Posts

Merawat Hati yang Kecewa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Pertemuan Zoom jadi aktivitas yang biasa kulakukan selama pandemi. Dari sekian banyak Zoom yang telah kuikuti, ada satu sesi yang memberikan kesan di hati. Izinkan kuceritakan sekelumitnya pada tulisan ini.

Di pertemuan Zoom yang diisi dengan sesi sharing, Tabita, kawanku yang baru saja memulai kehidupan berumah tangga mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman dan kegiatan di keseharian selama pandemi. Dia membuka sesi sharing ini dengan bertutur bagaimana dia menghadapi hari-hari berat ketika ayahnya dipanggil pulang ke Surga, hubungannya yang sedang tidak harmonis dengan Eunike, adiknya, juga rencana pernikahannya yang seharusnya diadakan di awal tahun harus ditunda.

Tabitha yang tinggal di Semarang bingung dan kalut ketika mendapat kabar kepergian sang ayah. Di satu sisi dia ingin sesegera mungkin pergi menemui ayahnya, tapi suasananya hatinya campur aduk. Kabar duka yang datang pagi-pagi itu sungguh membuat pikirannya kusut.

Bapak kenapa pergi di saat pandemi Covid-19 merebak ke segala penjuru? Pandemi telah membatasi ruang gerak dan membuat khawatir melakukan perjalanan jauh. Tapi, aku harus pulang. Pulang bertemu Bapak meski hanya akan menjumpainya tertidur kaku. Aku mau protes tapi gimana ya, Kak? Memikirkan semua itu, membuatku hanya bisa menangis seharian.

Suara Tabita tersekat di tenggorokan. Sesaat ia diam, mengambil tisu, dan menghapus air mata yang turun dari matanya. Teman–teman yang ada di ruang Zoom pun tak ada yang berani menyela hingga Tabitha melanjutkan ceritanya.

Aku bingung, haruskah berjalan sendiri–sendiri ataukah mengajak Eunike pulang bersama ke Medan? Kepergian Bapak yang tiba–tiba, membuatku kembali berpikir untuk menyudahi perseteruan antara aku dan Eunike. Sudah terlalu lama sikap dingin dan tak acuh kami bangun untuk membentengi diri kami masing–masing. Tak ada yang mau mengalah dan mencoba mendobrak benteng itu. Aku hanya ingin seperti orang–orang di sekitarku, Kak. Kenapa mereka bisa menikmati hari–hari mereka dengan saudaranya, dan aku tidak?

Perseteruan Tabitha dan Eunike berawal dari salah paham yang tak diselesaikan sehingga berkembang menjadi “permusuhan” yang membuat keduanya tak nyaman satu dengan yang lain. Eunike cemburu pada kakaknya yang selalu mendapat pujian dari orang di rumah karena selalu memberi kabar “baik–baik saja dan tampak senang” meski tinggal jauh dari rumah, kuliah di Semarang. Dalam benak Eunike, hidup merantau itu menyenangkan, tak merepotkan keluarga. Ia tak tahu, Tabitha sebenarnya menghadapi banyak tantangan dan melewati berbagai rintangan untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu agar dapat meringankan beban orang tuanya dengan mencari pekerjaan.

Memulihkan relasi yang retak dengan adiknya menjadi pr besar bagi Tabitha, tapi dia tahu bahwa pengampunan bukanlah hal yang mustahil. “Aku selalu berdoa kak. Pun selalu ingat akan firman Tuhan tentang kasih dan pengampunan. Ternyata, Tuhan itu bekerja ketika kita mau membuka diri,” tuturnya.

Setelah berpikir panjang dia memutuskan untuk mengalah. Dia mulai membuka diri dan mengajak sang adik bicara dari hati ke hati. Jika seandainya keduanya bertahan dengan pikiran sendiri-sendiri, tentu tidak akan ada perubahan sedikit pun. Perbincangan ringan di perjalanan pulang ke rumah di Medan, pelan–pelan merekatkan kembali ingatan pada kebersamaan yang selama ini dibuat menjauh dari kehidupan mereka.

“Aku selalu berdoa, Kak,” ucapan Tabita ini bukanlah ungkapan klise ketika kita menghadapi persoalan. Kita seharusnya tidak pernah lelah untuk berdoa. Setidaknya, jika permintaan kita tidak diluluskan Tuhan, Dia pasti mengubahkan hidup kita. Keadaan yang kita hadapi mungkin tidak berubah, tetapi doa akan lebih dahulu mengubah orang yang berdoa. Sikap hati kita, cara kita memandang keadaan sanggup Tuhan ubahkan kala kita datang pada-Nya. Efesus 3:20 berkata, “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” Ketika kita berdoa, kita akan melihat perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.

Satu hal lain yang kupelajari dari kisah singkat Tabita ialah berdoa saja tidak cukup untuk merawat hati yang sedang kecewa. Tidaklah mudah untuk melepaskan pengampunan ketika kita sendiri masih memagari diri dengan ego. Singkirkanlah dahulu perasaan egois dan izinkan Tuhan mengisi hati kita. Tuhan Yesus mengingatkan kita dalam Markus 11:25, “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seorang, suapaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”

Menutup sharing dari Tabita, memang ada yang hilang ketika Tabita dan Eunike memulai perdamaian, tetapi ada berkat baru yang Tuhan berikan: kelegaan. Di depan jasad sang ayah, hati mereka berdua luluh. Segala rasa yang selama ini ditahan-tahan, tumpah dalam curhatan panjang hingga mengalirlah kata ‘maaf’ dan ‘sayang’ yang sudah lama tak diungkapkan. Hubungan mereka sejak hari itu mengalami pemulihan yang luar biasa sehingga mereka bisa menikmati hal–hal yang selama ini “hilang”.

Ternyata, semua yang terjadi di kehidupan ini, ada hikmahnya. Tuhan sudah mengatur dengan baik agar kita bisa menjalaninya dengan hati yang lapang meski ada riak – riak dan air mata, percaya saja Tuhan pasti beri yang terbaik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Studi Alkitab, Yuk!

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri.

Belajar Setia dari Aren

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Masa kanak-kanak adalah masa–masa yang menyenangkan. Saat–saat keseharian lebih banyak dihabiskan dengan bermain tanpa beban. Sayangnya, itu tak berlaku bagi Aren yang hingga umur 9 tahun, tak bisa bebas berlarian dan bermain seperti teman–temannya. Baginya, tak ada cerita pulang ke rumah dengan baju basah oleh keringat. Tak pernah pula ia menerima omelan karena pulang terlambat sebab keasikan bermain di luar rumah.

Gangguan jantung bawaan—di dunia medis lebih dikenal sebagai Tetralogy of Fallot (TOF)—membatasi aktivitas Aren sedari bayi. “Aren punya letak jantung miring, bocor di dua tempat. Dia ketahuan memiliki kelainan jantung waktu umur lima bulan. Umur empat tahun, dia punya badan biru. Kukunya juga bulat–bulat”, tutur Mama Imelda, ibunya.

Masalah pada jantungnya membuat Aren cepat lelah. Bergerak sedikit saja, nafasnya susah payah. Agar geraknya tak banyak, setelah masuk sekolah; Mama Imelda menggendong Aren pergi dan pulang sekolah. Setiap hari. Dan itu terus berlangsung selama Aren belum menjalani operasi jantung. Naik turun tangga di rumah sakit dan kemanapun, Mama Imelda tak membiarkan Aren untuk berjalan lama–lama.

Ada masa di mana Aren merasa dunianya hampir runtuh. Namun, keterbatasan tak mengekang senyum dan semangat Aren untuk berkegiatan walau kadang dirinya lebih banyak berdiam ketika sesaknya datang. Pengalaman mengajarkan Aren mencari tahu dan menemukan caranya sendiri untuk mengatasi sesaknya. Dengan muka penuh senyum, Aren berbagi tip ketika sesaknya datang. ”Kalau susah napas, aku lipat kaki rapat ke dada sampai aku tidur sudah”.

Karena keterbatasan fasilitas kedokteran di Sumba, Aren berobat ke Denpasar sebelum dirujuk untuk berobat dan menjalani operasi di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta. Aku bertemu dengan Aren ketika menjadi volunteer di sebuah rumah singgah, tempat Aren dan ibunya tinggal selama menjalani pengobatan di Jakarta. Waktu itu Aren sudah selesai operasi jantung dan sudah dalam tahap pemulihan. Badannya yang dulu kurus dan menonjolkan tulang–tulangnya, kini mulai berisi. Ia pun sudah terbiasa naik turun tangga tanpa merasa lelah. Tak lagi digendong ibunya.

Pertemuan dengan Aren membuatku belajar 3 (tiga) hal paling dasar untuk menjalani keseharian sebagai anak Tuhan yang tahu bersyukur walau hidup sering mendadak serupa bermain roller-coaster.

1. Sabar dan tidak bersungut-sungut

Sabar dalam penderitaan, itu pilihan Aren. Menurut Mama Imelda, “ketika rasa sakit, Aren tak pernah menangis. Mengeluh sebentar, itu saja.” Tentu saja tidak mudah untuk anak seusia Aren belajar sabar jika tak didampingi oleh sosok yang kuat. Bukan sekadar sosok yang mengingatkan tapi lebih lagi yang bisa memberinya teladan dalam menjalani hari–harinya sehingga Aren yakin dan percaya, Tuhan pasti tolong! Dan sosok ibu, memegang peranan penting di kehidupan Aren.

2. Melibatkan Tuhan dalam hidupnya

“Tiap hari aku berdoa, bangun aku berdoa, mau tidur aku berdoa, mau bikin apa – apa harus berdoa, kakak. Mama ajar aku begitu, harus mengucap syukur,” Aren menimpali obrolan kami dengan riang. Ucapannya membuat mata yang sedari tadi panas, tak kuasa lagi untuk membendung aliran air yang turun satu–satu dan merengkuh tubuhnya. Ya Tuhan, anak ini luar biasa!

3. Setia walau hari–hari yang dilalui terasa berat

“Aku tidak rasa sakit, kakak. Cuma pegal saja waktu dokter bilang dadaku dibuka. Tempat tidurnya juga dingin.”

Mama Imelda membenarkan pernyataan Aren, selama ini anaknya tak sedikitpun menangis. “Saya sudah khawatir waktu kami naik bus dari Bali ke Jakarta. Saya terus berdoa, Tuhan jangan sampai anak ini tiba – tiba kesakitan. Puji Tuhan, kami sampai di sini, Aren baik–baik saja.”

* * *

Perjalanan panjang yang dilalui Aren dan Mama Imelda hingga mendapatkan jadwal operasi, bukanlah perkara yang mudah. Bisa saja di tengah perjalanan, ibunya menyerah atau anaknya putus asa. Lebih lagi mereka hanya bisa melakukan perjalanan darat karena Aren punya ketakutan jika terbang, pesawatnya jatuh. Kalau itu terjadi, dia tak bisa melanjutkan berobat. Tapi Aren belajar setia menunggu waktu-Nya Tuhan.

Kadang, Tuhan izinkan masalah muncul di kehidupan kita untuk mendorong kita lebih dekat lagi kepada-Nya. Hanya saja, kita suka kurang peka. TOF tak sedikitpun menyurutkan semangat Aren untuk mewujudkan cita–citanya menjadi anak Tuhan yang setia. Betapa senangnya Aren dan Mama Imelda ketika dokter memberikan izin boleh pulang ke Sumba dan melakukan kontrol di Denpasar saja. Awal Desember 2019, Aren yang bercita–cita menjadi pendeta; pulang ke Sumba. Ia sudah tak sabar untuk merayakan Natal bersama teman–teman Sekolah Minggu dan keluarganya di kampung yang tak ditemuinya selama hampir setahun.

Apa masalahmu saat ini? Tuhan tidak pernah memberikan ujian melebihi dari yang dapat kita tanggung. Yakin dan percaya, Tuhan pasti selalu menyertai.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Pelajaran Penting dalam Bekerja di Tahun yang Baru

Tahun 2020 kemarin spesial buatku. Aku mendapat pekerjaan pertamaku setelah melalui berbagai lika-liku. Dari situlah aku belajar bahwa bekerja itu tidak cuma soal mencari uang, tapi juga bagaimana kita melakukan kehendak-Nya.

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

Oleh Olive Bendon

Hujan yang baru saja datang, memaksaku kembali duduk lesehan di teras gereja. Desember, bulan di penghujung tahun yang sering basah. Bulan sibuk bagi umat Kristiani menyambut Natal dengan beragam kegiatan yang sering jadi boomerang bagiku, kamu, dan dia yang kebersamaannya dengan orang–orang dekat tersita karena kegiatan bertumpuk–tumpuk yang mungkin (sengaja) diborong. Serupa malam itu, ketika keriuhan di gereja sendiri usai, kuikuti langkah kawan untuk melihat persiapan Natal di gerejanya. Tawaran secangkir teh panas dari ibu pengurus gereja untuk menghangatkan badan tentu saja tak kutampik.

Kami—aku dan Titi, serta beberapa pemuda di gereja tersebut—ngariung menghadap pohon pinus di samping gerbang gereja yang disulap menjadi pohon terang, dihiasi lampu berwarna–warni. Keberadaannya mengingatkanku pada satu hari menjelang Natal 13 tahun lalu, ketika ayah meminta kami, anak–anaknya untuk pulang dan merayakan Natal di rumah. Dua minggu sebelum Natal, ayah kena serangan jantung, dan harus “pulang” sebelum anak–anaknya pulang ke rumah. Saat berkumpul di hari Natal itu tak pernah mewujud, karena tenyata Tuhan telah menyiapkan hari berkumpul lebih awal dalam suasana yang berbeda. Keadaan yang dulu membuatku kesal kenapa Tuhan menjadikan hari berkabung di saat kami merencanakan hari sukacita?

Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon natal? Tanya Titi memecah senyap.

Pertanyaan sederhana yang memotong ingatanku pada hari yang telah mengubah pemahamanku akan arti kehadiran Tuhan di dalam kehidupan ini. Pertanyaan yang mengingatkanku pada benturan di grup WhatsApp paduan suara gereja beberapa hari lalu karena perkara foto diri seorang kawan untuk ID Card kegiatan Natal tak sesuai dengan keinginannya. Dia minta gambar dirinya diganti. Sayang, dirinya lupa, dia hanya fokus memandangi gambar dirinya sendiri. Sedangkan yang mengerjakan pemotretan, pengumpulan hingga editing gambar dirinya dan 50 orang lainnya; satu orang saja.

Meski menyebut diri pelayanan tapi kita sering lupa, sebenarnya pelayanan kita hanya sebatas sebagai aktifis BUKAN melayani. Pelayan itu berarti berada di posisi terendah, bahkan diinjak–injak! Namun, ego sering membuat kita lebih fokus mendandani diri kita sendiri secara fisik. Senangnya komplain dengan mengedepankan keinginan diri. Tidak mau berkorban dan mengambil tanggung jawab. Padahal, jika kita mau membaca dan memahami lebih dalam makna dari kelahiran Kristus, sejatinya Natal adalah pengorbanan!

Kok bisa? Pertanyaan yang sama terlintas di pikiranku ketika mendengar khotbah di satu ibadah sore menjelang Natal beberapa waktu lalu. Setidaknya 4 (empat) pribadi berikutlah yang berkorban untuk natal:

  1. Maria: ia rela dan siap untuk difitnah karena hamil di luar nikah, namun Tuhan menetapkannya menjadi perempuan terpilih untuk melahirkan Putra Tunggal-Nya [Lukas 1:38]
  2. Yusuf: ia mau bertanggung jawab meski anak yang dikandung Maria tunangannya, bukan dari benihnya [Matius 1:24-25]
  3. Tuhan: karena begitu besar kasih-Nya akan dunia yang penuh dosa DIA rela memberikan Putra Tunggal-Nya turun takhta, berdiam di antara manusia bahkan rela disiksa memberikan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa diselamatkan [Yohanes 3:16-17]
  4. Kita: siap atau tidak menerima segala konsekuensi menjadi anak Tuhan? [Efesus 5:1-2,8]

Selain pengorbanan, bagiku, Natal adalah pembaharuan! Saat komitmen kembali dieratkan, saat langkah tetap konsisten meski jalan yang dilalui tak selalu rata. Natal adalah saat pundak disorongkan menjadi sandaran bagi yang membutuhkan penyemangat, Natal adalah Kasih.

Sayangnya, sering kita terlalu sibuk dengan ini itu demi mempersiapkan hari untuk merayakan kelahiran-Nya lalu lupa menata hati juga melupakan yang utama, DIA yang lahir untuk kita. Kita terlalu sibuk mendekorasi pohon Natal, menghiasinya dengan lampu kelap–kelip. Lupa, lampu yang berkelap–kelip itu pun berkorban untuk menerangi kegelapan, bukan menerangi dirinya sendiri.

Sudahkah kita melakukan hal–hal baik yang Tuhan inginkan dalam hidup kita dan menjadi terang bagi sekeliling kita? Selamat Natal dan semangat menyongsong Tahun Baru.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?