Posts

Pengalamanku Merasakan Gempa Nepal 2015

pengalamanku-merasakan-gempa-nepal-2015

Oleh S. A., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reliving the Horrific 2015 Nepal Earthquake

25 April 2015. Itulah hari di mana temanku datang ke Nepal untuk mengujungiku (aku sedang menjalani satu tahun tugas penginjilan di Nepal). Itu juga hari di mana dunia menjadi saksi akan gempa bumi terdahsyat di Nepal sejak tahun 1934. Lebih dari 8.000 orang tewas dan lebih dari 21.000 orang terluka.

Temanku dan aku sedang mengikuti sebuah kebaktian di lantai 3 sebuah gereja pagi itu. Saat itu sedang waktu penyampaian khotbah dan sang pengkhotbah sedang membacakan firman Tuhan dari Kejadian 17 ketika seluruh gedung gereja mulai bergetar dengan hebat. Aku dapat mendengar gemuruh dari lantai di bawah kami; burung-burung di luar beterbangan ke segala arah, dan segala benda di sekitar kami berderak.

Datang dari negara Singapura yang bebas gempa, aku perlu beberapa saat untuk menyadari bahwa aku sedang berada di tengah gempa bumi—yang kemudian aku ketahui berskala 7,8 skala richter. Hal pertama yang kupikirkan adalah, “Aku harus keluar dari gedung ini!” Jadi aku mengambil tasku dan berdiri, bersiap untuk turun ke lantai dasar.

Namun ketika aku melihat sekitarku, aku tidak melihat seorang pun orang Nepal yang bergerak. Mereka tetap duduk atau berdiri, tangan mereka terangkat kepada Tuhan ketika mereka berdoa dengan sungguh-sungguh.

Aku langsung merasa malu ketika menyadari bagaimana reaksi pertamaku, tidak seperti mereka, bukanlah meminta pertolongan Tuhan. Jadi aku duduk lagi dan berdoa dengan sungguh. Aku berdoa agar Tuhan menjaga gedung gereja itu tetap berdiri. Aku berdoa agar Tuhan mengehentikan gempa bumi itu. Aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan kami. Tapi di pikiranku, aku tidak dapat tidak berpikir: “Ini adalah hari terakhir dalam hidupku.”

Setelah beberapa detik, getaran itu berhenti. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Lalu getaran itu datang lagi. Lalu kita kembali berdoa. Gempa bumi itu berakhir kurang dari satu menit, tapi saat itu, terasa seperti selamanya. Getaran itu pada akhirnya berhenti dan kami dapat menuruni tangga dengan normal.

Beberapa jemaat tetap berada di ruangan dan menyanyi, “Dhanyabaad Yesu mero man dheki”, yang artinya “Terima kasih Yesus dari dalam hatiku”. Air mata membasahi mataku melihat mereka bernyanyi kepada Tuhan.

Tiba-tiba, ada sejumlah petugas di luar. Aku tidak dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi karena aku kurang menguasai bahasa Nepal. Kami melihat beberapa orang berlari menuju gerbang biru gereja yang besar dan menutup gerbang itu. Kemudian kami baru mengetahui bahwa ada sekumpulan gajah yang menyerbu di luar dan mereka mau mencegah gajah-gajah itu masuk ke lingkungan gereja. Situasinya terasa begitu sulit dipercaya.

Kemudian, ketika kami berjalan pulang, kami melihat banyak batu bata yang mengelilingi rumah-rumah orang-orang telah runtuh. Orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok di tanah lapang terbuka, dan banyak yang berusaha menelepon. Di salah satu tempat, sebuah rumah berlantai tiga telah benar-benar hancur, dan polisi sedang mencoba untuk mengambil puing-puing yang ada. Sekitar 100 orang berkumpul di sana, beberapa menonton, beberapa mengambil foto. Kami tidak yakin apakah ada korban jiwa.

Selama sekitar satu jam, kami merasa seperti tanah di bawah kami bergoyang. Ada banyak kejutan-kejutan susulan di hari itu—dan beberapa hari, minggu, dan bulan setelahnya. Untuk beberapa hari berikutnya, kami tidur di tenda. Setiap pagi, kami menyanyikan lagu “10.000 Reasons” untuk mengingatkan kami bahwa setiap hari adalah hari untuk kita syukuri, dan berharap segala sesuatu menjadi lebih baik.

Orang-orang yang berbeda memberikan reaksi berbeda terhadap musibah itu. Beberapa rekan kerjaku mengalami trauma kecemasan pascatragedi dan harus pulang ke negara asal mereka untuk mendapatkan bantuan profesional dan menjalani proses pemulihan. Bagiku, aku tahu Tuhan memanggilku untuk tetap tinggal di sana—meskipun duta besar Singapura di New Delhi dan Menteri Luar Negeri telah menghubungi ibuku untuk bertanya tentang keadaanku dan menawarkan diri untuk mengevakuasi diriku. Saat itu, aku yakin bahwa aku harus tetap tinggal di sana sehingga aku dapat bersama orang-orang Nepal di sana, dan aku bersyukur karena orangtuaku menghormati keputusanku. Akhirnya aku tinggal di Nepal selama 18 bulan—hingga bulan Juli tahun ini.

Apakah gempa bumi itu masih berpengaruh kepadaku sekarang, setelah aku kembali ke Singapura?

Ya, dalam beberapa hal. Hingga sekarang, setiap kali aku mendengar suara yang serupa dengan alarm gempa bumi, tubuhku secara otomatis menjadi kaku dan langsung bereaksi seakan ada bahaya. Di minggu pertamaku setelah aku pulang ke rumah, ada beberapa kali ketika aku merasa tempat tidurku seperti bergoyang ketika aku sedang berbaring. Dan ketika aku naik kapal, getaran kapal yang ada di bawahku mengingatkanku akan gempa bumi itu.

Apakah itu berarti aku masih mengalami trauma? Tidak. Itu hanyalah sebuah “kebiasaan” yang aku perlu belajar hadapi. Melalui pengalamanku akan gempa bumi itu, aku kini mengerti lebih dalam akan ayat Alkitab dalam Yesaya 54:10, yang berbunyi, “Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”

Di tengah kekacauan, Tuhan tetap tidak tergoyahkan.

Baca Juga:

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu.

Mengapa Gempa di Nepal Begitu Mengusik Hatiku

Oleh: Tracy Phua
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why I’m so Affected by the Nepal Quake)

Mengapa-Gempa-Di-Nepal-Mengusik-Hatiku

Baru beberapa hari yang lalu, dunia dikejutkan dengan sebuah bencana yang mengerikan—Nepal diguncang gempa bumi berkekuatan 7,9 SR, bencana terburuk yang melanda negara itu dalam lebih dari 80 tahun terakhir. Karena cukup sering mengunjungi Kathmandu dan telah membangun hubungan baik dengan beberapa penduduk lokal di ibukota Nepal itu, secara pribadi aku merasa sangat terpukul mendengar berita tersebut.

Membaca jumlah korban yang terus bertambah (sudah lebih dari 4.000 orang menurut berita terakhir yang kuterima), aku segera berusaha menghubungi beberapa teman, orang Nepal, di Facebook. Yang pertama menjawab adalah seorang teman yang telah aku kenal sejak tahun 2008; seorang saudari yang bekerja di sebuah panti asuhan di daratan selatan Kathmandu. Aku sangat lega mendengar bahwa ia dan anak-anak di panti asuhan itu baik-baik saja.

Sayangnya, kondisi kampung halamannya di Gorkha (yang dekat dengan pusat gempa) tidak begitu baik. Neneknya tidak selamat dari bencana itu, dan ada banyak penduduk setempat yang kehilangan tempat tinggal mereka.
 
Tracy and Nepali grandmother

Penulis (baju garis-garis merah) bersama teman di Kathmandu, sang nenek (alm.) berdiri paling kiri.

 

Berita buruk lainnya datang dari beberapa teman di Kathmandu. Sama seperti di Gorkha, banyak di antara mereka kini tidak lagi punya tempat tinggal. Beberapa teman yang tinggal di pegunungan sebelah timur, dekat dengan Gunung Everest, juga bercerita bahwa rumah mereka roboh sehingga mereka sekeluarga harus bermalam tanpa tempat berteduh. Dalam cuaca yang dingin menjelang musim perubahan arah angin dan dalam kondisi kehilangan segala sesuatu yang mereka miliki, tidak ada hal-hal baik yang bisa mereka harapkan. Parahnya lagi, gempa-gempa susulan masih terus terjadi.

Aku masih belum mendapatkan kabar dari beberapa teman yang lain. Aku cukup khawatir mengingat salah satu temanku tinggal di Pokhara, sebuah kota yang juga porak poranda akibat gempa.

Namun, dalam suasana yang serba suram, aku terhibur mendengar bahwa ada hal-hal baik yang terjadi. Teman yang kuceritakan bekerja di panti asuhan tadi memberitahukan bahwa suaminya berencana kembali ke desa mereka di Gorkha untuk melihat bagaimana mereka dapat membantu para penduduk di sana. Hatiku terasa hangat melihat orang-orang Nepal bergerak membantu rekan-rekan sebangsanya dalam masa-masa yang tidak mudah ini.

Aku juga takjub melihat bagaimana orang-orang percaya di Nepal dapat tetap mengucap syukur di tengah penderitaan dan kesulitan yang mereka hadapi. Aku diingatkan bahwa dalam kondisi yang tidak nyaman sekalipun, kita dapat tetap bersyukur kepada Tuhan. Gempa bumi itu terjadi pada hari Sabtu, ketika anak-anak tidak masuk sekolah. Bisa saja gempa itu terjadi pada hari biasa, dalam musim dingin dengan udara yang menusuk tulang, atau pada malam hari saat semua orang terlelap di rumah, sehingga korban jiwa akan jauh lebih banyak—tetapi itu tidak terjadi.

Jelas dibutuhkan proses panjang untuk membangun Nepal kembali dan memulihkan masyarakatnya. Mari kita mendoakan mereka. Penulis Oswald Chambers pernah menulis, “Aku percaya bahwa ketika kita bersyafaat, seperti yang diajarkan Yesus sendiri, kuasa Allah yang luar biasa dinyatakan melalui cara-cara yang melampaui pemahaman kita.”

Berikut beberapa hal yang bisa kita doakan bersama:
1. Doakan untuk orang-orang Kristen di Nepal agar tetap kuat dan tidak menjadi tawar hati, bahkan menjadi kesaksian akan kebenaran dan kasih Allah di tengah masa-masa yang sulit ini.
2. Doakan untuk para pekerja sosial agar dengan bijak dapat membagikan bantuan-bantuan yang ada dengan tepat dan menolong mereka yang membutuhkan.
3. Doakan untuk para penduduk Nepal agar apa yang mereka alami dapat membawa mereka menemukan pengharapan dan jaminan hidup kekal yang hanya ada di dalam Kristus.

Patan Durbar Square

Atas: Gambar Patan Durbar Square [Alun-alun Durbar] sebelum gempa bumi.
Bawah: Gambar Patan Durbar Square [Alun-alun Durbar] sesudah gempa bumi.

Durbar Square after the earthquake