Itung-itungan Soal Persembahan
Oleh Jessie
Sebagai seorang pedagang, topik keuangan merupakan topik yang sangat dekat di hati. Buatku, profesi ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk memberikan lebih. Sehingga, dengan terus terang, meskipun topik ini terasa dekat tapi juga agak menyebalkan untuk dibahas. Hehehe… Kenapa?
Apa yang kutahu dengan apa yang ingin dilakukan seringkali bentrok. Dalam kasusku, jiwa cinta Tuhan dan jiwa pelit sering beradu. Terasa berat untuk mengembalikan persembahan yang sesuai. Kasih sih kasih, tetapi sesuai atau tidaknya itulah yang selalu jadi pertanyaan besar. Saat memberi, kok rasanya sedikit banget, jadi ditambahkan. Tapi, setelah ditambahkan, kok kayaknya kebanyakan ya… jadinya dikurangi lagi. Agak kacau memang.
Ceritaku di atas hanyalah pengantar dari topik menarik yang akan kita gali bersama: tentang persembahan. Dalam kekristenan, memberi persembahan adalah bagian tak terpisahkan dari iman kita. Alkitab mencatat sejak zaman Perjanjian Lama, umat memberikan persembahan sebagai wujud syukur kepada Allah. Pada zaman modern, jenis persembahan yang kita kenal dalam peribadahan umumnya persembahan mingguan dan persepuluhan.
Konsep persepuluhan tertulis jelas dalam Perjanjian Lama bahwa 10% dari penghasilan kita sudah selayaknya dikembalikan untuk Tuhan. Nah, untuk jiwa pedagang sepertiku, 10% penghasilan ini nominalnya bisa dialokasikan untuk banyak hal. Jadi, mengembalikan 10% merupakan latihan rohani yang kugumulkan. Kesulitanku bukan dari sisi finansial, tetapi jiwa pedagang dalam diriku yang seringkali menuntutku untuk itungan. Untuk menyiasati ini, ada teman-temanku yang langsung mengatur settingan di banknya untuk langsung autodebet sepuluh persen ke kas persepuluhan gereja setiap bulannya. Katanya itu sangat membantu, “supaya gak mikir-mikir lagi atau berat hati sampai akhirnya tidak memberi.” Aku salut dengan mereka karena ini salah satu strategi mereka untuk memantapkan niatan hati.
Tapi, apakah 10% pada zaman sekarang adalah angka mutlak? Untuk menjawabnya, ada banyak teori dan penafsiran yang dapat dengan mudah kita jumpai di luar sana. Tapi secara sederhana, kurasa angka 10% yang jelas tertulis tidak bisa kita abaikan begitu saja. Namun, semuanya kembali kepada kondisi finansial kita. Aku percaya Tuhan tidak pernah melihat kuantitasnya, melainkan kualitas hati kita karena sesungguhnya, esensi dari persembahan yang kita berikan adalah sikap hati kita.
Ceritaku tentang jumlah persembahanku yang tidak sesuai karena urusan hati yang pelit memang sudah jadi pergumulan dosa dan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Seorang peneliti Alkitab bernama Angel Manuel Rodriguez menjabarkan beberapa poin dari apa yang disebut acceptable offering, atau artinya “persembahan yang layak”.
Persembahan yang layak bukan dilihat dari jumlah yang kita berikan, namun dari sikap hati saat memberi.
Yang pertama, persembahan yang layak harus disertai dengan self-offering, di mana si pemberi mau menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan (Lukas 21:3-4). Cerita dari janda yang memberikan dua peser mengilustrasikan hati seorang yang penuh kasih terhadap Tuhan dan ingin menyerahkan seluruh dirinya pada Kristus dengan seluruh uang (dua peser) yang dimilikinya.
Yang kedua, persembahan yang layak itu dilakukan dengan iman akan penyertaan Tuhan yang selalu mencukupkan kita (2 Korintus 8:3).
Yang ketiga, persembahan diberikan atas bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Kalau kata pepatah, “Ngomong aja gak cukup, mana aksinya?” Nah, sama juga dalam konteks ini. Doa dan ucapan syukur kita juga harus ada aksinya. Salah satu contohnya adalah memberikan persembahan. Selain itu, poin ini juga mengingatkan kita bahwa persembahan yang kita berikan merupakan respons dari hati kita yang penuh dengan rasa syukur, bukan karena Tuhan yang butuh uang kita.
Yang keempat, persembahan itu disebut layak jika kita memberikan dengan penuh kerelaan hati, tidak dengan keberatan hati ataupun dengan paksaan (2 Korintus 9:7). Rasul Paulus mengajak orang Kristen untuk memberi dengan setia, tapi dengan catatan pemberian tersebut dilakukan dengan hati yang bersukacita.
Yang kelima, ini merupakan poin yang menurutku penting sekali dan sering dilupakan. Persembahan yang layak harus dilakukan dengan hati yang damai, damai dengan Tuhan dan sesama. Banyak dari kita datang setiap minggu ke gereja dengan pergumulan relasi, baik dengan Tuhan dan sesama kita. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Matius 5:23-24). Menjaga relasi yang baik dengan sesama kita juga merupakan kewajiban yang setara pentingnya dengan membawa persembahan kita kepada Tuhan.
Yang terakhir, Tuhan tidak ingin kita memberikan lebih dari kemampuan kita, sehingga jumlahnya tidak boleh didasari emosi sesaat, melainkan dengan konsistensi dan komitmen yang sudah kita perhitungkan di awal saat kita mulai memberi. Yang diberkati lebih diharapkan untuk memberi lebih, dan untuk yang lainnya, dianjurkan untuk memberi sesuai dengan kondisi finansial nya. Ingat bahwa Tuhan tidak pernah mewajibkan kita memberi melebihi kapasitas kita.
***
Untuk menutup artikel kali ini, aku ingin membagikan cerita lucu dari salah satu temanku yang juga seorang pengusaha. Boleh dikatakan, ia adalah seorang yang sangat giat pelayanan dan rajin sekali memberi. Ia bercerita bahwa ia pernah kelebihan satu nol saat menuliskan angka persepuluhannya. Karena ini sudah era digital, di mana semuanya tinggal dilaksanakan dengan satu klik saja, tahu-tahunya tulisan “m-Transfer BERHASIL” sudah muncul di layar. Ini bukan zaman kertas gir, yang kalau salah tulis, bisa disobek aja. Lebih satu nol ini tidak bisa dianggap remeh; karena akibatnya bisa fatal kalau lalai teliti. Karena kami teman-teman setianya yang baik hati, tentu kami menertawakan dia, apalagi mengingat bahwa kefatalan extra “0” ini merupakan uang persepuluhan, bukan persembahan mingguan. Saat kongkow, ia bercerita bahwa walau tidak sengaja, ia benar-benar merasakan berkat Tuhan yang senantiasa memeliharanya. Kami, teman-temannya pun melihat perkembangan usahanya yang terus meningkat drastis setiap bulannya dari bertambahnya karyawannya serta penjualannya. Tolong jangan disalah pahami cerita ini ya; persembahan bukan strategi kita agar mendapatkan uang lebih lagi dari Tuhan. Poinnya adalah, dengan motivasi yang benar dan kerelaan hati untuk memberi, Tuhan seringkali memberkati mereka yang memberikan dengan segenap hatinya.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥