Posts

Dari Danny, Aku Belajar Mengasihi Tanpa Syarat

Oleh Nerissa Archangely, Tangerang

Adikku bernama Danny, usianya 25 tahun. Dia anak yang istimewa dengan retardasi mental, tapi satu yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat bicara, pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, atau kadang dipukul, dia tetap saja bisa tertawa. Rumah kami pun selalu ramai kalau ada Danny.

Namun, perubahan besar terjadi saat mamaku mendapat serangan stroke. Beliau lumpuh separuh badan dan sulit bicara. Kejadian itu terjadi di Februari 2020, beberapa hari sebelum Imlek. Papaku yang sangat syok dan depresi juga jadi sulit melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Danny yang biasanya mendapatkan perhatian dan asuhan penuh dari kedua orang tua pun jadi terlantar. Akhirnya, kami sekeluarga berembuk dan dengan berat hati kami menitipkan Danny di sebuah panti rehabilitasi Bethesda yang dikelola oleh Ps. Irwan Silaban, MARS (Manajemen RS) di Bogor. Namun belum genap satu bulan, kami dihubungi panti untuk menjemput Danny di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi (RSMM). Alasannya, Danny sudah empat hari lebih tidak makan. Dia mengalami perburukan gizi, badannya lemas. Saat itu dia diinfus dan dipasangi selang untuk mensuplai makanan ke dalam tubuhnya.

Berbekal info tersebut, aku dan suamiku pergi ke sana untuk melihat Danny secara langsung. Keadaan Danny rupanya lebih buruk dari gambaran kami. Danny terbaring lemas sulit bergerak, tidak bisa bicara. Tawanya kini berganti dengan erangan tertahan, terlebih ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Bahkan, didapati ada kerusakan fungsi liver. Kami putuskan untuk merawat Danny sementara di sini sampai fisiknya pulih. Saat itu, virus Covid-19 sudah menyebar di Indonesia dan RSMM pun sempat menerima pasien suspect corona. Hingga tanggal 10 April 2020, Danny diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena intake (kebutuhan gizi) dan fungsi organ vital lainnya sudah stabil.

Karena kondisi orang tua yang tidak memungkinkan lagi untuk merawat Danny, maka aku dan suamiku sepakat untuk merawat Danny di rumah kami. Sangat tidak mudah awalnya, karena kami memang bukan tenaga ahli seperti perawat khusus orang sakit atau homecare. Di tahun ketiga pernikahan kami, di saat kami mengharapkan adanya bayi di tengah keluarga kecil kami, kami seolah-olah mendapatkan ‘bayi besar’ yang setiap hari harus diberi susu, diganti popoknya, dimandikan, dijemur, dan sebagainya. Tapi, anugerah Tuhan tak pernah habis. Aku belajar banyak dari perawat di rumah sakit hingga aku bisa memasang selang NGT sendiri, memandikan di tempat tidur, membersihkan mulut dengan kasa, mengganti popok dengan benar, dan lainnya. Aku juga bersyukur suamiku siap sedia untuk membantu, walau memang awalnya kami jadi sering bertengkar karena selain kesulitan merawat Danny, kami juga khawatir terhadap kedua orang tua kami yang rapuh di tengah masa pandemi. Orangtuaku dirawat oleh adik lelakiku di Tangerang. Bukan hanya kami lelah secara fisik, namun kami juga dirundung oleh beban mental yang besar: khawatir akan kesehatan orang tua dan apakah adikku sanggup merawat mereka seorang diri. Bahkan ada masa-masa di mana aku merasa sangat tertekan hingga tak bisa melihat Allah dan rasanya ingin mati saja. Tapi, dengan segala cara yang ajaib, Tuhan tetap merengkuhku kembali.

Saat dirawat di RSMM itu memang ada indikasi pendarahan di otak Danny serta cedera lainnya, namun kami tak pernah menyangka bahwa bahu kanan Danny ternyata mengalami dislokasi dan open fracture. Hingga sekitar akhir April, kami perhatikan ada memar di bahu kanannya yang berujung pada pembengkakan dan sepsis (nanah yang sudah menginfeksi seluruh tubuh) pada 2 Mei 2020. Kami segera membawa Danny ke RS Medika BSD untuk mendapat penanganan pertama. Diperlukan ICU untuk operasi, tapi tak ada tempat tersedia di sana. Terpaksa kami harus menunggu 3 hari untuk mendapat rujukan. Tak hanya itu, kami juga dihadapkan dengan fakta lain. Danny sempat melalui rapid test Covid-19 dan CT-Scan paru-paru. Hasil CT-Scan menunjukan ground-glass opacification/opacity (GGO), sebuah indikasi kuat dari infeksi Covid-19. Kami menghubungi seluruh rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya, namun semuanya menolak karena alasan suspect infeksi Covid-19 dan kompleksnya kondisi Danny (ada open fracture bahu, sepsis, dan anak kebutuhan khusus). Pihak RS Medika menyarankan kami untuk membawa Danny langsung ke RSUP Fatmawati yang punya fasilitas lebih lengkap.

Tanggal 5 Mei 2020, akhirnya Danny dibawa ke IGD RSUP Fatmawati sendiri—tanpa ambulans—dan sungguh karena anugerah Tuhan, dia bisa mendapatkan ruang ICU besoknya. Sebelumnya, Danny membutuhkan darah karena sel darah putihnya semakin meningkat akibat infeksi. Ini membuat sel darah merahnya sangat kurang, sehingga sangat berisiko jika dia dioperasi tanpa ada transfusi darah. Awalnya kami ragu akan dapat donor dengan cepat, terlebih karena stok di PMI pusat pun kosong. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang enggan mendonorkan darah. Tetapi jalan Tuhan tidak pernah buntu. Lewat pesan broadcast di Twitter, Instagram dan WhatsApp grup serta dibantu oleh rekan-rekanku sewaktu di PMK POMITI dulu, akhirnya kami bisa mendapatkan donor yang diperlukan. Pihak RS membutuhkan minimal 3 orang sebagai pendonor tapi Tuhan yang Maha Pemurah menyediakan sampai 4 orang. Tuhan seolah ingin menyampaikan bahwa rencana-Nya untuk Danny masih belum usai.

Tuhan terlebih-lebih menyayangi Danny. Tuhan memanggil Danny pulang pada 8 Mei 2020 jam 7 pagi. Sekarang Danny tidak lagi merasakan sakit dan sesak. Danny bisa tertawa lagi bersama Bapa di Surga.

Pemakaman Danny sungguh sepi. Tiada musik, tiada karangan bunga, tiada arak-arakan, bahkan kami pun tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Tapi kami yakin Allah Bapa telah menyiapkan pesta meriah untuk kepulangannya. Mungkin dunia menolak Danny, tapi tangan Bapa terbuka lebar menyambut Danny.

Awalnya aku bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menjadikan Danny hadir di dunia ini? Mengapa Tuhan izinkan Danny ‘berbeda’?

Kini aku mengerti. Lewat Danny, Tuhan mengajariku untuk bisa mengasihi tanpa syarat, kepada siapa pun, sesulit apa pun situasinya. Hidup Danny walau singkat, memberiku kesan mendalam. Aku tak akan pernah lupa pelajaran hidup dari adikku yang istimewa ini.

Aku pribadi amat bersyukur atas setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Bahkan sampai saat ini pun aku merasa aku orang yang amat beruntung. Di tengah situasi yang luar biasa sulit, Tuhan yang penuh kuasa memberikan orang-orang yang luar biasa pula, yang dipakai-Nya untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya.

Suamiku, Indra, dia sosok yang sabar mendampingiku. Dia mendukungku di masa-masa terkelamku, tetap mengasihiku dalam kondisi apa pun. Sungguh aku amat beruntung dikasihi dan memilikinya sebagai teman hidupku.

Mertuaku sekeluarga, juga sangat luar biasa mendukung kami secara fisik maupun mental. Aku tahu dari mana kebaikan suamiku berasal. Papa dan mama mertuaku sungguh istimewa, betapa aku beruntung dan bersyukur bisa memanggil mereka ‘papa’ dan ‘mama’.

Keluarga kecilku di guru-guru sekolah Minggu GKY BSD, Laoshi Wiwi sebagai pembina dan secara khusus partner-ku di kelas 2 siang, kalian sungguh luar biasa. Sungguh ucapan terima kasihku rasanya tak cukup membalas setiap chat, telepon, dukungan dana, dan bahan pangan sehari-hari, serta setiap bentuk perhatian yang dicurahkan. Kehadiran mereka ibarat lilin-lilin kecil yang menerangi hatiku yang gelap dan lembab di tengah keterpurukan.

Juga kelompok kecilku sejak di PMK kampus. Meskipun kami hanya berlima, tapi berdampak besar. Meski kami berjauhan, tapi Tuhan selalu mendekatkan hati kami.

Bahkan, Tuhan juga memakai mereka yang belum percaya, dan juga orang-orang yang baru kukenal via media sosial, yang bermurah hati untuk membantu dari segi dana dan siap menjadi pendonor bagi Danny. Betapa Tuhan juga bermurah padaku dengan mengaruniakan seorang atasan yang peduli, penuh pengertian serta suportif terhadap kondisi yang aku alami, sehingga tanggung jawab pekerjaanku dilonggarkan ketika sedang merawat Danny.

Aku tahu kondisi Covid-19 tidak bisa dianggap remeh, tapi aku tahu Tuhan kita Yesus Kristus jauh lebih hebat daripada virus itu. Di atas segala-galanya, Dialah tabib segala tabib yang mampu menyelamatkan bukan hanya fisik, namun jiwa kita pun sanggup Dia selamatkan.

Ayub 1:21 berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Merebaknya pandemi virus COVID-19 di seluruh dunia telah menghadirkan kecemasan dan ketakutan. Ketika jumlah pasien di Nusantara semakin meningkat dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia tidak lagi bisa menganggap sepi ancaman pandemi ini. Semua orang, termasuk orang-orang Kristen, berusaha untuk menyikapi situasi ini sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Seperti yang bisa diduga, tidak semua orang Kristen berbagi keyakinan yang sama. Sebagian mengalami ketakutan yang berlebihan. Sebagian yang lain tampak tenang. Kelompok yang terakhir ini meyakini bahwa wabah dan tulah tidak akan menimpa orang yang beriman. Banyak ayat dimunculkan sebagai dukungan. Salah satunya adalah Mazmur 91.

Penafsiran historis terhadap teks ini menunjukkan bahwa Mazmur 91 memang telah menjadi penghiburan dan pengharapan bagi bangsa Yahudi maupun umat Kristen di sepanjang zaman. Sebagian orang bahkan menjadikan teks ini sebagai mantera maupun bacaan wajib tiap malam, terutama ketika bencana datang menghadang. Beberapa misionaris yang menghadapi tantangan besar di ladang juga menjadikan teks ini sebagai ayat favorit mereka.

Menjadikan Mazmur 91 sebagai penghiburan di tengah bahaya yang datang memang wajar. Beragam kata yang berkaitan dengan perlindungan muncul berkali-kali dalam teks ini: lindungan (ayat 1), naungan (ayat 1), perlindungan (ayat 2, 9), pertahanan (ayat 2), perisai dan pagar tembok (ayat 4), perteduhan (ayat 9), keselamatan (ayat 16). Begitu pula pelbagai kata kerja yang mengarah pada ide yang sama: melepaskan (ayat 3), menudungi (ayat 4), menjaga (ayat 11), menatang (ayat 12), meluputkan dan membentengi (ayat 14). Sehubungan dengan kasus virus Corona Covid-19, mazmur ini menjanjikan bahwa penyakit sampar dan menular tidak akan menakutkan bagi orang yang beriman (ayat 5-6). Walaupun ribuan orang akan rebah, kita hanya akan menonton saja (ayat 7-8).

Benarkah mazmur ini menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya? Benarkah orang Kristen tidak mungkin tertular suatu wabah? Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah peristiwa buruk sama sekali tidak akan menimpa orang percaya.

Pertama, fungsi awal mazmur ini dalam konteks ibadah. Jika kita memerhatikan dengan cermat, mazmur ini menggunakan kata ganti orang yang berlainan. Di ayat 1-2 pemazmur berbicara tentang “orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa”. Mulai ayat 3-13 pemazmur menggunakan sapaan “engkau”. Ayat 14-16 menampilkan Allah sebagai pembicara. Perbedaan kata ganti ini diyakini oleh banyak penafsir sebagai petunjuk ke arah penggunaan mazmur ini dalam konteks ibadah (liturgi). Ada kemungkinan mazmur ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan selama ibadah.

Jika benar demikian, semua janji dalam mazmur ini hanya berlaku secara umum bagi umat Allah. Keadaan spesifik masing-masing orang mungkin akan berbeda. Allah mungkin memiliki rencana tertentu bagi individu tertentu. Walaupun demikian, mazmur ini secara umum bisa dijadikan penghiburan di tengah ketakutan.

Kedua, jenis bahaya yang dimaksud. Semua bahaya yang disebutkan dalam mazmur ini—peperangan (ayat 5), penyakit (ayat 6), malapetaka dan tulah (ayat 10)—sebaiknya dipahami sebagai hukuman dari Allah kepada orang-orang fasik. Dugaan ini didukung secara eksplisit oleh ayat 8: “Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik”. Selain itu, penggunaan istilah “jerat penangkap burung” (ayat 3) dan “tulah” (ayat 10) mengarah pada maksud jahat dari orang-orang fasik yang mencoba menciderai orang percaya, tetapi Allah merespons itu dengan hukuman. Dalam situasi seperti ini, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa semua upaya jahat itu tidak akan berhasil. Kalau pun berhasil, hal itu justru akan mengerjakan kebaikan bagi kita (lihat Kejadian 50:20).

Jika maksud pemazmur memang seperti itu, Mazmur 91 tidak boleh diterapkan secara mutlak dalam konteks persebaran virus COVID-19. Tidak ada tanda-tanda bahwa wabah ini merupakan hukuman Allah bagi orang fasik. Ini adalah persoalan biasa. Siapa saja bisa terpapar. Beberapa pasien adalah orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.

Ketiga, jenis sastra teks ini yang puitis. Untuk memahami maksud suatu teks, pembaca perlu mengetahui jenis sastra (genre) dari teks tersebut. Kita tidak akan membaca buku sejarah layaknya membaca sebuah puisi, begitu pula sebaliknya. Masing-masing jenis sastra memiliki karakteristik dan aturan penafsiran sendiri-sendiri. Hal yang sama berlaku pada Mazmur 91.

Teks ini ditulis dalam bahasa puisi: beragam metafora, permainan kata, pengulangan ide, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Sebagai contoh, marilah kita melihat ayat 13: “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga”. Apakah kita seharusnya menafsirkan bagian ini secara harfiah? Tentu saja tidak! Akan sangat konyol dan memalukan kalau ada orang Kristen yang secara gegabah melangkahi dan menginjak binatang-binatang buas sambil berharap dia akan baik-baik saja. Teks ini tidak untuk diterapkan secara harfiah.

Keempat, cakupan penerima janji. Semua janji di mazmur ini bersifat bersyarat (kondisional). Janji-janji itu tidak berlaku untuk semua orang atau siapa saja. Di awal mazmur ini sudah diajarkan bahwa kebaikan Allah di sini hanya ditujukan kepada mereka yang “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (ayat 1). Kata “duduk” (Ibrani yāshab) seharusnya diterjemahkan “berdiam”. Bukan sekadar duduk, tetapi memang tinggal di sana (lihat semua versi Inggris). Terjemahan “bermalam” (lûn) menyiratkan istirahat atau ketenangan setelah bepergian jauh (LAI:TB “bermalam”). Dengan kata lain, orang yang berdiam dan bermalam dalam TUHAN adalah mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (ayat 2). Metafora di ayat 1-2 ini selanjutnya diulang lagi di ayat 9. Jadi, sekali lagi, janji ini hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan.

Apakah yang dimaksud dengan “menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan”? Pemazmur menjelaskan itu di ayat 14-15. Berlindung dan berteduh pada TUHAN berarti memiliki relasi personal dengan Allah yang intim (ayat 14). Keintiman ini diungkapkan melalui frasa “hatinya melekat kepada-Ku” (LAI:TB). Kata Ibrani di balik terjemahan ini bisa berarti “mengasihi” atau “menempel pada sesuatu”. Beberapa versi Inggris menggabungkan dua makna ini sekaligus (ESV “he holds fast to me in love”; RSV “he cleaves to me in love”). Ungkapan lain yang menggambarkan keintiman tersebut adalah “mengenal nama-Ku”. Kata kerja “mengenal” di sini tentu saja bukan sekadar tahu, tetapi benar-benar dekat. Istilah “nama” di sini pun bukan sekadar sebutan atau panggilan. Nama berbicara tentang Pribadi. Dengan kata lain, mengenal nama berarti mengenal secara dekat.

Menjadikan TUHAN sebagai perlindungan dan perteduhan juga berarti menyandarkan diri pada Allah melalui doa (ayat 15). Yang mendapatkan janji TUHAN adalah mereka yang “berseru kepada-Ku”. Doa ini lahir dari kelemahan, keterbatasan, dan ketidakberdayaan (“dalam kesesakan”). Di samping itu, doa ini juga muncul dari iman, dari hati yang berani berkata: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (ayat 2).

Kelima, pemahaman Tuhan Yesus tentang mazmur ini. Pada momen pencobaan di padang gurun, Iblis mengutip salah satu ayat dari mazmur ini (ayat 11-12). Yang dikutip tentu saja yang berisi janji ilahi bahwa TUHAN akan menyuruh para malaikat untuk menopang orang benar sehingga kakinya tidak akan terantuk (Matius 4:6). Bukankah Yesus orang yang benar? Bukankah para malaikat pasti akan menatang Dia? Lalu apakah Yesus akhirnya benar-benar melompat dari bubungan bait Allah? Tentu saja tidak! Tuhan Yesus memahami bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan dan diterapkan secara sembarangan. Menggunakan ayat ini secara sembrono berarti mencobai TUHAN (Matius 4:7).

Dengan memahami 5 (poin) di atas, kita tidak akan kaget ketika melihat seorang yang sungguh-sungguh beriman ternyata terkena suatu wabah atau bencana. Janji-janji di Mazmur 91 memang berlaku secara umum. TUHAN pasti memiliki rencana yang lebih baik bagi orang tersebut. Sikap Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis dengan menggunakan ayat ini memberikan pencerahan penting untuk memandang janji-janji ilahi ini dengan benar. Bagi Yesus Kristus, yang terpenting bukan perlindungan bagi diri sendiri, melainkan penggenapan rencana Allah. Untuk apa memperoleh perlindungan tetapi gagal memenuhi panggilan Allah? Bukankah perlindungan dari Allah seharusnya ditujukan untuk penggenapan rencana-Nya? Jika Allah memandang bahwa kematian seseorang lebih memuliakan Dia, untuk apa Dia memberikan kelepasan dari kematian? Namun, jika kelepasan memang lebih bermanfaat bagi penggenapan rencana-Nya, Allah pasti akan campur tangan. Intinya, baik hidup atau mati, semua untuk kepentingan Allah. Mana saja yang lebih memuliakan TUHAN, itu yang kita jadikan pilihan.

Pemahaman di atas juga menghindarkan kita dari gaya hidup yang sembrono. Semua upaya untuk menghindarkan diri dari pandemi virus ini harus dilakukan: sering mencuci tangan dengan benar, menjaga pola makan yang sehat, beristirahat dengan cukup, tidak stres, rajin berolah raga dan menghindari kerumunan orang. Kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi penyebar atau perantara virus. Hindari aktivitas yang bisa membuat kita terpapar. Sama seperti Kristus yang tidak mau sembarangan menerapkan janji-janji Allah di mazmur ini, demikian pula dengan kita. Bagian kita adalah menjaga diri sebaik mungkin sambil terus mendekat kepada Allah. Jika sesuatu yang buruk tetap terjadi, hal itu berarti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar perlindungan. Allah sedang menyertakan kita dalam rencana-Nya.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Ketika keadaan tampak kelam, jalan keluar tak terlihat, harapan tetaplah ada. Tuhan kita setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.