Posts

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Ke Mana Pun Aku Pergi, Tuhan Menjaga yang Aku Cintai

Oleh Bintang Lony Vera, Ambon

Bunyi petasan bersahut-sahutan dan kembang api turut menambah warna langit malam satu bulan yang lalu saat pergantian tahun. Jika biasanya anak-anak sudah tidur, malam itu pada pukul 00.00 mereka berlari kian kemari di halaman rumah dan jalan-jalan. Teman-teman dan kerabat bepergian keluar kota atau ke rumah sanak saudara. Semua ikut menyambut tahun baru dengan sukacita.

Kurasa hanya aku yang berdiam diri dalam kamar yang remang-remang. Duduk termangu sambil menghela napas. Badanku sehat dan tampak utuh berada di rumah, namun pikiranku melayang pada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang ibu, jemaat di gereja. Beliau bertanya beberapa hari sebelumnya, “Siapa sekarang yang menjaga Bapak dan Mama di Jakarta? Mereka kan sudah tua”. Pertanyaan ini dilontarkan di halaman gereja sepulang ibadah Natal dan terus terngiang-ngiang selama beberapa hari setelahnya.

Sejak pertengahan tahun lalu, aku harus meninggalkan keluarga untuk pergi bekerja di sebuah kampus yang ada di Kepulauan Aru, Ambon. Sebuah pekerjaan yang sudah kudoakan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hatiku yang semula mantap, rapuh juga dengan pertanyaan itu. Setelah aku renungkan, benar adanya. Masa tua adalah masa di mana mereka [orang tuaku] sebaiknya dikelilingi anak-anak yang berada dekat di sisi untuk menjaga, mengasihi, dan menolong mereka. Seiring senjanya usia, fungsi organ tubuh yang mulai berkurang dan badan yang mulai melemah pasti akan orang tuaku alami.

Aku kehilangan semangat bahkan sempat berpikir bahwa aku telah salah membuat keputusan untuk mengajar di sini. Sampai suatu ketika, aku membaca sebuah pesan WhatsApp dari seorang kerabat. Pesan itu dikutip dari 2 Korintus 12:9,

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu , sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Hatiku pelan-pelan berbisik, bukankah sudah cukup kasih karunia-Nya? Aku diberikan sebuah kesempatan untuk mengajar di timur Indonesia, sebuah cita-cita yang telah aku doakan sejak lama. Aku juga telah disertai-Nya selama kurang lebih enam bulan bertugas di sana. Aku diterima dan disambut dengan hangat oleh masyarakat sekitar. Aku dapat memahami dan menikmati pekerjaan baruku secara perlahan melalui rekan sekerja yang turut mendampingi dan mengajariku. Aku beroleh persekutuan. Kasih karunia Tuhan sangat besar dalam kehidupanku, maka akupun percaya kasih karunia Tuhan juga besar bagi orang tuaku.

Kami dipisahkan jauh dan aku sangat terbatas untuk menjaga orang tuaku. Namun, restu dari mereka menguatkan hatiku untuk tetap mengerjakan panggilan ini. Ayah dan ibuku mendukungku untuk pergi dan mengerjakan pekerjaan yang telah Tuhan percayakan. Ayah pernah berpesan agar aku mengabdikan diriku sepenuh hati di kota itu. Pesan dan restu dari orangtuaku memampukanku meninggalkan mereka sementara waktu dengan hati yang damai sejahtera.

Lewat Firman-Nya Tuhan juga meneguhkan hatiku. Sebuah perikop yang kubaca ketika waktu teduh menjelang keberangkatan pertama ke tempat tugas kubuka kembali dan aku membacanya pelan-pelan, demikian bunyinya.

“Beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku. Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau. Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:1-7).

Kalimat “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau” benar nyatanya. Tuhan selalu melindungiku dalam perjalanan laut saat menyebrang dari kota Ambon ke Pulau Aru. Aku belajar untuk menyimpan dalam hatiku dan memegang teguh janji setia-Nya secara terus-menerus. Aku menyerahkan Ayah dan Ibu juga kedua adikku dalam tangan kasih Tuhan. Aku tidak selalu bisa menjaga mereka namun tetap dapat mengetahui kondisi mereka melalui pesan WhatsApp atau telepon yang biasa kami lakukan setiap malam dan mendoakan mereka.

Aku belum tahu keputusan apa yang harus dibuat dalam jangka waktu panjang namun saat ini aku memutuskan untuk menetap disana karena sedikitnya tenaga pengajar. Sesungguhnya jarak yang memisahkan menjadikan kerinduan dan kasih sayang di antara ayah, ibu, aku, dan adik-adikku semakin bertumbuh. Jika saat ini kamu harus pergi meninggalkan orang terkasihmu untuk mengerjakan tugas panggilanmu, kiranya hatimu beroleh kekuatan karena Tuhan selalu menjaga dan memelihara mereka.

Sudahkah Kita Menyapa Orang Tua Kita Hari Ini?

Sobat muda, di saat usia kita semakin dewasa, tanpa kita sadari usia orang tua kita pun semakin senja.

Orang tua kita yang dulu dengan gigih menopang dan berjuang bagi kita, mungkin kini telah menjadi lemah—lebih sering lupa, mulai muncul beragam penyakit, atau kita pun mulai merasa lelah karena kita menganggap mereka terlalu rewel.

Usia senja menjadikan ritme kehidupan mereka lebih lambat daripada ritme dunia. Tak jarang mereka pun kesepian, tapi karena tak ingin merepotkan orang-orang terdekatnya, mereka menyimpan semua pergumulannya dalam hatinya.

Tuhan mengasihi semua generasi. Jika dahulu orang tua kita telah hadir dan mendukung kita, hari ini bersediakah kita hadir bagi mereka?

Our Daily Bread Ministries mengajakmu untuk ikut serta dalam sebuah proyek yang didedikasikan bagi para orang tua. Proyek ini tak akan terwujud tanpa dukungan dari anak-anak muda sepertimu. Cari tahu lebih lanjut tentang proyek ini di bit.ly/SeniorProjectODB dan pilih bentuk dukungan apa yang dapat kamu berikan.

Tonton juga video di bawah ini.

Kita adalah Buah dari Pohon Keluarga

Oleh Dhimas Anugrah

Kita tentu tidak asing dengan kalimat yang mengatakan “belajar itu bisa dari mana saja”. Tapi, pernahkah kita menyelidiki di mana tempat belajar pertama kali seorang manusia?

Setiap kita bertumbuh dari pembelajaran dalam keluarga. Secara mendasar, tiap insan belajar mengamati kehidupan sehari-hari dimulai dari rumah, dari lingkar terdekatnya, atau secara khusus: dari orangtua. Karena tiap rumah punya pola didik yang berbeda, tak heran jika kita amati orang-orang yang ada di komunitas, kita menjumpai beragam karakter. Seorang pemerhati sosial mengatakan: “setiap manusia adalah buah dari pohon keluarganya.”

Sebagai contoh, secara psikologis sikap orang tua yang terlalu keras pada anak dalam penerapan disiplin bisa memberikan pengaruh negatif terhadap kepribadiannya di kemudian hari. Anak cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang terlalu khawatir, tidak percaya diri, berperilaku agresif atau terlalu malu dekat orang lain, sulit bersosialisasi, bahkan sulit mengendalikan diri. Ini bukan berarti tidak boleh mendisiplinkan anak, tetapi aturan dan batasannya perlu tetap proporsional. Hasil pendidikan di keluarga pun turut menyumbang dinamika pergaulan di antara manusia yang tidak jarang bersentuhan dengan kerumitan. Maka, tidak berlebihan jika Alkitab memandang peranan orangtua atau keluarga begitu penting.

Kitab Suci memberi perhatian penting pada keluarga. Sebagai contoh, di dalam Kitab 1 Raja-raja saja disebutkan ada 16 nama ibu dari raja yang berkuasa di Kerajaan Selatan, yaitu Zerua (ibu Yerobeam), Maakha (ibu Abiam), Azuba (ibu Yosafat), Atalya (ibu Ahazia), Zibya (ibu Yoas), Yoadan (ibu Amazia), Yekholya (ibu Uzia), Yerusa (ibu Yotam), Hebzhiba (ibu Manasye), Mesulemik (ibu Amon), Zedida (ibu Yosia), Mahamutal (ibu Yoahas), Nehusta (ibu Yoyakhin), dan Yehusta (ibu Zedekia). Raja Yosafat melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan karena pengaruh ibunya, sementara Ahazia melakukan apa yang jahat karena pengaruh ibunya Atalya (2 Raja-raja 23:8).

Di dalam Perjanjian Baru disebutkan peran besar Lois dan Eunike bagi Timotius. Kedua wanita yang takut akan Tuhan ini memberikan teladan hidup dan didikan yang baik bagi anak rohani Paulus itu (2 Timotius 1:5; 3:15). Di dalam sejarah gereja, ada pula seorang ibu yang bernama Monica. Dia dikarunia putra yang jenius, tetapi hidup putranya itu hidup berkajang dalam dosa hingga akhirnya mengalami pertobatan. Anak itu bernama Agustinus, salah seorang teolog besar dalam sejarah gereja yang hingga kini pemikirannya dilestarikan oleh tradisi Katolik dan Protestan.

Orangtua sebagai Arsitek Peradaban

Contoh dari Alkitab dan sejarah tadi menguatkan anggapan bahwa peran orangtua begitu penting dalam perkembangan karakter seseorang, baik itu secara fisik, emosional, sosial, dan intelektual. Jika seorang arsitek ingin merancang sebuah bangunan, ia harus membuat fondasi dan struktur yang kukuh, sehingga bangunan yang ia rancang dapat berdiri tegak dan kuat selama mungkin. Jika fondasi dan strukturnya tidak kuat, maka bangunan tidak akan bertahan lama. Demikian pula perkembangan jiwa seseorang sejak ia kanak-kanak. Bila fondasi dan struktur jiwanya tidak solid, maka ia akan bertumbuh menjadi manusia berkepribadian tidak baik pula. Bisa saja itu terwujud dalam sikap yang sulit berhubungan dengan orang lain, tidak mengindahkan norma dan moral, dsb. Di sinilah pentingnya orangtua sebagai arsitek jiwa manusia. Yang tiba pada gilirannya, kumpulan manusia tersebut akan membentuk suatu peradaban.

Orangtua bertanggung jawab membentuk kepribadian anak dan mempengaruhi nilai-nilai, skill, sosialisasi, dan rasa aman mereka. Orangtua diundang menjadi panutan untuk dicontoh putra-putri mereka. Tentu, gereja memang bertugas mengajar anak-anak mengenai pengajaran dasar iman, tetapi tanggung jawab utama membangun dan membentuk anak-anak menjadi pribadi Kristen adalah orangtua mereka. Sebagai arsitek jiwa manusia dan peradaban, orangtua didorong untuk mengajar anak mereka mempunyai karakter Kristen, di mana Kristus menjadi yang utama dalam hidup mereka.

Tentu, tidak ada orangtua yang sempurna di dunia ini. Orangtua pun merupakan buah dari didikan orangtua mereka. Ada keluarga yang menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi tidak sedikit keluarga yang kehilangan fungsinya bagi anak-anak mereka. Ini adalah realitas yang kita hadapi. Namun, ketika kini orangtua Kristen telah mengetahui betapa besarnya peran mereka bagi pertumbuhan anak-anak mereka, setiap orangtua diundang untuk mendidik anak-anaknya dalam kasih Kristus dan memperhatikan mereka sebagai pribadi yang utuh.

Keluarga adalah Pohon, Anak adalah Buahnya

Tidak bisa dipungkiri, keluarga laksana pohon dan anak adalah buah-buahnya. Ini karena di dalam keluarga anak-anak dibimbing serta diajar tentang nilai dan moral yang baik, yang jika itu terlaksana dengan baik, maka seorang anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang utuh. Sebaliknya, jika proses pembimbingan dalam keluarga tidak tercapai, maka seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh. Dalam konteks Kristiani, ketidakutuhan ini dapat disebabkan antara lain: kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak, pengajaran firman Tuhan kepada anak yang minim, pengawasan orang tua yang kurang, dan absennya teladan yang baik dari orangtua.

Sebagai pusat pembentukan kehidupan rohani, dari keluargalah setiap orang mempelajari pola-pola hubungan akrab dengan orang lain, nilai-nilai, ide, dan perilaku sopan santun. Seperti pohon, keluarga merupakan tempat bernaung, yaitu tempat berteduh dan bertumbuh. Keluarga adalah bagian dari rencana Allah. Keluarga adalah bangunan dasar dari tata masyarakat yang kuat. Keluarga adalah tempat kita bisa merasakan cinta dan belajar mengasihi orang lain. Bagi kita yang mungkin berasal dari keluarga tidak ideal, kasih Kristus mendorong kita mengampuni orangtua kita dan berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita adalah orangtua Kristen, maka kita diundang untuk mendidik dan membesarkan putra-putri kita dalam kasih Kristus. Hidup terkadang terasa keras, dan setiap anak membutuhkan keluarga yang dapat menemani mereka menghadapi kerasnya dunia. Keluarga adalah tempat yang aman di mana kita bisa mendapatkan nasihat, dukungan, pelukan, dan, bila ada: setoples kacang mede.

Aku: si “Ketidaksengajaan” yang Hadir dalam Keluarga

Oleh Priliana

Aku lahir sebagai anak bungsu dengan kedua saudara yang usianya cukup jauh di atasku. Antara aku dan kakak pertamaku laki-laki, terpaut 10 tahun, sedangkan dengan kakak perempuanku, terpaut 7 tahun. Aku pernah bertanya pada orang tuaku, kenapa aku lahir dengan rentang usia yang cukup jauh dari saudara-saudaraku? Lalu mamaku menjawab, “Iya, kamu itu gak sengaja jadi.”

Entah apa yang kurasakan saat jawaban tersebut terlontar dari orang tuaku. Mereka menjawab sambil tertawa, mungkin mereka bergurau. Aku pun ikut tertawa, tapi juga bertanya-tanya, sungguhkah itu jawaban mereka? Tapi aku tetap merespons jawaban mamaku, “Ah.. Justru kalian beruntung ada aku di keluarga ini. Kalau gak ada aku, pasti keluarga ini sepi, gak ramai.” Dan mereka semakin tertawa.

Interaksi itu kumaknai dengan keterbukaan. Ternyata orang tuaku jujur menjawab pertanyaanku dan aku bersyukur atas itu, dan lebih bersyukur karena sesungguhnya mereka senang atas kehadiranku yang tidak sengaja ini. Ya, aku adalah ketidaksengajaan yang membawa sukacita, pikirku saat itu.

Tapi, ternyata aku tidak selalu membawa sukacita dalam keluargaku.

Ketika SD aku mulai dibandingkan dengan kedua saudaraku mengenai nilai rapor dan prestasiku di sekolah. Kedua saudaraku memang selalu memiliki nilai rapor di atas rata-rata, selalu dapat peringkat kelas, belum lagi prestasi lomba dan keahlian lainnya. Di tengah ekonomi kami yang sulit, kedua saudaraku sungguh seperti air yang mengalir di tengah gurun pasir.

Tetapi, dibanding-bandingkan bukanlah hal yang menyenangkan, justru menjengkelkan.
Aku paham maksud orang tuaku membandingkan kami agar aku mengikuti hal-hal baik dari saudaraku, tapi tetap saja aku jengah.

Setiap perbandingan itu seakan-akan berteriak: “Mereka saja bisa, masa kamu nggak bisa?”

Rasanya ingin kujawab: “Kalau mereka bisa, kenapa harus aku?”

Tentu keinginanku menjawab seperti itu bukanlah hal baik. Kalimat itu hanya tersimpan dalam hati.

Walaupun kesal dibandingkan terus, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. Sampai waktu membuktikan usahaku. Aku yang belum pernah dapat juara semasa SD, berhasil meraih peringkat ketika kelas 1 SMP. Pertama kalinya, dan aku peringkat 3, mengalahkan teman SD ku yang sedari dulu selalu jadi juara kelas.

Aku senang. Aku semakin senang melihat betapa terkejut dan senangnya orang tuaku mendengar hal itu, bahkan orang tuaku langsung mengajakku makan es krim favoritku setelah pulang ambil rapor. Sejak saat itu, aku berusaha mempertahankan peringkatku dan bersyukur hingga SMA tetap memiliki peringkat dan nilai yang cukup baik.

Tapi perbandingan itu tidak kunjung selesai.

Habis membandingkan perihal pendidikan dengan kedua saudaraku, terbitlah membandingkan perihal zaman.

“Zaman kamu sekarang enak, dek. Sekolah negeri udah ga bayaran. Dulu saudara-saudaramu harus bayar. Untung dapat beasiswa, jadi dapat potongan. Makanya, belajar lah yang giat. Lihat abang dan kakakmu.”

“Dulu abang dan kakakmu harus bantu mama dagang sebelum berangkat sekolah. Bawa es batu subuh-subuh ke kantin pakai sepeda, cuci banyak piring setelah masak, angkat air, baru berangkat sekolah. Kamu bangun tidur cuma melakukan persiapan untuk sekolah, lalu berangkat. Enak, toh, dek.”

Huft.. Tidak cukup perbandingan dari orang tua, abangku juga melakukan hal yang sama.
“Enak jadi lo. Dulu gue harus bangun subuh-subuh, angkat air, beresin rumah, bantu dagang sebelum pergi sekolah. Pulang sekolah juga masih harus bantu mama dagang sampai malam. Lo di rumah aja, main-main.”

Hal-hal itu tidak sekali dua kali diungkit. Entah mengapa zaman saja dibandingkan.

Lalu aku harus bagaimana? Rasanya ingin bilang kalimat ini ke abangku:

“Ya siapa suruh lahir duluan. Itu sih DL, Derita Lo.” Tapi lagi-lagi itu hanya tersimpan dalam hati.

Hingga aku sudah merasa sangat jengah. Dan ketika perbandingan itu dilontarkan lagi oleh orang tuaku, aku memberi respon:

“Untuk apa membandingkan zaman kalian dulu dengan zamanku? Toh kita nggak bisa pilih mau hidup di zaman yang seperti apa. Untuk apa juga membandingkanku dengan abang dan kakak? Kita punya bakat masing-masing. Kalau mereka ahli di bidang akademis, apa salah kalau keahlianku di bidang non akademis?”

Dan orang tuaku terdiam. Entah karena terkejut atas sikapku atau memikirkan ucapanku.

Tapi aku lega setelah mengucapkannya. Keluh kesah yang kupendam akhirnya meluap. Entah apakah kejujuranku tersebut dapat mereka terima dengan baik atau tidak, tapi aku selalu mengingat ayat Alkitab yang berbunyi:

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2:7).

Aku percaya bahwa keterbukaan adalah awal pemulihan, baik untuk hubunganku dengan keluarga, untuk hatiku, dan mungkin untuk hati keluargaku juga. Keterbukaan menjadi kunci utama untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dan membangun. Dan setiap anggota keluarga memiliki hak untuk berterus terang mengenai perasaannya.

Bagiku, keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka karena dalam keluarga kita tidak perlu menutupi siapa diri kita sesungguhnya.

Selama menjadi anak, aku tetap berusaha mengutamakan rasa hormatku, seperti yang Alkitab bilang:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).

Bagaimanapun, orang tuaku adalah orang pertama yang merawatku sejak aku dalam kandungan. Pasti rasanya tidak mudah merawat seorang anak. Mamaku pernah berkata bahwa ketika memiliki anak, seluruh hidupnya berubah. Jam tidur yang berubah dan tidak teratur, waktu pribadi yang terbatas, dan lainnya. Begitupun dengan seorang ayah. Bertambahnya anggota keluarga pasti bertambah pula kebutuhan finansial untuk sang anak, dan lainnya.

Ayat Alkitab dan hal-hal di atas menjadi pengingat bagiku untuk tetap menghormati orang tuaku. Selama aku hidup, aku tahu mereka berusaha memberikan yang terbaik bagiku, bagi masa depanku.

Tapi orang tua tetaplah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, baik mereka sadari atau tidak. Karena itu, aku memilih terbuka mengenai perasaanku pada orang tuaku. Aku mau hubunganku dan keluarga dilandasi dengan keterbukaan dan kepedulian untuk mau membangun satu sama lainnya.

Ketika aku berterus terang tentang perasaanku— ketidaksukaanku atas perbandingan yang mereka lakukan, aku melihat bahwa sikap orang tuaku mulai berubah. Mereka mulai memberi apresiasi terhadap hal apapun yang yang dapat kulakukan, memberi semangat ketika aku gagal mengikuti ujian masuk universitas negeri, dan berusaha untuk tidak lagi membandingkanku dengan kedua saudaraku.

Aku bersyukur atas itu. Aku tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Ya, aku mau keluargaku bertumbuh dalam kasih-Nya dan berlandaskan kasih-Nya.

Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa membentuk pandangan kita terhadap keluarga.

Bagaimanapun hubungan dalam suatu keluarga, Tuhan tetaplah kepalanya. Dia tidak pernah secara asal menaruh kita dalam suatu keluarga. Dia selalu memiliki tujuan ketika menempatkan kita di mana pun.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Belajar Jadi Anak: Proses Seumur Hidup untuk Kita Semua

Oleh Edwin Petrus

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), aku meninggalkan kota kelahiranku. Aku merantau ke negeri orang untuk mendapatkan gelar sarjana. Selanjutnya, aku pun berkelana lagi ke kota orang untuk meniti karier. Enam tahun kemudian, aku melanjutkan studi ke sebuah kota yang jaraknya kurang lebih dua ribu kilometer dari rumahku. Tiga belas tahun sudah, aku pergi merantau.

Aku adalah seorang anak tunggal yang mendapatkan kasih dan perhatian penuh dari kedua orang tuaku. Namun, secara perlahan dan tanpa aku sadari, kehidupan di perantauan telah mengikis kemanjaanku dan mengubahnya menjadi kemandirian, hingga aku terbiasa melakukan banyak hal seorang diri. Sampai-sampai, banyak orang sering meragukan kalau aku adalah anak satu-satunya dalam keluargaku. Gambaran tentang anak tunggal yang manja sepertinya sudah hilang dari hidupku.

Selama merantau, aku tidak pernah menyia-nyiakan momen liburan bersama keluarga di rumah. Sekali setahun, aku pasti pulang ke rumah untuk beberapa hari lamanya. Aku memanfaatkan hari-hari libur untuk bercengkrama dengan papa dan mama. Walaupun biasanya selalu berkomunikasi melalui sambungan telepon maupun pesan singkat, tapi aku dapat merasakan kehangatan yang berbeda ketika kami banyak bertukar cerita sambil menyantap makanan-makanan khas dari kota kelahiranku. Namun, momen kebersamaan dengan mereka hanya dilalui beberapa hari dalam setahun, yang selalu dihabiskan dengan sukacita tanpa perbedaan cara pandang dan konflik yang berarti.

Di penghujung tahun 2021, aku memilih untuk pulang kampung. Kali ini aku sudah menetap kembali di rumah. Dan ternyata, aku menjumpai diriku berada di sebuah lingkungan yang tampak asing. Padahal aku kembali ke rumah yang pernah ku tinggali selama delapan belas tahun. Namun, aku mendapati bahwa aku harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup dari kedua orang tuaku yang sudah kutinggalkan hidup berdua selama ini. Aku perlu mengatur ulang tatanan rutinitasku yang selama ini sudah terbiasa dijalani seorang diri karena aku perlu memikirkan dampaknya bagi kedua orang tuaku. Aku pun belajar memahami cara berpikir orang tuaku yang sudah semakin memutih rambutnya dan membangun cara berkomunikasi yang pas dengan mereka.

Saking banyaknya hal-hal yang harus aku pelajari ketika aku kembali pulang, aku sampai pada titik di mana aku merenungkan sebuah pertanyaan: sampai pada usia berapa sebenarnya seseorang perlu belajar sebagai seorang anak?

Selama ini, di dalam benakku, aku mengira bahwa hanya orang tua saja yang perlu mengikuti kelas parenting. Peran anak hanyalah sebagai objek yang menerima seluruh pengasuhan itu.

Namun, setelah aku merefleksikan lagi pertanyaan tadi, aku menemukan bahwa sekolah menjadi anak adalah pembelajaran seumur hidup. Secara konsisten, kita perlu terus belajar menjadi seorang anak karena sampai akhir hayat, seseorang tetap menyandang gelar sebagai anak dari orang tuanya. Bahkan, pada sebagian suku bangsa, nama orang tua melekat di balik nama anaknya. Akta kelahiran juga menuliskan dengan jelas nama orang tua dari sang anak pemilik surat itu.

Di sisi lain, ketika aku membaca kembali hukum kelima dari sepuluh hukum Taurat (Keluaran 20:1-17), aku menyadari bahwa perintah Allah yang mengatur relasi orang tua-anak ini juga membicarakan hal yang sama dengan pesan yang sangat jelas:

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12).

Dari perintah ini, aku menyadari bahwa hormat yang diberikan oleh seorang anak kepada ayah-ibunya berlaku seumur hidup. Tidak ada pengecualian dari Tuhan bahwa seorang anak boleh berhenti menunjukkan respeknya kepada kedua orang tuanya setelah ia menginjak usia delapan belas tahun.

Hukum ke-5 ini juga memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan sembilan lainnya. Jikalau hukum lainnya lebih terdengar seperti larangan bagi umat Allah untuk tidak boleh melakukan beberapa hal, maka menghormati orang tua adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan secara aktif oleh setiap umat Allah. Selain itu, hukum ke-5 ini adalah satu-satunya hukum yang mengandung janji, bahwa setiap orang yang mengerjakan perintah ini akan mendapatkan berkat dari Allah.

Selain itu, sebuah kata yang menarik perhatianku dalam hukum ini adalah kata “hormat”. Empat hukum yang mengawalinya adalah tuntutan Allah kepada umat-Nya untuk menunjukkan hormat mereka kepada kekudusan Allah. Namun, Allah juga menggunakan kata “hormat” yang sama ketika Ia menginstruksikan agar setiap orang percaya menghormati orang tua mereka. Jadi, ketika kita menghormati ayah dan ibu sebagai anugerah dari Allah dalam hidup kita, pada waktu sama, kita juga memuliakan Allah. Wow!

Kawan, aku menyadari bahwa menghormati orang tua bukanlah perkara mudah bagi sebagian orang. Aku pun pernah mendengarkan berbagai kisah tentang orang tua yang sepertinya tidak layak untuk dihormati oleh anaknya. Ada anak yang bertumbuh dari keluarga dengan orang tua tunggal ataupun orang tua angkat karena mereka telah “dibuang” oleh orang tuanya sejak kecil. Sebagian lain hidup di dalam ketakutan karena salah satu dari orang tuanya mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak lainnya tidak pernah bangga dengan figur papa maupun mamanya karena perilaku dan tindakan mereka yang menyakiti hati anak-anaknya. Kawan, mungkin kamu adalah salah satu dari anak-anak itu.

Keluargaku juga bukan keluarga yang sempurna. Aku juga pernah menemukan kekurangan dari ayah-ibuku ketika aku membandingkan mereka dengan orang tua dari teman-temanku. Dalam Alkitab pun, kita tidak dapat menemukan keluarga yang sempurna karena relasi manusia telah dirusak oleh dosa. Walaupun demikian, aku mau belajar untuk meneladani Yesus di dalam menghormati orang tua-Nya. Walaupun Maria hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya oleh Allah untuk melahirkan Anak-Nya, tetapi selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus menunjukkan respek yang tinggi terhadap ibu-Nya. Bahkan, sesaat sebelum Ia mati di kayu salib, Yesus menitipkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah satu murid-Nya, untuk dapat merawat Maria (Yohanes 19:27).

Ketika aku semakin dewasa dan kedua orang tuaku semakin memutih rambutnya, aku menyadari bahwa bentuk hormatku kepada mereka juga perlu mengalami perubahan. Benak hati mereka berkata bahwa mereka merindukan anak yang bisa mereka banggakan. Mereka menginginkan telinga seorang anak yang siap mendengarkan tutur kata mereka. Mereka mengharapkan dukungan dari anak yang memaklumi sedikit kelambanan dan kepikunan mereka. Mereka mengharapkan kasih dan perhatian yang bukan hanya sekadar omongan belaka, tetapi nyata dalam tindakan yang menemani masa tua mereka. Mereka membutuhkan tuntunan untuk dapat menggunakan teknologi yang semakin canggih. Aku mau terus belajar untuk menjadi anak yang menunjukkan hormat kepada orangtuaku, sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka.

Yesus telah menjadi Guruku dalam menjalani pembelajaran ini, Roh Kudus telah menjadi Penolongku dalam mempraktikkannya, dan Allah Bapa memberiku anugerah dan kesempatan untuk terus belajar di tengah jatuh bangunku. Aku juga berdoa, kiranya teman-teman juga mau belajar menjadi seorang anak yang menghormati orang tua.

Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

Natal, Demensia, dan Bahagianya Jika Kita Diingat

Oleh Agustinus Ryanto

Hatiku was-was melihat langit Surabaya yang semakin mendung. Buru-buru kupacu motorku untuk tiba lebih dulu di toko buah-buahan sebelum kulanjutkan pergi ke rumah seorang lansia.

Lansia yang hendak kukunjungi ini bernama Opa Bhudi. Dia tinggal bersama istrinya yang juga usianya sudah sepuh. Tiga tahun lalu, tatkala aku melakukan perjalanan pelayanan di Surabaya, mereka menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggalku. Tidak sehari dua hari, tapi selama sembilan malam. Di hari pertama aku tinggal, suasana terasa kaku. Barulah setelah tiga hari, ketika kami mulai banyak mengobrol, kehangatan pun terbangun. Opa dan Oma dikaruniai empat orang anak dan banyak cucu, tapi semua anaknya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Tersisalah mereka berdua, merajut hari-hari di masa senja.

Kehadiranku selama sembilan malam itu rupanya menjadi simbiosis mutualisme. Opa dan Oma senang karena ada kawan yang bisa diajak mengobrol tentang banyak hal. Aku pun senang karena seolah menjumpai kembali kakek dan nenekku. Setelah dinas pelayananku usai, relasi kami tidak terputus. Dalam beberapa kesempatan saat aku ke Surabaya, aku selalu bertandang ke rumah mereka. Atau, jika aku tidak sempat ke sana, kukirimkan buah-buahan melalui toko daring.

Dihantam oleh demensia

Kira-kira lima bulan lalu, aku menghubungi Opa Bhudi lewat WhatsApp. Meski usianya sudah 86 tahun, Opa masih piawai menggunakan ponsel. Kalau membalas chatku, dia sering pakai sticker atau video-call. Dia pun masih aktif beraktivitas—menyetir mobil ke gereja, bahkan masih praktik sebagai dokter gigi!

Namun, hari itu tidak biasa. Buah dan pesan yang kukirim tidak direspons. Selama beberapa bulan aku kehilangan kontak mereka. Barulah setelah kucari informasi dari gereja tempat mereka berjemaat, aku tahu bagaimana keadaan mereka.

“Oh, Om Bhudi ya. Beberapa bulan lalu dia kena demensia dan stroke,” ketik seorang dari komisi pemuda.

“Waduh, terus gimana keadaannya?” tanyaku penasaran.

“Ya, sudah tidak bisa lagi aktivitas, tapi keadaannya ya bisa dikatakan stabil.”

Pesan itu membuatku tercenung. Seorang pria lansia yang biasanya aktif, kini harus tergolek lemah dan pelan-pelan kehilangan memorinya. Istrinya pun sudah sama rentanya, malah ada sakit punggung. Bagaimana mereka bisa saling merawat?

Sebulan setelahnya, aku pun menetapkan hati untuk pergi ke Surabaya. Kuingat-ingat kembali jalanan kota Surabaya yang lebar-lebar dan kadang bikin puyeng kepalaku. Kusinggah dahulu ke toko buah untuk membelikan mereka jeruk, apel, dan pir.

Rumah Opa Bhudi ada di tengah kota, tak jauh dari Stasiun Pasar Turi. Gerbangnya masih berwarna sama, tanpa ada pengecatan ulang. Yang jadi pembeda hanyalah tak lagi kulihat seekor kucing coklat yang biasanya menemani Opa di halaman.

Melihatku datang dengan menaiki sepeda motor dari Jakarta, istri dari Opa Bhudi menepuk kepalaku.

“Haduh! Kok nekat?!” katanya sembari memegang kedua bahuku, lalu mempersilakanku duduk sebentar.

“Opa sudah sakit. Stroke. Susah bangun. Ingatannya pudar,” tutur Oma. “Ayo sudah, sini kamu masuk ke kamar.”

Setahun kemarin saat aku singgah ke sini, badan Opa masih segar bugar terlepas usianya yang sudah lebih dari delapan dekade. Tapi, hari itu aku melihat rupa yang amat berbeda. Raga yang dahulu masih tegap, kini telah ringkih dan tak berdaya. Dia terbaring meringkuk di atas kasur. Urat-uratnya tampak jelas karena lapisan lemak telah susut dari balik kulitnya.

“Pah, coba ndelok, iki sopo sing teko?” Oma sambil menggoyang tubuh opa. “Coba lihat, siapa yang datang?” ujarnya.

Opa membuka matanya dan semenit lebih aku ditatap dalam diam. Matanya menyipit, dahinya mengernyit. Pelan-pelan dia coba membongkar kembali labirin otaknya yang rapuh dikikis oleh demensia.

“Lohhh! Kamu, kok baru ke siniii???”

“Lohh, Opa masih ingat nggak siapa aku?” aku balik bertanya.

“Ingat! Kamu Agus, dulu kamu sering main ke sini loh…” jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku senang bukan main. Di dalam memorinya yang kian pudar, rupanya masih terjaga ruang kenangan bersamaku. Selama satu jam kemudian, aku menemani opa berdua. Aku bercerita tentang serunya naik motor dari Jakarta sampai ke Surabaya, dan setelahnya gantian Opa bercerita tentang beratnya hari-hari yang dia lalui pasca terkena stroke. Klinik praktiknya telah dia hibahkan pada gereja. Kata Opa, kendati dia sakit dan kesepian, dia bilang ini sudah jalannya. “Tuhan tetep baik, aku ndak ditinggalno sendiri,” pungkasnya.

“Gus,” sahut Opa. Tangannya memegangku. “Aku seneng. Sungguh seneng dan merasa terhormat kamu masih ingat aku… Terima kasih ya.”

Kalimat itu menghangatkan hatiku. Karena tubuh Opa yang makin ringkih, aku izin pamit. Mengobrol terlalu lama dengannya bisa membuatnya makin lemah. Kulanjutkan kembali perjalananku ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Betapa sukacitanya ketika kita diingat

Kalimat terakhir Opa yang bilang bahwa dia senang karena aku masih mengingat dia menggemakan kembali dalam benakku surat-surat yang ditulis oleh Paulus.

Dalam surat Filipi 1:3, Paulus menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.”

Kalimat itu ditulis Paulus bukan sebagai bunga kata, tetapi menunjukkan sebuah kesan mendalam. Pada perikop lanjutan dari Filipi 1, dituliskan bahwa Paulus sedang dipenjara oleh karena pelayanannya memberitakan Injil. Penjara pada masa Romawi bukanlah penjara yang manusiawi seperti di negara-negara maju masa kini. Penjara itu terletak di bawah tanah, minim penerangan dan udara, serta dijaga oleh prajurit. Bisa kita bayangkan betapa beratnya hati Paulus menghadapi kekelaman itu. Dia sendirian, dia ketakutan, juga kesakitan.

Namun, surat Filipi menyingkapkan pada kita akan apa yang membuat Paulus tetap bertahan dan bersukacita. Paulus yakin bahwa Allah yang memulai pekerjaan baik akan tetap meneruskannya. Rekan-rekan pelayanan Paulus pun tidak meninggalkannya. Ayat 7-8 menuliskan bahwa “kamu [mereka] ada dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil…. Betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”

Di tengah kesukaran dan kesepian, betapa menghangatkannya mengetahui bahwa kita senantiasa diingat oleh orang-orang yang kita kasihi.

Allah pun mengingat kita setiap waktu. Dia ingat dan tahu setiap detail pergumulan yang kita satu per satu harus hadapi (Matius 10:30). Dan…karena Dia mengingat kita, Dia pun hadir bagi kita melalui Kristus, sang Putera yang lahir dari anak dara Maria.

David Gibb dalam tulisannya yang berjudul “What If There Were No Christ In Christmas” menuliskan: Allah yang Mahabesar hadir dalam cara yang menjungkirbalikkan logika manusia. Allah tidak hadir dalam sosok raja duniawi yang penuh kemewahan untuk membuat kita terkesan, tetapi Dia hadir dalam rupa seorang bayi mungil, untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dunia, di tengah kesendirian dan tangis kita, untuk menuntun kita kepada tempat teraman, untuk membawa kita kepada diri-Nya sendiri.

Ketika Allah mengingat kita, Dia pun hadir di tengah kita.

Pertanyaan bagi kita adalah: Siapakah orang-orang yang Tuhan letakkan namanya di hati kita? Jika kita mengingat mereka, maukah kita turut hadir bagi mereka?

Kehadiran kita mungkin tidak akan melenyapkan pergumulan mereka, tetapi seperti kehadiran para rekan sepelayanan Paulus, kehadiran itu dapat dipakai Allah untuk menguatkan dan menghangatkan seseorang dalam perjalanan hidupnya.