Posts

Lika-liku Mencintai Orang Tua yang Semakin Tua

Oleh Jessie, Jakarta

Close-minded… Judgmental Kuno… Kepo…

Ini adalah komentar-komentar yang sering kudengar kalau sedang bercerita tentang orang tua kami dengan teman-teman sepantaranku, para generasi milenial dan gen-z. Nah, pernah ga sih kalian adu opini karena merasa orang tua kita udah mulai ga update dengan keterbukaan zaman now? Atau mungkin kehilangan kesabaran karena mereka terkesan bawel banget, sering suruh-suruh, lola, dsb…

Relasiku dengan orang tuaku boleh dikatakan cukup dekat. Malah saking dekatnya, kami juga sering berantem. Ya… biasalah, perbedaan pendapat. Karena aku anak yang cukup bawel dan ekstrover, maka cerita atau permasalah apa pun di hidupku umumnya langsung kuceritakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Tapi… kedekatan dan keterbukaan tidak membuatku selalu bersikap berbakti dan taat. Hanya saja, kalau dalam kasusku, aku tidak main belakang. Aku berterus terang dengan opini dan keputusan hidup yang banyak kalanya tidak sejalan dengan ekspektasi orang tuaku. Karena aku sudah tergolong orang dewasa secara umur, orang tuaku juga sudah tidak bisa terlalu memaksa lagi. Lalu apakah aku selalu benar? Oh sudah pasti tidak jawabannya! Dan apakah orang tuaku selalu benar juga?! Delapan puluh persen sih… Perkembangan zaman yang sangat cepat ini membuat beberapa opini mereka sudah tidak lagi relevan . Jujur berkata, aku sering tidak sabar dan cepat terpancing, sehingga diskusi yang aku intensikan di awal berakhir dengan tantangan dan kemarahan.

Hormat

Memang Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana anak dan orang tua seharusnya berelasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka dengan berbagai opini yang berbeda, serta tantangan untuk melihat dengan jelas garis pemisah antara apa yang benar dan yang salah. Namun, sebagai orang Kristen, aku percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya buku yang memberikan pengajaran-pengajaran mendasar yang relevan sepanjang masa.

Ada dua pengajaran penting yang Alkitab selalu tekankan mengenai etika anak kepada orang tua, yaitu hormat (Kel. 20:12 ; Ef. 20:12) dan taat (Ams. 1:8-9 ; Kol. 3:20). Menghormati dan taat adalah dua hal yang berbeda. “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20:12). Perintah ini diberikan dalam konteks tidak peduli apa pun situasinya, memberikan hormat kepada orang tua kita itu sudah selayaknya kita berikan karena sudah menjadi hak orang tua untuk mendapatkan hormat.

Apa sih bentuk etika menghormati kita kepada orang tua kita? Menghormati tidak sekadar apa yang kelihatan di luar, seperti saat kita menyapa mereka, mendahulukan mereka, dan sebagainya. Meskipun semua ini benar, namun konsep menghormati yang dimaksudkan di Alkitab mencakup penghormatan secara sikap dan juga mental. Contoh sikap menghormati secara mental adalah saat bagaimana kita memikirkan nasihat-nasihat orang tua kita. Jika kita menghormati dengan kesungguhan hati, maka kita pasti akan menghargai dan mempertimbangkan masukan dari orang tua kita. Bagaimanapun juga mereka sudah hidup jauh lebih panjang, pengalaman asam garamnya pun lebih banyak, maka sesungguhnya opini mereka mungkin ada benarnya. Seberapa sering kita akhirnya menyadari akan posisi kita yang salah, lalu teringat akan nasihat orang tua kita di awal? Kalau aku sih lumayan sering, tapi ya diem-diem aja (entar terkesan kalah dong gue hahaha).

Bentuk penghormatan anak kepada orang tua banyak diperjelas secara spesifik di ayat-ayat lainnya, seperti di kitab Amsal 1:8 TSI, yang bunyinya, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Si penulis tidak mengatakan agar kita langsung melakukan apa yang ayah-ibumu sudah katakan, tapi kata yang digunakan adalah “dengar” dan “jangan menyia-nyiakan.” Adanya sebuah ajakan untuk si anak agar mempertimbangkan perkataan orang tuanya. Penulis Alkitab mungkin sudah tahu kalau anak di generasi manapun itu sering banget mengangguk-angguk, tapi sebenarnya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Taat

Lain dengan menghormati yang kasusnya unconditionally atau tanpa syarat, ketaatan bersifat conditional. Bukan berarti ini memberikan kita alasan untuk menjadi anak yang membangkang ya, melainkan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia yang berdosa.

Orang tua kita juga manusia yang berdosa dan bisa salah, sehingga ketaatan tertinggi kita berikan hanya kepada Tuhan (Kis. 5:29b: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia”). Ada penjelasan bahwa seiring bertambahnya dewasa anak serta bertumbuhnya cara pikir si anak, maka mereka juga memiliki pertimbangan dan opsi yang lebih matang, yang mungkin membuat mereka lebih memahami apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu, ada perihal khusus di mana orang tuanya melarang anak ke gereja, atau kasus di mana orang tuanya jelas memberikan solusi yang salah, dan sebagainya. Sehingga, ketaatan ini sebenarnya bersifat conditional atau dalam bahasa sederhananya: ya kita lihat dahulu ya konteksnya bagaimana.

Patut diingat, bahwa karena ketaatan tertinggi hanya kita berikan kepada Tuhan, maka keputusan yang kita ambil harus dalam lingkup apa yang Tuhan katakan boleh dan tidak, bukannya kita malah mengambil keputusan atas dasar suka-suka kita.

Lalu, dikarenakan peraturan nomor #1 (menghormati) bersifat harus, maka peraturan nomor #2 ini bisa disanggah dengan mengingat adanya aturan nomor #1. Seperti contoh kasus yang sering aku hadapi—perselisihan pendapat. Ada kalanya kita tidak setuju dengan cara pikir dan solusi orang tua kita; maka tanpa harus bertengkar, kita bisa belajar untuk mengontrol cara bicara kita dan mengutarakan opini dengan sikap menghormati. Kita menghormati mereka meskipun tidak “menaati” masukan mereka. Memang sih, butuh kesabaran yang banget nget, karena seringkali emosi kita mudah terpancing. Setuju, setuju??

Keluarga bisa dibilang sebagai komunitas terdini yang Tuhan percayakan untuk si anak belajar bagaimana mengikuti kehendak yang lebih berotoritas dengan tujuan seiring bertambah besarnya mereka, si anak pun menjadi terbiasa untuk taat kepada Tuhan.

Jadi, keluarga seperti sekolah pelatihan cara menghormati dan menaati yang berotoritas. Cukup masuk akal sih menurutku, karena kalau kita saja tidak bisa menghormati dan menaati orang tua yang kelihatan, bagaimana kita bisa menghormati dan menaati Tuhan yang tidak kelihatan.

Ingat, bahwa orang tua kita sudah dipercayakan oleh Tuhan otoritas, maka sebagai anak kita sudah sepatutnya menghormati dan menaati mereka.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi dan Menghormati Orangtua (Saat Mereka Tidak Layak Mendapatkannya)

Oleh Gabriella

Bagiku, salah satu bagian Alkitab yang paling susah kutaati adalah Efesus 6:1-3, yang aku rasa sering menjadi ayat hafalan di sekolah Minggu:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Mengapa? Hubunganku dengan orangtuaku kurang begitu baik. Pertama, mereka bukanlah orang percaya (setidaknya selama aku tumbuh besar), sehingga kami sering memiliki pandangan yang berbeda tentang banyak hal dalam kehidupan. Kedua, mereka bercerai saat aku masih berusia tiga tahun, sehingga memori masa kecilku lebih banyak dipenuhi dengan kekecewaan, kesepian, dan tangisan yang tidak ingin kuhidupi kembali. Dan sayangnya, kedua orangtuaku sering mengatakan hal yang buruk tentang satu sama lain kepadaku, sehingga itu membuat image mereka dalam benakku ternodai dan semakin susah bagiku untuk menghormati mereka, sekalipun aku tahu tidak semua yang mereka katakan itu benar.

Mengapa aku harus mengasihi orangtuaku, saat aku juga tidak bisa merasakan kasih mereka untukku? Mengapa aku harus menghormati mereka, saat mereka telah melakukan banyak hal yang kurang terhormat? Aku ingin membagikan sebagian hasil pemikiran dari pergumulan panjangku, walau sejujurnya aku juga masih terkadang (bahkan mungkin sering) jatuh dan tidak berhasil menerapkannya. Aku harap kita bisa menjalani perjuangan ini bersama-sama.

1. “Hate the sin, love the sinner”

Perkataan ini cukup kontroversial karena seringkali digunakan dalam konteks merendahkan orang lain, atau saat kita merasa dosa yang dilakukan orang lain lebih buruk dari dosa kita. Selama ini aku mengartikan kalimat ini bahwa kita seharusnya hanya membenci perbuatan jahat yang mereka lakukan tanpa membenci orangnya, tapi aku berubah pikiran saat mendengar pernyataan dari R.C. Sproul: “Kita adalah orang berdosa bukan karena kita berbuat dosa, kita berbuat dosa karena kita adalah orang berdosa. Aku menyadari bahwa dosa bukanlah sekadar perbuatannya, tapi merupakan sengat maut dari maut (1 Korintus 15:56), yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Seringkali kita tahu apa yang baik untuk dilakukan, tapi tetap saja kita tidak bisa melakukannya karena kita adalah orang berdosa (Roma 7:15-20).

Membenci dosa bukan berarti sekadar membenci perbuatan jahat orang lain—termasuk orangtua kita—tapi membenci dosa itu sendiri. Dosa adalah musuh kita semua yang telah membawa kehancuran dalam dunia yang Tuhan ciptakan dengan sempurna. Dosa telah merusak dunia secara begitu menyeluruh (Roma 8:22-23), bahkan mereka yang menyakiti kita pun termasuk korbannya. Jika musuh dari musuh kita adalah teman kita, bukankah seharusnya kita tidak membenci mereka yang telah menyakiti kita?

Dalam kasus ini, aku akhirnya dapat sedikit memahami kedua orangtuaku yang juga tidak memiliki masa kecil yang bahagia dengan orangtua mereka. Aku rasa mereka bukan dengan sengaja ingin merusak masa kecilku dan menyakiti perasaanku, dan kalaupun mereka ternyata memang sengaja, itu hanyalah efek samping dari hidup dalam dunia yang sudah bobrok dan dirusak oleh dosa ini. 

Untuk kita bisa love the sinner, pertanyaan selanjutnya adalah siapakah sinner itu? Aku yakin sebenarnya aku tidak perlu menuliskan ini kembali karena kita semua pasti sudah mendengar pesan ini berkali-kali dan hapal di luar kepala. Jadi mari kita jawab bersama-sama: kita semua. 

2. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8) 

Kita baru saja merayakan Paskah bulan lalu. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa Yesus mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, walau mereka inilah ciptaan-Nya yang sudah memberontak, menolak-Nya, mencemooh-Nya, meludahi-Nya, memaku tangan dan kaki-Nya, mencambuk punggung-Nya hingga penuh bilur dan luka. Setelah pengkhianatan yang luar biasa ini, apa yang Ia katakan? ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).

Kita berhak mengharapkan orangtua kita mengasihi kita, seperti Tuhan berhak mengharapkan ciptaan-Nya untuk mengasihi-Nya. Namun, saat kita mengecewakan Dia dan gagal, Ia merespons dengan kasih dan pengampunan. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk merespons kekecewaan kita terhadap orangtua kita dengan kasih dan pengampunan yang Tuhan telah berikan lebih dahulu pada kita.

Walau ini klise, tapi seringkali pengetahuan kita tidak benar-benar meresap dalam hati dan pikiran kita. Kalau kita tahu kita semua orang berdosa, seharusnya kita bisa mengampuni orang lain yang telah menyakiti kita karena kenyataannya kita tidak lebih baik dari mereka. Namun nyatanya, tetap sangat sulit untuk mengampuni dan memaafkan orang lain karena… (drum roll) kita adalah orang berdosa. Jadi, mana yang lebih dulu? Ayam atau telur? 🙂

Mari kita minta pertolongan Roh Kudus untuk memampukan kita mengampuni, mengasihi, dan menghormati orang yang telah menyakiti kita, terutama orangtua kita. Mari kita berjuang bersama-sama; tolong doakan aku dan aku akan mendoakanmu juga.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kita adalah Buah dari Pohon Keluarga

Oleh Dhimas Anugrah

Kita tentu tidak asing dengan kalimat yang mengatakan “belajar itu bisa dari mana saja”. Tapi, pernahkah kita menyelidiki di mana tempat belajar pertama kali seorang manusia?

Setiap kita bertumbuh dari pembelajaran dalam keluarga. Secara mendasar, tiap insan belajar mengamati kehidupan sehari-hari dimulai dari rumah, dari lingkar terdekatnya, atau secara khusus: dari orangtua. Karena tiap rumah punya pola didik yang berbeda, tak heran jika kita amati orang-orang yang ada di komunitas, kita menjumpai beragam karakter. Seorang pemerhati sosial mengatakan: “setiap manusia adalah buah dari pohon keluarganya.”

Sebagai contoh, secara psikologis sikap orang tua yang terlalu keras pada anak dalam penerapan disiplin bisa memberikan pengaruh negatif terhadap kepribadiannya di kemudian hari. Anak cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang terlalu khawatir, tidak percaya diri, berperilaku agresif atau terlalu malu dekat orang lain, sulit bersosialisasi, bahkan sulit mengendalikan diri. Ini bukan berarti tidak boleh mendisiplinkan anak, tetapi aturan dan batasannya perlu tetap proporsional. Hasil pendidikan di keluarga pun turut menyumbang dinamika pergaulan di antara manusia yang tidak jarang bersentuhan dengan kerumitan. Maka, tidak berlebihan jika Alkitab memandang peranan orangtua atau keluarga begitu penting.

Kitab Suci memberi perhatian penting pada keluarga. Sebagai contoh, di dalam Kitab 1 Raja-raja saja disebutkan ada 16 nama ibu dari raja yang berkuasa di Kerajaan Selatan, yaitu Zerua (ibu Yerobeam), Maakha (ibu Abiam), Azuba (ibu Yosafat), Atalya (ibu Ahazia), Zibya (ibu Yoas), Yoadan (ibu Amazia), Yekholya (ibu Uzia), Yerusa (ibu Yotam), Hebzhiba (ibu Manasye), Mesulemik (ibu Amon), Zedida (ibu Yosia), Mahamutal (ibu Yoahas), Nehusta (ibu Yoyakhin), dan Yehusta (ibu Zedekia). Raja Yosafat melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan karena pengaruh ibunya, sementara Ahazia melakukan apa yang jahat karena pengaruh ibunya Atalya (2 Raja-raja 23:8).

Di dalam Perjanjian Baru disebutkan peran besar Lois dan Eunike bagi Timotius. Kedua wanita yang takut akan Tuhan ini memberikan teladan hidup dan didikan yang baik bagi anak rohani Paulus itu (2 Timotius 1:5; 3:15). Di dalam sejarah gereja, ada pula seorang ibu yang bernama Monica. Dia dikarunia putra yang jenius, tetapi hidup putranya itu hidup berkajang dalam dosa hingga akhirnya mengalami pertobatan. Anak itu bernama Agustinus, salah seorang teolog besar dalam sejarah gereja yang hingga kini pemikirannya dilestarikan oleh tradisi Katolik dan Protestan.

Orangtua sebagai Arsitek Peradaban

Contoh dari Alkitab dan sejarah tadi menguatkan anggapan bahwa peran orangtua begitu penting dalam perkembangan karakter seseorang, baik itu secara fisik, emosional, sosial, dan intelektual. Jika seorang arsitek ingin merancang sebuah bangunan, ia harus membuat fondasi dan struktur yang kukuh, sehingga bangunan yang ia rancang dapat berdiri tegak dan kuat selama mungkin. Jika fondasi dan strukturnya tidak kuat, maka bangunan tidak akan bertahan lama. Demikian pula perkembangan jiwa seseorang sejak ia kanak-kanak. Bila fondasi dan struktur jiwanya tidak solid, maka ia akan bertumbuh menjadi manusia berkepribadian tidak baik pula. Bisa saja itu terwujud dalam sikap yang sulit berhubungan dengan orang lain, tidak mengindahkan norma dan moral, dsb. Di sinilah pentingnya orangtua sebagai arsitek jiwa manusia. Yang tiba pada gilirannya, kumpulan manusia tersebut akan membentuk suatu peradaban.

Orangtua bertanggung jawab membentuk kepribadian anak dan mempengaruhi nilai-nilai, skill, sosialisasi, dan rasa aman mereka. Orangtua diundang menjadi panutan untuk dicontoh putra-putri mereka. Tentu, gereja memang bertugas mengajar anak-anak mengenai pengajaran dasar iman, tetapi tanggung jawab utama membangun dan membentuk anak-anak menjadi pribadi Kristen adalah orangtua mereka. Sebagai arsitek jiwa manusia dan peradaban, orangtua didorong untuk mengajar anak mereka mempunyai karakter Kristen, di mana Kristus menjadi yang utama dalam hidup mereka.

Tentu, tidak ada orangtua yang sempurna di dunia ini. Orangtua pun merupakan buah dari didikan orangtua mereka. Ada keluarga yang menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi tidak sedikit keluarga yang kehilangan fungsinya bagi anak-anak mereka. Ini adalah realitas yang kita hadapi. Namun, ketika kini orangtua Kristen telah mengetahui betapa besarnya peran mereka bagi pertumbuhan anak-anak mereka, setiap orangtua diundang untuk mendidik anak-anaknya dalam kasih Kristus dan memperhatikan mereka sebagai pribadi yang utuh.

Keluarga adalah Pohon, Anak adalah Buahnya

Tidak bisa dipungkiri, keluarga laksana pohon dan anak adalah buah-buahnya. Ini karena di dalam keluarga anak-anak dibimbing serta diajar tentang nilai dan moral yang baik, yang jika itu terlaksana dengan baik, maka seorang anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang utuh. Sebaliknya, jika proses pembimbingan dalam keluarga tidak tercapai, maka seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh. Dalam konteks Kristiani, ketidakutuhan ini dapat disebabkan antara lain: kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak, pengajaran firman Tuhan kepada anak yang minim, pengawasan orang tua yang kurang, dan absennya teladan yang baik dari orangtua.

Sebagai pusat pembentukan kehidupan rohani, dari keluargalah setiap orang mempelajari pola-pola hubungan akrab dengan orang lain, nilai-nilai, ide, dan perilaku sopan santun. Seperti pohon, keluarga merupakan tempat bernaung, yaitu tempat berteduh dan bertumbuh. Keluarga adalah bagian dari rencana Allah. Keluarga adalah bangunan dasar dari tata masyarakat yang kuat. Keluarga adalah tempat kita bisa merasakan cinta dan belajar mengasihi orang lain. Bagi kita yang mungkin berasal dari keluarga tidak ideal, kasih Kristus mendorong kita mengampuni orangtua kita dan berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita adalah orangtua Kristen, maka kita diundang untuk mendidik dan membesarkan putra-putri kita dalam kasih Kristus. Hidup terkadang terasa keras, dan setiap anak membutuhkan keluarga yang dapat menemani mereka menghadapi kerasnya dunia. Keluarga adalah tempat yang aman di mana kita bisa mendapatkan nasihat, dukungan, pelukan, dan, bila ada: setoples kacang mede.

Belajar Jadi Anak: Proses Seumur Hidup untuk Kita Semua

Oleh Edwin Petrus

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), aku meninggalkan kota kelahiranku. Aku merantau ke negeri orang untuk mendapatkan gelar sarjana. Selanjutnya, aku pun berkelana lagi ke kota orang untuk meniti karier. Enam tahun kemudian, aku melanjutkan studi ke sebuah kota yang jaraknya kurang lebih dua ribu kilometer dari rumahku. Tiga belas tahun sudah, aku pergi merantau.

Aku adalah seorang anak tunggal yang mendapatkan kasih dan perhatian penuh dari kedua orang tuaku. Namun, secara perlahan dan tanpa aku sadari, kehidupan di perantauan telah mengikis kemanjaanku dan mengubahnya menjadi kemandirian, hingga aku terbiasa melakukan banyak hal seorang diri. Sampai-sampai, banyak orang sering meragukan kalau aku adalah anak satu-satunya dalam keluargaku. Gambaran tentang anak tunggal yang manja sepertinya sudah hilang dari hidupku.

Selama merantau, aku tidak pernah menyia-nyiakan momen liburan bersama keluarga di rumah. Sekali setahun, aku pasti pulang ke rumah untuk beberapa hari lamanya. Aku memanfaatkan hari-hari libur untuk bercengkrama dengan papa dan mama. Walaupun biasanya selalu berkomunikasi melalui sambungan telepon maupun pesan singkat, tapi aku dapat merasakan kehangatan yang berbeda ketika kami banyak bertukar cerita sambil menyantap makanan-makanan khas dari kota kelahiranku. Namun, momen kebersamaan dengan mereka hanya dilalui beberapa hari dalam setahun, yang selalu dihabiskan dengan sukacita tanpa perbedaan cara pandang dan konflik yang berarti.

Di penghujung tahun 2021, aku memilih untuk pulang kampung. Kali ini aku sudah menetap kembali di rumah. Dan ternyata, aku menjumpai diriku berada di sebuah lingkungan yang tampak asing. Padahal aku kembali ke rumah yang pernah ku tinggali selama delapan belas tahun. Namun, aku mendapati bahwa aku harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup dari kedua orang tuaku yang sudah kutinggalkan hidup berdua selama ini. Aku perlu mengatur ulang tatanan rutinitasku yang selama ini sudah terbiasa dijalani seorang diri karena aku perlu memikirkan dampaknya bagi kedua orang tuaku. Aku pun belajar memahami cara berpikir orang tuaku yang sudah semakin memutih rambutnya dan membangun cara berkomunikasi yang pas dengan mereka.

Saking banyaknya hal-hal yang harus aku pelajari ketika aku kembali pulang, aku sampai pada titik di mana aku merenungkan sebuah pertanyaan: sampai pada usia berapa sebenarnya seseorang perlu belajar sebagai seorang anak?

Selama ini, di dalam benakku, aku mengira bahwa hanya orang tua saja yang perlu mengikuti kelas parenting. Peran anak hanyalah sebagai objek yang menerima seluruh pengasuhan itu.

Namun, setelah aku merefleksikan lagi pertanyaan tadi, aku menemukan bahwa sekolah menjadi anak adalah pembelajaran seumur hidup. Secara konsisten, kita perlu terus belajar menjadi seorang anak karena sampai akhir hayat, seseorang tetap menyandang gelar sebagai anak dari orang tuanya. Bahkan, pada sebagian suku bangsa, nama orang tua melekat di balik nama anaknya. Akta kelahiran juga menuliskan dengan jelas nama orang tua dari sang anak pemilik surat itu.

Di sisi lain, ketika aku membaca kembali hukum kelima dari sepuluh hukum Taurat (Keluaran 20:1-17), aku menyadari bahwa perintah Allah yang mengatur relasi orang tua-anak ini juga membicarakan hal yang sama dengan pesan yang sangat jelas:

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12).

Dari perintah ini, aku menyadari bahwa hormat yang diberikan oleh seorang anak kepada ayah-ibunya berlaku seumur hidup. Tidak ada pengecualian dari Tuhan bahwa seorang anak boleh berhenti menunjukkan respeknya kepada kedua orang tuanya setelah ia menginjak usia delapan belas tahun.

Hukum ke-5 ini juga memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan sembilan lainnya. Jikalau hukum lainnya lebih terdengar seperti larangan bagi umat Allah untuk tidak boleh melakukan beberapa hal, maka menghormati orang tua adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan secara aktif oleh setiap umat Allah. Selain itu, hukum ke-5 ini adalah satu-satunya hukum yang mengandung janji, bahwa setiap orang yang mengerjakan perintah ini akan mendapatkan berkat dari Allah.

Selain itu, sebuah kata yang menarik perhatianku dalam hukum ini adalah kata “hormat”. Empat hukum yang mengawalinya adalah tuntutan Allah kepada umat-Nya untuk menunjukkan hormat mereka kepada kekudusan Allah. Namun, Allah juga menggunakan kata “hormat” yang sama ketika Ia menginstruksikan agar setiap orang percaya menghormati orang tua mereka. Jadi, ketika kita menghormati ayah dan ibu sebagai anugerah dari Allah dalam hidup kita, pada waktu sama, kita juga memuliakan Allah. Wow!

Kawan, aku menyadari bahwa menghormati orang tua bukanlah perkara mudah bagi sebagian orang. Aku pun pernah mendengarkan berbagai kisah tentang orang tua yang sepertinya tidak layak untuk dihormati oleh anaknya. Ada anak yang bertumbuh dari keluarga dengan orang tua tunggal ataupun orang tua angkat karena mereka telah “dibuang” oleh orang tuanya sejak kecil. Sebagian lain hidup di dalam ketakutan karena salah satu dari orang tuanya mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak lainnya tidak pernah bangga dengan figur papa maupun mamanya karena perilaku dan tindakan mereka yang menyakiti hati anak-anaknya. Kawan, mungkin kamu adalah salah satu dari anak-anak itu.

Keluargaku juga bukan keluarga yang sempurna. Aku juga pernah menemukan kekurangan dari ayah-ibuku ketika aku membandingkan mereka dengan orang tua dari teman-temanku. Dalam Alkitab pun, kita tidak dapat menemukan keluarga yang sempurna karena relasi manusia telah dirusak oleh dosa. Walaupun demikian, aku mau belajar untuk meneladani Yesus di dalam menghormati orang tua-Nya. Walaupun Maria hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya oleh Allah untuk melahirkan Anak-Nya, tetapi selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus menunjukkan respek yang tinggi terhadap ibu-Nya. Bahkan, sesaat sebelum Ia mati di kayu salib, Yesus menitipkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah satu murid-Nya, untuk dapat merawat Maria (Yohanes 19:27).

Ketika aku semakin dewasa dan kedua orang tuaku semakin memutih rambutnya, aku menyadari bahwa bentuk hormatku kepada mereka juga perlu mengalami perubahan. Benak hati mereka berkata bahwa mereka merindukan anak yang bisa mereka banggakan. Mereka menginginkan telinga seorang anak yang siap mendengarkan tutur kata mereka. Mereka mengharapkan dukungan dari anak yang memaklumi sedikit kelambanan dan kepikunan mereka. Mereka mengharapkan kasih dan perhatian yang bukan hanya sekadar omongan belaka, tetapi nyata dalam tindakan yang menemani masa tua mereka. Mereka membutuhkan tuntunan untuk dapat menggunakan teknologi yang semakin canggih. Aku mau terus belajar untuk menjadi anak yang menunjukkan hormat kepada orangtuaku, sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka.

Yesus telah menjadi Guruku dalam menjalani pembelajaran ini, Roh Kudus telah menjadi Penolongku dalam mempraktikkannya, dan Allah Bapa memberiku anugerah dan kesempatan untuk terus belajar di tengah jatuh bangunku. Aku juga berdoa, kiranya teman-teman juga mau belajar menjadi seorang anak yang menghormati orang tua.

Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Oleh Alvin Nursalim, Jakarta

Sang bapak terlihat lelah, namun semangatnya tidak hilang. Dia mengambil nasi bungkus yang dibelinya di warung di depan rumah sakit dan mencuri waktu untuk makan di samping tempat tidur anaknya. Ketika anaknya mengerang kesakitan, dia dengan sabar mengucapkan kata-kata penyemangat sembari mengelus tangan sang anak.

Bapak itu bukan orang yang asing dengan rumah sakit. Sejak anaknya kecil, dia sudah rutin bolak-balik ke rumah sakit. Anaknya menderita hemofilia, gangguan darah yang mengakibatkan tubuh mudah mengalami pendarahan. Salah satu efek dari penyakit ini adalah gangguan pada sendi-sendi tubuh. Kala si anak beranjak dewasa, penyakit ini tidak sirna, malah serangan pendarahan yang nyeri semakin sering terjanji. Nyeri ini semakin sering jika obat khusus yang menolong pembekuan darah terlambat disuntikkan.

Walau demikian, kedua orangtua dari si anak setia mendampingi proses perawatannya. Sang bapak bukan dari kalangan berada. Proses perawatan dilakukan di bangsal kelas tiga, yang berisi enam pasien dalam satu kamar, bukanlah kondisi yang nyaman bagi pasien dan keluarga yang menjaga. Tetapi, sang ayah rela mengorbankan waktu dan kenyamanannya. Dia bersama istrinya terkadang meringkuk di karpet tipis di samping ranjang.

Begitu besar kasih sayang orangtua pada anaknya. Sakit yang diderita sang anak menjadi kesakitan yang nyata pula, yang turut menyakiti orangtuanya.

* * *

Tiga paragraf di atas adalah sepenggal dari banyak kisah yang kusaksikan dalam keseharianku di rumah sakit. Kala itu aku sedang belajar menjadi dokter dan pengalaman-pengalaman itu membuatku menyadari bahwa yang paling penting selama pendidikanku menjadi seorang dokter bukanlah teori-teori kedokteran, tetapi bagaimana aku bisa berbagi nilai kasih sayang dan kemanusiaan kepada sesamaku.

Kisah sang bapak yang menyayangi anaknya itu menggemakan kembali ingatanku akan kisah yang tertulis dalam Lukas 15, kisah tentang seorang anak yang mengambil harta warisannya, lalu pergi berfoya-foya. Ketika hartanya habis, ia pun mengalami kesusahan. Segala cara ditempuhnya untuk bertahan hidup, sampai akhirnya dia teringat betapa nyamannya kehidupannya dahulu di rumah ayahnya. Dia lantas memberanikan diri untuk pulang. Respons yang mengejutkan terjadi di sini: alih-alih mengusir sang anak karena merasa sakit hati, sang ayah malah menyambutnya dengan pelukan hangat.

Sosok ayah dalam perumpamaan tersebut hendak menunjukkan pada kita akan besarnya kasih Allah. Jika kita bicara tentang Allah, kita tentu akan bicara pula tentang kasih, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Kasih Allah begitu panjang, lebar, dalam, dan tak terselami oleh pemikiran kita. Dan, kasih Allah itu adalah kasih yang kekal dan tidak berubah. Kendati kita seringkali terhilang seperti si anak bungsu yang berfoya-foya, Allah tidak mencampakkan kita. Dia menyambut kita bilamana kita bersedia berpaling dari cara hidup kita yang sesat.

Namun, mungkin yang menjadi pertanyaan kita adalah: bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan kasih yang mulia, seperti yang diteladankan oleh Allah sendiri?

Alkitab dalam 1 Korintus 13:4-8 memberikan gambaran yang lebih spesifik dari kasih yang bisa kita wujud nyatakan:

“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Bagiku pribadi, ayat ini terasa begitu dalam. Aku sendiri merenungkan: apakah bisa manusia dengan segala kekurangannya mengasihi dengan standar tersebut? Secara manusiawi mungkin kita berkata mustahil, tetapi sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, meneladani kasih tersebut bukanlah kemustahilan, sebab barangsiapa di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup kudus dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih itu tidak cemburu, kita bisa menerapkannya dalam langkah yang sederhana, semisal tidak membiarkan diri kita jatuh pada iri hati dan tidak puas ketika melihat postingan seorang teman di media sosial.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak bermegah diri dan sombong, kita bisa menahan diri untuk memamerkan pencapaian-pencapaian kita.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, kita bisa menawarkan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, kendati mungkin saat itu kita sendiri merasa lelah atau kekurangan.

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah, dan Dia jugalah yang memampukan kita untuk meneruskan kasih itu kepada sesama kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Suatu pertanyaan membekas di hatiku: sungguhkah aku telah berubah? Hidupku tidak terasa wah dan aku jadi gelisah. Namun, lewat satu pertemuan dengan kakak rohaniku, Tuhan memberiku jawaban.

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang
Foto diambil dari Pexels

Cerita antara aku dan ayahku bisa dibilang bukanlah kisah romantis. Hubunganku dengan ayah tidak terlalu dekat karena trauma masa kecil yang masih membekas, tetapi aku bisa memahami kasihnya.

Sehari-harinya, aku memanggil ayah dengan sebutan “bapak”. Dia orang yang tegas dan cukup keras. Ketika kecil, bapak pernah memukulku di depan banyak orang. Ketika aku beranjak besar, dia beberapa kali menolak memberiku uang jajan, sehingga untuk memenuhi kebutuhanku waktu itu aku cuma berani minta ke ibuku. Kejadian-kejadian yang menurutku buruk itu sering kuingat, tapi bapak selalu berkata bahwa sikap kerasnya itu untuk mendidikku.

Sampai akhir hidup bapak, aku tidak menjalin relasi yang hangat dengannya. Kata-kata terakhir yang dia ucapkan padaku adalah, “Nang, pasti kau merasa aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang sama kamu, Nang.” Seketika air mataku pecah. Aku menyesal, tidak bisa lagi menjalani hari-hari dengan melihat wajahnya.

Dalam penyesalan itu, aku bilang pada ibuku kalau aku mau berhenti berdoa dan beribadah, tapi ibuku menjawab, “Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan.”

Sepeninggal bapak, aku melanjutkan kuliahku dan aku jadi sering merenungkan kebaikan bapak yang selama ini kuabaikan. Memang bapak tidak pandai mengutarakan kasih sayangnya. Tapi aku ingat, pernah suatu kali, ketika aku berangkat ke luar kota untuk melanjutkan studi, sekilas aku melihat bapak menghapus air matanya. Dia lalu masuk ke mobil tanpa melihatku lagi. Aku mengabaikan air matanya, malah berfokus pada bapak yang melengos saja masuk ke mobil tanpa melihatku lebih lama.

Sampai suatu ketika, ibuku pun pergi menyusul bapak di surga. Kakakku lalu bercerita tentang masa-masa kecilku, saat dia bertugas menjagaku. “Aku ingat dulu waktu kamu kecil, aku harus menghabiskan makanan sisamu, karena kalau nggak, aku pasti kena marah sama amangboru dan namboru. Karena si Wisud ini ga banyak makan, ga boleh ada nasi yang sisa. Udah gitu harus lengkap makanannya: harus pakai wortel, ikan, digiling lagi. Setiap hari pasti ditanya nasinya habis atau gak, terus dilihat benar habis atau gaknya.” Aku tertawa mendengar cerita itu, tapi hatiku menangis. Aku menyesal baru mendengarnya sekarang, bukan ketika bapak dan ibu masih ada di bumi ini. Tetapi, aku bersyukur tetap bisa mendengar kisah ini yang akhirnya mengubah cara pandangku. Momen ini adalah titik balik aku memahami bagaimana bapak menyayangiku, sebagaimana Bapa di surga pun memelihara hidupku.

Rasa ego dan kepahitan yang kupendam membuatku buta akan kasih sayang yang sejatinya tercurah dari bapakku. Ketika aku merasa trauma karena dipukul sewaktu kecil, aku tidak mau mengerti bahwa ada alasan di balik tindakan bapak itu. Saat itu aku berteriak keras memanggil ibu untuk meminta kunci rumah, padahal aku bisa menemuinya langsung tanpa berteriak. Untuk mendidikku, bapak memukulku. Ada momen-momen ketika aku tidak mengerti alasan di balik tindakan bapak, yang kulakukan bukannya mempercayai bahwa dia bertujuan baik, malahan aku sibuk menyusun daftar kepahitan dalam hatiku.

Ada banyak kebaikan bapak yang tak bisa kuceritakan satu-satu, sebagaimana dia juga banyak berbuat salah karena dia hanyalah manusia biasa. Tetapi, aku menyayanginya. Aku tak bisa mengatakan itu ketika dia masih ada di dunia, tetapi dalam hatiku dan doaku, aku kini mengatakannya.

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kepada Allah, aku mengucap syukur untuk kedua orangtuaku. Mereka tidak sempurna, tetapi merekalah orangtua yang tepat buatku.

Semoga kesaksian sederhana ini dapat menolong kita untuk semakin mengasihi orangtua kita, juga memaafkan kesalahan yang pernah mereka lakukan. Kesalahan mereka bukan kepastian bahwa mereka tidak mengasihi kita, mungkin kita cuma tidak mengerti atau tidak mau mengerti alasan mereka melakukannya.

Tuhan Yesus memberkati.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Diam, Tak Bisa Melawan

Ketika aku dihina karena penampilan fisikku, aku sempat kecewa pada Tuhan . Tetapi kemudian, rasa sakit itu digantikan-Nya dengan perasaan kagum: bahwa cara Allah memandangku tidaklah sama dengan cara dunia.

Tidak Semua Orang Tua

Kadang kita tak menyadari, di balik nada marah, wajah lesu, atau raut kebingungan orang tua kita, tersimpan kasih sayang yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini, orang tua kita tetap berupaya melakukan bagiannya sebaik mungkin bagi keluarganya.

Tak ada orang tua yang sempurna, namun tiap orang tua layak mendapatkan apresiasi, sebab tanpa perjuangan, teladan, dan kasih sayang mereka, takkan muncul generasi mendatang yang tangguh.

Teruntuk Papa, Mama, Ayah, Ibu, terima kasih! Kami mengasihimu.

Kontribusi oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia dan @gracetjahyadi_ ) untuk Our Daily Bread Ministries (Santapan Rohani dan WarungSaTeKaMu)

Ketika Orangtuaku Melarangku untuk Ikut Kelompok Pendalaman Alkitab

Oleh Ricky Eben Ezer, Depok

Aku bersyukur karena Tuhan menyayangiku dan menyelamatkanku dari dosa. Setelah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku, pemimpin kelompok Pendalaman Alkitab (PA) di kampusku menantangku untuk berkomitmen mengikuti PA. Dengan yakin dan bersemangat, aku menerima tantangan itu.

Kebanyakan teman-teman PA-ku tinggal di kos di sekitar kampus, sedangkan aku setiap hari harus pulang-pergi dari rumah ke kampus yang jaraknya cukup jauh. Supaya tidak mengganggu waktu kuliah, kami sepakat melakukan PA di malam hari dan selesai agak larut. Setelah beberapa kali mengikuti PA, orangtuaku memintaku untuk berhenti mengikuti kelompok ini. Mereka khawatir akan keselamatan diriku kalau aku pulang malam-malam.

Aku sedih dan kecewa. Aku tahu kalau PA yang kuikuti ini adalah aktivitas yang baik, tapi mengapa oangtuaku melarangku. Malam itu aku tidak bisa tidur. Hatiku gusar karena tidak tahu apa yang harus kulakukan supaya tetap bisa belajar Alkitab dan menumbuhkan imanku. Namun, kemudian aku teringat pesan yang kudapat dari PA, bahwa alih-alih menggerutu, berpikiran negatif tentang orangtuaku, dan khawatir karena tidak bisa ikut PA lagi, aku bisa berdoa. Dalam doaku, aku menyatakan kegusaranku kepada Tuhan.

Meski aku tidak mengikuti PA, namun Tuhan tetap menganugerahiku dengan pertumbuhan iman. Lewat doa-doa yang kunaikkan setiap hari, aku semakin rindu untuk berelasi intim dengan-Nya. Tak ada yang kusembunyikan dalam doaku. Kuceritakan segalanya kepada Tuhan, entah itu hal yang menyenangkan, menyedihkan, ataupun memalukan. Dan, dalam relasiku dengan Tuhan itulah aku diingatkan kembali bahwa hendaknya pertumbuhan imanku dapat dinikmati juga oleh orang-orang di sekitarku.

Sebelum aku mengenal Kristus, aku suka berbohong kepada orangtuaku karena buatku mereka itu terlalu protektif. Kupikir tidak ada anak lelaki yang suka kalau hidupnya terlalu banyak diatur. Kebohongan demi kebohongan yang kulakukan itu semata-mata supaya aku bisa lebih bebas. Aku tidak ingin hidup dengan terlalu banyak aturan.

Belakangan, aku sadar bahwa kegemaranku berbohong itu bukanlah solusi atas ketidaksukaanku atas protektifnya orangtuaku. Masakan aku berdoa tetapi terus menerus berbohong? Tidak mungkin imanku dapat bertumbuh baik apabila aku terus memelihara dosa. Hari itu aku berkomitmen untuk hidup jujur.

Mungkin aku bisa membohongi orangtuaku supaya aku bisa ikut PA. Tapi, aku tahu betul bahwa bohong itu dosa, dan dosa tidak berkenan di hati Tuhan. Setelah beberapa waktu berselang, aku kembali meminta izin kepada mereka untuk kembali mengikuti PA. Mereka menolak dengan alasan yang sama. Seminggu kemudian, aku memberanikan diriku untuk meminta izin kembali. Dengan lembut, aku menjelaskan pada mereka bahwa mengikuti kelompok PA bukanlah sesuatu yang buruk, tapi mereka masih bersikukuh. Katanya, mereka khawatir kalau PA yang dilakukan malam hari itu akan mengganggu jadwal kuliahku dan mengganggu kesehatan tubuhku.

Aku mencoba menjelaskan sehalus mungkin pada mereka bahwa aku membutuhkan dukungan dari rekan-rekan PA sebagai komunitas orang percaya. Hingga akhirnya, saat aku mengajak mereka untuk berefleksi mengenai perubahan apa yang terjadi kepadaku setelah aku menerima Kristus, mereka menyadari bahwa sifatku telah banyak berubah, dari yang buruk menjadi lebih baik. Aku mengakui pada mereka kalau dulu aku suka membohongi mereka, tapi sekarang tidak lagi. Tuhan melembutkan hati kedua orangtuaku. Hari itu mereka mengizinkanku untuk kembali mengikuti PA. Aku bersyukur kepada Tuhan karena bisa kembali bertumbuh bersama dengan kelompok PA-ku. Sekarang, aku dan orangtuaku memiliki waktu bersaat teduh dan doa pribadi, juga bersama-sama memuji Tuhan dalam ibadah keluarga.

“Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur” (Kolose 4:2).

Baca Juga:

Saat Pikiranku Terjerat Fantasi Seksual

Pikiranku begitu mudah tertuju kepada hal-hal yang berbau seksual. Saat aku sedang sendirian, atau ketika ada temanku datang dan mereka menyinggung sedikit saja tentang seks, imajinasiku langsung berkembang. Aku memohon pada Tuhan dan berjuang untuk keluar dari jeratan dosa ini.