Posts

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Ketika aku mengingat kembali memori masa-masa dahulu, aku bertanya-tanya, mengapa ya aku mendoakan dan memilih dia? Padahal dia kan bukan orang yang romantis.

Tapi, di sinilah cerita tentang bagaimana Tuhan membentuk dan mengubahkan pikiranku dimulai. Dan inilah yang ingin kuceritakan kepadamu.

Di masa-masa awal kami menjalin relasi pacaran, aku sering marah kepadanya. Aku mengharapkan dia menjadi sesosok pria yang romantis. Aku ingin dia seperti pria-pria lain yang aku lihat di postingan media sosial temanku. “Kenapa sih kamu tidak bisa jadi pria yang romantis?” tanyaku padanya. Pertanyaan ini tidak hanya sekali kuajukan, tapi berkali-kali. Dia tidak marah atau menjawabku agar aku mencari pria lain saja. Tidak pernah dia mengatakan itu. Tetapi, setiap pertanyaanku itu selalu dijawab dengan satu pertanyaan yang sama: “Apakah ukuran romantis seperti itu?” Dan perdebatan pun hampir selalu terjadi di masa-masa ini.

Meski demikian, Tuhan menguatkan dan memberkati relasi kami. Setelah kurang lebih tiga tahun berpacaran, saat ini kami diperhadapkan dengan pergumulan yang cukup berat. Kami harus berpisah kota dan melakukan long distance relationship (LDR). Aku sedang bergumul untuk memilih melanjutkan studi, sedangkan dia sangat menikmati pekerjaannya saat ini di kota yang berbeda. Ketika berdiskusi soal ini, rasanya tidak ada titik temu dan kupikir LDR akan tetap kami jalani selama beberapa tahun ke depan.

Di titik ini, sejujurnya ada banyak alasan bagi kami masing-masing untuk menyerah. Ada alasan kuat bagi kami untuk pergi dan mengerjakan impian kami masing-masing tanpa memedulikan satu sama lain. Tapi, yang dia laukan adalah dia mengajakku untuk terus setia bergumul di hadapan Tuhan, punya waktu setiap minggunya untuk mengevaluasi perenungan kami bersama Tuhan. Lambat laun, ketika aku melihat upaya-upaya yang dilakukannya untuk mempertahankan relasi ini, aku tersadar bahwa inilah hal yang sesungguhnya romantis buatku.

Aku sungguh bersyukur pada Tuhan. Di saat relasi kami terhalang jarak, Tuhan menolong kami untuk terus menguatkan di dalam doa. Aku belajar bahwa definisi romantis tak melulu sesuatu yang bersifat mesra dan mengasyikkan seperti dalam cerita-cerita roman atau seperti yang ada dalam bayanganku di awal-awal kami menjalin relasi.

Aku tidak sedang memuji pasanganku atas apa yang telah dia lakukan, tetapi aku memuji Tuhan yang telah mempertemukan dan memberi kami kesempatan menikmati waktu bersama. Memuji Tuhan menolongku untuk melihat bahwa hal yang romantis yang kuperlu adalah ketika dia membawaku datang kepada Tuhan. Ada naik turun yang kami alami, tetapi karena kami menyadari Siapa yang berkarya dalam relasi ini, itulah yang menolong kami untuk bangkit dan berjuang kembali.

“Sering kami tak mengerti, jalan-jalan-Mu Tuhan bagai di belantara yang kelam,
Tanpa seribu tanya, namun tetap percaya jejak-Mu Tuhan sungguh sempurna.”

Sepenggal lirik lagu itu sering kami nyanyikan, terutama dalam masa-masa berat yang sedang kami alami saat ini. Yang meneguhkan kami adalah bahwa jejak-Nya sungguh sempurna. Tuhan menyertai perjalanan relasi kami hingga kepada saat ini.

Kami memuji Tuhan yang menciptakan perempuan dan laki-laki.

Kami memuji Tuhan yang memberikan keromantisan di dalam-Nya.

Kami memuji Tuhan yang setia memimpin kami di dalam berbagai persoalan yang terjadi dalam relasi ini.

Tulisan ini kutulis untuk mengingatkanku juga kuharap bisa memberkati setiap orang yang membacanya. Ketika kita berelasi bersama seseorang yang istimewa, doronglah dia untuk sama-sama membangun relasi yang “romantis”, yang membawa kita datang kepada Tuhan.

Baca Juga:

Kekurangan Fisik Membuatku Minder, Tapi Tuhan Memandangku Berharga

Aku lahir dengan kondisi di mana langit-langit dalam rongga mulutku terbuka sehingga ketika aku berbicara, suaraku tidak jelas. Teman-temanku pernah mengejekku. Ejekan itu melukai dan membekas di hatiku.

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu.

Beberapa minggu ini, aku merasa gelisah dengan postingan temanku di media sosial. Aku merasa risih dengan konten yang dia unggah. Bukan aku saja yang merasa begitu, teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama. Tapi, tidak ada satu pun dari kami yang berani menegurnya.

Suatu malam, temanku itu meng-update status di media sosialnya yang menurutku kurang bijak. Dia mengumbar masalah yang sedang dia hadapi dengan pacarnya. Aku memutuskan untuk bertanya alasan mengapa ia sering mengunggah konten seperti itu. Sebagai sahabatnya, aku tidak ingin kalau karena postingannya itu, orang lain jadi salah persepsi terhadapnya.

Tapi, temanku malah berbeda pendapat denganku. Dia merasa tidak ada yang salah dengan semua postingannya. Ia justru berkata bahwa dengan aku menegurnya seperti itu, aku telah melukai hatinya. Dia tidak menerima teguranku dan sebaliknya malah jadi marah padaku.

Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Aku berdoa pada Tuhan, meminta ampun apabila tindakanku telah menyakiti hatinya—terlebih lagi jika melukai hati Tuhan. Aku berdoa agar Tuhan yang menyempurnakan teguran itu kepadanya, dan memulihkan hati kami berdua.

Di tengah rasa khawatirku itu, aku merasa sangat diteguhkan ketika Tuhan mengingatkanku pada Amsal 27:6 yang berkata:

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.”

Apa yang kulakukan terhadap temanku mungkin dimaknainya sebagai tindakan yang tidak menyenangkannya, tetapi sesungguhnya sebagai seorang teman, teguranku adalah untuk kebaikannya.

Dua hari kemudian, sesuatu yang tidak kuduga pun terjadi. Aku menerima pesan WhatsApp darinya.

“Novita, apa yang sudah pernah terjadi jangan sampai merusak relasi kita, ya.”

Pesan itu mungkin singkat, tapi, sungguh aku sangat senang ketika membaca pesan tersebut. Aku lalu kembali menegaskan padanya bahwa teguran yang kuberikan padanya adalah karena aku menganggapnya sebagai sahabatku. Aku tahu apa yang dia lakukan itu salah, dan sudah tugasku untuk memberitahunya.

Aku merasakan bagaimana Tuhan turut campur tangan dalam menyampaikan teguran itu kepada temanku. Tuhan juga yang menolongku meredakan ketegangan dalam hubunganku dengan dia. Setelah dua minggu berlalu, aku tidak lagi melihat temanku itu memposting hal-hal yang biasanya dia posting dahulu.

Lewat peristiwa ini, aku diingatkan bahwa kita tidak perlu takut untuk menegur orang lain ketika tindakan orang itu memang tidak baik. Kita hanya perlu sungguh-sungguh memohon pada Tuhan untuk memampukan kita menyampaikan teguran tersebut dengan cara, sikap, dan kata-kata yang tepat. Dengan begitu, tidak ada yang sedih ataupun tersakiti oleh teguran kita. Tuhan mampu menyempurnakan semua kekurangan dalam perbuatan baik yang hendak kita lakukan.

Selamat menegur sesama kita dengan penuh kasih. Jangan lupa, kita juga harus siap menerima teguran dari orang lain dengan penuh kasih pula. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Pelajaran dari Sebuah “Doa yang Menghentikan Hujan”

Suatu kali, temanku memposting pengalaman luar biasanya bersama dengan anak-anak rohaninya yang berdoa supaya hujan reda. Awal cerita, temanku merasa kasihan melihat anak-anak rohaninya yang tidak bisa pulang ke rumah karena hujan deras. Temanku lalu berdoa secara pribadi, tapi hujan tidak kunjung reda. Kemudian ia melihat hujan malah semakin deras, menggerakkannya untuk keluar ruangan dan berdoa kembali mengharap hujan reda. Saat ia selesai berdoa, hujan tidak reda dalam sekejap.