Posts

Podcast KaMu Episode 15: Jatuh Bangun Mencari Panggilan Tuhan

Menemukan panggilan hidup tak selalu jadi perjalanan yang mudah, termasuk buat Yeshua Abraham. Ada fase-fase ketika dia patah semangat, juga kebingungan apakah hobi dan passionnya dalam dunia musik itu selaras dengan kehendak Tuhan atau tidak.

Namun, ada satu kunci yang menjadikan perjalanan mencari panggilan hidup itu berbuah, yakni KETAATAN.

Saat kita taat, berarti kita ikut mengimani bahwa apa yang Tuhan rancangkan tidak akan gagal. Tuhan ingin kita melewati proses demi proses supaya kita mengalami kepuasan di dalam Dia dan menjadi berkat buat sesama kita.

Tuhan Utus, Tuhan Urus

Oleh Cristal Tarigan, NTT

Namaku Cristal Pagit Tarigan. Aku berasal dari Tigalingga, Dairi, Sumatera Utara. Sekarang aku adalah seorang guru pedalaman di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Kot’olin, Timor Tengah Selatan. Tidak pernah sedikit pun aku terpikir akan berada di pedalaman, bahkan menginjakkan kakiku di sini.

Tiga tahun lalu, tepatnya setelah aku wisuda, aku langsung bekerja di sebuah bimbel (bimbingan belajar) di kota Medan. Di sana aku mulai bertanya sungguh-sungguh kepada Tuhan tentang arti hidup yang lebih bermakna.

Awalnya ada ketidaknyamanan ketika merasa hari-hari berlalu begitu saja: aku mengajar tapi tak menikmatinya, karena merasa bimbel tempatku bekerja penuh dengan drama “ajang bisnis”. Selain itu, yang paling membuatku sedih adalah jam kerja dari sore sampai malam, membuatku tak bisa mengerjakan komitmen tanggung jawab pelayananku selama 1 tahun. Akhirnya, aku memutuskan keluar dari tempat kerja tersebut dan menjadi seorang freelancer yang mengajar privat dan bisnis online. Sejak saat itu aku lebih banyak merenungkan tujuan hidupku.

Sebagai freelancer, aku memiliki banyak waktu sela, sehingga aku bisa aktif dalam sebuah pelayanan penginjilan, pelayanan pemuridan, dan sebuah les gratis di sebuah desa di pinggiran Deli Serdang. Singkat cerita, pengalaman bertemu banyak orang dari berbagai lapisan sosial di sana membuatku semakin mengerti: apa tujuan Tuhan mengutusku di dunia ini dan melalui apa aku dapat berdampak untuk sekelilingku.

Sesungguhnya, tujuanku ke sini benar-benar ingin menjadi seseorang yang lebih berguna buat sesama, tapi rupanya itu tidak semudah yang aku bayangkan. Ada begitu banyak pergelutan pikiran dan hati yang kurasakan ketika sampai di sini. Di awal-awal, aku masih sering bertanya, Tuhan, benarkah aku di sini karena panggilanku? Begitu banyak hal yang terjadi di sini.

Awalnya mulai dari mengatasi kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan, khususnya makanan yang sangat berbeda dari kota, baik dari segi ketersediaan dan juga nilai gizinya. Bukan aku tidak mempersiapkan diri, tapi bagiku soal makanan ini lebih buruk dari yang aku bayangkan.

Minggu kedua berada di sini, aku jatuh sakit. Rasanya sedih sekali saat itu. Perasaan takut karena berada di pedalaman juga menambah kekhawatiran. Berat badan pun tiba-tiba turun. Tidak hanya fisikku yang sakit, tapi pikiranku juga. Aku menangis, berdoa, dan bergumul. Tiga hal itulah yang kulakukan berulang kali. Hingga seminggu lebih berlalu dengan kondisi seperti itu, membuatku menemukan sebuah kesimpulan yang sangat berharga. Ya, ada hal berharga yang aku petik dari kejadian tersebut, yang membuatku mengerti arti “Berserah Penuh”.

Selama ini arti berserah seakan hanya sebuah teori yang melekat di kepala dan selalu kuucapkan di saat pergumulanku kurasa tidak terlalu berat. Tapi saat itu aku benar-benar tidak punya pilihan, selain berdoa dan mengizinkan Tuhan yang ambil alih.

Dan saat itu yang terjadi adalah rumah sakit jauh, obat terbatas, dan kendaraan juga terbatas. Beberapa hari kemudian aku merasa jauh lebih baik dengan obat seadanya dan istirahat secukupnya.

Masih banyak hal lain yang aku alami di sini. Melewati masa-masa sulit sampai akhirnya beradaptasi, dan sekarang merasa seperti menemukan sebuah ladang emas yang sangat berharga, yang merupakan hal terutama bagiku, yaitu aku bisa mengeksplorasi banyak kualitas dalam diriku.

Aku belajar semakin dekat mengenal Tuhan, semakin berserah, dan semakin berbuat dengan hati. Hal itulah yang paling utama untuk bisa hidup di pedalaman. Selain hati, ada hal lain yang tidak kalah penting dan harus lahir dari hati serta melakukannya di sini, yaitu senyuman lebar dan sapaan. Itu adalah sebuah hal yang menjadi kebiasaanku di sini, karena itu adalah senjata ampuh untuk mereka yang masih merasa asing. Senyuman adalah awal untuk sebuah hubungan yang mampu menjadi sebuah obat bagi mereka, orang-orang yang bisa aku layani di sini.

Aku belajar bahwa ketika Tuhan berikan kita visi, Tuhan pasti kasih kita provision (bekal). Tuhan tidak pernah membiarkan kita begitu saja dan main-main dengan apa yang sedang Dia kerjakan. Dia peduli sekali, Dia tahu dan tidak akan pernah salah menempatkan kita, apalagi memberikan kesulitan di luar kemampuan kita. Sama seperti yang ditulis di 1 Korintus 10:13 :

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

So, jangan pernah mengeluh dengan berbagai kesulitan yang ada, karena mengeluh berarti tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan dan rencanakan.

Dimana pun dan apapun bagian kita, ingatlah bahwa dimana Tuhan mengutus kita, Dia pasti juga mengurus kita. Kita hanya perlu bersabar, belajar, dan semakin hari semakin rendah hati meminta hikmat tentang apa yang harus kita lakukan, serta menggunakan semua kesempatan yang ada.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11 ).

Tetaplah berpengharapan, teruslah berdoa, jadilah setia, dan mau dibentuk.

Apa yang Tuhan Lakukan Saat Aku Menantang-Nya?

Oleh Gabrielle Meiscova

“Ya Bapa, tolong.. Jika kau mengizinkan aku untuk menjadi seorang copywriter di sana, aku akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Mu dalam hidupku.”

Itulah permintaanku pada Tuhan, alias aku menantang-Nya dengan sebuah jaminan. Menulis untuk Tuhan. Itulah intinya. Sesuatu yang sekarang ini menjadi tujuan hidupku.

Sudah hampir setahun aku berusaha keras mencari pekerjaan. Ratusan CV yang kutebarkan via email atau website tak kunjung mendapatkan jawaban. Segala harapan yang tertulis di dalam CV tersebut biasanya hanya diakhiri dengan balasan rejection letter. Seketika aku menyetujui ungkapan dunia yang mengatakan bahwa hidup itu keras. Boleh dibilang, aku berada di posisi terendah dalam hidup, alias depresi.

Saat itu, aku berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan permintaanku agar dapat diterima kerja di salah satu perusahaan digital agency. Mengapa aku memohon pada Bapaku seperti itu? Karena aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyerahkan tubuh, jiwa, raga, dan impianku ke dalam tangan-Nya. Aku tidak sanggup mengerjakan semua ini seorang diri. Saat aku berserah pada-Nya, Ia mendengar keluh kesahku. Sang Bapa berbisik lewat pikiranku, dan tiba-tiba aku mengingat ayat emas dari Alkitab, yang menjadi pedomanku saat katekisasi.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Apa saja yang kau minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11 : 24).

Iman! Itulah yang menjadi permasalahanku selama ini. Sebelum Markus 11:24 menegurku, jujur saja, aku ragu akan karya Bapa yang akan digenapkan dalam hidupku. Aku sering mengatur Tuhan agar Ia memberikan pekerjaan sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa mempercayai dan mengimani kalau Tuhan akan memberikannya padaku di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat itu, aku tidak ingat kalau keimananku pupus ditelan kebisingan dunia, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media. Aku dibutakan oleh Iblis lewat quotes di media sosial, kalau hidup ini adalah milikku sendiri dan akulah yang harus mengatur hidupku akan berjalan ke arah mana. Aku tidak sadar kalau Tuhan yang rela mati di kayu salib untuk menebus dosaku adalah pemilik kehidupanku selama ini. Ia pun tidak akan meninggalkan anak-Nya berjalan sendirian.

Ada sebuah gambar yang kutemukan di explore Instagram, di mana ada seorang anak kecil yang sedang melukis sebuah tulisan PLAN bersama dengan Tuhan di sampingnya. Gambar itu memberikan kesadaran dalam diriku, kalau selama ini Tuhan bekerja dalam hidupku, dan aku sendiri memiliki tugas untuk membangun masa depanku bersama dengan-Nya. Selama ini, aku tidak melibatkan Tuhan dalam setiap rencana yang kubuat untukku dan masa depanku. Aku sungguh egois dan berpikiran sempit kala itu. Saat aku sadar akan kesalahanku selama ini, aku meminta pengampunan dari Tuhan, lalu Ia menjawabnya lewat sebuah ingatan dari kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku, sebagai berikut. “Saat pertama kali main sepeda, kita pasti pernah terjatuh sehingga pengalaman saat terjatuh itulah yang membuat kita ingin terus mencoba mengayuh sepeda sampai berhasil mengendarainya.”

Tuhan mengampuni aku yang tidak beriman pada-Nya, dengan memberikan pemahaman bahwa tak apa jika kita terjatuh, sebab Ia sendiri yang akan menolong. Saat jatuh pun, Tuhan akan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk kita. Kadang manusia memang harus terjatuh, agar ia bisa menyadari kalau tangan Tuhan senantiasa terulur untuk orang yang meminta pertolongan-Nya.

Dalam Matius 14:22-33, diceritakan bahwa Petrus yang adalah salah satu dari ke-12 murid Yesus, pernah menantang-Nya agar ia bisa berjalan di atas air, saat para murid mengira bahwa Ia adalah hantu. Pada ayat 28 tertulis, “Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia : Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Tak disangka-sangka, Tuhan Yesus malah menyuruh Petrus untuk berjalan di atas air, walaupun pada akhirnya sang murid menjadi takut dan mulai tenggelam, hingga akhirnya Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menolong Petrus. Kisah ini mengingatkan aku pada diriku sendiri, saat aku menantang Tuhan untuk memberikan pekerjaan sebagai copywriter itu padaku.

Saat aku mengerti apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupku, segalanya terasa lebih mudah. Aku jadi banyak mengucap syukur atas berkat yang Ia berikan, dan saat aku mempertaruhkan masa depan pekerjaanku kepada-Nya dengan jaminan akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Nya, Ia memberikan pekerjaan itu padaku. Tuhan mengizinkan aku untuk melayani-Nya lewat tulisanku.

Aku masih harus banyak belajar, khususnya dalam menulis, tapi aku sudah sadar kalau pekerjaan yang kulakukan bersama dengan Tuhan akan berjalan secara maksimal, saat aku melibatkan-Nya dalam tiap tulisanku.

“Allah sanggup melakukan segala perkara. Dulu, sekarang, dan selamanya kuasa-Nya tidak berubah.”

Ya Tuhan, ajar aku memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang Kau kehendaki dalam hidupku. Tetaplah bimbing anak-Mu ini untuk terus menjalani hidup ini sampai menuju kekekalan bersama dengan Engkau, ya Bapa.

Untuk Meresponi Panggilan Tuhan, Aku Melepaskan Karierku Sebagai Seorang Fotografer

Untuk-Meresponi-Panggilan-Tuhan-Aku-Melepaskan-Karierku-Sebagai-Seorang-Fotografer

Oleh Noni Elina Kristiani

“Tuhan apakah Kau sedang bercanda?” Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku ketika Tuhan menyatakan apa yang sebenarnya menjadi panggilan hidupku. Bagaimana mungkin aku yang seorang sanguinis, suka berbicara tanpa berpikir panjang ini menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu?

Aku memiliki tekad yang besar untuk menjadi seorang fotografer profesional, tapi keluargaku sangat ingin aku bekerja di media televisi sesuai dengan program studi Televisi dan Film yang aku ambil semasa kuliah. Aku sempat melamar ke stasiun televisi beberapa kali namun gagal. Akhirnya aku mencoba untuk mengasah kemampuan fotografiku seraya terus menyimpan mimpi untuk kelak dapat memproduksi sebuah film rohani Kristen pertama di Indonesia.

Sebuah acara yang menyadarkanku akan panggilan

Di bulan Agustus 2016 aku mengikuti sebuah kamp yang ditujukan untuk mahasiswa maupun yang sudah lulus. Dalam acara ini kami dikelompokkan berdasarkan bidang pekerjaan yang kami tekuni dan kami diberikan beragam materi tentang bagaimana kami bisa menjadi saksi dalam pekerjaan masing-masing. Pembicara-pembicara yang diundang adalah anak-anak Tuhan yang profesional di bidangnya. Akhir acara diisi dengan malam doa dan panitia acara menyiapkan satu sesi untuk kami mendengar tentang wilayah-wilayah di Indonesia yang bahkan belum mendengar kabar keselamatan.

Dalam sesi itulah aku merasa terpanggil untuk bekerja di ladang Tuhan, tapi aku menolaknya. Aku tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Namun, kemudian ada beban dalam hatiku terhadap jiwa-jiwa terhilang yang butuh pengenalan akan Kristus. Rasanya seperti Tuhan menaruh dukacita dalam hatiku ketika aku berusaha menolak panggilan itu. Setelah acara berakhir, aku memutuskan untuk menceritakan pergumulan hatiku kepada seorang kakak rohani dan dia mendoakanku supaya aku mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan.

Kamp telah usai dan tiba saatnya kami kembali ke dunia kerja. Aku masih tidak percaya pada panggilan Tuhan untukku hal itu membuatku sangat bersedih dan tidak berhenti menangis. Sebelum aku masuk ke dalam bus yang akan mengantarkanku ke kota tempatku bekerja, aku menyempatkan diri untuk pergi ke toilet lalu berdoa dengan berurai air mata seraya berkata, “Tuhan aku mau, terjadilah padaku apa yang menjadi kehendak-Mu.”

Kembali ke dunia kerja

Aku pun kembali ke dalam pekerjaanku sebagai seorang fotografer dan penyiar radio yang cukup menyita banyak waktuku. Dua pekerjaan yang aku tekuni ini adalah sesuatu yang menyenangkan dan merupakan minat serta bakatku, namun hal ini jugalah yang membuatku lupa akan komitmenku untuk mau dipakai Tuhan melayani jiwa-jiwa dan membawa mereka kepada Tuhan.

Di akhir tahun 2016, aku mendapatkan sebuah tawaran untuk menjadi staff penuh waktu di yayasan yang melayani siswa dan mahasiswa. Aku mengenal yayasan ini karena semasa dulu kuliah, yayasan inilah yang membinaku. Pihak yayasan itu menanyakan kepadaku apakah aku berkenan untuk menerima panggilan menjadi staff di kota kecil di Jawa Timur. Mulanya aku bingung dengan tawaran itu. Aku telah merasa nyaman tinggal dan bekerja di kota metropolitan, jadi aku pun enggan jika harus pindah ke kota kecil. Kemudian aku berdoa dan memohon pada Tuhan supaya aku ditempatkan di kota yang sesuai dengan keinginanku saja.

Tuhan tidak tinggal diam, Dia menggunakan berbagai hal untuk membawaku kembali pada panggilanku yang sesungguhnya. Di bulan Maret 2017 aku mengikuti seminar tentang pemuridan dan aku merasa bahwa di setiap sesi khotbah yang dibawakan seperti menyinggung dan mengingatkanku akan doa yang kupanjatkan ditahun 2016, ketika aku berkata mau taat kemana pun Tuhan mau menempatkanku. Tidak sampai disitu saja, aku semakin diteguhkan untuk berhenti dari pekerjaanku ketika tanpa sengaja aku membaca sebuah buku karya John Ortberg yng berjudul Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu. Ketika aku membuka buku itu secara acak, mataku berhenti pada sebuah paragraf yang bertuliskan, “Kadang-kadang, dalam kedaulatan Allah, akhir dari suatu karir adalah permulaan dari panggilan hidup. Sejauh mana pekerjaan Anda saat ini mengungkapkan bakat dan hasrat Anda yang sesungguhnya?” Apa yang baru saja kubaca itu seolah menegurku tepat pada sasaran.

Memulai sebuah awal yang baru

Bulan Mei 2017 aku memantapkan hatiku untuk menerima panggilan itu dan melayani di kota kecil dimana aku ditempatkan. Berada di tempat yang sepenuhnya baru dan harus kembali beradaptasi bukanlah hal yang mudah bagiku, tapi aku mau tetap percaya bahwa Tuhan senatiasa menyertaiku. Aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku sebagai fotograrer dan penyiar radio. Ketika mendengar rencana ini, orangtuaku sangat menentangnya dan dengan berurai air mata aku menjelaskan kepada ayahku kalau aku tidak bisa menolak panggilan ini.

Aku berdoa supaya Tuhan melembutkan hati ayahku. Beberapa hari kemudian ayahku bertanya kapan aku akan berangkat dan ke kota mana aku ditempatkan. Pertanyaan itu merupakan tanda bahwa beliau telah menyetujui keputusanku. Aku takjub akan pekerjaan Tuhan yang mengubahkan hati ayahku secepat itu. Belum semua teman-temanku tahu tentang keputusanku ini, tapi aku siap untuk memberikan jawaban kepada mereka jika mereka bertanya alasan mengapa aku melepaskan pekerjaanku yang semula. Aku belajar untuk tidak terlalu mempedulikan penilaian orang lain terhadapku, tapi mempedulikan tentang bagaimana Allah menilaiku. Aku hidup untuk menyenangkan Allah, bukan manusia.

Dari pergumulanku akan panggilan hidup ini, ada beberapa hal yang ingin aku bagikan kepadamu:

1. Mengasihi Allah lebih dari apapun adalah kunci ketaatan

Sebagai seorang perempuan single berusia 23 tahun sebenarnya aku memiliki mimpi dan ekspektasi yang besar akan masa depanku. Namun, semua itu berubah ketika aku menyadari betapa besar kasih Tuhan kepadaku.

Kita bisa menulis atau mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, namun mengasihi Allah tentu lebih dari sekadar ungkapan kata. Mengasihi Allah berarti kita harus melakukan tindakan nyata yang disertai dengan iman. Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, sehingga hidup ini merupakan persembahan bagi Allah (Roma 12:1). Apa yang akan kita korbankan bagi-Nya?

2. Kita melayani bukan karena layak, tetapi Tuhanlah yang melayakkan

Ada beberapa contoh tokoh Alkitab yang awalnya menolak untuk dipakai Tuhan. Musa, pada awalnya dia merasa dirinya tidak layak memimpin bangsa Israel (Keluaran 3:11; 4:1&10) hingga beberapa kali dia menolak panggilan Tuhan. Selain Musa, ada juga Yunus yang harus menanggung akibat dari ketidaktaatannya untuk pergi ke Niniwe. Tuhan memerintahkan Yunus untuk memperingati kota itu supaya bertobat, tapi Yunus malah pergi melarikan diri ke Tarsis hingga akhirnya dalam perjalanan perahunya diombang-ambing badai, Yunus dilemparkan ke laut dan ditelan oleh ikan besar (Yunus 1:17).

Dari kedua tokoh Alkitab itu aku belajar bahwa jika Tuhan memakai seseorang yang sempurna untuk menjadi alat-Nya, maka Dia tidak akan menemukan satupun. Namun, terpujilah Allah karena dia setia dan menyertai anak-anak-Nya. Ada banyak kesulitan untuk mentaati panggilan Tuhan, salah satunya adalah tetap mempercayai-Nya. Percayalah bahwa Tuhan sanggup bekerja di dalam kelemahan kita, karena justru di dalam kelemahan itulah kuasa-Nya menjadi sempurna (2 Korintus 12:9). Aku percaya bahwa Tuhan juga sanggup bekerja dalam setiap kelemahanku untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya.

3. Kita menantikan Tuhan dengan melakukan disiplin rohani dan mendengar nasihat

Ketika aku bergumul dengan panggilan hidupku, aku melatih diriku untuk lebih giat melakukan disiplin rohani. Aku melakukan pendalaman Alkitab secara pribadi dengan menggunakan buku-buku panduan. Aku juga lebih banyak berdoa di waktu luangku dan mulai melatih diri berpuasa. Bukan sesuatu yang mudah bagiku, namun kakak rohaniku selalu mendukungku dan mengingatkanku untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Ketika aku mengarahkan pandanganku pada Tuhan, ada banyak hal yang Dia nyatakan kepadaku. Tuhanlah satu-satunya sumber kekuatan dan hikmat. Semakin kita mendekat kepada-Nya, semakin kita bisa dengan jelas mendengar suara-Nya.

Pengambilan keputusan yang kuambil tidak lepas dari bimbingan dan nasihat beberapa orang. Tuhan juga bisa menggunakan nasihat dari orang lain untuk menolong kita mengetahui kehendak-Nya. Pilihlah orang-orang yang takut akan Allah dan mintalah nasihat dari mereka. “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak” (Amsal 12:15).

Baca Juga:

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Tidak Sesuai Harapanku

Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman. Tapi, aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis, hingga suatu ketika ada sebuah peristiwa yang menyadarkanku akan apa yang menjadi motivasi pertamaku ketika memilih bekerja di sini.