar?” Toh siapa yang mau punya pasangan yang “salah”?

Terlepas dari faktor-faktor seperti kesiapan finansial, mental, kesehatan, keluarga, dan lain-lain, banyak di antara kita mendambakan pasangan yang “benar” atau “tepat”. Oke, deh, mungkin ideal ini tidaklah sama dengan spesifikasi tampang artis Korea dan tingkat spiritualitas pendeta, tetapi setidaknya dia mau sama-sama berjuang dan tidak punya ciri-ciri red flag

Omong-omong, ciri-ciri calon pasangan yang tidak red flag itu apa, sih?

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut tampak pada orang-orang yang mau peduli dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Di antaranya adalah peduli dan bersedia mempersiapkan diri secara finansial, mental, kesehatan, serta keluarga asalnya maupun pasangannya. Mungkin kita sudah memahami prinsip ini, tetapi kenyataannya tidak jarang kita bisa meragukan “kelayakan” orang lain menjadi pasangan kita, atau bahkan ragu apakah kita “layak” menjadi pasangan baginya.

Fenomena ini membawaku merenungkan tentang pelayan Abraham yang mencari jodoh untuk Ishak (Kejadian 24). Secara kasat mata, mungkin kebanyakan anak muda akan alergi dengan yang namanya perjodohan oleh orang tua. Akan tetapi, jika memang kita pernah berdoa dijodohkan Tuhan, perikop ini tetap relevan bagi kita dengan satu pesan, yaitu mencari pasangan itu bukan adu-aduan antara kehendak Allah dan manusia, melainkan cerminan relasimu dengan Tuhan. Berikut adalah doa sang pelayan ketika memohon bimbingan Tuhan dalam memilih istri bagi Ishak, anak dari bapa segala bangsa itu:

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.” (Kejadian 24:12-14 (TB 1974)).

Secara sepintas, doa pelayan ini begitu sederhana, tetapi aku justru melihat imannya kepada Allah di tengah-tengah kebingungan yang dialaminya. Jika mau sedikit berempati, kita akan melihat bahwa pelayan ini takut akan pilihannya yang tidak sesuai dengan keinginan tuannya—yaitu Abraham—dan Ishak. Ketika mengutus sang pelayan, Abraham hanya berpesan untuk mencari perempuan bukan Kanaan. Ya, hanya kriteria itu yang dicatat di Alkitab. Kita tahu bahwa Kanaan adalah bangsa penyembah berhala, sehingga secara tersirat Abraham tidak ingin Ishak justru mengikuti penyembahan berhala. Namun, apakah Ishak tidak punya kriteria sendiri? Bukankah salah satu anak Ishak yang bernama Yakub punya kriteria pasangan dan bisa memilih Rahel dibandingkan Lea, padahal kedua perempuan itu adalah kakak-beradik (Kejadian 29:18)? Jika demikian, tentu wajar bagi pelayan Abraham untuk meminta Ishak ikut bersamanya dalam pencarian istri. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Abraham. Tidak heran jika pelayan itu merasa khawatir dan takut untuk membawa pulang calon pasangan yang tidak sesuai bagi Ishak.

Di dalam kelelahan dan kekhawatirannya, pelayan itu berdoa kepada Tuhan. Jika kita mau mundur ke pembukaan doa sang pelayan itu, sesungguhnya kita dapat menemukan bahwa dia melihat jelas betapa hidupnya relasi antara Abraham dan Tuhan:

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.

Ungkapan ini bukanlah pembukaan doa semata, melainkan sebuah pernyataan iman atas kedaulatan Tuhan di dalam hidup Abraham. Sangat mungkin jika kita melihat pelayan ini menyaksikan hidup Abraham yang bergaul erat dengan Tuhan, sehingga ia pun bisa berdoa seperti yang dilakukan tuannya. Tidak hanya kebiasaan berdoa, pelayan ini juga mengenal Allah Abraham sebagai Allah yang penuh kasih dan—mungkin juga—mengenal janji Allah kepada Abraham yang akan memberkati keturunannya. Ungkapan pelayan ini mencerminkan relasi pribadi antara manusia dengan Allah yang autentik dan erat, sehingga dirinya mengenal siapa Allah yang mengutusnya mencari pasangan bagi Ishak.

Di samping pengenalan akan Tuhan yang begitu baik, pelayan ini juga mengenal dirinya sendiri. Seperti ungkapan seorang teolog bernama John Calvin, Without knowledge of self, there is no knowledge of God (tanpa pengenalan akan diri, tidak ada pengenalan akan Allah),” pelayan ini tahu apa yang dia butuhkan untuk memenuhi mandat tuannya. Selain berdoa, pelayan itu mengenal kebutuhannya, bahkan rela untuk menjadi rapuh dengan meminta air dari perempuan—yang tidak lain adalah Ribka—pada saat itu. Iya, perjalanan yang sangat jauh tentu menguras tenaga sang pelayan, bukan?

Mengenal diri dan menjadi rapuh adalah poin yang penting di dalam proses pengenalan diri, tetapi tentunya memerlukan waktu bagi kita untuk mencernanya dan melalui proses pendewasaan yang tidak mudah. Tuhan mengizinkan kita untuk menguji-Nya di dalam ketaatan (lihat Maleakhi 3:10, Efesus 5:10, 1 Tesalonika 5:2), tetapi kita juga perlu rendah hati untuk diuji Tuhan (lihat Mazmur 26:2; 139:23). Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Tuhan ingin kita mencari pasangan yang sepadan dengan kita, seperti Adam dan Hawa. Di sisi lain, kita juga perlu sadar bahwa Tuhan membiarkan Adam untuk bekerja dan mencari terlebih dahulu di antara ciptaan-ciptaan-Nya, sehingga dia sadar bahwa tidak ada yang sepadan dengannya sampai Allah menyediakan Hawa baginya (lihat Kejadian 2:20).Bagi sebagian kita, pengalaman mencari pasangan mungkin adalah pengalaman yang penuh perasaan menggebu-gebu. Perasaan seperti ini tidak terhindarkan, tetapi kita perlu mewaspadainya dengan membuka mata maupun telinga lebar-lebar untuk mengenal dan dikenal pasangan. Lalu, bagaimana dengan yang sudah “pesimis” terhadap kata-kata cinta karena pernah dikecewakan dan menelan rasa pahit? Pikiran pesimistis itu pun tidak terhindarkan saking menyakitkannya jika terulang lagi. Namun, momen-momen pahit itu juga dapat menjadi tanda kita untuk kembali berefleksi dan berdiam diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa menerima segala kelemahan dan kerapuhan kita.

Pengalaman mengenal orang lain sesungguhnya tidak pernah lepas dari pengalaman kita mengenal Tuhan dan diri. Sebagai laki-laki, aku berpikir bahwa secara tanpa sadar, sering kali kriteria pasangan ditentukan oleh bagaimana sang laki-laki berelasi dengan ibunya (wahai kaum laki-laki, bagaimana menurut kalian?). Sebagai contoh, aku mendambakan perempuan yang mindful, ramah, dan detail dalam mengurus berbagai hal. Ternyata, aku tidak menyadari bahwa sifat-sifat tersebut telah ditunjukkan terlebih dahulu oleh ibuku. Sebagai konsekuensi, sering kali aku perlu menerima komentar detail dari pasanganku, misalnya tentang tata bahasa tulisan. Dikritik itu tidak mudah, dan sering kali aku memerlukan kerendahan hati sebagai laki-laki. Di sisi lain, aku juga bisa merasa terganggu jika pasangan tidak punya kerapian dalam berpakaian, berpenampilan, dan mengurus barang. Dari mana asal ketidaknyamanan itu? Dari orang tua tentunya. Apakah aku terganggu? Iya, tetapi melaluinya aku mengenal diri dan sifatku, serta belajar menerima pasangan yang memang Tuhan sudah berikan bagiku saat ini.

Jadi, apakah ada pasangan yang adalah pasangan yang benar? Hanya Tuhan yang tahu persis skenario kisah cinta anak-anak-Nya, dan biarlah Dia yang menguji tiap relasi yang terjalin. Bagian kita adalah terus mengenal siapa Tuhan, diri sendiri, dan dia yang berelasi dengan kita. Sesungguhnya, musuh dari relasi bukan sekedar kebencian, melainkan keangkuhan hati yang membuat kita berasumsi sudah mengenal pasangan “sepenuhnya”. Ingatlah, setiap manusia—siapa pun itu—pasti menyimpan kerapuhan dan kelemahan yang tidak mudah diterima. Ketika menikahi seseorang kelak, kita tidak hanya “menikahi” kecantikan dan kebaikannya, melainkan juga kelemahan, keberdosaan, kerapuhan, dan ketidaksempurnaannya.

Pada akhirnya, mencari pasangan bukanlah tentang permasalahan cocok-cocokan, melainkan sebuah cerminan relasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Aku pernah mendengar curhat dari seorang perempuan bahwa menurutnya laki-laki di gereja itu adalah laki-laki yang “lempeng-lempeng (mudah ikut arus) aja hidupnya”, sehingga dirinya tidak memiliki tujuan hidup. Bagaimana jika anggapan ini benar-benar menggambarkan semua laki-laki yang mengaku percaya kepada Kristus, Sang Kepala Gereja yang mengasihi umat-Nya dan menjadi teladan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dalam sebuah relasi? Bagaimana jika semua perempuan beranggapan serupa, sehingga mereka memilih untuk mencari laki-laki yang lebih “membawa gairah”—bahkan meskipun itu berarti mencarinya di luar persekutuan orang percaya? (lihat 2 Korintus 6:14).

Hai, laki-laki, angkat kepalamu, arahkan matamu kepada Tuhan yang memberikan mandat untuk mengelola hidupmu dan sesamamu. Kasihilah perempuan seperti Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu tidak dengan paksaan—melainkan dengan kerelaan.

Hai, perempuan, terima kasih sudah menjadi penolong yang sepadan bagi kami. Kiranya hidupmu senantiasa terang berkilau seperti mahkota raja yang selalu membawa kami melihat Sang Raja dan Sahabat kami, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita di dalam perjalanan mencari pasangan dan membangun rumah tangga Allah. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Boleh “Bucin” Asal…

Oleh Jovita Hutanto

Dulu waktu masih sekolah, mamaku suka bilang begini, “Cinta itu buta. Eek pun bisa jadi serasa coklat!” Lain mamaku, lain temanku. Mereka sering berkata, “Dasar, bucin lo!” buat teman-teman yang rela melakukan apa saja demi ‘cinta’.

Jika kita cermati, rasa cinta itu memanglah luar biasa. Bukan saja dapat mengubah rasa pahit jadi manis, kita bahkan rela melakukan apa pun untuk sosok yang kita cintai. Jika kita ingat masa-masa awal berpacaran, pasti maunya nempel terus. Tapi, seiring waktu, lama-kelamaan bunga dan warna pelangi cinta di mata kita pun memudar. Buatku pribadi yang sudah cukup lama memelihara masa lajang, mungkin aku hampir lupa rasanya mencintai dan dicintai. Yang kuingat seperti makan permen nano-nano, banyak rasa.

Namun, cinta yang tampaknya luar biasa itu pada realitanya seringkali bersifat menuntut. Contoh kasusnya, saat kita siap berpacaran, kita tentu sudah memikirkan kriteria lelaki atau perempuan seperti apa yang ingin kita pacari. Apakah itu yang baik, ganteng, kaya, beriman. Atau, malah semuanya harus ada dalam satu pribadi? Kurasa yang ‘sempurna’ seperti ini cuma ada di drama Korea dan film-film Disney ya. Semua kriteria yang kita tetapkan jika mau jujur ujung-ujungnya adalah untuk ‘aku’.

Jadi, bagaimana sih selayaknya kita berelasi sebagai manusia yang terbatas dan berdosa?

1. Kasih bertahan karena komitmen yang mendasarinya

Berantem itu wajar. Beda pendapat itu lumrah. Kita ini manusia berdosa; relasi yang terjalin juga sudah pasti penuh dengan cacat cela. Semakin kita dekat dan kenal dengan orang tersebut, semakin banyak masalah yang akan timbul. Kalau kata orang, “mulai keliatan deh tuh karakter aslinya.” Menurutku, ini sangat dapat dimaklumi… mengapa? Semakin kita yakin dan nyaman dengan orang-orang pilihan kita, semakin kita terbuka pada mereka. Dengan seiring berjalannya waktu juga kita tidak dapat lagi menyembunyikan tabiat asli kita. Begitu juga dengan lawan relasi kita. Namun, setelah tahu warna asli mereka yang sesungguhnya, apakah kita akan mempertahankan relasi kita dengannya? Di sinilah peran penting komitmen mengasihi yang membuat kita bertahan dengan orang tersebut.

Aku sering mendengar cerita pasangan yang baru menikah dan tinggal serumah. Mereka kaget dengan perilaku pasangannya. “Ihh, kok ternyata berantakan,” atau “tidurnya ngorok gede banget.” Ya! Skakmat deh tuh! Komitmen di dalam berelasi itu sama dengan langkah skakmat alias tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Yang namanya sudah komit di hadapan Tuhan untuk sehidup dan semati, apapun keadaannya, tetap harus dijalankan dan diperjuangkan. Terdengar berat ya, dan memang kenyataannya berat, berdasarkan orang-orang yang sudah lebih berpengalaman menjalaninya lho ya, bukan kataku sendiri.

Nah… supaya yang berat itu tidak terasa berat, komitmen ini perlu didampingi dengan kasih. Kasih akan memampukan seseorang untuk melakukanna dengan rela, yang tentunya akan membuat seseorang merasa lebih enteng menjalaninya.

Kehidupan orang Kristen itu erat hubungannya dengan kasih karena Allah itu kasih, dan Ia memberikan perintah agar setiap orang yang percaya untuk mengasihi. Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, “You shall love your neighbor.” Perhatikan kata “shall” yang artinya harus; mengasihi sudah merupakan kewajiban orang Kristen. Lalu, kepada siapa kita harus mengasihi? Tuhan Yesus tidak menggunakan kata teman atau pasangan maupun keluarga; Tuhan menggunakan kata “sesamamu.” Dengan kata lain kasih kepada “sesamamu” tidak terbatas pada orang yang kamu kenal, namun kepada siapapun yang kamu temui.

2. Kita mengasihi dalam kerangka konsep Kristus

Untuk melengkapi ilmu tentang kasih, perlu kita ketahui bahwa ada 4 tipe kasih dalam Alkitab (terjemahan bahasa Yunani): Storge adalah kasih yang hadir di antara orang tua dan anak; Filia merupakan kasih persaudaraan atau persahabatan, seperti kita dengan sahabat kita; Eros mengacu pada cinta yang seksual atau romantis, layaknya pasangan suami dan istri; dan yang terakhir adalah Agape, cinta yang sempurna, abadi, dan tanpa syarat, tidak ada kasih agape di dunia ini selain kasih Kristus.

Jadi… dalam mengasihi pasangan, keluarga, maupun teman kita, apapun bentuk kasih yang kita miliki, seluruhnya harus didampingi oleh kasih agape. Dikarenakan kasih agape ini tidak ada dalam manusia yang berdosa, filsuf Kierkegaard menciptakan istilah baru, yaitu “Christian love.” Kierkegaard menjelaskan bahwa Christian love adalah wujud kasih Kristus yang hidup dalam hati para pengikutnya lalu dibagikan kepada sesamanya. Christian love ini tidak sempurna seperti kasih Kristus, namun statusnya lebih tinggi dari bentuk-bentuk kasih manusia lainnya. Karena tanpa Christian love ini, kasih antar manusia sifatnya sementara yang menyebabkan adanya perceraian suami istri dan pertikaian pertemanan dan keluarga.

Sifat kasih eros dan filia bergantung pada aspek yang dimiliki objek yang dikasihinya. Seperti, “aku mencintai dia karena dia cantik,” jadi kalau dia jelek, maka aku tidak cinta lagi. Sebaliknya, Kierkegaard (dalam terjemahanku) menjelaskan bahwa Christian love mengandung unsur kemurnian dan ketulusan hati, tanpa syarat dan tuntutan, ikhlas memberi tak harap kembali. Christian love tidak bergantung pada objek yang dikasihi. Tidak peduli latar belakang ataupun karakter seperti apa yang mereka miliki, apapun kendala yang akan kita hadapi bersama mereka, sudah menjadi kewajiban orang percaya untuk tetap mengasihi mereka.

Menurut aku, Christian love itu bucin (budak cinta) yang sesungguhnya. Budak cinta itu tidak dipengaruhi oleh sifat lawan relasimu. Apapun wujud asli mereka, kita tetap cinta, namanya juga budak cinta, ya budaknya si cinta bukan budaknya si Asep (atau Betty). Boleh disimpulkan bahwa Christian love ini kunci dari awetnya sebuah relasi karena sifatnya longlasting (panjang umur bahagia sentosa), baik dalam relasi suami istri, keluarga, maupun pertemanan.

3. Christian Love harus diaplikasikan

Aku suka merasa lucu kalau bertanya ke mereka-mereka yang sudah berpacaran lebih dari 7 tahun.

“Jadi apa nih kunci benteng pertahanannya?” Lalu jawaban para lelaki, “sabar-sabar aja, sering-sering lah minta maaf,” atau ada juga yang bilang, “semuanya perlu komunikasi yang baik.”

Pada dasarnya semua jawabannya mengindikasikan adanya masalah yang perlu diselesaikan. Belum pernah aku temukan jawaban seputar, “soalnya aku sudah jatuh cinta,” karena tidak ada lagi tuh ya cinta-cintaan lewat 1 atau 2 tahun. Menurutku ini normal dan tidak jadi masalah, dan sama seperti yang dikatakan Alkitab bahwa kasih itu banyak wujudnya (1 Korintus 13:4-8). “Kasih itu sabar,” “kasih itu murah hati,” termasuk kasih itu juga banyak-banyak minta maaf.

Kasih itu tidak terikat pada satu buah perilaku positif, namun seluruh perilaku positif. Kasih atau Christian love atau bucin itu adalah kebebasan ekspresi dari setiap orang yang sudah menerima kasih Kristus. Apapun bentuknya, asalkan didasari dengan ketulusan hati, maka selamat! Anda telah bergabung di dalam komunitas bucin yang sesungguhnya!

Setia: Kualitas yang Langka?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Ketika tulisan ini ditulis, berita soal perselingkuhan Adam Levine dan Reza Arap sedang menjadi trending topic di Twitter dan juga sosial media lainnya. Orang-orang di dunia maya ramai membicarakannya dan muncul beragam respons. Ada yang mulai meragukan kesetiaan pasangannya, ada juga yang mempertanyakan apakah masih ada laki-laki yang setia di dunia ini?

Sebagai seorang wanita yang menjalani masa single selama 12 tahun, mungkin aku dirasa kurang tepat untuk membicarakan perihal kesetiaan. Namun, aku memiliki kisah yang meneguhkanku bahwa kesetiaan adalah sebuah keputusan dan komitmen luhur yang seharusnya dimiliki oleh semua orang. Kesetiaan adalah kualitas diri, dan untuk menjadi seorang yang “setia” tidak perlu menunggu untuk memiliki pasangan terlebih dulu.

Aku berteman dengan laki-laki yang sudah memiliki pacar, mereka sedang menjalani hubungan jarak jauh (LDR). Ketika kami bekerja di kota yang sama, beberapa kali dia menawarkan bantuan untuk mengantar-jemputku untuk mengikuti kelompok pendalaman Alkitab bersama yang ada di kota tersebut. Bagi seseorang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, aku sangat bersyukur dengan tawaran itu. Namun, ada kegelisahan dalam diriku. Karena aku tahu dia sudah berpacaran, aku khawatir pacarnya keberatan jika aku diantar jemput untuk pendalaman Alkitab bersama.

“Pacarmu tahu nggak, kalau kamu jemput aku?” tanyaku pada suatu hari ketika aku sedang dibonceng olehnya.

“Tahu, kok.”

Namun aku tetap gelisah, meski aku hanya menganggapnya seorang teman. Aku tidak ingin jadi orang yang oportunis, yang diuntungkan dengan diberi tebengan tetapi tak peduli dengan dampak di baliknya. Pergi berdua dengan teman lelakiku ini membuatku bertanya-tanya, bagaimana perasaan pacarnya: apakah dia akan cemburu?

Sesampainya di kos, aku mengirim pesan kepada pacar teman lelakiku itu. Kebetulan aku juga mengenalnya. Aku memberi tahu bahwa beberapa kali aku keluar dengan pacarnya untuk PA bersama dan bertanya apakah dia tidak keberatan akan hal tersebut.

Benar saja, ternyata mereka sempat bertengkar perihal pacarnya mengantar-jemputku beberapa kali. Aku meminta maaf kepadanya, karena sudah merepotkan dan membuatnya khawatir. Kemudian aku meyakinkan hati pacar temanku ini untuk percaya bahwa aku akan menjaga relasi pertemanan di antara kami bertiga. Aku menghormati hubungan pacaran mereka berdua.

Pengalamanku ini mengajariku bahwa perlu ada batasan ketika kita berelasi dengan seseorang yang sudah berpasangan, entah itu sudah menikah atau mungkin baru di tahap berpacaran. Bukan berarti kita tidak bisa berteman dengan mereka yang telah berpasangan, tetapi dalam tiap aktivitas kita, kita dapat mengomunikasikan batasan kita dengan jelas sehingga terbangun pengertian. Bagi yang sudah berpasangan, bukan berarti kita harus selalu meng-update apa pun aktivitas kita, tetapi kepada hal-hal yang berisiko disalahpahami, kita dapat membangun pengertian dan meyakinkan sang pasangan bahwa kita adalah sosok yang berkomitmen untuk setia. Dan, selalu minta tuntunan Allah agar berhikmat dalam mengambil tindakan.

Setia dimulai dari diri sendiri

Karena sebuah relasi adalah kesepakatan dari dua belah pihak, perselingkuhan yang kerap dituding murni sebagai ketidaksetiaan satu pihak mungkin tidak sepenuhnya akurat. Masing-masing punya andil di balik perilaku curang ini. Salah satu penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Sex & Marital Therapy tahun 2021 menemukan bahwa ada delapan alasan utama mengapa seseorang selingkuh: kemarahan, menginginkan harga diri, kurangnya cinta, lemahnya komitmen, tidak adanya variasi, pengabaian, hasrat seksual, dan situasi-kondisi yang mendukung.

Alkitab pun menjunjung kesetiaan sebagai nilai yang luhur. Allah menunjukkan pada kita bahwa Dia setia (Ibrani 13:5), dan kita pun dipanggil untuk hidup di dalam-Nya agar hidup kita menghasilkan buah-buah roh yang salah satunya adalah kesetiaan (Galatia 5:22-23).

Buah roh berupa kesetiaan tidak muncul dengan tiba-tiba. Itu bisa muncul jika kita sebagai ranting terhubung pada pokok yang benar (Yohanes 15). Jika Kristus adalah pokok yang menjadi dasar kita, maka buah-buah roh dapat kita hasilkan. Artinya, kesetiaan adalah sebuah proses yang perlu diupayakan, dimulai dari hal-hal kecil dan tak selalu berkaitan dengan relasi romantis. Alkitab berkata barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia juga akan setia dalam perkara besar (Lukas 16:10).

Bagiku yang sedang menjalani masa single, kesetiaan bisa kulatih dengan hidup jujur dan kudus di dalam Tuhan. Kesetiaan adalah komitmen luhur yang kita persembahkan bagi Allah, sang empunya hidup. Jadi, jika kepada Allah kita mampu bersikap setia, itu akan memudahkan kita untuk juga berlaku setia bagi sesama kita. Aku menghormati masa single-ku sebagai masa indah, yang kudus, dan berkenan bagi Allah, sehingga aku pun membangun batasan yang jelas dalam berelasi dengan orang-orang yang telah berpasangan. Firman Tuhan berkata bahwa kita perlu memiliki cara hidup yang baik, supaya pada akhirnya nama Tuhan dipermuliakan (1 Petrus 2:12). Kisah perselingkuhan Daud dan Batsyeba di Alkitab pun menunjukkan bahwa di hadapan Allah, perselingkuhan merupakan hal yang jahat dan perbuatan yang menghina Tuhan (2 Samuel 12:9).

Pada akhirnya, menjaga kekudusan dan kesetiaan bukan hanya karena kita mencintai pasangan hidup kita di dunia ini, tetapi karena kita mau menghormati Allah. Dia adalah Allah yang kudus dan setia, maka sebagai pribadi yang telah ditebus sudah sepatutnya kita menjalani hidup yang kudus dan setia serta tidak merusak hubungan yang dimiliki oleh pasangan lain dengan menjadi selingkuhan.

Di tengah dunia yang penuh dengan curiga, anak-anak Tuhan diundang untuk merayakan kesetiaan sehingga setiap orang dapat memuliakan Tuhan ketika melihat dan mengalaminya. Memelihara karakter yang setia dapat kita lakukan dengan terus melekat kepada Yesus, karena di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Merenungkan dan menjadi pelaku firman, bersedia untuk melayani dan dilayani dalam komunitas, mewujud-nyatakan kasih dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kiranya Allah yang adalah kasih itu memampukan kita untuk memiliki kualitas pribadi yang setia pertama-tama kepada-Nya, Kekasih jiwa kita. Serta menjadi teladan di dalam relasi kita dan menunjukkan kepada dunia bahwa kesetiaan bukanlah hal yang langka.

Soli Deo Gloria!

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Yuk Belajar dari 5 Pasangan di dalam Alkitab yang Takut akan Allah

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 从圣经中的5对夫妇看上帝的感情观(有声中文)

Dulu, aku pikir oke-oke saja untuk berpacaran selama aku merasa cinta. Aku tidak sadar bahwa sebelum aku berpacaran, seharusnya aku mendoakannya terlebih dahulu kepada Allah.

Dulu, aku pikir ketika perasaan cinta itu pudar, maka itulah saatnya untuk putus. Aku tidak sadar bahwa sebuah hubungan itu perlu dipelihara.

Mulai dari cinta monyet semasa sekolah, berpacaran semasa kuliah, hingga kembali jomblo setelah lulus, aku telah merasakan perjalanan emosional yang berliku-liku. Aku sampai pada sebuah titik di mana aku merasa sepertinya Allah sudah tidak lagi mengasihiku. Mengapa orang lain bisa berhasil dalam membangun hubungan mereka, sedangkan aku terus gagal? Dan mengapa akhirnya bukan hanya aku yang sakit hati, tapi aku juga membuat mantan-mantan pasanganku sakit hati? Padahal, aku sudah serius dalam menjalin hubungan.

Setelah sekian lama, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya memandang hubungan itu dari kacamataku sendiri. Ketika aku merasa cinta dengan seseorang, tanpa pikir panjang aku langsung berpacaran dengannya, karena aku menyangka perasaan itu berasal dari “Roh Kudus”. Namun, tanpa pikir panjang pula aku akhiri hubunganku ketika berbagai masalah membuatku lelah secara jasmani dan rohani. Dengan seenaknya sendiri aku menganggap bahwa berbagai masalah itu adalah tanda bahwa kami harus putus. Begitulah aku akhirnya putus dengan mantan-mantan pacarku.

Berbagai film dan tayangan televisi mengajak kita untuk mengandalkan perasaan kita sendiri. Kita diajak untuk mengejar hubungan-hubungan yang romantis, menyenangkan, dan luar biasa. Lalu, ketika segala perasaan cinta ini sirna, mereka mengatakan bahwa itulah saatnya untuk mengakhiri hubungan. Tapi, benarkah itu? Apa kata Alkitab tentang hal ini?

Suatu hari, sebuah pikiran terlintas di kepalaku: Mengapa kita tidak belajar dari pernikahan-pernikahan kudus di dalam Alkitab untuk mencari tahu pemikiran Allah?

Izinkanlah aku membagikan apa yang aku pelajari dari lima pasangan yang ada di dalam Alkitab berikut ini.

1. Ishak dan Ribka:
· Doakanlah pernikahanmu.
· Cinta bukanlah hanya sebuah perasaan, tapi juga sebuah komitmen yang penting.

Ribka adalah seorang perempuan yang berasal dari suku yang sama dengan Abraham. Dia dipilih oleh hamba Abraham untuk menjadi istri bagi Ishak (putra Abraham) setelah sang hamba menanyakannya kepada Allah di dalam doa. Di sini aku melihat sebuah prinsip yang sangat penting untuk sebuah hubungan: pilihlah seorang pasangan di antara orang-orang percaya. Memilih pasangan itu bukan secara acak ataupun hanya berdasarkan perasaan saja, tapi haruslah berdasarkan doa yang dilakukan dengan setia. Apabila kita memilih bersama dengan orang-orang yang belum percaya, kita akan menghadapi perbedaan prinsip dan kepercayaan, atau lebih parahnya lagi, bisa saja kita jadi mengikuti tradisi kepercayaan mereka dan meninggalkan Allah dan ajaran-Nya.

Hal kedua yang aku pelajari dari hubungan Ishak dan Ribka adalah ini: cinta adalah sebuah keputusan. Meskipun Ishak dan Ribka belum pernah bertemu sebelumnya, mereka dapat saling mencintai sepanjang hidup mereka. Pada zaman itu, cukup umum bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari seorang istri. Tapi, Ishak memilih untuk menghabiskan hidupnya hanya dengan Ribka seorang. Hubungan pernikahan mereka menunjukkan pada kita bahwa saat kamu memutuskan untuk mencintai seseorang dan mengikatnya dengan janji suci, kita dapat percaya bahwa Allah akan terus memampukan kita untuk terus mencintai satu sama lain hingga pada akhirnya, bahkan ketika berbagai kesulitan muncul di dalam pernikahan.

2. Boas dan Rut:
· Dengarlah nasihat orang-orang yang lebih dewasa.
· Bagaimanapun masa lalumu, percayalah bahwa Allah selalu menerimamu.

Rut adalah seorang asing di antara bangsa Yahudi, dan juga seorang janda. Meskipun demikian, dia mengasihi ibu mertuanya, Naomi. Rut menaati nasihat Naomi untuk mendekati Boas. Lalu, seperti yang kita tahu, pada akhirnya kisah Rut, Boas, dan Naomi berakhir dengan bahagia. Dari kisah ini, aku belajar bahwa Allah tidak memandang rendah seseorang, apapun latar belakangnya. Yang Allah pedulikan adalah hati kita. Rut memilih untuk percaya kepada Allah—Allah yang sama yang kepada-Nya ibu mertuanya percaya. Dia juga taat kepada ibu mertuanya yang lebih dewasa ini, sehingga pada akhirnya Rut menjadi seorang yang diberkati Allah, dan bahkan namanya pun tercantum dalam silsilah Yesus.

Dulu, aku berpikir bahwa Allah hanya memberkati hubungan mereka yang menikah dengan pacar pertama mereka. Namun ternyata tidak demikian. Allah menerima kita, tidak peduli seperti apa masa lalu kita. Menariknya lagi, dari kisah Rut dan Boas aku belajar bahwa tidak selalu perempuan harus menunggu laki-laki untuk memulai suatu hubungan. Kadang, perempuan juga dapat memberikan tanda-tanda (yang pantas dan di waktu yang tepat) kepada laki-laki yang “lebih pasif”. Tentunya dengan catatan bahwa segala tindakan itu sesuai dengan kehendak Allah. Bagi laki-laki, mereka harus memikirkan matang-matang dan juga meminta nasihat saudara seiman yang lebih dewasa sebelum mendekati seorang perempuan.

3. Yusuf dan Maria:
· Cinta harus dibuktikan dengan tindakan.
· Kita dapat menyelesaikan pekerjaan Allah bersama-sama dengan cara menaati-Nya dan takut akan Dia.

Ketika Maria mengandung Yesus dari Roh Kudus, Yusuf menghindari untuk menceraikan Maria secara terang-terangan demi menjaga nama baik dan keselamatan Maria. Pada masa itu, apabila seorang perempuan melakukan zina dengan laki-laki lain yang bukan pasangannya, pasangannya itu berhak untuk menceraikan dia secara terang-terangan dan sang perempuan akan dirajam sampai mati. Namun, Yusuf tidak melakukan hal itu karena dia mencintai Maria dan takut akan Allah. Maria juga adalah seorang perempuan yang takut akan Allah, dan bersedia menanggung risiko dari mengandung Yesus.

Mencintai seseorang harus dibuktikan dengan tindakan. Yusuf membuktikan cintanya kepada Maria dengan cara menghormati, melindungi, dan menikahinya. Ketika orang-orang jahat mencari-cari mereka untuk membunuh bayi Yesus, mereka saling menopang melewati segala tantangan. Yusuf dan Maria adalah contoh pasangan yang takut akan Allah, yang bersama melewati masa-masa suka dan duka. Semuanya itu mereka lakukan bagi Allah. Betapa indahnya memiliki pasangan yang seiman dan yang dapat menjaga komitmennya terhadap Kristus dan terhadap pasangannya.

4. Akwila dan Priskila:
· Jadilah pasangan yang berkomitmen kepada Kristus.
· Bangunlah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya, dan berikan segala yang kamu miliki bagi Kerajaan Allah.

Meskipun pasangan ini tidak seterkenal pasangan-pasangan lain yang telah kita bahas sebelumnya, aku sungguh mengagumi komitmen mereka kepada Allah. Meskipun mereka sibuk bekerja, mereka selalu dengan hangat menyambut pelayan-pelayan Allah seperti Paulus dan Apolos (Kisah Para Rasul 18). Mereka membuka pintu rumah mereka untuk dipakai menjadi tempat pertemuan (1 Korintus 16) dan secara aktif mengejar segala kesempatan untuk memperluas Kerajaan Allah.

Allah tidak hanya ingin keluarga-keluarga diselamatkan, tapi juga melayani-Nya. Memberikan rumah kita untuk dijadikan tempat pertemuan tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga waktu dan tenaga. Di sini kita melihat sebuah contoh pelayanan yang dilakukan oleh keluarga awam, yang merupakan wujud nyata dari ayat Alkitab berikut ini: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37), dan “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15).

Selain itu, dua lebih baik daripada satu. Selain dapat saling berbagi suka-duka kehidupan, sebuah pasangan dapat saling mendoakan, melayani Allah, dan melayani sesama bersama-sama. Ini adalah sebuah gambaran yang sangat indah. Ketika aku menyaksikan sendiri bagaimana tidak enaknya melihat pasangan yang tidak sepadan—yang seorang antusias melayani Allah, namun yang seorang lagi tidak—aku jadi semakin sadar akan betapa pentingnya doa dalam proses mencari seorang pasangan yang sepadan dengan kita. Hanya pasangan yang sepadan saja yang dapat membangun sebuah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya.

5. Zakharia dan Elisabet:
· Setialah berdoa dan sabarlah menunggu waktu Allah.
· Berserahlah penuh kepada kehendak Allah dengan penuh kerendahan hati.

Menurut Lukas 1, Zakharia dan Elisabet adalah pasangan yang tetap setia melayani Allah meskipun usia mereka telah lanjut. Secara khusus, aku mengingat kisah ketika Zakharia menjabat sebagai imam dan malaikat Allah datang kepadanya dan memberitahunya bahwa doanya sudah dijawab: Allah akan mengaruniakannya seorang anak. Kisah ini mengingatkanku bahwa Allah selalu mendengar doa-doa kita. Namun, bagaimana Allah menjawabnya adalah tergantung kepada kehendak-Nya.

Dalam kisah ini, kita juga melihat kelemahan Zakharia dan Elisabet. Zakharia menjadi bisu untuk sementara waktu karena kurang percaya, dan Elisabet juga takut untuk menceritakan kepada orang lain tentang kehamilannya. Namun, meskipun mereka memiliki kelemahan, itu tidak menjadi hambatan bagi Allah untuk memakai mereka untuk menggenapi rencana-Nya. Ketika bayi mereka lahir, mereka menaati Allah dan menamai bayi itu Yohanes. Setelah berdoa bertahun-tahun untuk memiliki anak, Zakharia dan Elisabet rela memberikan anak mereka bagi pekerjaan Allah, dan taat kepada Allah dalam memberikan nama bagi anak mereka. Penyerahan diri seperti itulah yang perlu aku pelajari.

* * *

Kelima pasangan ini memiliki kelemahan mereka masing-masing, namun ada satu persamaan yang mereka miliki: masing-masing dari mereka takut akan Allah dan taat kepada Allah. Teladan Akwila dan Priskila secara khusus mengingatkanku untuk terus melayani Allah kapan saja dan di mana saja.

Alkitab memiliki banyak contoh lain yang dapat mengajari kita tentang sebuah hubungan. Lima pasangan yang aku sebutkan di atas hanyalah beberapa saja dari sekian banyak itu, tapi kelima pasangan inilah yang begitu menyentuhku secara pribadi. Lewat mempelajari kisah-kisah kehidupan mereka, aku dapat menjadi lebih baik dalam menghadapi perasaan tidak aman yang diakibatkan hubungan-hubunganku di masa lalu. Kelima pasangan ini juga yang menginspirasiku untuk membangun hubungan yang berkenan kepada Allah dan membantuku untuk memfokuskan kembali pandanganku kepada Allah. Aku harap apa yang aku pelajari tentang hubungan dari kelima pasangan ini juga dapat bermanfaat bagimu dalam menjalin hubunganmu.

Baca Juga:

Ketika Malam Tirakatan Mengajariku Cara untuk Mencintai Indonesia

Satu hari menjelang peringatan hari kemerdekaan, lingkungan tempat tinggalku selalu mengadakan acara tirakatan—sebuah acara untuk merenungkan dan merefleksikan kembali makna kemerdekaan Indonesia. Di acara malam tirakatan, seluruh warga, tak peduli apapun latar belakangnya bersatu padu mensyukuri dan merayakan kemerdekaan Indonesia.

4 Pelajaran Penting Dalam Pernikahan

Penulis: Henry Jaya Teddy

empat-pelajaran-penting-dalam-pernikahan

Tak terasa sudah delapan tahun lamanya saya menikah. Sebagaimana semua orang lain pada umumnya, saya memimpikan rumah tangga yang bahagia bersama pasangan tercinta. Kami sudah lama berpacaran, dan saya merasa sangat siap untuk memulai hidup baru bersamanya. Namun, begitu menikah, saya harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama delapan tahun berumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kamu yang sedang memikirkan untuk berumah tangga atau yang sedang menjalaninya.

1. Pasangan kita, sama seperti kita, bukanlah orang yang sempurna

Setiap orang yang menikah, tentu berharap bahwa pasangannya akan dapat melengkapi hidupnya. Namun kita perlu menyadari bahwa pasangan kita, sama seperti kita, adalah manusia yang terbatas. Kita sama-sama adalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih karunia Tuhan.

Saya sendiri sudah menerapkan prinsip saling terbuka sejak awal masa pacaran. Saya mau pasangan saya mengetahui kelebihan dan kekurangan saya sejelas-jelasnya, demikian pula sebaliknya. Harapan saya, saat menikah nanti kami sudah siap untuk bisa saling menerima.

Namun, sekalipun kami sudah demikian terbuka, ternyata saat masuk dalam pernikahan, masih ada banyak hal yang harus kami sesuaikan. Kami sering bentrok di masa-masa awal pernikahan kami. Butuh waktu sekitar tiga tahun lamanya bagi saya untuk bisa benar-benar mengerti karakter dan kebiasaan istri saya. Inilah proses yang Tuhan izinkan kami alami, agar kami tidak bergantung pada kekuatan sendiri atau pasangan kami, tetapi pada anugerah Tuhan semata.

2. Menikah tidak membuat hidup kita jadi lebih mudah

Banyak orang muda berpikir, alangkah indahnya bila saya bisa menikah, hidup bersama orang yang saya cintai selamanya. Banyak yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Rasanya sengsara betul kalau harus hidup tanpa pasangan di dunia ini. Namun, kenyataannya menikah tidak membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ada banyak masalah baru yang muncul justru setelah menikah. Hubungan yang harus kita perhatikan tidak hanya hubungan dengan pasangan kita, tetapi juga hubungan dengan mertua, ipar, dan segenap keluarga besar yang ada. Belum lagi saat kita dikaruniai anak.

Dalam kasus saya, Tuhan juga mengizinkan saya menderita penyakit autoimun (kelainan sistem tubuh yang menyerang organ tubuh sendiri) setelah saya menikah. Butuh dua tahun lebih bagi saya untuk bisa kembali beraktivitas normal. Bila saya hidup sendiri, kesulitan itu cukup saya tanggung sendiri. Karena saya menikah, kesulitan saya juga menjadi kesulitan keluarga saya. Berat sekali harus mengalami kondisi yang tidak berdaya sebagai seorang kepala rumah tangga. Namun, melalui masa-masa yang tidak mudah itu, kami (saya, istri, anak, dan keluarga) belajar untuk tetap saling mendukung dan mengandalkan pertolongan Tuhan.

3. Pernikahan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik

Terlepas dari segala kesulitannya, bila kita punya sikap yang mau diajar, pernikahan dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Melalui pernikahan, Tuhan mengajar saya untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Menikah membuat saya harus memperhatikan orang lain: istri saya, keluarganya, juga anak saya. Bukan hanya sekali seminggu, atau kapan saja saya ingin, tetapi setiap hari! Apalagi ketika Tuhan lagi-lagi mengizinkan keluarga kami menghadapi kesulitan. Anak saya juga jatuh sakit. Ia mengalami spasme infantil (kejang akibat gelombang otak yang tidak normal, yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan). Hingga hari ini, ia masih harus menjalani terapi untuk bisa beraktivitas seperti anak yang normal.

Masa-masa sulit yang Tuhan izinkan saya alami membuat saya banyak berpikir ulang tentang arti hidup. Sebelum menikah, saya hanya memikirkan tentang diri sendiri dan semua yang ingin saya capai. Namun kini, saya menyadari bahwa hidup baru berarti ketika dijalani sesuai kehendak Sang Pencipta. Saya diciptakan Tuhan bukan untuk mementingkan diri sendiri, melainkan untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain.

4. Mengutamakan Tuhan adalah dasar keberhasilan sebuah rumah tangga

Merenungkan delapan tahun yang sudah saya lewati dalam pernikahan membuat saya yakin bahwa dasar terkuat bagi keberhasilan sebuah rumah tangga adalah mengutamakan Tuhan. Saya dan istri saya punya banyak perbedaan. Tidak mudah untuk hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mengikat kami, yaitu janji kami di hadapan Tuhan. Kami menyatakan janji nikah kami tidak hanya di hadapan satu sama lain, tetapi juga di hadapan Tuhan. Dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Ketika Tuhan menjadi yang utama, fokus kami bukanlah apa yang kami ingin atau tidak ingin lakukan, melainkan apa yang diinginkan Tuhan melalui pernikahan kami.

Saya ingat kisah yang dicatat dalam Daniel 3 tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka yakin Tuhan berkuasa melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, namun bila Tuhan tidak melepaskan pun, mereka tidak goyah, karena mereka yakin Tuhan tahu cara terbaik untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Daniel 3:17-18). Saya tahu Tuhan bisa saja memberikan saya pernikahan yang mudah. Dia juga berkuasa untuk meluputkan saya dari penyakit autoimun dan segala macam masalah dalam rumah tangga saya. Namun, dalam hikmat-Nya, Tuhan mengizinkan saya mengalami semua masalah itu, supaya saya dapat makin bergantung kepada-Nya, dapat terus bertumbuh di dalam firman-Nya, dan bahkan dapat terus menyatakan kuasa Kristus yang selalu menaungi saya dalam setiap kelemahan yang ada (2 Korintus 12:9).

Saat Dia Berkata Dia Tidak Mencintaiku

Penulis: Joanne Lau
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When He Said He Didn’t Like Me

When-He-Said-He-Did-Not-Like-Me

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.–1 Yohanes 4:19

Punya pasangan. Banyak di antara kita, termasuk aku, sangat menginginkannya. Pada satu masa dalam hidupku, aku sangat menyukai seorang pemuda, sebut saja namanya Andy.

Aku ingat betapa aku memimpikan hari saat Andy akan mengajakku kencan, dan betapa aku ingin menghargai setiap momen yang kami lewatkan bersama. Kami sudah bersahabat di sekolah, dan sekalipun ada suara dalam hatiku yang berkata bahwa hubungan kami hanya sebatas sahabat, aku tetap saja suka dekat-dekat dengan dia dan selalu ingin mendapatkan perhatiannya.

Suatu malam, seperti biasa kami jalan-jalan bersama. Singkat cerita, Andy mengatakan dengan sangat jelas bahwa hubungan kami hanya sebatas sahabat, dan dia menganggapku sebagai seorang saudara perempuannya di dalam Kristus.

Harapanku hancur berkeping-keping. Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mata, aku teringat akan apa yang dia katakan. Aku menangis sepanjang malam. Aku merasa tidak mungkin mencintai orang lain lagi dalam hidup ini. Aku merasa frustrasi, marah, dan sangat sedih. Parahnya lagi, aku tidak bisa menceritakan apa yang kurasakan itu kepada siapa pun, termasuk kepada teman-temanku. Tidak pernah aku merasa sendirian seperti itu. Dalam rasa putus asaku, aku menangis di hadapan Tuhan, mohon agar Dia mengaruniakan sukacita dan damai di dalam hatiku. Setelah itu, aku pun tertidur, lelah dengan kesedihanku sendiri.

Keesokan paginya, setelah tidur selama tiga jam saja, aku terbangun. Yang mengejutkan, perasaan pedih dan frustrasi yang dalam itu telah lenyap, digantikan perasaan sukacita dan bahkan sebentuk kasih persaudaraan yang baru untuk Andy (bagiku ini sangat aneh, mengingat beberapa jam sebelumnya aku masih merasa begitu marah terhadapnya!)

Pertama-tama, aku harus menegaskan di sini bahwa aku bukan seorang perempuan super. Aku tahu betul bahwa mustahil bagiku bisa mengasihi Andy seperti itu dengan kekuatanku sendiri. Kebanyakan kita mengasihi dengan syarat-syarat tertentu. Kita mengasihi mereka yang membuat kita merasa berharga, jantung kita berdebar-debar, dan hati kita berbunga-bunga.

Satu-satunya alasan aku bisa mengasihi Andy sebagai seorang sahabat adalah karena Tuhan telah lebih dulu menyatakan kasih-Nya kepadaku. Sekalipun kata-kata Andy menyakitiku dan harapanku tidak terwujud, aku masih dapat mengasihinya karena Tuhan mengingatkan aku betapa Dia telah lebih dulu mengasihiku.

Tuhan telah menunjukkan kasih-Nya yang rela berkorban di dalam Yesus. Dia tidak menghukum kita yang sudah berdosa, namun justru memberikan anugerah yang sebenarnya tidak pantas kita terima. Dia bisa saja tidak mau lagi berurusan dengan kita, namun Dia malah mengulurkan tangan-Nya kepada kita, mengasihi kita agar kita juga dapat belajar mengasihi orang yang telah menyakiti kita, baik secara sengaja atau tidak.

Pengalaman telah mengajarkan aku bahwa memiliki pasangan itu tidak akan pernah bisa memuaskan kebutuhan kita untuk dicintai sepenuhnya. Hanya Tuhan yang dapat mengasihiku dengan sempurna. Kasih-Nya tidak akan pernah mengecewakan, tidak pernah gagal, dan selalu memuaskan hidupku.

Hari ini, aku memiliki pernikahan yang bahagia. Namun, meskipun pernikahan itu indah, pernikahan tetap tidak dapat memuaskan kita sepenuhnya. Pernikahan juga tidak dapat mengambil alih posisi Tuhan di dalam hidupku.

Tuhan selalu hadir, menanti kita untuk berseru kepada-Nya dan untuk menerima kasih-Nya. Semua kerinduan dan kebutuhan kita akan dipuaskan oleh kasih-Nya. Maukah kamu mengalami kasih-Nya hari ini juga?