Posts

Manisnya Kisah Hidup Maudy Ayunda: Jangan Lupa Kalau Hidupmu Juga Manis

Oleh Agustinus Ryanto

Warganet gempar. Bukan karena ada bencana atau peristiwa politik akbar, melainkan karena sosok selebriti tanah air, Maudy Ayunda, tahu-tahu menikah. Maudy secara tersirat sering dianggap sebagai role model kehidupan yang diidam-idamkan oleh banyak orang: berpenampilan menarik, wajah rupawan, seorang intelek, berbakat seni, dan yang teranyar dia menikahi seorang oppa.

Maudy yang lahir pada tahun 1994 memulai karier awalnya di dunia hiburan lewat film Untuk Rena pada tahun 2005. Setelahnya, Maudy tetap aktif membintangi sejumlah film sembari meneruskan studinya sampai lulus S-2 dari Universitas Stanford pada 2021. Di tahun yang sama, Maudy juga masuk ke dalam nominasi 30 orang di Asia yang berpengaruh di bawah usia 30 versi Forbes Asia.

Berita pernikahan Maudy yang bermula dari unggahan fotonya di Instagram dengan cepat menyulut skill investigasi netizen, terkhusus di Twitter. Maudy Ayunda segera menjadi trending topic dengan perhatian utama pada sosok siapa sebenarnya suami Maudy, bagaimana sepak terjangnya, agamanya, dan hal-hal personal lainnya. Tapi, tak sedikit pula yang mengungkapkan perbandingan: “Duh, enak banget ya jadi Maudy…”

Imaji kita akan sosok idaman nan ideal

Membanding-bandingkan diri adalah respons alamiah dari manusia. Setiap kita, secara sadar ataupun tidak, sering membanding-bandingkan diri. Meski komparasi pada level tertentu bisa mengubah cara pandang kita menjadi toxic, tetapi pada sisi lain perbandingan bisa mendorong kita berkompetisi atau meniru seseorang dengan tujuan meningkatkan kualitas diri.

Namun, kadang kita tak tahu atau tak sadar akan di titik mana perbandingan itu harus berhenti kita lakukan. Ketika membandingkan diri dengan seseorang, ada banyak sekali faktor yang menjadikan perbandingan kita tidak sepadan atau apple-to-apple. Sebagai contoh, jika kamu adalah seorang mahasiswa dengan uang saku kurang dari 1,5 juta setiap bulan, kuliah di kampus swasta biasa, menurut data dari Asian Development Bank mungkin kamu termasuk ke dalam kelompok penduduk kelas menengah yang secara posisi ada di tengah-tengah: tidak sekaya para pemilik modal, tetapi berkecukupan walau mungkin juga terasa banyak kurangnya. Imaji untuk membeli barang-barang mewah, studi di kampus beken luar negeri, sukses gemilang, dan hidup nyaman seperti para influencer, mungkin bisa juga terwujud dalam hidupmu, tetapi perlu effort yang besar (terlepas faktor hoki) yang belum tentu hasilnya akan sama dengan apa yang diidamkan.

Kita cenderung mengidolakan sosok yang menurut kita lebih daripada kita. Entah dalam hal karier, status sosial-ekonomi, atau bahkan kerohanian. Kecenderungan itu lantas membuat kita samar terhadap kelemahan yang juga dimiliki oleh sang idaman, yang jika kita tidak bijak bukannya membuat kita jadi terpacu semangatnya, malah jadi minder.

Membandingkan diri kita akan sosok lain yang menurut kita lebih ideal dan manis hidupnya bukanlah sebuah kesalahan, tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa sosok yang kita bandingkan pun adalah manusia berdosa, sama seperti kita. Setiap manusia di bawah kolong langit diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kejadian 1:26-27), namun kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan setiap orang kehilangan kemuliaan Allah dan menanggung banyak kelemahan. Hidup kita yang sekilas tidak seberuntung orang lain bukan berarti hidup kita penuh kepahitan. Kebenaran ini dapat menolong kita untuk melihat sosok idaman kita dari perspektif yang benar dan tidak mengagungkan mereka secara berlebihan.

Sukses kita adalah menggenapi panggilan-Nya

Lantas, jika hidup kita saat ini terasa biasa-biasa saja, apakah bisa menggapai yang namanya sukses?

Jawabannya: tergantung sukses seperti apa yang kita idamkan. Jika kita adalah seorang karyawan swasta dengan jabatan biasa tapi berambisi ingin jadi seperti influencer yang suka membikin es krim aneka rasa, yang kekayaannya sepertinya tak berseri, maka jawabannya: bisa-bisa saja! Tergantung usaha kita. Namun, ada pertanyaan yang lebih krusial daripada siapa dan seperti apa sukses yang ingin kita raih, yaitu: untuk apa segala kesuksesan itu nantinya jika berhasil kita raih?

Dalam Alkitab, kita mengenal kisah Musa yang diutus Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Ketika panggilan mulia ini datang, Musa menolak. “Ah, Tuhan. Aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10). Allah menjawab Musa dengan memberi pengertian bahwa Dialah yang berkuasa dalam melakukan perubahan. “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?” (ayat 11).

Musa merespons Allah dengan berkelit lagi, “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus” (ayat 12). Allah murka terhadapnya dan memberikan penegasan bahwa Dia “akan menyertai lidahmu [Musa] dan lidahnya dan mengajarkan kepada kamu apa yang harus kamu lakukan…” (ayat 13). Yang menarik dari kisah Musa adalah meskipun dia memang memiliki kekurangan dan minder, itu tidak menghalangi Allah dalam mengutusnya. Segala keterbatasan Musa bukanlah kesalahan Allah, tetapi dalam kelemahan Musa kuasa Allah pun dinyatakan. Kelemahan seseorang tidak menjadi penghalang bagi tergenapinya pekerjaan Tuhan. Nama Musa tetap dikenal sampai sekarang sebagai tokoh besar yang memimpin Israel keluar dari tanah Mesir.

Sebagai orang Kristen, panggilan kita adalah menerangi dunia dan memberi rasa di dalamnya, sebab kita adalah garam dan terang (Matius 5:16). Panggilan ini bisa kita wujudkan tanpa perlu menunggu saldo di rekening menjadi sekian digit, mendapatkan pasangan hidup yang rupawan dan hartawan, atau menunggu pengikut kita di Instagram jadi sekian ribu. Allah mungkin tidak berbicara secara langsung seperti Dia berkomunikasi dengan Musa, tetapi melalui Alkitab yang adalah firman-Nya, setiap kita dipanggil untuk menggenapi rencana-Nya dari aspek yang paling sederhana dalam hidup (Kolose 3:23). Dalam upaya dan panggilan tersebut, ada janji yang Tuhan pasti nyatakan bahwa kita dipelihara-Nya (Mazmur 23:1, Matius 6:34).