Posts

Tak Seharusnya Nyawa Melayang, Bagaimana Kita Bisa Belajar dari Petaka Kanjuruhan

Oleh Agustinus Ryanto

Indonesia berduka.

Seratusan lebih nyawa melayang dalam sebuah pertandingan yang berubah menjadi kacau di stadion Kanjuruhan, Malang. Kita yang tidak hadir secara langsung di tempat kejadian perkara hanya bisa menerka-nerka seperti apa keadaan saat itu dari berbagai postingan di media sosial. Terlepas dari apa pun teori maupun kesaksian yang menyorot siapa yang salah, ada satu poin krusial yang bisa kita sepakati bersama, yakni suasana chaos alias kacau yang mengakibatkan situasi tidak bisa lagi dikendalikan.

Kronologis umum yang beredar di masyarakat adalah para suporter tak terima tim kesayangannya kalah merangsek masuk ke lapangan, lalu berujung ricuh. Aparat berwajib menanggapinya dengan melepaskan tembakan gas air mata yang bukannya membuat suasana kondusif, tetapi menjadi semakin kacau. Puluhan ribu orang berlari tunggang-langgang menyelamatkan diri, saling berhimpitan, hingga akhirnya satu per satu nyawa berjatuhan.

Mengendalikan amarah sebelum itu menciptakan angkara

Aristoteles seorang filsuf Yunani pernah berkata, “Siapa pun bisa marah—marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik—bukanlah hal mudah.”

Tragedi Kanjuruhan bisa kita katakan bermula dari suatu kemarahan. Ketika para suporter tak terima tim kesayangannya kalah, mereka meluapkan kemarahannya dengan turun ke lapangan. Tetapi, ini bukanlah faktor tunggal dan utama. Sebuah chaos atau kekacauan terjadi karena faktor-faktor lain yang bertumpang tindih dan tidak ditanggapi dengan cara yang tepat. Kemarahan suporter yang beringas ditanggapi aparat dengan penembakan gas air mata. Amarah bertemu amarah, maka terjadilah angkara. Kericuhan pun tak terelakkan.

Kondisi diperparah dengan banyaknya jumlah massa. Coba kita bayangkan, ketika kita sedang marah sampai naik ke ubun-ubun. Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence mengatakan bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, yang diterima otak lalu diterjemahkan tubuh menjadi tindakan-tindakan seperti membentak, membanting pintu, menangis, atau yang mengerikannya (seperti yang kita lihat dalam berita kriminal), menyakiti hingga membunuh orang lain.

Jika kita membaca kembali Alkitab, kita akan menemukan ada beberapa kasus ketika amarah massa meluap-luap dan mereka melakukan tindakan brutal. Dalam Kisah Para Rasul kita mendapati kisah Stefanus yang dirajam batu oleh kerumunan orang yang marah kepadanya. Stefanus hidup pada masa imperium Romawi. Kita yang hidup di abad 21 mungkin merasa masa-masa Romawi itu masa yang sangat kuno dan jadul, tetapi sejarah mencatat Kekaisaran Romawi sebagai sebuah negara dengan sistem politik dan peradilan yang mapan pada zaman itu. Mereka memiliki mahkamah dan pengadilan. Tetapi, prosedur dan sistem itu tidak berlaku dalam kasus Stefanus. Kisah Para Rasul 7:54 mencatat, “Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi…” lanjutnya, “…sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya.”

Perajaman Stefanus diawali dari amarah yang disebabkan oleh ucapannya. Amarah mahkamah agama menjalar menjadi amarah massa yang pada akhirnya menjatuhi Stefanus hukuman tanpa peradilan. Amarah yang bertumpuk dan terjadi pada suatu kerumunan menimbulkan suatu efek luar biasa. Orang bisa bertindak sadis karena tahu mereka tidak sendirian melakukannya. Semakin tak terkendali tindakan kerumunan, semakin chaos-lah situasi yang terjadi. Bayangkanlah jika kita ada di antara kerumunan yang sedang marah dan chaos tersebut? Apa yang dapat kita lakukan? Kita mungkin akan melarikan diri, atau bisa jadi kita pun tersulut emosinya untuk ikut melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang.

Terhadap rasa marah yang dapat mengantar kita pada situasi kacau, Alkitab pada dasarnya menegaskan bahwa marah bukanlah tindakan berdosa. Tuhan Yesus pun pernah marah, dan di sinilah kita dapat belajar bagaimana mengelola marah dengan benar.

Kelemahan kita sebagai manusia adalah ketika kita marah, kita gagal menguasai diri. Oleh karenanya, Alkitab mengingatkan, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20). Poin yang bisa digarisbawahi dari ayat ini adalah pada frasa “amarah manusia.” Emosi marah tanpa pengendalian diri yang didapat dari pertolongan Roh Kudus tidak menjadikan amarah kita sebagai cara untuk memecahkan masalah, yang ada malah menimbulkan masalah yang lebih besar.

Dukacita telah terjadi. Nyawa yang telah melayang tak dapat ditarik kembali kepada tubuh yang fana. Ini kabar kelam dan pilu bagi kita semua, entah kita seorang suporter sepak bola atau bukan. Jika ada di antara kita yang marah karena tragedi ini, bawalah kemarahan itu dalam doa pada Tuhan lebih dulu supaya kita dapat melihat pula ke dalam diri kita sendiri dan memandang tragedi ini dari perspektif yang lebih luas.

Rivalitas dan fanatisme antara sesama suporter yang tak terima tim kesayangannya kalah, mungkin juga adalah sifat kita yang tak suka melihat orang lain lebih berhasil dari kita, sehingga kita selalu menganggap hidup ini adalah persaingan tiada batas.

Kiranya tragedi ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Tak ada marah yang sebanding nilainya dengan jatuhnya nyawa manusia.

Duka mendalam untuk seluruh korban. Tuhan Yesus memberi penghiburan dan kekuatan bagi semua korban dan keluarga yang berduka.