Posts

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Oleh Paramytha Magdalena

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar Samaria?

Dari sebuah literatur yang kubaca, Samaria merupakan kata yang mengacu kepada tempat di wilayah pegunungan antara Galilea di utara dan Yudea di selatan. Orang-orang yang tinggal di sana disebut juga sebagai orang ‘Samaria’. Pada masa-masa pelayanan Yesus di bumi, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.

Kalau kita menelisik lebih lagi, Alkitab mencatat dengan jelas bagaimana relasi antara orang Samaria dan Yahudi dalam kehidupan sehari-hari. Yohanes 4:9 menuliskan demikian: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)”. Orang-orang Yahudi menganggap orang Samaria itu kafir atau ras tidak murni karena mereka melakukan perkawinan campur dengan bangsa lain.

Kisah orang Yahudi dan Samaria yang tercatat di Alkitab memunculkan paradoks, terlebih jika kita menyimak detail kisah pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Perempuan itu mengambil air sekitar tengah hari, mungkin maksudnya agar dia tidak berjumpa dengan banyak orang. Namun, dia malah berjumpa dengan Yesus, seorang Yahudi yang notabene bermusuhan dengan orang Samaria.

Respons Yesus kepada perempuan itu luar biasa. Alih-alih menjauhinya, Yesus malah meminta minum darinya. Di sinilah Yesus menunjukkan cinta dan kasih Tuhan yang manis itu.

Ada 4 hal istimewa yang kudapatkan dari pertemuan Perempuan Samaria dan Yesus.

1. Apa pun latar belakang kita, kita dicintai dan diterima oleh Yesus

Perempuan Samaria ini memiliki latar belakang dan perilaku yang bisa dikatakan buruk karena sering berganti pasangan. Bahkan pasangan yang saat itu bersama dengannya bukanlah suaminya (ayat 18). Jadi, bukanlah hal yang mengejutkan lagi jika sikap orang sekitarnya akan menjauhi atau bahkan memandang rendah. Akan tetapi, Yesus mau menemui secara pribadi dan menghampiri perempuan tersebut.

Betapa seringnya aku berpikir bahwa aku harus melakukan semua hal dengan baik dulu agar bisa merasa layak dikasihi dan diterima oleh-Nya. Yesus menerima kita bukan berdasarkan apa yang kita perbuat, tetapi karena kasih-Nya sajalah (Roma 5:10).

Perempuan Samaria ini tidak melakukan apa-apa untuk membuat Yesus tertarik menemuinya. Cinta dan penerimaan-Nya tidak berdasar pada moral, status sosial, latar belakang, pengalaman, maupun kegagalan seseorang. Kasih-Nya adalah sebuah pemberian dan anugerah. Jadi, setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menikmatinya.

Apakah kita mau menerima cinta-Nya dan memberikan cinta kita pada-Nya?

2. Kita dicari, ditemukan, dan diselamatkan oleh Yesus

Perempuan Samaria menimba air di sumur saat siang hari. Ini bukanlah kebiasaan yang lazim. Ia menyadari keadaannya dan berusaha menghindari orang-orang dengan datang ke sumur ketika sedang sepi dari perempuan-perempuan lain. Namun, Yesus sengaja bertemu dengannya dan menawarkan air kehidupan yaitu keselamatan.

Ini mengingatkanku akan seberapa seringnya aku bersembunyi, menghindari, dan lari dari berbagai macam situasi, orang-orang, bahkan dari Tuhan karena besarnya perasaan malu dan ketidaklayakanku. Akan tetapi berita baiknya adalah Dia rela datang untuk menyelamatkan kita yang terhilang agar bisa diselamatkan (Yohanes 1:29). Tidak ada perlindungan teraman selain di dalam-Nya dan tidak ada tempat yang teramat sulit untuk Dia bisa menemukan kita. Asalkan kita mau diselamatkan oleh-Nya.

3. Tuhan rindu berelasi dengan kita

Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, ada percakapan antara mereka berdua. Bagian ini menarik buatku karena dari sini aku melihat bahwa Yesus tidak sekadar datang ke dunia untuk menebus dosa, tetapi juga berelasi dengan manusia. Lewat percakapan sederhana itu, Dia mendengar apa yang jadi kerisauan umat-Nya.

Apakah tentang kejatuhan, kegagalan, ketakutan, atau yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mau bercakap-cakap denganNya? Dia siap mendengar dan menyegarkan kita dengan kebenaran-Nya.

4. Kita dapat mengakui dengan jujur isi hati kita

Dalam percakapan-Nya, Yesus menyuruh perempuan Samaria untuk memanggil suaminya, tetapi sang perempuan menjawab, “Aku tidak mempunyai suami” (ayat 17). Yesus lanjut merespons, “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar” (ayat 18).

Coba kita perhatikan lagi ucapan Yesus. Kendati Yesus tahu bahwa perempuan Samaria itu bergonta-ganti pasangan, tetapi tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut-Nya. Maksud Yesus di sini bukanlah dia membenarkan dosa yang diperbuat oleh sang perempuan, tetapi Dia hendak menunjukkan keselamatan yang sejati (ayat 21-24).

Sebelum sang perempuan mengakui identitasnya, Yesus telah tahu lebih dulu, tetapi Dia ingin kita mengakui dengan jujur dan rendah hati apa yang telah kita lakukan. Ini bukanlah demi kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan kita. Karena saat kita mengakui dengan jujur dan rendah hati kepada-Nya atas segala yang kita perbuat, dan kita menyadari kesalahan serta berbalik kepada-Nya, maka akan tersedia pemulihan dan pengampunan-Nya bagi kita.

Apakah kita mau mengakui bahwa kita telah berdosa dan membutuhkan anugerah kasih pengampunan-Nya setiap waktu?

Baca Juga:

4 Pertanyaan Penting Sebelum Memulai Hubungan yang Serius

Pernikahan adalah sesuatu yang aku inginkan sedari kecil, semenjak aku melihat dan mempelajari dari kedua orang tuaku tentang apa rasanya berada dalam pernikahan. Tapi sebelum memulai relasi yang mengarah ke sana, kuajukan dulu 4 pertanyaan ini pada diriku.

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Oleh Paramytha Magdalena

Aku lahir dan tumbuh di keluarga Kristen yang cukup taat. Sejak kecil hingga kuliah, hidupku tidak jauh dari dunia pelayanan. Kisah-kisah tentang begitu besarnya cinta kasih Tuhan bagi manusia sudah sering kudengar. Namun, menerima dan mengalami sendiri kasih itu, rupanya adalah hal lain.

Perasaan jauh dari kasih Tuhan itu muncul ketika aku merasa ada yang aneh dengan diriku sendiri. Aku kesulitan mengampuni diriku sendiri atas kegagalanku di masa lalu, dan… yang lebih sulit lagi ialah aku merasa kebas dengan perhatian yang diberikan oleh orang lain. Ketika seseorang berbuat baik kepadaku, aku akan merasa diperhatikan dan dicintai. Namun, perasaan itu hanya muncul di awal. Setelahnya, aku merasa biasa saja, atau parahnya aku merasa tidak lagi dikasihi oleh siapa pun. Pemikiran berlebihan ini menuntutku untuk selalu menerima perhatian, padahal dalam realita kehidupan, untuk segala sesuatu ada waktunya. Berangkat dari titik inilah aku pun menjadi sulit merasa dicintai Tuhan.

Kucoba mencari solusi dengan membaca Alkitab, saat teduh, mendengar khotbah, mencari artikel-artikel rohani, dan juga berdoa. Tapi, upaya itu tidak memberiku jawaban yang memuaskan.

Hingga suatu ketika, pada sebuah khotbah yang kudengar, sang pengkhotbah membahas ayat dari Mazmur 127:1 yang berkata, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.”

Sepenggal ayat ini menohokku. Mazmur 127 diyakini sebagai mazmur yang mengangkat tema seputar campur tangan Tuhan dalam pembangunan rumah, kota, dan keluarga. Kata ‘rumah’ dalam konteks Perjanjian Lama bisa mengacu kepada bangunan, keluarga, atau rumah tangga di dalamnya. Bangsa-bangsa pada masa itu membangun kota mereka dengan benteng dan pengawal kokoh di sekelilingnya. Tujuannya, agar kota itu dapat makmur sekaligus aman dari serangan musuh.

Aku merenung, menerawang relung-relung hatiku, dan kudapati bahwa selama ini aku memang punya maksud yang baik bagi diriku sendiri. Bertolak dari kegagalan di masa lalu, juga mungkin penolakan yang pernah ada, aku membangun tembok-tembok di sekelilingku. Tapi, tembok itu bukan tembok yang memberikan rasa aman dan tenteram. Tembok itu malah menelanku perlahan-lahan, membuatku kelam dan jauh dari sinar kasih Tuhan yang mewujud melalui banyak hal, salah satunya adalah cinta kasih dari sesama manusia. Saat aku mengalami hal buruk, aku segera membatasi relasi dan membangun jarak dengan orang-orang yang telah menyakitiku. Kutarik diriku masuk dan berlindung di dalam tembok.

Sekilas aku merasa aman. Aku tak akan lagi berurusan dengan sakit hati.

Namun… perasaan aman ini adalah aman yang semu, rasa aman yang justru membuatku semakin terasing dan terisolasi. Tembok inilah yang akhirnya menghalangiku untuk merasakan cinta dan hal-hal baik dari Tuhan dan juga orang-orang di sekitarku.

Tak ada cara lain yang dapat menolongku untuk keluar dari tembok kelam ini selain daripada menghancurkannya, lalu menyerahkan hidupku pada Tuhan agar Dia sajalah yang membangun ‘tembok-tembokku’.

Perlahan, berangkat dari kesadaran ini, aku belajar untuk melatih sikap rendah hati. Ketika tembok yang kubangun itu mulai runtuh, aku pun lebih sering mengalami sakit hati dan kekecewaan. Tapi, kini aku belajar untuk memandang itu semua dari perspektif Tuhan. Bahwasannya dalam relasi antar sesama manusia, kekecewaan dan sakit hati adalah bagian tak terpisahkan dari relasi antar sesama orang berdosa. Mungkin hari ini aku yang tersakiti, tapi bisa jadi pula di momen yang lain aku tanpa sengaja yang menyakiti orang lain.

Rapuhnya relasi antar sesama manusia berdosa tidak seharusnya membuatku menarik diri, tetapi seharusnya aku memandang ke atas, kepada Dia yang kasih-Nya sempurna. Tak peduli seberapa dalam kita menikam-Nya dengan pemberontakan kita, tangan kasih Tuhan Yesus tak pernah tertutup untuk menyambut kita.

Dan, oleh kasih-Nyalah kita dimampukan untuk berelasi dan meneruskan kasih itu kepada sesama kita.

Aku mengimani Mazmur di atas. Rumah yang dibangun Allah tidak akan sia-sia. Oleh karena itu, pastikanlah agar ketika kita membangun ‘tembok’ untuk melindungi diri kita, ‘tembok’ itu dibangun oleh Allah sendiri—tembok kerendahan hati, tembok pengampunan, tembok belas kasihan, dan tembok-tembok yang terdiri dari segala rupa buah roh.

Baca Juga:

Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Di hadapan seorang yang mengasuhku, semua prestasiku dianggap kurang. Masuk 10 besar, dianggap jelek kalau tidak jadi peringkat 1. Lama-lama aku jadi marah dan berupaya keras untuk mematahkan tiap ucapannya.

Ketika Ketakutanku Direngkuh-Nya

Oleh Paramytha Magdalena

Takut, cemas, dan stres sebenarnya adalah kondisi wajar yang pasti dialami setiap orang. Namun, beberapa waktu terakhir ini, ketakutan yang kualami rasanya tidak terkendali. Ketakutan itu tak cuma perasaan yang berkecamuk di hati, tetapi juga mempengaruhi apa yang kulakukan.

Kucoba merenung, mengambil waktu untuk mencari tahu dan mengingat kembali beberapa kejadian yang pernah membuatku merasa sangat takut. Kehilangan orang yang kukasihi, kehilangan dukungan dan merasa tidak diterima oleh orang-orang sekitar, tidak mendapat pekerjaan sesuai bidangku, dan ketakutanku yang terbaru adalah takut akan kematian.

Saat aku memikirkan segala ketakutan itu membuat tubuhku merespons dengan jantung yang berdegup kencang dan sering merasa lelah. Bahkan sehari-hari aku aku merasa hidup seperti orang mati, hilang arah dan penuh kebingungan. Aku berdoa tapi seperti tidak ada jawaban dan ketenangan. Aku mencari hiburan dan mengalihkan pikiran melalui sosial media, tapi sifatnya hanya sementara. Begitu juga saat aku menceritakan ini kepada pasanganku, leganya hanya sesaat. Takut dan cemas pun kembali datang.

Sampai suatu ketika, aku iseng membuka YouTube untuk mencari resep membuat roti. Namun, di beranda malah muncul khotbah dari seorang pendeta muda. Lalu aku menonton khotbah itu dan kurasa lewat inilah Tuhan mengingatkanku.

Dalam khotbahnya, sang pendeta menuturkan akan dua sumber ketakutan. Pertama, ketakutan dan kecemasan dapat terjadi karena aku merasa hidup ini adalah milikku sendiri, bukan milik Tuhan. Ketika aku merasa hidupku dan orang-orang terdekatku adalah milikku, itu membuatku berusaha keras untuk mengendalikannya, tapi yang terjadi malah semakin kacau. Semakin keras aku berusaha mengendalikan, malah semakin sering aku mengalami hal-hal yang sulit terkendali. Hasilnya: stres, dan takut yang semakin menjadi-jadi.

Sumber ketakutan yang kedua adalah karena aku ingin selalu terlihat baik di mata Tuhan dan sempurna di mata orang lain. Pemikiran ini membuatku takut bila dosa dan kelemahanku mengurangi penerimaan Tuhan atasku, juga orang-orang di sekitarku. Mengupayakan yang terbaik bagi Tuhan memang adalah suatu keharusan, tapi ketika itu kulakukan tanpa melibatkan-Nya, akhirnya aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri. Tuhan Yesus berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

Frasa terakhir dari sabda Yesus tersebut terasa menegur, mendapat ketenangan adalah hasil ketika kita memikul kuk dan belajar pada-Nya. Aku merasa sering gagal dan jatuh bangun dalam mengikut-Nya. Motivasiku untuk taat adalah agar aku terlihat baik dan terhindar dari kejadian buruk bahkan dari kematian, tapi ini bukanlah yang Tuhan mau. Tuhan ingin aku paham bahwa ketika aku mengikut dan taat pada-Nya, tujuan utamanya bukanlah agar aku terhindar dari kejadian-kejadian buruk. Dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, siapa pun bisa saja mengalami kejadian buruk, tapi yang menjadi pembeda ialah ketika kita berjalan bersama Dia, kita tidak pernah ditinggalkan (Ibrani 13:5). Tuhan pun tidak risih dan anti dengan segala kelemahan maupun jatuh bangunku. Dia adalah pribadi yang setia dan kasih. Dia menerima, membimbing dan menjadikanku layak di hadapan-Nya bukan karena apa yang aku perbuat, tetapi karena kasih karunia saja.

Segala trauma dan kejadian buruk yang pernah kulalui masih menyisakan peluang untuk ketakutan itu hadir dalam hidupku, tapi Tuhan sanggup merengkuh semua ketakutan itu dan mengubahnya menjadi proses yang membentuk keberanian dan iman percayaku pada-Nya.

Sampai sekarang aku masih berjuang dengan rasa takut dan cemas ini. Setiap rasa takut dan cemas itu datang seolah menjadi alarmku bahwa aku harus kembali meletakkan fokus kepercayaanku pada-Nya. Karena hanya dalam hadirat-Nya ada damai sejahtera yang melampaui segala akal (Filipi 4:7).

Baca Juga:

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya.

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Oleh Paramytha Magdalena

Suatu ketika aku mendengar seseorang berkata, “Aku bersyukur karena keadaanku tidak seperti si A atau si B. Aku bersyukur masih diberikan kesehatan, setidaknya nggak pernah mengalami sakit yang separah itu.”

Di media sosial pun serupa. Di postingan yang bernada penderitaan dan pilu, beberapa warganet mengetikkan, “Ya ampun, lihat postingan ini membuatku jadi lebih banyak bersyukur karena aku masih berkecukupan dan tidak kekurangan.”

Kupikir cuma orang lain saja yang bersyukur dengan cara tersebut, sampai suatu ketika aku dan suamiku sedang berkendara di atas sepeda motor. Di sudut jalan, tampak seorang ibu dan anak yang sedang berjalan kaki sambil meminta-minta di tengah cuaca yang panas. Tanpa sadar, aku berkata, “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kecukupan sampai sekarang.” Ucapan syukur sejenis ini pun rupanya terucap lagi ketika aku melihat salah satu anggota dari keluarga besarku mengalami kekacauan rumah tangga yang mengakibatkan anak mereka terlantar secara finansial. “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kerukunan.”

Setelah reflek ucapan itu keluar dari mulutku, aku terdiam sejenak. Aku merasa ada yang salah di balik ungkapan syukur itu.

Secara sekilas, mungkin perkara ucapan syukur ini bukan menjadi masalah yang berarti. Bukankah sudah sewajarnya orang bersyukur atau berterima kasih pada Tuhan? Dan bukankah pula bersyukur itu hal yang baik dan positif untuk dilakukan?

Namun, tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng. Merenungkan pertanyaan itu, aku mendapat teguran keras dari firman Tuhan. Ada banyak nats yang mengatakan tentang ucapan syukur. Salah satunya dari 1 Tesalonika 5:18 yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kita tidak diminta mengucap syukur karena suatu hal, semisal karena kita melihat orang lain lebih kurang beruntung daripada kita. Kita diminta mengucap syukur dalam segala hal. Artinya, kita mengucap syukur secara otentik, suatu ucapan syukur yang seharusnya datang dari hati atas setiap berkat, sekecil apa pun itu yang diberikan Tuhan bagi kita.

Terkadang kita tak mampu menyelami misteri kasih Ilahi. Allah, dalam hikmat dan kebijaksanaan-Nya pastilah memberikan berkat dan mengizinkan tantangan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak-Nya. Adalah hal yang ganjil apabila kita menjadikan penderitaan orang lain sebagai alasan kita bersyukur, sebab itu justru malah melahirkan kontradiksi: di satu sisi kita seolah ‘mendekat’ pada Tuhan, tapi di sisi yang lain itu menjauhkan kita dari sesama.

Kuakui bahwa motivasiku ketika mengucap syukur tidaklah tepat, dan syukur kepada Allah atas teguran yang Dia berikan bagiku. Kekurangan orang lain tidak seharusnya kita jadikan bahan perbandingan, tetapi dengan mengikuti teladan Kristus, kita bisa menyelidiki bagian apakah yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?

Kita mengucap syukur bukan karena hidup kita lebih baik daripada orang lain.

Kita mengucap syukur karena Allah itu baik. Pribadi-Nya selalu hadir dan ada bagi kita.

Kita mengucap syukur karena kita ada oleh perkenanan-Nya.

Mengucap syukur yang berpusat pada Allah, itulah yang dikehendaki-Nya.

Aku pun mulai belajar bersyukur dengan cara yang tepat, meskipun masih jatuh dan bangun.

Baca Juga:

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Komentar-komentar jahat yang dilontarkan di medsos seringkali membuat kita tergoda ingin membalas atau mengumpat. Namun, itu bukanlah cara yang paling tepat untuk menanggapinya.

Doa Minta Dikuatkan, Tapi Kok Semakin Banyak Masalah?

Oleh Paramytha Magdalena, Surabaya

Hari itu aku masuk kerja seperti biasanya. Berangkat pagi dan selalu membuka pintu ruangan lebih dulu. Setelah aku tiba, datanglah salah seorang teman kerjaku. Dia tiba-tiba bersuara sambil berjalan ke arah meja kerjanya.

“Gusti, tolong kuatkan hamba-Mu ini dari semua masalah! Bu Myth, piye iki kerjaanku akeh banget. Doa njaluk kuat kok malah tambah akeh masalah. Huhu..”, kata temanku ini sambil merengek. Dia bilang pekerjaannya terlalu banyak. Sudah doa minta supaya Tuhan kuatkan, eh malah masalahnya tambah banyak.

Aku pun menjawabnya dengan candaan: “Bu dirimu njaluk kuat kan. Yo bener diparingi Gusti masalah sama tantanganlah. Kan biar tambah kuat bu. Makin banyak tantangan makin bakoh bu. Haha.” Bu kamu kan minta kuat. Ya betul diberi Tuhan masalah dan tantangan. Kan biar tambah kuat bu. Makin banyak tantangan makin kuat bu.

Temanku lalu terdiam sejenak, kemudian dia merespons, “Oalah iyaa ya bu. Wis aku ndak mau doa minta kuat lagi”.

Aku pun tertawa mendengar kata-katanya itu. Tapi, kata-kata itu malah menjadi bahan perenunganku sepanjang hari itu, bahkan sampai hari ini. Baik sadar maupun tidak, berdoa minta dikuatkan dari semua masalah hidup yang ada, nyatanya selalu menjadi kalimat pamungkas yang tidak akan aku lupakan ketika berdoa.

Mendoakan itu tidaklah salah, tapi dari perenunganku aku merasa motivasiku berdolah yang tidak benar. Selama ini, aku berdoa minta dikuatkan agar bisa menghadapi setiap masalah yang datang. Tapi, sejatinya di balik kata “dikuatkan” itu ada hal terselubung. Alih-alih minta supaya aku tekun menjalani proses, aku berharap ingin cepat-cepat masalah itu selesai, atau setidaknya berkurang, supaya aku bisa hidup bebas dan tidak ada beban tanggungan lagi. Aku ingin proses yang instan, proses yang durasi dan situasinya sesuai dengan kehendakku.

Namun pertanyaannya, apakah saat berdoa meminta dikuatkan, Tuhan secara otomatis begitu saja membuatku kuat dalam menghadapi semuanya?

Melalui pengalaman hidup, aku menyadari Dia membentuk, memproses, menempa, hingga akhirnya itu semua dipakai-Nya untuk menguatkanku. Meminta dikuatkan nyatanya bukan tentang dengan cepat menjadi kuat dan hebat dalam menyelesaikan masalah. Pergumulan hidup tetap ada, bahkan akan selalu ada.

Lalu apakah aku harus berhenti saja berdoa untuk minta dikuatkan? Sejujurnya ini juga pernah terlintas di pikiranku bahkan pernah kucoba, hehe.. Tapi tetap sama saja hasilnya. Masalah hidup tetap datang terus, bahkan lebih berat. Yang namanya masalah memang tidak pandang bulu; tua muda, kaya, miskin, orang percaya maupun tidak, semuanya pasti mengalami. Yang membedakan adalah respons masing-masing kita ketika menghadapinya.

Dari perenunganku tentang “doa meminta dikuatkan,” aku belajar melihat dengan cara pandang baru tentang sebuah doa. Meminta-Nya untuk menguatkanku adalah tentang bagaimana aku belajar merelakan diri diproses, dibentuk melalui apa yang Dia izinkan terjadi. Meminta dikuatkan juga bertujuan agar aku terus mengimani bahwa kekuatan-Nya yang tak terbatas itu selalu tersedia buatku saat aku mencari dan berada di hadirat-Nya. Aku bersyukur Dia menegur dan mengingatkanku tentang hal ini.

Meski mungkin saat aku berdoa minta dikuatkan akan ada pergumulan-pergumulan lain yang lebih berat yang menghampiriku, aku belajar untuk tidak takut mengucapkan doa tersebut. Tuhan tahu isi hatiku dan Dia tahu cara terbaik untuk membentuk dan menguatkanku. Selain mempercayai bahwa Tuhan akan menguatkanku, ternyata aku pun harus tetap kuat dan teguh didalam-Nya.

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, jangan takut dan jangan gemetar” (Ulangan 31:16a)

Aku belajar tentang sesuatu yang baru: untuk menjadi pribadi yang kuat tidak hanya diperlukan campur tangan dari pihak Tuhan saja, namun kita pun harus turut serta terlibat dalam proses pembentukan-Nya.

Baca Juga:

3 Kebenaran tentang Ketaatan yang Mengubahku

Apakah aku taat karena aku mengasihi Tuhan? Atau aku taat karena aku menyukai kegiatan-kegiatan yang kulakukan dalam ketaatanku?

Yuk temukan 3 hal tentang ketaatan yang benar di hadapan Tuhan dalam artikel ini.

Belajar dari Perbedaan Suku: Kasih Mengalahkan Prasangka

Oleh Paramytha Magdalena, Surabaya

Saat SD dulu, aku bersekolah di SD swasta di dekat rumahku. SDku itu merupakan SD Katolik, tetapi murid-muridnya tidak hanya diisi oleh orang Katolik dan Protestan saja, ada dari agama-agama lain juga. Jika dilihat dari komposisi sukunya, kebanyakan teman-temanku berasal dari etnis Tionghoa, dan aku sendiri berasal dari etnis Jawa.

“Duh, ketemu dia lagi, dia lagi,” kataku saat bertemu temanku yang kebetulan adalah seorang keturunan Tionghoa.

Aku mengalami kesulitan untuk membaur dengan mereka. Di satu sisi, aku menganggap mereka dululah yang sulit membaur, dan aku pun memelihara persepsi buruk lainnya tentang mereka di benakku. Kesan buruk ini diperparah ketika aku duduk di bangku SMP. Waktu itu temanku yang adalah seorang Tionghoa sering menyuruh-nyuruhku seenaknya. Kami pun sempat bertengkar dan aku ditampar olehnya. Sejak saat itu, aku tak mau lagi berurusan dengannya. Aku lalu menganggap bahwa semua orang yang sesuku dengan temanku itu punya karakter yang sama.

Ketika masuk SMA, aku pindah ke sekolah negeri. Sekarang teman-temanku banyak yang satu suku denganku, dan aku pun senang. Begitupun selanjutnya saat aku kuliah S1 dan S2.

Hingga saat aku masuk dunia kerja, aku bertemu dengan seorang rekan Tionghoa. Pertemuan kami terjadi tidak sengaja karena aku dikenalkan oleh temanku. Kami menjadi kawan karena menyenangi aktivitas sosial kemasyarakatan seperti penyuluhan, edukasi, dan promosi tentang kesehatan. Jika dulu aku sempat berpikir buruk dengan rekan-rekan Tionghoaku, kali ini pikiran buruk itu pelan-pelan terkikis. Rekan Tionghoaku sekarang ini begitu ramah, ia selalu tersenyum kepada orang lain. Ia tidak segan memberikan apa yang jadi kepunyaannya untuk membantu orang lain dan dengan kerelaan hati, dia mengedukasi orang-orang tentang kesehatan. Aku pun dibuatnya kagum.

Seiring waktu, aku melihat pengabdian dan passion yang temanku itu curahkan. Ia mau mengasihi sesama, tidak mencari keuntungan pribadi, dan melayani tanpa melihat latar belakang orangnya. Ia memiliki klinik yang tak jauh dari rumahnya. Kliniknya kecil, tapi pasien yang antre di kliniknya banyak karena biaya berobatnya yang terjangkau. Yang paling mengejutkanku adalah ada seorang ibu dari keyakinan lain, yang pakaiannya sangat tertutup datang dan mengantarkan anaknya berobat di situ. Dari ruang tunggu pasien, aku mendengar mereka mengobrol akrab. Aku heran, tapi juga terpesona!

Pengalaman yang kulihat hari ini membuatku melihat kembali kesan buruk yang pernah kutorehkan kepada teman-temanku yang tidak sesuku denganku. Karena perbuatan buruk satu orang, aku pernah membuat generalisasi bahwa seseorang dari suku ini pasti melakukan itu. Padahal, itu adalah cara pikir yang tidak benar. Seharusnya tidak ada lagi ungkapan “Oh dia dari suku Jawa, Tionghoa, Batak”, dan lainnya. Atau berpikiran oh dia dari keyakinan yang berbeda, atau dia berkeyakinan sama. Apapun latar belakangnya, kita semua dikaruniai satu identitas kebangsaan: Indonesia, sebuah bangsa yang telah berkomitmen untuk bersatu. Berangkat dari pemahaman itulah aku mengubah cara pikir dan sikapku. Aku tidak lagi membeda-bedakan responsku hanya karena perbedaan suku maupun agama.

Kasih yang rekanku curahkan untuk sesamanya adalah sebuah cara yang ampuh untuk menghilangkan prasangka-prasangka buruk. Aku percaya, dari pelayanannya banyak orang-orang yang diberkati. Dan, sudah selayaknya kita semua yang mengaku murid Kristus menunjukkan kasih kita kepada sesama kita, mulai dari keluarga dan teman-teman di sepergaulan kita.

Memberikan stigma atau label negatif kepada orang lain tidak akan memberikan kedamaian bagi kita. Segala perbedaan yang ada di Indonesia, dengan lebih dari 700 suku, adalah sebuah keanekaragaman yang memperkaya Indonesia sebagai bangsa yang besar yang punya komitmen Bhinneka Tunggal Ika.

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Roma 12:18).

Baca Juga:

Skripsi, Garis Akhir Perjuangan Kuliah yang Kulewati Bersama Tuhan

“Kalau saya boleh jujur, skripsimu tidak layak untuk maju sidang.”

Aku tertegun, sedih, juga bingung mendengar kalimat itu. Perjalananku menuntaskan skripsiku rasanya begitu terjal dan melelahkan, tetapi Tuhan terus menopangku hingga perjuangan itu berbuah manis. ”