Ketika Aku Melepaskan Diri dari Kecanduan Media Sosial
Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo
Di dalam bukunya, “Being Jesus Online”, Dennis Moles menulis bahwa kehadiran alat komunikasi yang luar biasa di masa sekarang ini tidak hanya mengubah cara kita berhubungan dan berkomunikasi, tetapi juga mengubah cara kita menjalani hidup dalam komunitas.
Ya. Tidak dipungkiri kalau perubahan alat komunikasi dan fitur-fitur di dalamnya yang semakin canggih juga mempengaruhi perilaku penggunanya, termasuk aku. Sepuluh tahun lalu, aku masih jadi siswi SMP. Waktu itu ada media sosial yang sangat terkenal di kalangan generasi 90-an, Friendster namanya. Jika dibandingkan dengan Facebook di masa sekarang, Friendster adalah Facebooknya masa itu. Di Friendster aku bisa bertemu banyak orang, mengedit halaman profilku supaya bagus dan menarik perhatian, juga mendapatkan kabar-kabar terbaru dari teman-temanku.
Sekali dua kali menggunakan Friendster, aku semakin tertarik. Di rumah ataupun di luar, waktu-waktuku banyak tersita untuk asyik sendiri dengan ponselku. Banyak teman-teman baru yang kudapat dari Friendster. Tapi, meski daftar temanku di dunia maya itu semakin bertambah, di dunia nyata malah kebalikannya. Aku kehilangan komunikasi yang hangat dengan orang-orang di sekelilingku karena setiap kali bertemu mereka, aku lebih banyak tertunduk dan asyik sendiri dengan ponselku. Aku tidak lagi memedulikan komunikasi tatap muka karena kupikir komunikasi dengan layar ponsel inilah yang lebih mengasyikkan. Aku telah kecanduan media sosial.
Kecanduan ini terus berlangsung hingga aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatku dan aku pun dibaptis. Tapi, aku tetap hidup seperti sedia kala. Aku masih asyik sendiri dengan dunia maya, bahkan saat ibadah di gereja pun aku tidak bisa fokus. Kadang bermain ponsel sendiri, atau pikiranku melayang-layang memikirkan teman-teman yang ada di media sosial.
Hingga suatu ketika, seorang hamba Tuhan di gereja menegurku. “Sudah dibaptis harusnya bertobat dan tidak mengulangi kebiasaan lama yang sia-sia,” katanya. Aku bingung. Apanya yang sia-sia? Apakah keasyikanku dengan media sosial ini adalah kesia-siaan? Ah, sepertinya tidak. Kupikir ini bukanlah dosa, lagipula tidak ada ayat di Alkitab yang mengatakan kalau keasyikanku dengan media sosial ini adalah dosa.
Hamba Tuhan itu tidak hanya sekali menegurku. Berulang kali dia terus mengingatkan dan membimbingku supaya aku bisa mengendalikan diriku dari media sosial, tapi aku selalu mengabaikannya.
Sebenarnya, saat itu aku tahu kalau terlalu asyik dengan media sosial bukanlah sesuatu yang baik. Tapi, aktivitas ini terasa nyaman buatku. Ini bukanlah sebuah anomali, pikirku, karena manusia memang pada dasarnya menyukai hal-hal yang membuatnya nyaman. Hanya, di sinilah sebenarnya masalah terjadi: nothing grows in the comfort zone. Kenyamanan ini membuatku tidak bertumbuh. Setelah menerima Kristus, alih-alih tumbuh berakar dan berbuah, aku malah begitu-begitu saja, atau mungkin tidak bertumbuh sama sekali. Selain kehilangan komunikasi yang hangat dengan manusia, aku pun kehilangan relasi dengan Tuhan. Aku jarang membaca Alkitab dan berdoa, kalau ke gereja pun tidak fokus. Dan, kupikir di sinilah pertanyaanku terjawab. Memang tidak ada ayat Alkitab yang secara langsung menyebutkan kalau keasyikan bermain medsos itu dosa, tapi bukankah Alkitab berkata:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Kemudian, di sebuah camp khusus perempuan yang kuikuti, Tuhan menegurku dengan keras. Dalam salah satu sesinya, seorang pembicara berkata bahwa Tuhan Yesus sudah membeli hidupku lewat pengorbanan di kayu salib, yang harganya teramat mahal. Pengorbanan Kristus itu tidak main-main, maka seharusnya aku pun tidak main-main dalam menerima anugerah itu. Aku harus hidup sepenuhnya untuk Tuhan, tidak lagi mengisinya dengan kesia-siaan.
Di akhir sesi itu, pembicara menantangku untuk membuat komitmen baru. Aku harus hidup sungguh-sungguh dalam Tuhan. Aku mau mengurangi keaktifanku di media sosial. Aku mau lebih fokus kepada orang-orang di dunia nyataku: keluarga dan teman-temanku. Aku mau membangun relasiku dengan-Nya melalui waktu bersaat teduh.
Aku bersemangat menghidupi komitmen itu. Sebagai langkah awal, aku mulai menerapkan pembatasan waktu bermedia sosial. Jika dulu aku bisa online hampir tiap saat, aku melatih diriku hanya online tiga kali seminggu. Menjalankan komitmen ini tidak mudah, sampai-sampai aku ingin menangis. Tapi, kakak mentor yang mendampingiku di camp itu selalu mendukungku. Dia mengingatkanku ayat dari 1 Korintus 10:13 bahwa Tuhan pasti memampukanku untuk melalui ini.
Latihan ini perlahan mulai membuahkan hasil. Aku tidak lagi sedih ketika tidak membuka media sosial. Malah, aku merasakan peningkatan kualitas komunikasi dengan orang-orang di dunia nyataku, juga dengan Tuhan. Aku bisa merasakan kehangatan keluarga saat makan malam bersama. Aku bisa ceria dan tertawa bersama dengan teman-temanku saat kumpul bersama. Dan, aku pun bisa memiliki waktu pribadi bersama Tuhan. Ya, pendek kata, aku merasa komunikasi yang kulakukan menjadi lebih hidup.
Sekarang, bertahun-tahun sudah berlalu sejak aku berkomitmen untuk melepaskan diri dari kecanduan media sosial. Aku tidak menjadi orang yang anti dengan media sosial, juga tidak anti dengan sesuatu yang membuatku nyaman. Hanya, aku perlu berhikmat dalam segala sesuatunya, dan hikmat itu bisa kudapat dari menjalani hidup yang takut akan Tuhan.
Baca Juga:
Satu Hal yang Kupelajari dari Kegagalanku di SNMPTN
Aku masih ingat bagaimana campur aduknya perasaanku saat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri diumumkan. Kecewa, sedih, juga takut bercampur menjadi satu di dalam diriku saat aku dinyatakan tidak lolos.