Posts

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reading The Bible Did Not Make Me A Better Christian

Suatu pagi asisten rumah tanggaku tidak sengaja mendengarku berdiskusi dengan suamiku dan dia salah paham. Dia pikir aku sedang membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Akibatnya, sepanjang pagi itu sikapnya kepadaku jadi dingin.

Untuk menghangatkan suasana, aku mengklarifikasi kejadian itu. Namun, apa yang kulakukan malah membuatnya bersikap makin buruk. Dia membantah ucapanku. Emosiku terpicu, nada bicaraku jadi meninggi dan kata-kata yang kurang baik keluar dari mulutku. Dia lalu keceplosan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.

Sungguhkah aku mencerminkan Kristus?

Aku pun pergi mandi, tapi apa yang barusan terjadi terulang-ulang di kepalaku. “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Kata-kata itu seolah bermakna begini buatku: “Kamu tidak ada bedanya sama orang yang tidak percaya. Firman Tuhan tidak berdampak apa-apa di hidupmu!” Pernyataan itu membuatku serasa dihakimi. Aku merasa bersalah karena telah gagal menunjukkan Kristus padanya.

Ketika dia membantahku pertama kali, ada bisikan dalam hatiku, “Maafkan! Maafkan! Aku harus jadi terang yang bersinar di tengah kegalapan hatinya”. Aku coba arahkan pandanganku kepada Tuhan dan mengingat ayat dari Matius 18:21-22 yang berkata agar kita memaafkan orang lain. Namun, aku gagal, dan kemudian aku kehilangan kesabaran dan pengendalian diri. Aku tidak mencerminkan Kristus sebagaimana aku seharusnya.

Membaca Alkitab tanpa mengizinkan Roh Kudus bekerja dalam hidupku, aku tak ubahnya orang Farisi yang mempelajari Alkitab dengan rajin, tapi menolak datang kepada Yesus (Yohanes 5:39-40).

Apakah asisten rumah tanggaku melihatku sebagai pengikut Kristus? Kupikir tidak. Kata-katanya yang dia ucapkan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Dunia seringkali melihat kita sebagai pengikut Kristus dari buah-buah yang kita hasilkan. Nada bicaraku yang tinggi dan kasar tidak mencerminkan Kristus dalamku. Buah-buah roh—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri—absen dari diriku.

Tuhan memampukanku

Aku merasa kacau, tidak benar, dan tidak layak mendapatkan kasih Tuhan, hingga kemudian aku teringat bahwa aku dibenarkan bukan karena perbuatanku sendiri, melainkan oleh Tuhan—penebusan-Nya di kayu salib (2 Korintus 5:21). Tuhan membenarkanku dari dosa-dosaku ketika aku tidak layak mendapatkannya, dan aku mendapatkan itu hanya karena iman.

Setelah ditebus-Nya, aku tahu aku harus menyingkirkan kebanggaan diriku sendiri dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja dengan penuh kuasa dalam hidupku. Dengan pertolongan Roh Kudus, aku bisa menghasilkan buah roh berupa kesabaran dan kasih untuk orang-orang di sekitarku, sehingga ketika aku berkata-kata, kata-kata yang kukeluarkan adalah yang membangun.

Sejak Yesus menebus dosaku, aku diampuni-Nya dan diberi kemerdekaan untuk menghidupi hidupku. Aku bisa mengusahakan pengampunan terhadap asisten rumah tanggaku. Yang menghalangiku untuk melakukannya adalah ego dan pembenaran diriku sendiri, yang seharusnya sudah dipaku oleh Kristus di atas kayu salib.

Dengan pemahaman ini, aku punya cukup keberanian untuk mengampuni dan berdamai dengan asisten rumah tanggaku. Aku duduk berdua dengannya, dan dengan suara tenang, kami meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi sampai kami mendapatkan pemahaman bersama.

Tanpa Tuhan yang telah menunjukkanku kebenaran, anugerah, dan belas kasihan, aku tak akan mampu melakukan ini semua. Seiring aku berusaha menghidupi imanku, aku terus mengingat bahwa upayaku membaca Alkitab hanya akan menghasilkan hafalan semata, dan aku tidak akan pernah jadi murid yang sejati jika aku tidak mengarahkan pandanganku kepada Tuhan dan apa yang diinginkan-Nya bagiku.

Baca Juga:

Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

Natal sudah berlalu, namun beberapa waktu belakangan, tema Natal “Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” terus terngiang-ngiang di benakku. Tema itu terdengar baik, tapi sekaligus juga seperti utopis bagiku.

Apakah Aku Orang Kristen yang Baik?

Hari ke-15 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:4-6

3:4 Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi:

3:5 disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi,

3:6 tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.

Apa yang menjadikan kita orang Kristen yang baik? Coba kita pikirkan.

Di mata teman-teman, saudara, dan rekan kerja yang non-Kristen, apakah orang Kristen yang baik itu berarti bersikap manis kepada semua orang, tak pernah mengumpat? Apakah ditentukan oleh jargon Kristen yang kita gunakan, atau oleh keluarga Kristen tempat kita berasal? Tidak pernah absen datang ke gereja, pelayanan yang kita kerjakan, ayat-ayat yang kita tulis di media sosial? Apakah ketentuan-ketentuan itu juga kita berlakukan kepada orang-orang Kristen sekitar kita dan menjadi tolok ukur siapa yang “lebih suci”?

Kalau boleh jujur, aku mungkin menilai diriku 8 dari 10 dalam hal “Menjadi Orang Kristen yang Baik”. Pasalnya, aku berlaku layaknya “orang Kristen” pada umumnya: pergi ke sekolah Minggu sewaktu kecil dan bersekolah di sekolah Kristen; kebaktian di gereja dan ikut pendalaman Alkitab secara teratur; berdoa dan membaca Alkitab hampir setiap hari. Aku sudah dibaptis, rutin memberi perpuluhan, dan ikut Perjamuan Kudus. Aku bahkan menulis untuk website Kristen.

Namun, Paulus memperingatkan kita untuk tidak mengandalkan perbuatan lahiriah kita sendiri (Filipi 3:3). Lagipula, jika ada yang memiliki bukti-bukti kesalehan lahiriah yang bermutu, Pauluslah orangnya. Dalam ayat 4-6, ia memaparkan semua alasan yang dapat dibanggakan tentang dirinya.

Paulus mendapat hak istimewa sejak lahir, ia pun banyak berprestasi. Ia disunat oleh orangtuanya pada hari kedelapan sesuai dengan perjanjian Abraham (Kejadian 16:11-12). Ia orang Israel—orang Yahudi asli—dari suku Benyamin, satu-satunya suku yang tetap setia kepada Yehuda dan Daud. Ia adalah orang Ibrani yang paling murni di antara orang Ibrani lain karena dibesarkan dengan adat Yahudi. Selain itu, ia juga berbicara dan belajar bahasa Ibrani.

Paulus juga seorang Farisi, golongan agamawan ortodoks yang mengikuti seluruh aturan Yahudi dengan ketat. Ia sangat menekuni agama Yahudi tradisional hingga menghukum mati orang-orang Kristen. Ia jugalah yang menyetujui pembunuhan Stefanus (Kisah Para Rasul 7:58). Paulus tak pernah melanggar hukum, malah menekuni semua hukum Taurat sesuai tafsiran orang Farisi. Seandainya Paulus adalah orang Kristen, ia patut mendapat nilai di atas 10.

Meski demikian, Paulus tidak menaruh kepercayaannya pada hal-hal tersebut. Sebaliknya, ia menganggap semua itu sebagai “rugi” dan “sampah” dibandingkan “pengenalan akan Yesus Kristus” (Filipi 3:8).

Itulah yang Paulus ajarkan kepada kita. Artinya, kita tak boleh mengandalkan “CV Orang Kristen” yaitu perbuatan-perbuatan baik. Bukan berarti semua yang kita miliki dan kita kerjakan percuma saja—semuanya berarti. Namun, hal-hal itu tidak menyelamatkan kita atau membuat kita benar di hadapan Allah. Seluruh perbuatan baik kita adalah perwujudan kepercayaan kita kepada-Nya.

Pada akhirnya, yang membenarkan kita bukanlah kehadiran dii gereja atau banyaknya tafsiran Alkitab yang sudah kita baca, melainkan pengorbanan sempurna yang telah Yesus lakukan. Dia menanggung dosa kita agar Allah dapat menghapus semua dosa kita (Roma 3:23-25). Hanya oleh darah-Nyalah kita diampuni dan diterima oleh Allah.

Jadi, alih-alih mengukur kesalehan orang Kristen lain dan diri sendiri layaknya orang Farisi, aku belajar bahwa kepercayaan diriku—serta identitas, hak, dan posisiku di hadapan Allah—sepenuhnya terletak dalam pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Perbuatan semata tidak ada nilainya. Yesuslah yang memberiku nilai sempurna dengan anugerah-Nya. Kita dibenarkan oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan iman kepada Kristus. Itulah yang menjadikan kita orang Kristen yang baik.—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal apa saja kamu menaruh kepercayaanmu pada perbuatan lahiriah dan bukan pada tangan Tuhan?

2. Dalam hal apa saja kamu secara tidak sadar mengganggap dirimu lebih baik daripada orang Kristen lainnya?

3. Ambillah waktu untuk mendoakan semuanya itu dan meminta pertolongan Tuhan agar kamu memiliki cara pandang yang benar.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Hari yang sempurna menurut Wendy adalah menyantap peanut buter, hiking, naik sepeda, atau saat teduh bersama Tuhan. Sebagai seoang penulis, Wendy berharap tiap tulisannya jadi alat untuk memuliakan Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Belajar dari Nehemia dan Ester: Mencintai Bangsa melalui Doa dan Tindakan

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Seberapa greget kamu mencintai Indonesia?

Ketika mendengar pertanyaan itu, mungkin kamu akan menjawab dengan berbagai kalimat ala generasi millenial yang akhir-akhir ini sedang hits. Tapi, benarkah kamu segreget itu dalam mencintai Indonesia? Atau, jangan-jangan nama Indonesia tidak masuk dalam daftar sesuatu yang kamu cintai?

Jika bicara soal mencintai bangsa, ada dua tokoh Alkitab yang dikenal karena kecintaannya pada bangsanya, mereka ialah Nehemia dan Ester. Nehemia berpuasa, berdoa sambil menangis, dan berkabung ketika mendengar berita kalau tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar (Nehemia 1:1-11). Ester berpuasa ketika akan menghadap Raja Ahasyweros setelah mendapat kabar dari Mordekhai bahwa Haman akan membinasakan orang Yahudi (Ester 4:15-17). Tidak berhenti hanya berdoa dan berpuasa, dalam Kitab Nehemia dan Kitab Ester juga diceritakan bagaimana mereka melakukan tindakan nyat sebagai upaya untuk menyelamatkan dan memulihkan bangsa mereka. Ya, mereka membuktikan seberapa besar rasa cinta mereka kepada bangsanya.

Bagaimana dengan kita?

Berdoa untuk Indonesia adalah hal yang baik, yang memang seharusnya kita lakukan. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita lakukan setelah itu? Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mennjukkan rasa cinta kita kepada indonesia, misalnya melalui profesi kita dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun pendidikan; atau melalui prestasi kita yang mengharumkan nama Indonesia; atau bisa dengan cara yang sederhana yaitu dengan menggunakan hak dan melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia secara seimbang. Salah satu hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia adalah hak memilih dalam Pemilu. Setelah mendengar kalimat itu, mungkin sebagian kita ada yang berpendapat, “kalau itu hak, berarti itu terserah kita dong mau menggunakan hak itu atau tidak.”

Namun, benarkah demikian?

Coba bayangkan apa yang terjadi ketika semua warga negara Indonesia berpendapat seperti itu dan akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak itu. Bisa jadi negara kita malah mengalami kekacauan. Ketika mencoba merenungkan hal ini, aku memiliki pendapat secara pribadi bahwa memilih dalam Pemilu adalah hak kita sebagai warga negara, dan menggunakan hak pilih itu adalah suatu kewajiban.

Tahun 2019 akan menjadi salah satu tahun yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Berbagai pihak sibuk menyambut pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019, baik sebagai calon yang akan dipilih, tim sukses, maupun para pendukung calon. Bagaimana dengan kamu?

Belajar dari kisah Nehemia dan Ester, bagaimana sih seharusnya sikap kita dalam menyambut Pemilu 2019 sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Indonesia?

1. Menyadari menggunakan hak pilih adalah kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia

Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar, Nehemia bisa saja memilih untuk tidak mempedulikannya karena posisinya sebagai juru minuman raja tidak membuatnya memiliki kewajiban untuk membangun kembali tembok itu.

Mungkin Nehemia sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa posisinya sebagai juru minuman raja akan membuka jalannya untuk memulihkan bangsanya (Nehemia 2). Namun, Nehemia memilih berbuat sesuatu untuk bangsanya. Demikian juga Ester, ketika berada di posisi sebagai ratu, bisa saja Ester memilih untuk tidak peduli denagn berita yang dia dengar bahwa Haman sedang merencanakan pembinasaan orang-orang Yahudi. Namun, Ester memilih untuk melalukan sesuatu bagi bangsanya bahkan ketika hal itu dapat membahayakan nyawanya (Ester 4:16). Ya, Tuhan menempatkan Nehemia dan Ester pada posisi masing-masing untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Kita memang tidak bisa memilih di negara mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita, atau berdiam.

Hak untuk memilih adalah hak istimewa kita sebagai warga negara Indonesia, karena hanya benar-benar warga negara Indonesia saja yang mendapatkan hak itu. Kita mungkin sering mendengar banyak warga negara asing berkata, “I Love Indonesia”, namun tak peduli seberapa besar cinta mereka kepada Indonesia, mereka tetap tidak mendapatkan hak pilih ini.

Jadi, gunakanlah hak pilihmu sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia.

2. Menyiapkan strategi

Cinta Nehemia dan Ester terhadap bangsanya bukanlah cinta buta yang bertindak tanpa pertimbangan. Mereka tidak gegabah namun mereka menyusun strategi ketika akan berbuat sesuatu bagi bangsanya. Sebelum melakukan pembangunan tembok Yerusalem, terlebih dahulu Nehemia menyelidiki kondisi-kondisi tembok-tembok Yerusalem yang sudah terbongkar (Nehemia 2:11-20), dan Ester sebelum menghadap Raja Ahasyweros, dia juga menyusun strategi. Hal ini terlihat dari bagaimana cara Ester mengadakan perjamuan bagi raja dan Haman (Ester 5:1-8). Demikian juga ketika kita ingin menggunakan hak pilih kita untuk menunjukkan rasa cinta kita terhadap Indonesia.

Terlepas siapa kandidat pilihan kita, kita tetap membutuhkan strategi. Menggunakan hak pilih lebih dari sekadar hanya datang ke TPS dan mencoblos kertas yang berisi nama-nama calon presiden dan legislatif. Menggunakan hak pilih juga harus disertai banyak pertimbangan. Tidak cukup hanya berdasarkan “apa kata orang” dalam menentukan pilihan kita. Kita perlu mengamati dan menyelidiki dari berbagai sumber yang terpercaya. Banyak cara yang dapat kita lakukan, mulai dari mencari portofolio atau rekam jejak calon tersebut, mengikuti siaran debat terbuka di televisi, juga menimbang-nimbang visi dan misi serta program kerja mereka kelak.

Tentukan pilihan kita berdasarkan apa yang kita pahami dan yakini, bukan hanya berdasarkan apa kata orang.

3. Menginvestasikan waktu

Nehemia memberikan waktunya, dia bangun di malam hari untuk menyelidiki keadaan tembok Yerusalem (Nehemia 2:3). Ester berpuasa selama tiga hari tidak makan dan minum, dan tentulah dalam masa puasa itu Ester menggunakan waktunya untuk memikirkan bagaimana cara membongkar rencana jahat Haman.

Tidak ada istilah membuang-buang waktu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita. Dalam proses sebelum menentukan pilihan, kita bisa menginvestasikan waktu kita untuk mulai membaca informasi-informasi terpercaya atau mendengarkan debat yang diselenggarakan langsung oleh KPU. Dan, di hari Pemilu dilaksanakan kita bisa memberikan waktu kita untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilih kita.

Banyak aktivitas lain yang mungkin lebih menarik untuk dilakukan di tanggal 17 April 2019, terlebih hari-hari itu kan menjadi long-weekend yang membuat banyak orang memilih untuk berlibur dibandingkan dengan datang ke TPS dan menggunakan hak pilih. Namun, percayalah bahwa waktu yang kita berikan untuk memilih dalam Pemilu tidak akan terbuang sia-sia.

4. Tetap waspada

Hoax menjadi kata yang semakin populer dalam masa-masa menjelang Pemilu dan inilah yang menjadi salah satu ancaman kita dan patut kita waspadai. Pemulihan suatu bangsa tidak selalu disukai oleh semua pihak. Sanbalat dan Tobia menentang pembangunan tembok Yerusalem, bahkan mengolok-ngoloknya (Nehemia 4). Bahkan, setelah tembok Yerusalem berhasil dibangun kembali, Sanbalat dan Tobia berusaha untuk membunuh Nehemia (Nehemia 6). Ya, akan banyak pihak yang lebih berfokus pada kepentingan pribadinya sehingga apa yang mereka lakukan buka sebagai upaya untuk berbuat sesuat bagi bangsa Indonesia, tetapi bagaimana kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dapat terpenuhi. Itulah yang harus kita waspadai, jangan mudah dipengaruhi.

5. Tetaplah berdoa

Lebih dari tekad dan ancaman yang ada, Nehemia tetap menjadikan doa sebagai hal yang utama (Nehemia 1, Nehemia 4:9). Nehemia mengadukan semua yang dia alami kepada Tuhan. Ada banyak hal yang mungkin bisa terjadi selama masa-masa menjelang bahkan sesudah Pemilu berlangsung. Tetap berdoa menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menyambut Pesta Demokrasi 2019. Berdoalah, biar hanya kehendak Tuhan yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Itulah hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menyambut Pemilu 2019. Jadilah bagian dalam sejarah Indonesia dan gunakan hak pilihmu sebagai kesempatan bagi generasi millenial untuk menujukkan seberapa greget kita mencinti Indonesia. Tuhan memilihmu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini, kalau bukan kamu, siapa lagi?

* * *

Sobat muda, pesta demokrasi akan segera kita laksanakan, marilah kita mengambil waktu sejenak untuk berdoa buat bangsa kita, Indonesia. Share artikel juga video di bawah ini dan ajaklah teman-temanmu untuk bersama-sama berdoa.

Baca Juga:

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu. Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Oleh Yunus Kurniawan, Jakarta

“Aku sih sudah tidak respek lagi dengan dia,” sahut seorang rekanku di gereja. Saat itu aku menyebut nama seorang rekan pelayanan lainnya. Namun, rupanya hubungan mereka sedang tidak baik. Rekanku menganggap bahwa orang yang namanya kusebut itu adalah seorang yang egois.

Secuplik peristiwa di atas adalah salah satu dari banyak hal yang kadang membuatku heran. Mengapa gereja, yang seharusnya menjadi tempat di mana komunitas orang percaya berkumpul, memuji Tuhan, saling peduli, dan menguatkan malah menjadi tempat di mana banyak konflik terjadi? Ada jemaat yang tidak suka dengan majelis di gerejanya, atau sebaliknya. Atau, ada pula sederet konflik lain yang terjadi di antar jemaat, antar panitia, bahkan juga antar pemimpin.

Pernah suatu kali aku bersaat teduh dan bacaan renungan hari itu membahas tentang gereja. Renungan itu mengatakan bahwa di dalam gereja orang-orang percaya memuji dan mengagungkan nama Tuhan, bertumbuh dan belajar tentang firman Tuhan, serta saling mengasihi satu sama lain. Gereja dengan keadaan seperti itu adalah wujud kecil dari gambaran surga yang kelak akan datang, atau dalam kata lain mungkin gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia. Kalau kita ingin melihat seperti apa relasi di surga kelak, seharusnya kita bisa melihatnya dari gambaran gereja kita.

Tapi, bacaan renungan itu membuatku mengernyit. Aku lalu mengingat bagaimana keadaan gerejaku. “Wah, gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin dikatakan seperti surga kalau di dalam gereja sendiri terdapat persaingan dan permusuhan?” gumamku dalam hati.

Aku pernah mengalami konflik di gerejaku sendiri. Aku menjabat sebagai pengurus di kebaktian umum kedua. Suatu ketika, terjadi macet parah di Jakarta. Dari dua singer yang seharusnya ikut latihan hari itu, hanya satu yang dapat ikut. Peraturan di gerejaku adalah tiap orang yang bertugas melayani harus ikut latihan dulu. Keesokan harinya, pengurus kebaktian pertama meminta tidak usah ada singer saja di kebaktian, karena jika cuma satu orang yang jadi singer, terasa timpang. Namun, usul ini ditolak oleh ketua pengurus kebaktian kedua. Katanya, tidak bagus apabila worship leader hanya melayani sendiri, singer yang tidak ikut latihan tetap harus maju ke depan. Mungkin karena nada bicara ketuaku yang tegas dan keras, terjadilah kesalahpahaman di situ. Rekan-rekan yang merasa tersinggung kemudian menyebarkan kabar tidak benar tentang aku dan rekan-rekan di pengurus kebaktian kedua.

Dampak dari kejadian itu adalah kepengurusan pelayanan kami menjadi tidak nyaman. Aku mengakui bahwa cara ketuaku berbicara mungkin telah melukai hati mereka. Tapi, kupikir itu bukan jadi alasan untuknya menjelek-jelekkan aku dan rekanku ke banyak orang lainnya, apalagi menyebarkan berita yang tidak benar. Aku pikir akan jauh lebih baik apabila dia menyelesaikannya secara empat mata denganku atau ketuaku. Aku pun kecewa dan bertanya-tanya. Gereja yang adalah komunitas Kristen yang harusnya saling membangun, kok malah menjatuhkan dari belakang?

Aku memandang rendah orang yang menyebarkan kabar bohong tentangku. Suasana hatiku tidak lagi nyaman untuk melayani. Aku tahu bahwa sikapku yang memandang rendah temanku itu adalah salah dan dalam hati aku pun bertanya, “Kenapa aku tidak dapat mengasihi teman seimanku? Tapi, tidak ada inisiatif baik dariku maupun rekanku untuk saling berdamai. Hingga suatu ketika, dalam sebuah rapat bersama, majelis gereja meminta kami untuk membahas masalah ini. Aku dan kubu seberang saling bersikeras bahwa kami adalah yang paling benar.

“Jangan saling menyalahkan, tapi belajar untuk mengakui kesalahan dan minta maaf,” majelis gereja menegur kami. Dari teguran itu, kami menyadari bahwa maksud kami untuk membolehkan atau tidak membolehkan singer melayani di mimbar punya tujuan yang baik. Seharusnya kami tidak saling menyerang. Akhirnya, timku dan tim rekanku sepakat untuk berdamai. Kami belajar merendahkan hati, saling memaafkan, dan mengakui bahwa selama ini sebagai pelayan Tuhan kami tidak fokus melayani-Nya, kami malah mencari-cari kesalahan orang lain, kami lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Sebagai satu tim pelayanan dalam gereja, seharusnya kami saling membangun, bukan malah menjatuhkan. Ketika kami sadar dan belajar tentang hal ini, kami merasa lega.

Dari peristiwa konflik yang kualami, aku sadari bahwa tidak ada gereja yang sempurna. Di dalam Alkitab, kita bisa mendapati kisah tentang konflik yang sempat mewarnai pelayanan Paulus dan Barnabas. Dalam Kisah Para Rasul 15:35-41 dituliskan bahwa Barnabas ingin membawa serta Yohanes yang disebut Markus untuk ikut melayani ke kota-kota di mana Injil telah diberitakan sebelumnya. Namun, Paulus menolaknya. Paulus merasa Markus bukanlah seorang yang bisa diajak bekerja sama karena sebelumnya Markus pernah meninggalkan pelayanannya. Alkitab lalu mencatat hal tersebut menimbulkan perselisihan yang tajam di antara Paulus dan Barnabas hingga mereka memutuskan berpisah jalan.

Dari peristiwa ini, kita dapat melihat bahwa antara Paulus dan Barnabas terjadi perbedaan pendapat. Kita pun mungkin pernah mengalaminya di gereja. Pola pikir, pandangan, ataupun cara kerja kita yang berbeda dengan yang lainnya bisa membuat kita berkonflik dengan jemaat lain. Tapi, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang wajar. Setiap orang dalam gereja, entah itu jemaat, pengurus, majelis, maupun pendeta tentu memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Namun, bagaimanapun kondisi dan latar belakangnya, orang percaya perlu belajar untuk memberikan respons yang benar. Kita tidak boleh mundur begitu saja ketika merasa kecewa. Kita bisa menyelidiki kembali hati kita, melihat kepada Siapa yang sesungguhnya kita layani. Inilah yang dapat menolong kita untuk bertahan dan juga memperoleh kekuatan untuk melewati konflik yang ada.

Kisah Paulus dan Barnabas tidak berakhir hanya di saat mereka memutuskan berpisah. Tuhan menggunakan pelayanan keduanya sebagai cara yang efektif untuk menyebarkan berita Injil. Paulus dan Barnabas pergi melayani di tempat yang berbeda, sehingga mereka pun dapat menjangkau jemaat yang berbeda pula.

Konflik tidak melulu dimulai oleh sesuatu yang besar. Bisa pula oleh hal-hal kecil yang ketika tidak diselesaikan dengan baik, akan menjadi konflik yang membesar. Kita mungkin pernah mengalami salah paham. Kita mungkin pernah tersinggung dan lalu sakit hati karena bercandaan seseorang. Atau bahkan, kita tersinggung karena perkataan dan teguran dari pemimpin kita di gereja hingga akhirnya kita berniat mengundurkan diri dari melayani. Namun, kala konflik terjadi dan kita terdorong untuk membenci orang-orang yang kita anggap sebagai lawan, kita perlu menyadari bahwa ada tujuan mulia dari orang-orang percaya yang berkumpul membentuk suatu komunitas, yaitu untuk menjangkau orang-orang di luar sana dengan membagikan kabar keselamatan tentang Tuhan Yesus. Bagaimana kita dapat menjangkau mereka apabila di dalam pelayanan kita sendiri kita malah saling menyimpan kebencian?

Ketika menyadari bahwa kita adalah orang yang tidak sempurna namun dilayakkan Tuhan untuk melayani-Nya, kita dapat membuka diri dengan saling mengampuni, sebagaimana yang Tuhan Yesus telah perintahkan kepada kita. Seperti konflik yang pernah kualami dulu, terkadang konflik itu bukan melulu bicara tentang siapa salah atau siapa benar, tetapi tentang siapa yang mau mendengar dan meminta maaf, hingga relasi itu dapat pulih kembali.

Tidak ada gereja yang sempurna. Aku yakin setiap gereja pasti pernah mengalami konflik. Hendaknya kita sebagai jemaat Tuhan mengingat bahwa gereja merupakan kumpulan orang-orang berdosa yang telah dipanggil ke dalam terang. Hendaknya kita saling mengasah satu sama lain, belajar rendah hati, memaafkan, dan saling menguatkan satu sama lain.

“Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1 Tesalonika 5:11).

Baca Juga:

4 Tindakan untuk Membuat Masa Kuliah Lebih Bermakna

Masa kuliah adalah masa yang singkat, tapi menentukan langkah hidup kita ke depannya. Buatmu yang sedang kuliah, inilah 4 cara yang kulakukan untuk membuat masa kuliahku lebih bermakna.