Posts

Melajang di Usia 30+: Menyerah atau Bertahan dengan Pendirian?

Oleh Nelle Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 30+, Single, And Trying Not To Settle

Kencan online di usia 30-an sepertinya tidak cocok untuk orang yang hatinya lemah.

Aku pikir aku perlu mengulangi jawaban-jawaban yang sama selama berbulan-bulan, berpikir keras untuk menciptakan obrolan yang santai, dan berusaha untuk tidak melirik jam di pertemuan pertama kami yang terasa membosankan. Meski ketakutan itu mungkin terwujud, tapi tidak ada salahnya untuk tetap mencoba. Kepada seorang laki-laki, aku coba memberanikan diriku untuk memulai obrolan.

Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat sifat aslinya. Laki-laki ini orang yang menyenangkan. Dia merespons pertanyaan-pertanyaanku dengan serius, dia mengajukan pertanyaan yang sopan, dan perilakunya juga santun. Meskipun dia termasuk orang yang cukup serius, tapi dia masih punya selera humor (dan senyumannya yang manis). Kami suka menonton acara komedi, jalan-jalan ke luar ruangan, dan belajar hal-hal baru. Di tiga jam pertama dari pertemuan pertama, kami mengobrol dengan lancar sampai-sampai aku lupa pulang.

Tapi, meskipun dia mencantumkan status ‘Kristen’ di profilnya, aku melihat kalau dia tidak punya relasi personal dengan Tuhan. “Tuhan” baginya adalah sosok dengan kuasa yang lebih besar, dan dia tidak yakin dengan konsep bagaimana Salib itu bekerja menyelamatkan manusia. Semakin banyak kami berbicara, semakin terlihat tanda-tanda kehidupan yang hampa darinya. Meskipun dia orang yang ambisius dan sedang berada pada jalannya untuk mencapai kesuksesan, kehampaan itu muncul dari perasaan insecure-nya. Dia mengakui kalau dia takut jadi orang yang tidak relevan dan diabaikan. Untuk mengalahkan kekhawatiran itu, dia tidak mengizinkan ada orang lain yang mengontrol hidupnya—termasuk Tuhan. Dia terus mendorong dirinya untuk jadi yang terdepan.

Godaan untuk menyerah

Setelah putus empat tahun lalu, aku tahu orang yang seharusnya menjadi calonku harus mengasihi dan takut akan Tuhan. Aku bisa menebak masalah apa yang akan datang jika aku berelasi dengan seseorang yang mengandalkan dirinya sendiri untuk menjalani hidup. Kehidupan telah menunjukkanku akan apa yang Yeremia katakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Hatiku sendiri, meskipun aku sudah mencoba menyerahkannya pada Tuhan, sering membawaku pada kesulitan. Jadi, jika pasanganku jelas-jelas menolak menyerahkan hatinya pada Tuhan, bagaimana aku dapat percaya pada setiap keputusan atau kata-katanya? Aku akan selalu menebak-nebak apakah itu keputusan dia yang egois. Dan, kurasa dia pun tidak akan pernah bisa jadi pemimpin rohani bagi keluarga.

Dengan harapan untuk memiliki pasangan yang berfokus pada Kristus, kurasa itu sudah cukup buatku untuk mengakhiri relasiku dengan laki-laki itu. Tapi, ketika keputusan itu muncul di otak, aku teringat:

Kamu itu nggak lagi muda.
Kamu siap buat membangun lagi komunikasi dengan orang lain?
Kapan lagi kamu bisa dapet chemistry kayak begini?
Kalau kamu terlalu pemilih, ya terima aja kalau kamu sendirian
Duh, orang seperti dia sih masih gapapa; dia bukan ateis kok.

Melepaskan seseorang yang cukup layak dalam standar masyarakat zaman ini menjadi sangat susah saat berada di usiaku. Aku bisa merasakan pikiranku bergulat untuk menemukan semacam kompromi. Mungkin aku bisa berjuang keras untuk memuridkan dia. Mungkin menginginkan calon suami yang bisa jadi pemimpin rohani cuma angan-angan saja, bukan sesuatu yang wajib? Lagipula, beberapa temanku yang Kristen baik-baik saja kok relasinya selama mereka jadi istri yang kerohaniannya lebih kuat?

Naluriku (atau mungkin Roh Kudus) melihat semua upayaku merasionalkan pemikiran-pemikiranku ini adalah mengangkat alis sebagai tanda heran. Tapi, pikiranku yang dicengkeram rasa takut terus menekanku.

Rumah yang kuharap ingin kubangun

Aku tahu aku bisa berdoa memohon petunjuk dari Tuhan untukku melakukan apa yang perlu. Suatu malam, saat aku sedang mencuci piring, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku, “Nilai apa yang paling penting, yang ingin kamu berikan kepada anak-anakmu?”

Hening tetapi menohok, kurasa pertanyaan itu datang dari Roh Kudus. “Ini sih gampang,” pikirku, “aku mau anak-anakku punya relasi yang nyata dengan Tuhan yang mengasihi mereka. Ketaatan mereka adalah sikap hormat bagi Allah yang kudus. Dan supaya mereka bisa melihat setiap orang diciptakan seturut gambar-Nya, yang dengan demikian layak mendapatkan martabat dan kehormatan.”

Bagiku, beberapa nilai yang ingin kuberikan itu akan menolong mereka menemukan versi kehidupan terbaik yang bisa mereka miliki. Aku pernah mencoba hidup tanpa Tuhan, menentang-Nya, tetapi kemudian aku sadar bahwa dikasihi oleh Tuhan akan membentuk hidup kita. Aku percaya penuh bahwa Tuhanlah satu-satunya jalan menuju keutuhan hidup.

Pertanyaan kedua segera datang, “Tapi, bagaimana jika pasanganmu tidak percaya dengan itu semua, atau menolak harapan-harapanmu itu sebagai sebuah prioritas?”

Dan tiba-tiba… pergumulan pikiran selama berminggu-minggu pun hilang. Jika aku tahu apa yang terbaik untuk anak-anakku kelak, bagaimana bisa kelak kami hidup dalam rumah yang tidak bersatu, yang mungkin akan menghalangi mereka untuk tumbuh mendapati kehidupan yang terbaik untuk mereka?

Mungkin Tuhan tahu karena aku tipe orang yang mudah berkompromi, Dia mengajakku untuk berpikir keras. Pikiran-pikiran itu menolongku melihat bahwa pilihan-pilihan yang kubuat terkait pasangan hidupku tidak cuma akan mempengaruhiku, tetapi juga bagi orang lain.

Aku menyadari sekali lagi, ini adalah ujian bagi hatiku. Apakah aku percaya bahwa ketika Tuhan menetapkan batasan yang jelas bagi pernikahan, Dia tahu apa yang terbaik bagi kita? Atau, aku sombong karena kupikir akulah yang lebih tahu? Kupikir aku cukup kuat untuk menanggung semua akibat dari tidak berpegang pada tuntunan Tuhan dan menciptakan pernikahan berdasarkan standarku sendiri?

Ketika aku mengobrol dengan teman-temanku yang menikah dengan bukan orang Kristen, atau menikahi orang-orang yang tidak dewasa secara rohani, semua ilusiku pun buyar. Mereka bercerita betapa kesepiannya mereka karena tidak bisa membagikan isi hati terdalam mereka—perjalanan mereka bersama Tuhan—dengan pasangan mereka. Atau, betapa melelahkannya untuk berjalan secara rohani sendirian. Karena mereka sudah terikat dalam pernikahan, mereka berkata perlu tetap berkomitmen untuk mempertahankannya. Sementara itu, aku masih punya pilihan.

Teman-temanku yang menikahi seorang yang saleh menemukan sukacita tak terduga dari kehidupan pasangannya yang mengasihi Tuhan dan gereja (Efesus 5:25-29), serta bertanggung jawab menjadi pemimpin spiritual dalam keluarga. Mereka juga punya pergumulan, tapi secara karakter mereka semakin bertumbuh. Tanpa mereka perlu berkata, aku bisa melihat sendiri alasan untukku tidak berpasrah diri asal saja menerima siapa pun untuk menjadi pasanganku.

Setelah beberapa minggu mengelola pikiranku, aku memberitahu laki-laki itu kalau aku tidak mampu membangun hubungan ini lebih lanjut dengannya.

Lajang untuk hari ini

Bertumbuh dalam kedewasaan rohani berarti keputusanku—bahkan tentang pernikahan—harus tidak berpusat pada diriku sendiri dan seharusnya lebih kepada apa yang dapat memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31).

Tetapi, menetapkan keputusan berdasarkan apakah keputusan ini mencerminkanku sebagai anak Tuhan terkadang terasa membebani. Di hari-hariku yang sunyi, memuliakan dan menaati Tuhan terasa seperti latihan untuk menekan egoku.

Di hari-hari yang terasa lebih baik, aku ingat janji ini: “Siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati” (1 Samuel 2:30). Janji ini mengingatkanku bahwa ketika Tuhan tidak ingin aku berpasangan dengan seseorang yang tidak mengasihi-Nya, itu tidak berarti Dia ingin aku hidup dalam penderitaan sebagai seorang yang melajang dan kesepian. Meskipun Tuhan tidak memenuhi kebutuhanku dengan cara yang aku inginkan, Dia akan membuatku bertumbuh.

Dalam masa-masa ini, aku melihat bagaimana Dia membawaku kepada relasi spiritual yang dalam, supaya aku bisa mengatasi kesepianku dan memberiku kesempatan untuk membangun kerajaan-Nya. Aku belajar percaya kebaikan-Nya—apa pun bentuknya—pasti akan memberiku kepuasan.

Sejujurnya aku masih belum berani jika Tuhan mengatakan kehendak-Nya bagiku adalah aku melajang seumur hidupku. Aku harus belajar percaya sepenuhnya pada-Nya. Pada tahap ini, akan lebih mudah bagiku untuk “melajang” pada hari ini, tanpa perlu terlalu mengkhawatirkan hari depan. Satu mazmur yang sering kuingat ketika aku menaikkan doa pagi, “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku” (Mazmur 143:8).

Ini adalah tindakan imanku untuk hari-hari yang kujalani bahwa akan selalu tersedia anugerah yang cukup untuk hidup dan bertumbuh dalam masa-masa lajangku.

Baca Juga:

Cerpen: Ngobrol Dengan Tuhan Itu Asyik

Aku mendengar pintu depan terbuka.

“Lima…Empat…Tiga…Dua…Satu.”

“Dewi…Dewi…Kamu ada di mana?”

Suka, Cinta, dan Penantian

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Langit sore tampak cerah. Matahari bersinar di balik awan putih dan angin pantai menyapu wajah muda-mudi yang bersemangat . Setelah melangkahkan kaki ke luar dari parkiran, mereka pun berjalan menuju pantai. Tiga orang remaja SMP bersama seorang kakak pembinanya berniat untuk melakukan pendalaman Alkitab di alam terbuka. Tempat yang berbeda untuk melakukan kegiatan mingguan mereka.

Sembari berjalan, Gracia membuka obrolan, “Kak, kakak tahu Dery nggak?”

Kak Nindy, nama kakak pembina rohani para remaja ini menatap Gracia. “Iya, tahu. Kenapa?”

“Kemarin dia confess ke aku,” lanjut Gracia sambil terus berjalan.

Kak Nindy memasang wajah kaget, kemudian memandang ke belakang sambil memberi isyarat tangan pada Luke dan Bisma yang jauh tertinggal di belakang untuk lebih mendekat. Ternyata kedua laki-laki itu sedang bermain adu gulat sambil berjalan.

“Memangnya dia bilang gimana?” Kak Nindy menatap Gracia yang terus memandangi jalan setapak di hadapan mereka.

“Dia bilang: ‘Gracia, aku mau bilang sesuatu sama kamu. I like you.’ Udah gitu aja,” Jawab Gracia.

“Terus kamu bilang apa sama dia?” tanya kak Nindy lagi.

“Ya udah, he is just like me kan, not love me.” Kak Nindy tertawa geli mendengar jawaban itu. Anak SMP berusia 13 tahun pun tahu bedanya dicintai dan disukai ya?

“Memangnya kenapa kalau dia suka sama kamu bukan cinta sama kamu?” Belum sempat Gracia menjawab, Kak Nindy segera berteriak, “Hai gaes, Gracia baru dapat pernyataan cinta nih!” “Wah tunggu, kita juga mau dengar!” Luke dan Bisma antusias lalu berlari mendekat.

“Ya kan cuma suka kak, kayak nge-fans gitu kan. Kalau cinta berarti dia kan lebih dalam lagi perasaannya,” jelas Gracia lagi. Kak Nindy mengangguk-angguk.

“Ceritanya waktu kita sudah sampai tempat tujuan aja,” saran Luke.

“Enak sekarang aja, sambil jalan biar nggak kerasa capeknya,” sahut Gracia.

Mereka berempat terus berjalan menuju gubuk di tepi pantai, bagian paling favorit versi mereka dari tempat wisata ini. Bersyukur sore ini tidak banyak pengunjung yang datang, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Terus, terus, kakak tahu Michael? Dia chatting aku lagi, panjang lebar.” Mata Gracia tampak berbinar mengucapkannya.

“Ehem, chatting gimana?” Tanya kak Nindy mempersiapkan hati untuk mendengar ceritanya lagi.

“Intinya dia mau bilang, I still love you.” Kali ini Gracia menatap Kak Nindy yang memasang wajah pura-pura kaget. Bahkan sampai menutup mulut. Gracia tahu itu berlebihan, tetapi dia nampak senang dengan reaksi itu.

“Wow!” Teriak Bisma dari belakang sambil bertepuk tangan. Kak Nindy lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sungguh anak SMP zaman sekarang bisa dengan mudah mengekspresikan perasaan mereka. Entah apakah di balik pernyataan itu mereka sudah tahu makna sesungguhnya.

“Aneh kan kak? Padahal kita sudah lama lost kontak lho,” lanjut Gracia. Jadi, Gracia pernah berpacaran dengan Michael selama beberapa hari (iya, hari). Jangan heran, bahkan Kak Nindy pernah mendengar anak kelas 5 SD sudah berpacaran.

“Lalu, kamu senang dia bilang begitu?” Tanya kak Nindy lagi. Dia ingin membiarkan Gracia untuk bercerita banyak terlebih dahulu.

“Ya…” Gracia memainkan tangannya. Ragu-ragu mau bilang apa.

“Tapi, kayaknya aku cuma dijadikan pelarian deh. Jadi aku biasa aja,” lanjut gadis itu kemudian.

“Kamu masih suka ya, sama Michael?” Pertanyaan ini mendapat respon dengan nada yang cukup ngegas. “Ya nggak lah kak, ngapain.”

“Hemm, okay,” Kak Nindy tersenyum kecil.

Mereka pun tiba di gubuk yang menghadap ke pantai. Setelah duduk di lantai kayu tanpa beralaskan apapun, mereka mengeluarkan Alkitab dan buku PA (pendalaman Alkitab) mereka. “Wah indah ya, pemandangannya,” seru kak Nindy sembari menatap garis pantai yang ada di hadapan mereka.

“Kak aku mau tanya deh. Nggak papa kan?” Luke menatap Kak Nindy.

“Oke, kita sharing dulu sebelum masuk ke bahan PA. Mau tanya apa dek?”

“Kak Nindy pernah bilang, kalau kita boleh pacaran waktu kita sudah siap. Nah itu biasanya umur berapa sudah siapnya?” Tanya laki-laki berusia 13 tahun itu. Ya, tiga remaja ini baru berusia 13 tahun. Namun, nampaknya mereka sudah penuh dengan gejolak cinta remaja.

“Sebenernya nggak ada umur yang pasti, kapan kita bisa dikatakan siap pacaran. Karena siap itu bukan bicara soal umur, tapi kedewasaan seseorang. Nah, mereka yang sudah berumur 20 tahun tapi masih egois dan nggak tahu tujuan hidupnya, kayaknya juga belum siap buat pacaran.” Jelas Kak Nindy.

“Berarti, nanti kalau SMA aku sudah dewasa dan tahu tujuan hidup, aku boleh pacaran?” Sahut Gracia.

“Ngebet amat lu.” Celetuk Bisma sambil melirik pada Gracia, gadis itu memukul pelan paha Bisma dengan buku di tangannya.

“Ya, kalau kalian sudah merasa siap dan sudah mendoakan dengan sungguh-sungguh, silahkan pacaran. Tapi ingat ya, pacaran itu bukan untuk anak-anak, karena ada banyak hal yang akan kalian usahakan dan berikan. Seperti emosi, perhatian, saling melayani, saling mengenal lebih dalam. Nah, kalau kalian nggak siap, terus putus, itu bisa bikin kalian kalang kabut. Bahkan ada yang berpikiran ingin mengakhiri hidup karena putus cinta. Makanya, kakak bilang: kenallah Tuhan dan dirimu sendiri dengan baik, sebelum mau memulai relasi dengan lawan jenis.”

“Kalau kakak, kenapa belum pacaran? Kakak kan sudah dewasa, sudah tahu tujuan hidupnya, kayaknya kakak juga sudah siap. Nunggu apa coba?” Gracia menatap kakak rohaninya itu yang sudah setahun ini menemani mereka dalam kelompok kecil.

“Iya, kakak sudah 27 tahun kan,” Tambah Luke.

Kak Nindy tersenyum mendengar pertanyaan itu sambil menatap mereka satu per-satu, “Kalau kita merasa siap, bukan berarti Tuhan juga menilai demikian. Karena rencana kita bukan rencana Allah.” Lalu pandangannya beralih pada laut di hadapannya, bau air laut dibawa oleh angin memecah keheningan di antara mereka.

“Kalau kita hidup dengan sebuah tujuan, kakak yakin pacaran dan pernikahan seharusnya juga punya tujuan. Bukan hanya karena cinta, ya meskipun itu juga penting. Tapi menurut kakak, ada yang jauh lebih penting dari itu.” Kak Nindy berhenti lagi menunggu reaksi dari ketiga adiknya.

“Apa?” Tanya Gracia.

“Pernikahan itu alat yang dipakai Tuhan untuk membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Pernikahan itu juga untuk menggenapi rencana Tuhan bagi dunia ini. Apa coba, rencana Tuhan bagi dunia ini?” Kak Nindy menyipitkan matanya sambil melayangkan telunjuknya kepada wajah para remaja itu.

“Nggak tau kak,” rengek Gracia.

“Kak Nindy sudah pernah bilang lho padahal.” Wanita itu meraih Alkitabnya, “Coba baca Wahyu 7:9…” Mereka pun memulai diskusi tentang salah satu bagian perikop tersebut, bahkan juga membuka beberapa bagian kitab lain.

Ada yang berbicara tentang rasa suka terhadap lawan jenis atau tentang cinta yang tumbuh entah sejak kapan, tetapi juga ada yang masih tetap berbicara tentang penantiannya. Bukankah kita semua adalah kekasih-kekasih Allah yang telah ditebus dan dimerdekakan-Nya?

Kiranya mata kita senantiasa tertuju kepada Kristus. Hingga suatu saat kau temukan orang lain yang juga berlari ke arah yang sama, beririsan dengan hidupmu. Jika penantian akan pasangan hidup seakan selamanya, sesungguhnya Kekasih Jiwa kita tetap sama. Penantian kita tidak akan sia-sia.

Dan jika dirimu adalah jiwa yang terluka karena cinta yang sebelumnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk datang ke pelukan Bapa. Dia peduli dan akan membalut setiap luka.

Baca Juga:

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Siapa pendeta yang akan berkhotbah sering jadi motivasiku untuk ikut ibadah. Kalau pendeta X yang khotbahnya menurutku tidak bagus, aku pun malas ke gereja. Tapi, ini pemikiran yang salah, dan aku bersyukur Roh Kudus menolongku.

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

3 Hal yang Hilang Jika Kita Menikah dengan Pasangan Tidak Seiman

Oleh Antonius Martono

Semua manusia mencari kenyamanan. Ketika manusia telah menemukannya maka sangat sulit bagi mereka untuk meninggalkannya dan pergi menghadapi risiko-risiko baru. Begitu juga halnya dengan memilih pasangan hidup. Terkadang kita sudah memiliki firasat dan keyakinan untuk segera mengakhiri sebuah relasi tapi, kita tidak memiliki keberanian untuk melepaskannya. Rasanya terlalu berat. Terlalu sayang merelakan segala hal yang telah diinvestasikan dalam relasi tersebut. Lebih menyedihkannya lagi kita harus menghadapi rimba kesedihan dan kebingungan pencarian setelahnya.

Memang melepaskan seseorang yang telah membuat kita nyaman selama ini tidak pernah menjadi hal yang mudah, sekalipun kita tahu bahwa hubungan tersebut jelas tidak akan berfungsi dengan baik dalam jangka waktu panjang, seperti pacaran beda keyakinan.

Namun, meninggalkan kenyamanan sesaat demi menaaati firman Tuhan adalah hal yang layak untuk diperjuangkan. Firman Tuhan pada 2 Korintus 5:14a mengatakan bahwa: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” Tidaklah berlebihan jika kita menerapkan ayat ini dalam mencari pasangan hidup kita kelak. Sebab jika kita menikahi pasangan yang berbeda keyakinan, maka kita akan kehilangan beberapa kenikmatan di bawah ini yang telah Tuhan sediakan di dalam sebuah pernikahan Kristen.

1. Kehilangan nikmatnya hidup sesuai rancangan Tuhan

Bayangkan jika ada sebuah kuasa yang mewajibkan semua manusia berjalan menggunakan tangan ganti dari kaki. Meskipun bisa tapi, dalam jangka waktu panjang tangan manusia akan mengalami keram. Sebab tangan manusia bukan dirancang untuk berjalan. Begitupun dengan pernikahan. Pernikahan Kristen bukan sekedar kontrak sosial bukan juga sekedar berpadunya cinta ekslusif antara seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka memutuskan untuk menikmati cinta tersebut dalam sebuah komitmen pernikahan. Pernikahan Kristen dirancang Tuhan lebih dari itu, yaitu untuk mencerminkan relasi Kristus dengan gereja-Nya. Jadi pernikahan Kristen bukan sekedar bicara tentang ‘aku cinta kamu, aku sefrekuensi, dan nyambung dengan kamu maka dari itu mari kita habiskan waktu bersama.’ Melainkan pernikahan Kristen seharusnya mencerminkan bagaimana Kristus berkorban, melindungi, memaafkan, dan memimpin gereja yang Ia kasihi. Cerminan kasih Kristus inilah yang dapat terhilang saat menikah dengan mereka yang berbeda keyakinan.

2. Kehilangan nikmatnya persahabatan kudus dalam perjalan mengikut Kristus

Pernikahan Kristen dirancang untuk saling menajamkan pribadi satu dengan yang lainnya. Dalam pernikahan Kristen setiap pasangan perlu saling merawat kehidupan batin pasanganya. Mereka harus saling memperhatikan apakah ada hal-hal yang menghalangi setiap pasangan untuk semakin serupa dengan Yesus Kristus, yang adalah tujuan manusia diciptakan. Menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan tidak dapat memenuhi tujuan ini. Sebab salah satu pasangan tidak mengenal pribadi Yesus Kristus. Mereka akan kesulitan mengerti perjalanan rohani dan pergumulan batin seorang percaya seperti: dibenci karena menjadi seorang pengikut Kristus, menghayati Tuhan beserta kita, dan menikmati relasi intim dengan Tuhan. Semua ini adalah pengalaman unik yang hanya dapat dirasakan oleh orang percaya. Mereka yang tidak percaya tidak akan mengalaminya sebab mereka berjalan di dalam perjalanan rohani yang berbeda dengan tujuan akhir yang berbeda juga. Akan sangat sulit untuk saling menopang dan mendukung pasangan yang sedang berjalan dalam perjalanan dan tujuan yang saling terasing.

3. Kehilangan nikmatnya menjadi rekan sekerja Allah

Manusia adalah wakil Tuhan untuk memerintah di bumi. Tuhan menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah pernikahan dengan maksud untuk memenuhi amanat tersebut. Lewat keluargalah nilai-nilai kerajaan Allah mulai ditegakkan. Oleh sebab, itu setiap pasangan harus telah menikmati dan mengerti nilai-nilai kerajaan Allah. Agama yang dipeluk seseorang akan menentukan nilai-nilai hidup mereka dan ini akan mempengaruhi cara mereka mengambil keputusan. Bagaimana mereka menghabiskan uang, mengatur rumah tangga, menghabiskan waktu, membesarkan anak, dan masih banyak hal lain yang akan dipengaruhi oleh keyakinan agama seseorang. Perbedaan dalam isu-isu kecil seperti ini dapat memimpin kepada pertengkaran dan perceraian. Bukannya membangun kerajaan Allah justru malah membangun sebuah ring pertandingan.

Gelora asmara memang kuat, tapi bukan berarti tidak bisa dikuasai. Jika sudah terlanjur berpacaran dengan yang berbeda keyakinan maka lebih baik relasi tersebut dibatasi. Menarik diri dari mengekspresikan kasih romantis dan segera mengakhirinya. Sehingga cerita tidak berlanjut dan mengikat terlalu kuat. Sebab, semakin banyak cerita akan semakin pilu menghapusnya, semakin enggan menggantinya dengan cerita yang baru.

Namun, ada satu cerita kasih yang dimulai jauh sebelum kita dilahirkan, bahkan jauh sebelum dunia ini dijadikan. Cerita yang menghangatkan hati setiap orang yang menerimanya. Cinta itu berasal dari Yesus Kristus. Lewat hidup-Nya sengatan kasih itu selalu dirasakan mereka yang mau rendah hati menerima-Nya. Sedangkan di atas kayu salib Dia membuktikan cinta-Nya pada dunia. Kasih-Nya begitu meluap dan Dia mau agar kita menikmati limpahan kasih-Nya, termasuk kasih-Nya yang telah disediakan-Nya dalam sebuah pernikahan Kristen.

Baca Juga:

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Cerita cinta yang romantis, inilah yang sering kita dambakan dalam relasi antara sesama manusia, walaupun tak jarang dambaan ini berakhir pada kekecewaan. Namun, aku ingin mengajakmu untuk melihat kisah cinta yang lain.

5 Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat

Berpacaran bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan melelahkan—bagaimana kamu yakin bahwa orang yang berpacaran denganmu adalah orang yang tepat menjadi pasangan hidupmu?

Memilih pasangan hidup adalah pilihan yang sulit dan membutuhkan komitmen untuk sama-sama bertumbuh dan mengenal. Teruntuk para wanita, inilah lima hal sederhana yang bisa kamu cermati dalam diri pasanganmu untuk menguji, apakah si dia memang yang tepat untukmu. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Hal-hal apa lagikah yang menurutmu bisa menunjukkan seseorang tepat menjadi pendamping hidupmu?

Artspace ini diadaptasi dari artikel Tracy Phua berjudul “Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat”.

5 Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat

“Kamu yakin ia adalah calon istri yang tepat?”⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Pertanyaan itu mungkin sering dilontarkan ketika kita berbicara tentang pasangan hidup. Jawabannya? Tak semua orang dengan mantap menjawab yakin, atau bahkan malah bergeming sembari menggelengkan kepala. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Memilih pasangan hidup adalah pilihan yang sulit dan membutuhkan komitmen untuk sama-sama bertumbuh dan mengenal. Teruntuk para pria, inilah lima hal sederhana yang bisa kamu cermati dalam diri pasanganmu untuk menguji, apakah si dia memang yang tepat untukmu. ⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Hal-hal apa lagikah yang menurutmu bisa menunjukkan seseorang tepat menjadi pendamping hidupmu?

Artspace ini diadaptasi dari artikel Alex Tee berjudul “Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat”.

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Kisah Cinta Eli

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Lapangan El-Marga di kota Damaskus, Siria, begitu ramai dipadati penduduk kota. Langit masih gelap, matahari belum bersinar.

Masih dini hari di kota yang dulu bernama Damsyik itu. Ratusan polisi dan pengawal militer berjaga-jaga di balik pagar berduri.

Di mana-mana terdapat tentara berjaga-jaga. Di atas atap-atap rumah, di pintu masuk hotel, bahkan di selokan bawah tanah. Para prajurit khusus dan penembak jitu terbaik negeri itu berjaga-jaga dengan kesiapan tempur gerak cepat.

Satu hari sebelumnya radio Damaskus mengumumkan hukuman mati bagi seorang penjahat negara.

Seluruh negeri bersorak-sorai, mungkin karena merasa sudah diperdaya dan dipermalukan oleh seorang yang sebentar lagi akan menemui ajalnya di tiang gantungan, di lapangan yang terkenal dengan sebutan lapangan para martir -El Marga-.

Pria itu bernama Eli Cohen.

Ia sudah mempermalukan presiden, jenderal-jenderal, dan para petinggi negara itu dengan kecerdikan yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Ia salah seorang mata-mata terbaik yang pernah lahir di muka bumi.

Kini, pria yang menjadi perhatian internasional karena kehebatannya di bidang intelijen itu menghadapi tiang gantungan.

Hidupnya tinggal beberapa langkah kaki lagi. Sang algojo menawarkan tutup kepala kepadanya, dengan gelengan kepala ia menolak.

Para wartawan mendengarnya berdoa dalam bahasa Ibrani. Doanya yang terakhir pada Tuhannya, Allah Israel yang ia banggakan, Tuhan yang disembah leluhurnya: Abraham, Ishak, dan Yakub.

Pintu lantai terbuka, Eli Cohen tewas.

Hari itu pukul 03.35 pagi. Seluruh dunia melihatnya. Rakyat negara Israel berkabung. Istri Eli Cohen menonton kematian tragis suami yang dicintainya melalui televisi. Wanita ini terpukul berat, dan mendapatkan perawatan khusus karenanya.

Semua usaha diplomatik dan lobi-lobi internasional yang dilakukan negeri Zion sebelumnya untuk membebaskan intelijen terbaiknya itu tak berhasil.

Sang agen terbaik Israel itu meregang nyawa lebih cepat dari yang mereka kira.

Empat tahun sebelumnya Eli ditugaskan pada misi paling berbahaya. Menyelinap masuk ke jantung informasi rahasia pemerintah dan departemen pertahanan Siria.

Berperan sebagai pengusaha sukses Siria, ia telah berhasil menguasai seluruh rahasia negara itu lebih dari yang presiden negara itu kuasai.

Ia bahkan akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Sang Presiden karena kecerdasan dan karismanya. Misinya berhasil.

Eli memang seorang brilian.

Direkrut dan dilatih dengan baik oleh dinas intelijen Israel, Mossad, pada tahun 1957, untuk sebuah misi yang tak bisa dilakukan oleh agen rahasia biasa. Misi ini memang untuk Eli Cohen.

Dan ia berhasil.

Sungguh menarik jika melihat kehidupan Eli. Sebagai agen intelijen ia memang hebat, tetapi ternyata ia juga seorang pria yang romantis.

Dididik ketat dengan aturan Taurat oleh keluarga Cohen, ia punya satu sisi karakter yang sangat baik.

Ia seorang pria yang setia pada istri dan keluarganya.

Pada awal-awal masa dinasnya di Mossad, Eli bertemu dengan wanita cantik bernama Nadia yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit Hadassah, Tel Aviv.

Eli jatuh cinta padanya. Ia ingin bertemu lagi dengan si perawat cantik itu. Sebagai patriot Israel, Eli dengan wibawa khasnya tak menunda untuk menyatakan isi hatinya pada Nadia, gadis yang menaklukkan hatinya sejak pandangan pertama itu.

Gayung bersambut. Tak sampai seminggu kemudian, di pantai Herzliya, dua sejoli yang dimabuk kasmaran ini memutuskan untuk menikah.

Dari awal Eli sudah mengetahui bahwa wanita ini akan menjadi pendamping hidupnya.

Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dan berani mengambil keputusan untuk menikahi Nadia, gadis yang baru dikenalnya selama tujuh hari.

Pilihannya tak salah.

Dua sejoli ini menikah. Sebagai ekspresi komitmen dalam romantika cinta, mereka berjanji hidup saling setia sampai maut memisahkan.

Mereka memang saling jatuh cinta sejak awal pertemuan mereka di Tel Aviv, di sebuah restoran khusus tentara Israel yang tangguh itu.

Mereka membangun rumah tangga baru dan menikmati hidup yang tenang. Meskipun Eli sering mendapat tugas-tugas penting yang membuatnya harus meninggalkan istrinya dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi pria Yahudi kelahiran Mesir ini sungguh mencintai istrinya, Nadia.

Kecintaannya pada Nadia dibuktikan dengan kesetiaanya yang tinggi pada wanita yang dinikahinya pada tahun 1959 itu.

Laporan intelijen mencatat bahwa, ketika sering kali Eli diharuskan berada dalam posisi “menemani” para jenderal dan pejabat tinggi negara Siria yang melakukan pesta pora dan perselingkuhan dengan wanita-wanita simpanan mereka, agen Mossad ini memilih untuk tidak menyentuh satupun dari para wanita cantik nan seksi yang menggoda itu.

Di hatinya hanya ada satu wanita, Nadia, yang sangat dicintainya.

Sejak 1960 operasi rahasia Eli di Siria mulai dijalankan. Perintah ini resmi dan langsung mendapat perhatian dari Isser Harel, sang direktur Mossad yang legendaris itu.

Dalam operasi rahasinya ini, begitu banyak rahasia pertahanan negara Siria yang telah ia bocorkan ke Markas Besar Mossad di Israel -kelak informasi ini yang membuat Israel menang telak atas Siria pada Perang Enam Hari pada tahun 1967-. Eli sangat profesional.

Ia adalah seorang mata-mata yang sukses. Sampai suatu hari sebuah tim elit kontra-intelijen Uni Soviet yang disewa pemerintah Siria berhasil membongkar operasinya.

Kini, Eli Cohen, agen rahasia yang menguasai bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Spanyol ini harus rela mengakhiri hidupnya di tengah lapangan kota Damaskus, di tangan musuh negara yang dibelanya, Israel.

Sebelum ia menemui ajalnya di tiang gantungan, di seberang lapangan El Marga, di sebuah pos polisi yang remang-remang ia diantar masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya terdapat meja kayu kosong.

Dengan pengamanan yang super ketat, dan didampingi seorang Rabbi Yahudi, ia diperbolehkan menulis sepucuk surat perpisahan kepada istrinya, Nadia.

*Kepada Nadia, istriku, dan keluargaku yang tercinta. Aku minta agar kalian tetap bersatu. Aku mohon kepadamu Nadia untuk memaafkanku. Aku minta supaya kamu menjaga dirimu sendiri dan anak-anak kita, serta berusaha supaya anak-anak dididik dengan baik. Perhatikanlah dirimu sendiri dan usahakanlah agar anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apapun. Peliharalah hubungan baik dengan keluargaku. Aku mau supaya kamu menikah lagi agar anak-anak kita tak bertumbuh tanpa seorang ayah, aku berikan kamu kebebasan penuh untuk berbuat demikian. Aku mohon supaya kamu jangan membuang-buang waktu dengan menangisi aku. Selalu berpikir ke depan! Kukirimkan ciumku yang terakhir kepadamu, Sophie, Iris, Saul, serta anggota-anggota keluarga yang lainnya. Untuk kalian semua, keberikan ciumku yang terakhir dan shalom.*

*Eli Cohen, 18 Mei 1965*

Sementara di luar orang-orang Siria sudah menanti kematian agen terbaik Israel ini, Rabi Andabo mengucapkan doa Shema Israel untuk Eli, *”Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu…,”* suara Rabi itu terhenti dan lama-lama menghilang, orang-orang Siria itu dengan tidak sabar mendorong Eli keluar.

Ia berjalan ke tiang gantungan.

Tak ada ketakutan di matanya.

Ia tau akan segera bertemu Elohim Adonai, Tuhan yang menjadikan leluhurnya sebagai bangsa pilihan.

Menit-menit terakhir terasa begitu cepat.

Pintu Firdaus seakan terbuka di atas lapangan yang sering digunakan sebagai tempat eksekusi itu, dan babak akhir hidup sang intelijen jenius ini ada di situ.

Tak lama kemudian dunia melihatnya mati di tiang gantungan, bersama rasa cintanya pada negaranya Israel, bersama kesetiaanya pada Nadia dan keluarganya.

Tragis? Mungkin saja.

Eli memang mati karena risiko tugas. Tapi yang juga menjadi perhatian kita adalah bahwa ia adalah seorang yang mencintai istrinya dengan kesetiaanya yang tinggi.

Ia mencintai istrinya sama seperti ia mencintai Israel, tanah yang dijanjikan Tuhan bagi leluhurnya. Eli menunjukkan kasih setia pada pasangannya sampai akhir hayatnya.

Memang sejak zaman dahulu, hingga zaman Eli Cohen, hingga zaman kita saat ini, dan bahkan hingga sampai zaman anak cucu kita, kesetiaan selalu melekat pada ungkapan cinta.

Karena cinta sejati adalah kesetiaan, hingga maut memisahkan.

Sebagai agen intelijen, Eli bertekad membela negaranya dari ancaman yang datang dari dalam dan luar negeri.

Sebagai seorang suami, ia mempertahankan cintanya pada sang istri yang telah memberinya 3 orang anak itu.

Nadia menerima surat terakhir suaminya itu, dan melakukan semua permintaan terakhir suaminya, kecuali menikah lagi.

Eli mencintai negaranya, dan ia rela mati demi tugas. Eli mencintai istrinya, dan ia menjaga kesetiaanya sampai tali gantungan memutus nafasnya di lapangan El Marga, di kota Damaskus yang berdebu.

Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah mendapatkannya?” (Amsal 20:6)

Baca Juga:

3 Tips untuk Tetap Menyembah Tuhan di Masa Sulit

Memuji dan menyembah Tuhan terasa mudah ketika segalanya baik-baik saja. Namun, ketika kesulitan melanda, kita merasa Tuhan seolah jauh, atau sepertinya Dia tidak peduli. Sulit pula bagi kita untuk mengasihi, menghormati, dan mengakui Tuhan atas pribadi-Nya, apa yang Dia telah lakukan, dan yang sanggup Dia lakukan.

Pengakuan Terjujur dalam Hidupku

Oleh Lestari*, Jakarta

Pernahkah kalian merasakan terpesona untuk kesekian kalinya pada seseorang atau sesuatu, seakan rasa kekaguman itu baru kalian alami pertama kali? Aku pernah. Aku masih ingat saat aku memutuskan untuk meninggalkan dosa lamaku dan memulai hidup baru. Jiwa melayani yang begitu berapi-api, rasa haus yang begitu mendalam untuk mengikuti setiap pembinaan. Ah, seperti baru kemarin aku mengalami itu. Kerap kali aku diingatkan oleh banyak pembicara dalam pembinaan, hati-hati terhadap semangat yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan akan meredup, serupa buih soda saat pertama kali dibuka.

Empat tahun menjadi alumni, aku mulai mengalami masa–masa di mana aku tidak bisa lagi menikmati indahnya persekutuan karena jam kerja di kantor yang membuatku sering lembur. Perlahan, kurasakan aku semakin menuju lembah yang kelam. Sampai di tahun 2019, aku kembali terjatuh dalam dosa lama. Saat itu, aku tahu bahwa itu dosa dan bukan tidak mungkin aku akan kembali diperbudak olehnya. Namun pikiranku buntu dan seakan seperti tahu bahwa pornografi adalah jalan keluarnya. Awal mula hanya sebagai penonton. Hingga aku tiba di satu masa, di mana aku sendiri melakukannya. Pemikiran akan bebasnya hubungan berpacaran saat ini ditambah kurangnya menikmati Firman Tuhan membuat aku melakukannya. Aku melakukan itu bahkan bukan dengan pacarku, melainkan dengan seorang pria yang baru aku kenal dari situs pencarian jodoh. Mungkin juga dipicu oleh rasa frustasi yang begitu menghantuiku mengenai pasangan hidup. Meski aku sudah tidak lagi berhubungan dengan pria itu, tapi aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk menikmati video pornografi. Rasa kecewa ini yang justru membuatku semakin membenamkan diri dalam jerat pornografi. Kukira aku sudah berhasil membunuh Iblis di dalam diriku. Ternyata, aku tidak bisa menenggelamkan Iblis dalam diriku, ia tahu caranya berenang.

Aku sadar telah terlampau jauh tersesat, terlalu jauh untuk kembali, dan kecewa pada diri sendiri. Terlebih aku malu pada Tuhan yang kepada-Nya aku berutang hidup. Bisa dikatakan saat itu aku bagaikan mayat hidup berjalan. Aku tetap pergi ke gereja setiap minggunya, pelayanan di gereja saat ada tugas, namun dalam hatiku begitu kering dan gelap. Pelan tapi pasti, aku berjalan menuju ke lembah kelam. Awal Mei, aku mengikuti retret dari gereja. Malam hari, ada acara renungan yang dibawakan oleh kakak gerejaku. Semua peserta berikut panitia masuk ke dalam aula yang lampunya dimatikan dan hanya diterangi cahaya dari lilin yang disebar di penjuru ruangan. Kami melakukan Jalan Salib dengan menyaksikan kembali penggalan cerita dari film Passion of The Christ sambil diiringi lagu yang dinyanyikan di tiap pemberhentian. Tuhan punya cara sendiri untuk menyadarkan kita. Di salah satu pemberhentian sebelum Yesus disalibkan, penyanyi menyanyikan lagu “He” yang liriknya seperti ini:

He can turn the tide and calm the angry sea
He alone decides who writes a symphony
He lights every star that makes our darkness bright
He keeps watch all through each long and lonely night
He still finds the time to hear a child’s first prayer, saint or sinner call, you’ll always find Him there
Though it makes Him sad to see the way we live, He’ll always say “I forgive!”

Bagian akhir lagu itu begitu meremukkanku. Tuhan tahu ketika aku melihat video porno, bahkan Ia juga tahu ketika aku melakukan dosa saat tidur dengan seorang pria dan apa yang aku lakukan itu membuat hancur hati-Nya. Aku turut menyalibkan Yesus karena dosa–dosaku. Malam itu, di bawah salib Yesus, aku mengaku akan semua dosa–dosa dan kelemahanku kemudian menyerahkan diriku kepada-Nya dan memperbaharui komitmenku. Malam itu, aku terpesona oleh cinta dan kasih-Nya untuk kesekian kalinya. Kini aku sudah mulai menikmati kembali relasi dengan Tuhan dan Firman-Nya. Di waktu senggang aku mengusahakan agar pikiranku tidak kosong dan tidak mulai mengakses situs porno dengan membaca buku, menulis atau melakukan kegiatan rumah tangga lainnya.

Sahabat, selama kita hidup kita akan terus bergumul akan dosa–dosa kita. Penebusan hanya sekali yaitu ketika Kristus mati, namun pengudusan terjadi berulang kali selama kita hidup. Tangan Yesus akan terus terbuka menanti kita hingga saatnya kita dipanggil nanti. Adalah sebuah pilihan, apakah kita mau berbalik kepada Kristus atau terus terjebak dalam dosa kita. Apakah kita akan membiarkan Kristus terus berdiri diluar pintu hati kita, atau kita mau membiarkan Dia masuk dan tinggal. Apapun pergumulan dosamu saat ini, jangan ragu untuk segera datang pada Yesus dan minta pengampunan dari-Nya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yohanes 3:16).

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Just Be Yourself! Apakah Harus Selalu Begitu?

“Just be yourself”, hidup kita terlalu berharga untuk menghiraukan komentar orang lain. “Nobody perfect”, jadi anggap saja itu bagian dari kelemahanmu. Apakah harus selalu begitu?