Lika-liku Mencintai Orang Tua yang Semakin Tua
Oleh Jessie, Jakarta
Close-minded… Judgmental… Kuno… Kepo…
Ini adalah komentar-komentar yang sering kudengar kalau sedang bercerita tentang orang tua kami dengan teman-teman sepantaranku, para generasi milenial dan gen-z. Nah, pernah ga sih kalian adu opini karena merasa orang tua kita udah mulai ga update dengan keterbukaan zaman now? Atau mungkin kehilangan kesabaran karena mereka terkesan bawel banget, sering suruh-suruh, lola, dsb…
Relasiku dengan orang tuaku boleh dikatakan cukup dekat. Malah saking dekatnya, kami juga sering berantem. Ya… biasalah, perbedaan pendapat. Karena aku anak yang cukup bawel dan ekstrover, maka cerita atau permasalah apa pun di hidupku umumnya langsung kuceritakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Tapi… kedekatan dan keterbukaan tidak membuatku selalu bersikap berbakti dan taat. Hanya saja, kalau dalam kasusku, aku tidak main belakang. Aku berterus terang dengan opini dan keputusan hidup yang banyak kalanya tidak sejalan dengan ekspektasi orang tuaku. Karena aku sudah tergolong orang dewasa secara umur, orang tuaku juga sudah tidak bisa terlalu memaksa lagi. Lalu apakah aku selalu benar? Oh sudah pasti tidak jawabannya! Dan apakah orang tuaku selalu benar juga?! Delapan puluh persen sih… Perkembangan zaman yang sangat cepat ini membuat beberapa opini mereka sudah tidak lagi relevan . Jujur berkata, aku sering tidak sabar dan cepat terpancing, sehingga diskusi yang aku intensikan di awal berakhir dengan tantangan dan kemarahan.
Hormat
Memang Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana anak dan orang tua seharusnya berelasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka dengan berbagai opini yang berbeda, serta tantangan untuk melihat dengan jelas garis pemisah antara apa yang benar dan yang salah. Namun, sebagai orang Kristen, aku percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya buku yang memberikan pengajaran-pengajaran mendasar yang relevan sepanjang masa.
Ada dua pengajaran penting yang Alkitab selalu tekankan mengenai etika anak kepada orang tua, yaitu hormat (Kel. 20:12 ; Ef. 20:12) dan taat (Ams. 1:8-9 ; Kol. 3:20). Menghormati dan taat adalah dua hal yang berbeda. “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20:12). Perintah ini diberikan dalam konteks tidak peduli apa pun situasinya, memberikan hormat kepada orang tua kita itu sudah selayaknya kita berikan karena sudah menjadi hak orang tua untuk mendapatkan hormat.
Apa sih bentuk etika menghormati kita kepada orang tua kita? Menghormati tidak sekadar apa yang kelihatan di luar, seperti saat kita menyapa mereka, mendahulukan mereka, dan sebagainya. Meskipun semua ini benar, namun konsep menghormati yang dimaksudkan di Alkitab mencakup penghormatan secara sikap dan juga mental. Contoh sikap menghormati secara mental adalah saat bagaimana kita memikirkan nasihat-nasihat orang tua kita. Jika kita menghormati dengan kesungguhan hati, maka kita pasti akan menghargai dan mempertimbangkan masukan dari orang tua kita. Bagaimanapun juga mereka sudah hidup jauh lebih panjang, pengalaman asam garamnya pun lebih banyak, maka sesungguhnya opini mereka mungkin ada benarnya. Seberapa sering kita akhirnya menyadari akan posisi kita yang salah, lalu teringat akan nasihat orang tua kita di awal? Kalau aku sih lumayan sering, tapi ya diem-diem aja (entar terkesan kalah dong gue hahaha).
Bentuk penghormatan anak kepada orang tua banyak diperjelas secara spesifik di ayat-ayat lainnya, seperti di kitab Amsal 1:8 TSI, yang bunyinya, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Si penulis tidak mengatakan agar kita langsung melakukan apa yang ayah-ibumu sudah katakan, tapi kata yang digunakan adalah “dengar” dan “jangan menyia-nyiakan.” Adanya sebuah ajakan untuk si anak agar mempertimbangkan perkataan orang tuanya. Penulis Alkitab mungkin sudah tahu kalau anak di generasi manapun itu sering banget mengangguk-angguk, tapi sebenarnya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
Taat
Lain dengan menghormati yang kasusnya unconditionally atau tanpa syarat, ketaatan bersifat conditional. Bukan berarti ini memberikan kita alasan untuk menjadi anak yang membangkang ya, melainkan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia yang berdosa.
Orang tua kita juga manusia yang berdosa dan bisa salah, sehingga ketaatan tertinggi kita berikan hanya kepada Tuhan (Kis. 5:29b: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia”). Ada penjelasan bahwa seiring bertambahnya dewasa anak serta bertumbuhnya cara pikir si anak, maka mereka juga memiliki pertimbangan dan opsi yang lebih matang, yang mungkin membuat mereka lebih memahami apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu, ada perihal khusus di mana orang tuanya melarang anak ke gereja, atau kasus di mana orang tuanya jelas memberikan solusi yang salah, dan sebagainya. Sehingga, ketaatan ini sebenarnya bersifat conditional atau dalam bahasa sederhananya: ya kita lihat dahulu ya konteksnya bagaimana.
Patut diingat, bahwa karena ketaatan tertinggi hanya kita berikan kepada Tuhan, maka keputusan yang kita ambil harus dalam lingkup apa yang Tuhan katakan boleh dan tidak, bukannya kita malah mengambil keputusan atas dasar suka-suka kita.
Lalu, dikarenakan peraturan nomor #1 (menghormati) bersifat harus, maka peraturan nomor #2 ini bisa disanggah dengan mengingat adanya aturan nomor #1. Seperti contoh kasus yang sering aku hadapi—perselisihan pendapat. Ada kalanya kita tidak setuju dengan cara pikir dan solusi orang tua kita; maka tanpa harus bertengkar, kita bisa belajar untuk mengontrol cara bicara kita dan mengutarakan opini dengan sikap menghormati. Kita menghormati mereka meskipun tidak “menaati” masukan mereka. Memang sih, butuh kesabaran yang banget nget, karena seringkali emosi kita mudah terpancing. Setuju, setuju??
Keluarga bisa dibilang sebagai komunitas terdini yang Tuhan percayakan untuk si anak belajar bagaimana mengikuti kehendak yang lebih berotoritas dengan tujuan seiring bertambah besarnya mereka, si anak pun menjadi terbiasa untuk taat kepada Tuhan.
Jadi, keluarga seperti sekolah pelatihan cara menghormati dan menaati yang berotoritas. Cukup masuk akal sih menurutku, karena kalau kita saja tidak bisa menghormati dan menaati orang tua yang kelihatan, bagaimana kita bisa menghormati dan menaati Tuhan yang tidak kelihatan.
Ingat, bahwa orang tua kita sudah dipercayakan oleh Tuhan otoritas, maka sebagai anak kita sudah sepatutnya menghormati dan menaati mereka.
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu