Posts

Dengan atau Tanpa Medali, Marilah Kita Memuji Tuhan

medali-rio-2016

Oleh Charles

Minggu lalu, Indonesia baru saja merayakan dua hal yang patut kita syukuri. Pertama, kita merayakan 71 tahun kemerdekaan Indonesia. Kedua, di hari yang sama, kita juga merayakan medali emas satu-satunya yang diperoleh tim Indonesia di Olimpiade Rio 2016. Medali emas itu diraih oleh Tontowi & Liliyana di cabang bulu tangkis ganda campuran. Mereka telah mengharumkan nama Indonesia, dan membuat lagu kebangsaan negara kita tercinta, Indonesia Raya, dikumandangkan nun jauh di Rio de Janeiro, Brazil, bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Sungguh membanggakan!

Dalam momen-momen keemasan seperti ini, kita dapat mendengar begitu banyak orang Indonesia yang bergembira, bersyukur kepada Tuhan, dan memuji Dia. Ini adalah hal yang baik, karena tidak semua mengingat Tuhan dalam kemenangan mereka. Jadi, memuji Tuhan ketika kita menang adalah sebuah hal yang baik. Namun, bagaimana saat kita menderita kekalahan?

Perenungan ini mengingatkanku pada sebuah kutipan yang ada di film Facing The Giant. Film itu juga mengisahkan sebuah tim olahraga yang akan menghadapi sebuah pertandingan yang penting. Sebelum pertandingan dimulai, sang pelatih memberikan nasihat berikut ini:

“Aku ingin Tuhan memberkati tim ini sehingga orang-orang akan membicarakan apa yang Dia perbuat. Tapi itu berarti kita harus memberikan yang terbaik kepada-Nya di semua aspek. Dan jika kita menang, kita puji Dia. Dan jika kita kalah, kita puji Dia. Apapun yang terjadi kita muliakan Dia dengan perbuatan dan karakter kita. Jadi aku bertanya kepada kalian… Untuk siapa kalian hidup? Aku memutuskan untuk memberikan semua yang kumiliki kepada Tuhan, dan aku akan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.”

Aku menemukan kebenaran di dalam ucapan di atas. Kita harus mengusahakan yang terbaik untuk Tuhan, dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Jika kita menang, kita memuji Dia. Jika kita kalah, kita juga memuji Dia. Mengapa? Karena Tuhan layak dipuji, dan kelayakan-Nya untuk dipuji tidak dipengaruhi oleh hasil yang kita peroleh.

Mazmur 150:6 berkata, “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan!” Segala yang bernafas berarti semua orang, baik mereka yang menang, maupun mereka yang kalah. Ketika kita memuji Tuhan, kita memuji Dia karena Dia adalah Allah yang besar dan hebat, bukan karena Dia memberikan kita kemenangan. Kemenangan atau kekalahan yang kita alami tidak mempengaruhi besar dan hebatnya Allah kita. Pada akhirnya, hanya satu hal yang perlu kita kejar, yaitu agar nama Tuhan dapat dipermuliakan.

Jadi, di tengah eforia kemenangan yang kita rayakan saat ini, marilah kita memuji Tuhan. Dan kiranya Tuhan juga menolong kita untuk dapat memuji Dia di tengah situasi yang tidak sesuai dengan harapan kita, karena Dia adalah Allah yang besar dan hebat, dan layak dipuji.

“Haleluya! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.” (Mazmur 146:1-2)

Photo credit: Rio 2016/Alex Ferro

Baca Juga:

Mengapa Aku Mengundurkan Diri Saat Akan Dipromosi

Dan itulah ketika aku mengajukan surat pengunduran diri yang telah aku tulis sebelum hari pertama aku masuk bekerja.

Kisah Mengharukan di Olimpiade Rio 2016

kisah-mengharukan-di-olimpiade-rio-2016

Oleh Michele O., New Zealand
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What The Olympics Is Really About

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu tidak sengaja bertabrakan dengan seorang kompetitormu dalam sebuah pertandingan terpenting dalam hidupmu? Apakah kamu akan bangkit secepat mungkin dan berusaha untuk mengejar waktu yang terbuang? Ataukah kamu akan berhenti dan menolong kompetitormu untuk bangkit?

Dua orang pelari Olimpiade, pelari New Zealand Nikki Hamblin dan pelari Amerika Abbey D’Agostino, memilih pilihan yang kedua dalam lomba lari 5.000 meter di Olimpiade Rio 2016, beberapa hari yang lalu. Sebagai akibatnya, tindakan mereka dipuji oleh berbagai media di seluruh dunia sebagai sebuah contoh nyata dari semangat Olimpiade.

Berikut rangkuman kisahnya: Dalam perlombaan tersebut, Kaki Hamblin beradu dengan kaki D’Agostino, dan kedua pelari perempuan tersebut jatuh. D’Agostino dengan cepat bangkit dan menolong Hamblin, menguatkannya untuk menyelesaikan perlombaan tersebut. Berikutnya, Hamblin terlihat menguatkan D’Agostino yang menderita cedera lutut sebagai akibat dia jatuh. Keduanya menjadi orang terakhir yang menyelesaikan perlombaan tersebut.

Foto kedua pelari tersebut yang sedang menolong satu sama lain dan berpelukan di garis akhir telah mewarnai semua surat kabar ternama yang ada. Hamblin memuji kebaikan D’Agostino, dan mengatakan kepada reporter: “Aku jatuh, dan aku berpikir, ‘Apa yang terjadi? Mengapa aku terbaring di tanah?’. Lalu tiba-tiba, adalah tangan ini di atas bahuku [dan D’Agostino berkata], ‘Bangun, bangun, kita harus menyelesaikan perlombaan ini.’ Dan aku seperti, ‘Ya, ya, kamu benar. Ini adalah Olimpiade. Kita harus menyelesaikan perlombaan ini.”

Sebagai seorang warga negara New Zealand, aku sangat bangga dengan atlet lari berusia 28 tahun itu, yang menunjukkan sebuah contoh sempurna dari semangat orang Kiwi (penduduk New Zealand) tentang kemauan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Tapi hal yang bahkan lebih menyentuh hatiku adalah ketika membaca penjelasan D’Agostino tentang responsnya—di mana dia menyebut tentang Tuhan. Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh website pelari Amerika Serikat, dia berkata, “Meskipun tindakanku adalah sebuah refleks saat itu, satu-satunya cara aku dapat menjelaskan hal itu adalah karena Tuhan mempersiapkan hatiku untuk merespons seperti itu. Selama aku di sini Dia dengan jelas menyatakan kepadaku bahwa pengalamanku di Rio akan lebih dari sekadar performa lariku—dan segera ketika Nikki bangkit aku tahu bahwa inilah alasannya.”

Dan kisah ini berakhir dengan manis—penyelenggara Olimpiade memberikan kepada Hamblin dan D’Agostino sebuah tempat untuk berlari di laga final di hari Sabtu setelah tim mereka mengajukan protes.

Membaca tentang bagaimana Hamblin dan D’Agostino saling menolong satu sama lain dalam masa-masa sulit mereka mengingatkanku akan ayat ini, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” (Pengkhotbah 4:9-10).

Seberapa sering kita berhenti untuk “menolong orang lain untuk bangkit”? Kita tidak hanya berbicara tentang menolong seorang teman yang terjatuh secara fisik, tapi juga tentang teman-teman yang mungkin sedang mengalami pergumulan yang sulit di dalam hidup. Akankah kita berhenti untuk mendengarkan, menghibur, menguatkan, dan memberikan tangan kita untuk mereka?

Seorang temanku sedang mencari sebuah pekerjaan paruh waktu, tapi tidak ada pekerjaan yang cocok dengannya karena dia harus bekerja di dekat anaknya yang masih kecil. Tidak banyak pemberi kerja dapat memberikan waktu yang fleksibel seperti itu. Tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menelepon dia dan menanyakan kabarnya. Temanku telah “jatuh”, dan aku tidak berbuat apa-apa untuk menolongnya untuk bangkit.

Kalau aku menjadi D’Agostino, apakah aku akan menolong Hamblin untuk bangkit? Mungkin. Atau aku mungkin tergoda untuk melanjutkan perlombaan karena aku tidak ingin kehilangan kesempatan menjadi pemenang Olimpiade.

Kita hidup di tengah ekonomi yang terus berputar di mana orang-orang yang lambat akan kalah. Tapi Alkitab mengingatkan kita bahwa kita perlu mengambil waktu kita untuk memperhatikan kebutuhan teman-teman kita.

Dengan berhenti untuk saling menolong, Hamblin dan D’Agostino mungkin harus pulang tanpa harapan mendapatkan medali apapun. Tapi tindakan yang kedua orang tersebut telah tunjukkan di hari itu sama berartinya dengan mendapatkan medali emas.

Baca Juga:

Mendefinisikan Ulang Kesuksesan

Siapakah yang mendefinisikan kesuksesan? Sebagai orang Kristen, jika kita ingin belajar tentang kesuksesan sejati, tiada yang lebih baik daripada belajar dari seseorang yang paling sukses yang pernah hidup: Yesus.