Posts

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Beranikah Kamu Datang Merangkul Seterumu?

Oleh Jefferson

Beberapa minggu setelah Natal pertamaku di gereja, tepatnya pada awal 2013, banjir besar melanda berbagai sudut kota Jakarta. Salah satu bangunan yang kebanjiran adalah gedung gereja milik jemaat saudari (sister church) dari jemaat di mana aku sekeluarga beribadah. Sambil menunggu bangunannya selesai diperbaiki, semua aktivitas ibadah jemaat saudari kami digabungkan dengan jemaat kami, termasuk komisi remajanya.

Aku tidak menyangka bahwa orang-orang yang kujumpai dalam ibadah gabungan tersebut akan membangkitkan satu ingatan yang kukira telah lenyap hilang dalam rimba kenangan.

Kenangan Sebuah Perseteruan

Swung, tass, swung, tass. “Hahaha.”

Aku bisa mendengar jelas suara kotak pensilku yang dilempar dan ditangkap layaknya bola kasti oleh “teman-temanku”. Nada olokan di balik tawa mereka pun tak dapat dipungkiri. Dan di tengah kesulitan untuk merebut kembali kotak pensilku, tidak ada yang (berusaha untuk) membantuku. Beberapa orang hanya menonton seru dari bangku mereka seolah-olah kami sedang mengadakan pertandingan bola kasti, sementara yang lain menulikan diri terhadap keributan di kelas, sibuk dengan urusannya sendiri.

Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apa salahku sehingga mereka memainkan kotak pensilku begitu? Apakah karena aku anak baru di SMP ini? Atau akunya yang terlalu serius jadi perlu diajak ‘main’?” Makin lama aku makin geram. Dan melihat emosiku yang meningkat, mereka yang mengaku “teman-temanku” semakin menjadi-jadi.

“Permainan” ini hanya berakhir ketika bel kelas berbunyi, menandakan waktu istirahat telah selesai. Tepat sebelum guru masuk ke dalam kelas, “teman-temanku” mengembalikan kotak pensilku dan bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama istirahat. Suasana semu ini menyebar dengan cepat ke setiap sudut kelas. Tidak ada yang melapor kepada guru, termasuk aku, karena tidak ada dari kami yang ingin dicap sebagai pengadu.

Dalam cerita pertobatanku, peristiwa tersebut adalah salah satu dorongan penentu yang membuatku menolak keberadaan Tuhan dan merangkul paham Ateisme. Ini bukan pertama kalinya “teman-temanku”—termasuk anggota-anggota jemaat saudari dari gerejaku di masa depan—mempermainkan maupun mengabaikan aku. Keberadaan Tuhan yang sudah terasa samar-samar pada tahun pertamaku di SMP Kristen ini seketika dilenyapkan pada tahun kedua oleh mereka yang mengaku sudah Kristen sejak lahir. Perilaku “teman-temanku” tidak menyerupai Yesus Kristus sama sekali dan membawaku kepada kesimpulan bahwa iman Kristen tidak lebih dari kepercayaan yang ompong.

Maka ketika aku sendiri pada akhirnya dituntun oleh Kristus untuk percaya bahwa Ia adalah Allah yang sejati, aku diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: apa yang akan aku lakukan ketika aku menjumpai “teman-temanku” yang Kristen di lingkungan gereja?

Salah Satu Tujuan Kedatangan Pertama

Dalam perenunganku akan kejadian ini, Roh Kudus menuntunku kepada satu perikop dalam Efesus 2:11-20:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ”sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, –bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ”jauh”, sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Ialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.

Walaupun di bagian ini Paulus sedang membicarakan pendamaian yang diadakan Kristus di atas kayu salib antara Allah dengan semua orang, khususnya dengan orang non-Yahudi (ay. 11–13), aku menemukan bahwa kebenaran di dalamnya juga berlaku pada situasi yang aku hadapi. Aku semakin yakin ketika menyadari bahwa Paulus sedang berbicara kepada orang Kristen yang bukan Yahudi (ay. 11); dalam kasusku, “teman-temanku” yang mengaku Kristen sejak lahir adalah yang “bersunat” sementara aku yang percaya kepada Tuhan Yesus belakangan adalah yang “tak bersunat”. Lantas apa yang ingin Tuhan sampaikan kepadaku lewat perikop ini?

Bahwa di dalam Kristus, aku yang dulu bukan orang Kristen (“jauh”) dan diolok-olok mereka yang mengaku orang Kristen (“dekat”) sekarang turut menjadi bagian dari keluarga-Nya (ay. 13). Oleh darah-Nya, aku mendapatkan bagian dalam “ketentuan-ketentuan yang dijanjikan” dan “pengharapan… di dalam dunia” (ay. 12). Sang Allah Anak yang datang 2000 tahun lalu itu terlebih lagi telah mengadakan damai sejahtera di antara aku dan teman-temanku serta mempersatukan kami sebagai bagian dari tubuh-Nya (ay. 14–18). Oleh karena karunia-Nya, kami yang dahulu adalah seteru sekarang adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Seteru yang Dijadikan Kristus “Saudara”

Melihat ke belakang, aku tidak tahu apakah teman-temanku menyadari kesalahan mereka ketika mereka memperlakukanku begitu semasa SMP. Meskipun begitu, aku tahu dengan pasti bahwa Ia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati juga akan memampukanku (Rom. 8:11) untuk mengasihi musuh-musuhku (Mat. 5:44–45). Sebab Ialah batu penjuru yang mendasari hubungan antara sesama orang percaya (Ef. 2:20). Anggukan canggung disertai sapaan singkat ketika kami berpapasan di gereja menjadi langkah awal yang kuambil dalam perjalanan pemulihan relasiku dengan teman-teman.

Walaupun pada akhirnya banyak yang tidak berkembang lebih dari “kenalan di sekolah dan gereja” karena kepindahanku ke Singapura, ada seorang teman yang benar-benar menjadi saudara rohaniku di tanah perantauan. Karena hanya kami berdua dari angkatan kami yang melanjutkan studi ke Singapura, secara alamiah kami mulai sering berinteraksi dengan satu sama lain. Persaudaraan itu pun pelan-pelan bertumbuh, dari dimuridkan bersama dalam satu kelompok sampai akhirnya menjadi teman satu kos. Semuanya ini niscaya hanya dapat terjadi oleh karunia Tuhan Yesus sang “damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (ay. 14).

Inilah Kerajaan yang dinyatakan Tuhan Yesus pada kedatangan-Nya yang pertama, di mana Ia “menciptakan [pihak-pihak yang bertikai] menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera” (ay. 15). Baik yang sudah Kristen sejak lahir maupun baru percaya kepada-Nya ketika dewasa, baik yang “tinggi” seperti orang-orang Majus maupun “rendah” seperti gembala, semua orang diundang tanpa terkecuali untuk berbagian di dalam damai sejahtera-Nya sebagai “anggota-anggota keluarga Allah” (ay. 19).

Merayakan Natal sebagai Keluarga Allah

Selama masa pandemi COVID-19, kamu mungkin terkurung di rumah atau terdampar di luar kota sepertiku. Maka dalam ibadah Natal tahun ini, baik secara online maupun fisik, aku mengajakmu untuk mengamati dengan saksama orang di sekeliling dan depanmu: inilah saudara-saudari dan paman dan bibimu secara rohani yang Tuhan Yesus telah berikan lewat kedatangan pertama-Nya ke dunia. Bersama mereka, “kamu bukan lagi orang asing” (ay. 19).

Terlebih lagi, mari kita mendatangi dan mengajak mereka yang merasa kesepian selama pandemi—terutama seteru-seteru kita—untuk menjadi bagian dalam satu-satunya keluarga abadi yang dikepalai oleh Bapa yang Kekal (Yes. 9:6), sebagaimana Ia telah datang untuk mengundang kita.

Selamat merayakan kedatangan pertama Tuhan Yesus tahun ini bersama orang percaya di segala abad dan tempat, soli Deo gloria!

Panduan renungan

1. Apakah kamu pernah mengalami hal yang serupa dengan yang kuceritakan di atas? Bagaimanakah perseteruan yang kamu hadapi itu berakhir? Apakah seteru-seterumu pun turut menjadi saudara-saudaramu dalam keluarga Allah?

2. Baca kembali Efesus 2:11–22 dengan saksama. Tuliskan poin-poin kebenaran yang menggugah hati dan pikiranmu, terutama dalam kaitannya dengan pengalamanmu di nomor 1.

3. Adakah orang(-orang) yang ingin kamu ajak untuk bergabung dengan keluarga Allah pada perayaan Natal? Doakan nama-nama tersebut, pikirkan bagaimana kamu akan mendatangi dan mengundang mereka untuk mengikuti ibadah Natal, lalu ajaklah mereka dengan kekuatan dari Allah Roh Kudus.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Dijamah oleh Kasih Karunia

Selasa, 20 Agustus 2019

Dijamah oleh Kasih Karunia

Baca: Lukas 6:27-36

6:27 “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;

6:28 mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.

6:29 Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.

6:30 Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.

6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.

6:32 Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.

6:33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.

6:34 Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.

6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.

6:36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu. —Lukas 6:27

Dijamah oleh Kasih Karunia

Novel Leif Enger berjudul Peace Like a River (Damai Bak Aliran Sungai) berkisah tentang Jeremiah Land, seorang ayah tunggal beranak tiga yang bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah sekolah. Sebagai seorang yang beriman teguh, Jeremiah pernah mengalami sejumlah mukjizat, tetapi tidak jarang imannya juga diuji.

Sekolah tempat Jeremiah bekerja dipimpin oleh Chester Holden, pengawas kejam yang memiliki kelainan kulit. Meskipun Jeremiah sangat rajin bekerja, Holden tetap ingin menyingkirkannya. Suatu hari, di depan para murid, ia menuduh Jeremiah mabuk lalu memecatnya. Sungguh memalukan.

Apa tanggapan Jeremiah? Ia bisa saja memperkarakan pemecatan itu atau melaporkan atasannya. Ia bisa juga pergi tanpa banyak ribut dan menerima ketidakadilan itu. Jika itu terjadi pada kamu, apa yang mungkin kamu lakukan?

Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (luk. 6:27-28). Kata-kata yang sulit ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan kejahatan atau melarang orang mencari keadilan. Sebaliknya, kita dipanggil untuk menjadi sama seperti Allah (ay.36) dengan bertanya lebih dalam: Bagaimana saya dapat menolong musuh saya agar ia berubah menjadi seperti yang Allah kehendaki?

Jeremiah menatap Holden sesaat, lalu mengulurkan tangan dan menyentuh wajahnya. Holden mundur sedikit dengan sikap defensif, lalu meraba dagu dan pipinya sambil terheran-heran. Sakit kulitnya sembuh seketika. Ia telah dijamah oleh kasih karunia. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Perkataan Kristus dalam bacaan hari ini mengulang pengajaran-Nya dari Khotbah di Bukit (lihat Matius 5-7, terutama 5:38-48). Beberapa pakar Alkitab mengatakan keduanya mengacu pada kejadian yang sama, tetapi penafsir lainnya menunjukkan sejumlah perbedaan yang ada. Contohnya, Lukas secara spesifik mengatakan bahwa Yesus “turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar” (6:17), sedangkan Matius berkata, “Naiklah [Yesus] … ke atas bukit dan … duduk” (5:1). Matius memuat daftar delapan ucapan bahagia (ay.2-12); Lukas memberikan hanya empat dan dalam urutan yang berbeda (6:20-23). Lukas juga menulis gaya yang berbeda, menurut catatannya, Yesus berkata, “Berbahagialah kamu” sedangkan catatan Matius berbunyi, “Berbahagialah mereka.” Namun, yang penting, inti pesan Kristus dalam kedua catatan adalah sama: kasih Allah melampaui tuntutan hukum apapun mengenai apa yang adil dan benar. Yesus mengajar kita untuk meneladani kasih yang luar biasa itu. —Tim Gustafson

Apakah reaksi pertamamu bila berada dalam situasi seperti yang dialami Yeremia? Bagaimana kamu dapat menolong orang yang sulit sehingga ia bisa lebih dekat pada tujuan Allah bagi mereka?

Tuhan, ketika aku diperlakukan buruk dan tidak adil, tunjukkanlah kepadaku bagaimana aku dapat menolong musuhku untuk lebih mengenal-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 105-106; 1 Korintus 3

Handlettering oleh Agnes Paulina

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Aku adalah orang yang sejak kecil hingga dewasa menyukai film kartun, salah satunya adalah Doraemon. Jika teman-teman juga pernah atau sering menonton, tentu kalian akrab dengan tokoh Doraemon, Nobita, Shizuka, Suneo, dan Giant di mana mereka memiliki karakter masing-masing yang kuat. Nobita diperkenalkan dengan karakternya yang cengeng, yang kerap menjadi sasaran kejahilan dari Suneo maupun Giant; tak jarang mereka juga mem-bully dan melakukan kekerasan fisik kepada Nobita. Karena kerap tertindas, Nobita pun mengadu kepada robot ajaib yang juga menjadi temannya, Doraemon. Sambil menangis, Nobita menceritakan kekesalannya dan merayu Doraemon mengeluarkan alat ajaibnya untuk kepentingan balas dendam.

Beruntung nasibku tidak seburuk Nobita yang saat SD mendapat bully dan kekerasan fisik dari teman-temannya. Aku tergolong laki-laki yang berada di garis tengah dari “rantai makanan”, tidak menindas dan mungkin selalu berhasil kabur dari beragam penindasan mulai dari SD hingga SMA. Memasuki dunia perkuliahan, tepatnya ketika terlibat dalam sebuah kepanitiaan, aku melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan kepada rekan-rekan kepanitiaanku. Spontan mereka pun marah, dan aku pun meminta maaf kepada mereka. Sebagian rekan-rekan memaafkanku dan berkawan baik hingga sekarang, namun ada juga rekan-rekan yang tergabung dalam satu geng yang tidak memaafkanku. Dalam beberapa kesempatan, mereka masih mencibir aku di belakang, melihat segala yang aku lakukan sebagai kesalahan dan menjadikannya sebagai bahan olok-olokkan.

Kisahku di atas merupakan penggalan kisah di mana aku tak disukai karena berbeda pandangan akan sebuah pesan dalam kepanitiaan. Mungkin kisahku tidak seberapa dibandingkan dengan beberapa temanku yang dulu kerap menjadi korban bully dan kekerasan fisik di sekolahnya, entah karena dia berbeda suku dan agama dari rekan-rekannya atau perihal tampilan fisik yang berbeda. Pernahkah teman-teman juga merasakan tidak disukai oleh orang lain? Jika kita punya teman robot ajaib seperti Doraemon, mungkinkah kita akan meminta alat ajaib untuk membalas perbuatan tersebut seperti Nobita?

Realitanya, Doraemon hingga saat ini hanyalah karya fiksi. Tetapi, kita punya sahabat yang jauh lebih ajaib, yaitu Tuhan kita yang selalu mendengar setiap keluh kesah kita. Tentu tidak salah berkeluh kesah kepada Tuhan tentang orang-orang yang tidak menyukai kita. Namun, sedihnya, kita kerap menganggap Tuhan layaknya Doraemon yang akan membantu kita membalas kejahatan orang lain; kita kadang berdoa kepada Tuhan untuk menghukum musuh-musuh kita. Aku pun ketika berada dalam kondisi jengkel, terkadang tercetus, “Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) kok, Dia pasti akan balas perbuatan jahat kalian.” Mungkin jika teman-teman merasakan kesamaan denganku, maka inilah saatnya kita sama-sama belajar kasih yang diajarkan Yesus.

Dalam Injil Lukas 6:27, Yesus memberikan ajaran yang menegurku:

“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah mushmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.”

Wah, kok susah banget ya nampaknya ajaran untuk mengasihi musuh. Kalau orang berbuat jahat, tentu secara refleks kita ingin membalas mereka, “mata ganti mata gigi ganti gigi”, jika kita memakai istilah dalam Injil Matius. Aku juga menilai, mengasihi musuh nampaknya susah karena aku mungkin lebih terbiasa untuk mengasihi orang yang berlaku baik kepadaku, atau istilah ini dikenal dengan balas budi.

Tapi, walaupun nampak sulit, bukan berarti mustahil kok. Di poin-poin di bawah ini yang terambil dari Lukas 6:27-35, aku ingin menunjukkan padamu bahwa kita pun bisa mengasihi musuh kita.

1. Sadarlah bahwa Tuhan lebih dulu mengasihi orang-orang yang berdosa

Memang orang yang mem-bully atau melakukan kekerasan fisik kepada kita adalah orang yang telah berlaku salah. Tetapi, apakah dengan begitu kita menjadi orang yang benar-benar suci? Aku bercermin melihat diriku, bahwa sebenarnya aku juga tak lepas dari dosa dan kejahatan. Tetapi, kita punya Allah yang baik kepada semua manusia. Seperti tertulis dalam Lukas 6:35b, “…sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” Seharusnya aku sadar bahwa aku dan manusia yang sudah jatuh dalam dosa, sebenarnya adalah musuh Tuhan. Tetapi Tuhan mengasihi kita, dan seharusnya kita belajar dari kasih Tuhan kepada manusia.

2. Hidupilah anugerah dari Tuhan

Jika saat ini kita sudah mengaku percaya akan kasih Kristus yang dianugerahkan lewat penebusan di kayu salib, maka anugerah tersebut seharusnya tidak kita sia-siakan. Dalam ayat 32, Yesus berkata: “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.”

Kata “apakah jasamu” diulang tiga kali oleh Yesus dalam ayat 32, 33, dan 34, yang berarti Yesus punya tujuan yang kuat. Jika kita menengok dalam bahasa asli (Yunani) dari kata “jasa”, ternyata kata itu berasal dari kata “χάρις” (baca: Kharis) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti “GRACE” atau “anugerah”.

Tentu hanya Tuhan saja yang memberikan anugerah dan anugerah penebusan tersebut diberikan kepada semua manusia, tak terkecuali. Saat ini tentu kita yang telah percaya pada-Nya seharusnya hidup juga dalam anugerah-Nya, anugerah untuk mengasihi, bukan hanya mereka yang baik kepada kita, tetapi juga mengasihi orang yang berbuat jahat pada kita.

3. Praktikkan kasih agar mereka belajar kasih

Setelah kita sadar bahwa Tuhan lebih dulu mengasihi kita dan kita memiliki kerinduan menghidupi anugerah Tuhan dengan mengasihi siapapun, maka kita perlu mempraktikkan kasih tersebut. Tentu kita ingin agar orang-orang yang berlaku jahat bisa berbalik mengenal kasih Tuhan, maka kita perlu meniru teladan Yesus yang penuh kasih. Seperti tertulis pada ayat 31: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”, maka kitalah yang harus mulai mengasihi mereka.

Aku pun belajar untuk ikut teladan Yesus yang mengasihi musuh. Aku berusaha untuk menyapa terlebih dahulu orang-orang yang tidak suka kepadaku, bertanya kabar, membuka sedikit obrolan dan bahkan meminjamkan catatan kuliah karena mereka membutuhkannya. Dengan tindakan kecil tersebut, tentu aku berharap agar mereka mengenal kasih Yesus dalamku.

4. Bagaimana jika ditolak atau direspons negatif? Tetaplah teguh berusaha!

Apakah tindakan baikku akan segera direspons positif? Tidak. Mereka tetap mengabaikanku, nyinyir kepadaku. Sedih tentunya dan aku sampaikan hal tersebut kepada Tuhan. Tapi, aku meyakini bahwa bukan aku yang dapat membuat mereka berubah, melainkan Tuhan. Aku hanyalah alat yang dipakai untuk mengenalkan kasih Tuhan kepada setiap orang, tidak lebih.

Yang perlu kita lakukan ketika mendapatkan respons negatif adalah kita tetap teguh. Mempelajari sebuah mata pelajaran atau mata kuliah tentu tidak sehari atau dua hari, terlebih belajar tentang kasih Tuhan. Butuh proses di mana kita menyatakannya lewat teladan kita. Kita pun perlu tetap berserah kepada Tuhan yang akan mengubah mereka, yaitu dengan membawa nama mereka ke dalam doa, seperti tertulis pada ayat 28: “Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”

Tuhan kita bukanlah Doraemon yang akan mengabulkan permintaan kita untuk membalaskan dendam. Tuhan kita justru mengajarkan kita untuk mengasihi musuh kita. Dengan mengasihi musuh kita, kita pun menyatakan kasih Tuhan yang nyata bagi seluruh manusia.

Baca Juga:

Paradoks Doa

Tuhan Yesus mengajar kita untuk terus meminta, mencari, mengetok pintu, sampai diberikan, ditemukan, dan dibukakan pintu. Tapi, di sisi lainnya kita pun diajar untuk mengatakan “Jadilah kehendak-Mu”. Jadi, bagaimana seharusnya kita berdoa?

Mengasihi Musuh

Senin, 19 Desember 2016

Mengasihi Musuh

Baca: Yunus 3:10-4:11

3:10 Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.

4:1 Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia.

4:2 Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya.

4:3 Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.”

4:4 Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?”

4:5 Yunus telah keluar meninggalkan kota itu dan tinggal di sebelah timurnya. Ia mendirikan di situ sebuah pondok dan ia duduk di bawah naungannya menantikan apa yang akan terjadi atas kota itu.

4:6 Lalu atas penentuan TUHAN Allah tumbuhlah sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk menaunginya, agar ia terhibur dari pada kekesalan hatinya. Yunus sangat bersukacita karena pohon jarak itu.

4:7 Tetapi keesokan harinya, ketika fajar menyingsing, atas penentuan Allah datanglah seekor ulat, yang menggerek pohon jarak itu, sehingga layu.

4:8 Segera sesudah matahari terbit, maka atas penentuan Allah bertiuplah angin timur yang panas terik, sehingga sinar matahari menyakiti kepala Yunus, lalu rebahlah ia lesu dan berharap supaya mati, katanya: “Lebih baiklah aku mati dari pada hidup.”

4:9 Tetapi berfirmanlah Allah kepada Yunus: “Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?” Jawabnya: “Selayaknyalah aku marah sampai mati.”

4:10 Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula.

4:11 Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”

Jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? —Lukas 6:32

Mengasihi Musuh

Ketika pecah perang di tahun 1950, Kim Chin-Kyung yang masih berusia 15 tahun bergabung dengan Angkatan Darat Korea Selatan untuk membela tanah airnya. Ia segera menyadari bahwa ia belum siap menghadapi ngerinya pertempuran. Ketika rekan-rekannya sesama pemuda tewas di sekelilingnya, ia memohon kepada Allah agar dapat bertahan hidup dan berjanji akan belajar mengasihi musuh-musuhnya kalau ia diizinkan hidup.

Enam puluh lima tahun kemudian, Dr. Kim merenungkan tentang doanya yang dijawab Allah itu. Lewat perbuatannya merawat para yatim piatu dan membantu pendidikan anak-anak muda dari Korea Utara dan Tiongkok selama berpuluh-puluh tahun, ia mempunyai banyak sahabat dari orang-orang yang pernah dianggapnya sebagai musuh. Kasih yang ditunjukkannya merupakan bentuk ungkapan imannya kepada Yesus Kristus.

Sebaliknya, Nabi Yunus meninggalkan warisan yang berbeda. Sekalipun telah diselamatkan secara dramatis dari perut seekor ikan besar, hatinya tidak berubah. Meski akhirnya menaati Allah, Yunus menyatakan bahwa ia lebih baik mati daripada menyaksikan Tuhan mengampuni musuh-musuhnya (Yun. 4:1-2,8).

Kita tidak tahu apakah Yunus akhirnya belajar untuk mempedulikan orang Niniwe. Kita justru perlu mempertanyakan diri kita sendiri. Akankah kita mengikuti sikap Yunus dalam menghadapi orang yang kita takuti dan benci? Ataukah kita akan memohon kepada Allah untuk memampukan kita mengasihi musuh-musuh kita sebagaimana Dia telah menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita? —Mart DeHaan

Bapa di surga, seperti nabi-Mu yang enggan, kami pun cenderung hanya mengasihi mereka yang mengasihi kami. Namun Engkau mengasihi kami meskipun kami hanya mempedulikan diri sendiri. Berikanlah kepada kami kasih karunia agar kami menjadi lebih serupa Yesus daripada Yunus.

Kasih mengalahkan segalanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yunus 1-4; Wahyu 10

Artikel Terkait:

Pelaku Teror Bom di Gereja Medan Itu Ternyata Satu Sekolah Denganku

Di kampung halamanku di Medan, Sumatera Utara, Indonesia, seorang tersangka pembawa bom bunuh diri masuk ke dalam sebuah gereja ketika kebaktian Minggu sedang dilangsungkan, dan mencoba untuk meledakkan sebuah bom. Meskipun tak ada yang terluka, insiden itu membuatku bertanya, di mana kita dapat menemukan keamanan di dunia ini? Baca kesaksian Morentalisa selengkapnya di dalam artikel ini.

Peringatan dari Abigail

Sabtu, 12 Maret 2016

Peringatan dari Abigail

Baca: 1 Samuel 25:14-33

25:14 Tetapi kepada Abigail, isteri Nabal, telah diberitahukan oleh salah seorang bujangnya, katanya: “Ketahuilah, Daud menyuruh orang dari padang gurun untuk memberi salam kepada tuan kita, tetapi ia memaki-maki mereka.

25:15 Padahal orang-orang itu sangat baik kepada kami; mereka tidak mengganggu kami dan kami tidak kehilangan apa-apa selama kami lalu-lalang di dekat mereka, ketika kami ada di ladang.

25:16 Mereka seperti pagar tembok sekeliling kami siang malam, selama kami menggembalakan domba-domba di dekat mereka.

25:17 Oleh sebab itu, pikirkanlah dan pertimbangkanlah apa yang harus kauperbuat, sebab telah diputuskan bahwa celaka akan didatangkan kepada tuan kita dan kepada seisi rumahnya, dan ia seorang yang dursila, sehingga orang tidak dapat berbicara dengan dia.”

25:18 Lalu segeralah Abigail mengambil dua ratus roti, dua buyung anggur, lima domba yang telah diolah, lima sukat bertih gandum, seratus buah kue kismis dan dua ratus kue ara, dimuatnyalah semuanya ke atas keledai,

25:19 lalu berkata kepada bujang-bujangnya: “Berjalanlah mendahului aku; aku segera menyusul kamu.” Tetapi Nabal, suaminya, tidaklah diberitahunya.

25:20 Ketika perempuan itu dengan menunggang keledainya, turun dengan terlindung oleh gunung, tampaklah Daud dan orang-orangnya turun ke arahnya, dan perempuan itu bertemu dengan mereka.

25:21 Daud tadinya telah berkata: “Sia-sialah aku melindungi segala kepunyaan orang ini di padang gurun, sehingga tidak ada sesuatupun yang hilang dari segala kepunyaannya; ia membalas kebaikanku dengan kejahatan.

25:22 Beginilah kiranya Allah menghukum Daud, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika kutinggalkan hidup sampai pagi seorang laki-laki sajapun dari semua yang ada padanya.”

25:23 Ketika Abigail melihat Daud, segeralah ia turun dari atas keledainya, lalu sujud menyembah di depan Daud dengan mukanya sampai ke tanah.

25:24 Ia sujud pada kaki Daud serta berkata: “Aku sajalah, ya tuanku, yang menanggung kesalahan itu. Izinkanlah hambamu ini berbicara kepadamu, dan dengarkanlah perkataan hambamu ini.

25:25 Janganlah kiranya tuanku mengindahkan Nabal, orang yang dursila itu, sebab seperti namanya demikianlah ia: Nabal namanya dan bebal orangnya. Tetapi aku, hambamu ini, tidak melihat orang-orang yang tuanku suruh.

25:26 Oleh sebab itu, tuanku, demi TUHAN yang hidup dan demi hidupmu yang dicegah TUHAN dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan, biarlah menjadi sama seperti Nabal musuhmu dan orang yang bermaksud jahat terhadap tuanku!

25:27 Oleh sebab itu, pemberian yang dibawa kepada tuanku oleh budakmu ini, biarlah diberikan kepada orang-orang yang mengikuti tuanku.

25:28 Ampunilah kiranya kecerobohan hambamu ini, sebab pastilah TUHAN akan membangun bagi tuanku keturunan yang teguh, karena tuanku ini melakukan perang TUHAN dan tidak ada yang jahat terdapat padamu selama hidupmu.

25:29 Jika sekiranya ada seorang bangkit mengejar engkau dan ingin mencabut nyawamu, maka nyawa tuanku akan terbungkus dalam bungkusan tempat orang-orang hidup pada TUHAN, Allahmu, tetapi nyawa para musuhmu akan diumbankan-Nya dari dalam salang umban.

25:30 Apabila TUHAN melakukan kepada tuanku sesuai dengan segala kebaikan yang difirmankan-Nya kepadamu dan menunjuk engkau menjadi raja atas Israel,

25:31 maka tak usahlah tuanku bersusah hati dan menyesal karena menumpahkan darah tanpa alasan, dan karena tuanku bertindak sendiri dalam mencari keadilan. Dan apabila TUHAN berbuat baik kepada tuanku, ingatlah kepada hambamu ini.”

25:32 Lalu berkatalah Daud kepada Abigail: “Terpujilah TUHAN, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini;

25:33 terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan.

Jikalau Tuhan berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itupun didamaikan-Nya dengan dia. —Amsal 16:7

Peringatan dari Abigail

Daud dan 400 prajuritnya bergerak menyusuri pedesaan untuk mencari Nabal, orang kaya yang dengan keji pernah menolak untuk menolong mereka. Daud mungkin sudah membunuhnya, andaikata ia tidak terlebih dahulu bertemu dengan Abigail, istri Nabal. Dengan persediaan makanan yang telah disiapkannya untuk para prajurit Daud, Abigail menemui mereka dengan harapan dapat mencegah bencana yang akan terjadi. Dengan sikap hormat, ia mengingatkan Daud tentang rasa bersalah yang akan menghantui Daud apabila ia menuntaskan rencananya membalas dendam (1Sam. 25:31). Daud sadar bahwa Abigail benar dan memujinya atas kebijaksanaan yang ditunjukkannya.

Kemarahan Daud memang beralasan. Ia telah melindungi para gembala Nabal di padang gurun (ay.14-17), tetapi kebaikannya justru dibalas dengan kejahatan. Namun kemarahan Daud telah menuntunnya pada dosa. Naluri awal Daud adalah membunuh Nabal, meski ia tahu bahwa Allah melarang pembunuhan dan pembalasan dendam (Kel. 20:13; Im. 19:18).

Saat tersinggung, ada baiknya kita membandingkan naluri kita dengan maksud Allah bagi perilaku manusia. Kita mungkin terdorong untuk menyerang orang lain dengan kata-kata, untuk mengasingkan diri, atau untuk melarikan diri melalui berbagai macam cara. Namun demikian, memilih untuk merespons dengan penuh kasih akan menghindarkan kita dari penyesalan, dan yang terpenting, kita pun menyenangkan Allah. Ketika kita rindu untuk menghormati Allah dalam hubungan kita dengan sesama, Dia sanggup mendamaikan kita dengan musuh kita (lihat Ams. 16:7). —Jennifer Benson Schuldt

Tuhan, terima kasih Engkau telah menahan amarah-Mu dan mengasihaniku. Tolonglah aku berjalan menurut Roh-Mu sehingga setiap perbuatanku akan selalu menyenangkan hati-Mu.

Kita sanggup menanggung ketidakadilan dalam hidup karena kita tahu bahwa akhirnya keadilan akan ditegakkan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 17-19; Markus 13:1-20

Saat untuk Tidak Bersukacita

Kamis, 3 Desember 2015

Saat untuk Tidak Bersukacita

Baca: Yehezkiel 25:1-7; Matius 5:43-48

Yehezkiel 25:1 Datanglah firman TUHAN kepadaku:

25:2 “Hai anak manusia, tujukanlah mukamu kepada bani Amon dan bernubuatlah melawan mereka!

25:3 Katakanlah kepada bani Amon: Dengarlah firman Tuhan ALLAH: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Oleh karena engkau menyerukan: Syukur! mengenai tempat kudus-Ku, waktu kekudusannya dilanggar, dan mengenai tanah Israel, waktu itu dijadikan sunyi sepi, dan mengenai kaum Yehuda, waktu mereka harus pergi ke dalam pembuangan,

25:4 oleh sebab itu, sungguh, Aku menyerahkan engkau kepada orang dari sebelah timur menjadi miliknya; mereka akan mendirikan perkemahannya padamu dan membangun tempat kediamannya; mereka akan memakan buah-buahanmu dan meminum susu ternakmu.

25:5 Aku akan membuat Raba menjadi padang rumput untuk unta dan kota-kota bani Amon menjadi tempat kambing domba. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.

25:6 Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH: Oleh karena engkau bertepuk tangan dan mengentakkan kakimu ke tanah, dan bergembira dalam hatimu atas kecelakaan tanah Israel,

25:7 oleh sebab itu, sungguh, Aku akan mengacungkan tangan-Ku melawan engkau dan menyerahkan engkau menjadi jarahan bagi suku-suku bangsa dan melenyapkan engkau dari tengah bangsa-bangsa dan membinasakan engkau dari negeri-negeri; Aku akan memusnahkan engkau. Dengan demikian engkau akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.”

Matius 5:43 Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.

5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

5:45 Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

5:46 Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?

5:47 Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?

5:48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh. —Amsal 24:17

Saat untuk Tidak Bersukacita

Suku Akan di Ghana mempunyai pepatah yang sepadan dengan ungkapan di Indonesia, yaitu “menari di atas penderitaan orang lain”. Bersukacita atas musibah yang menimpa seseorang sama saja dengan ikut serta menyebabkan musibah itu, atau bahkan mengharapkan sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi atas orang tersebut.

Itulah sikap bani Amon yang dengan tega bergembira ketika Bait Allah di Yerusalem “kekudusannya dilanggar, dan mengenai tanah Israel, waktu itu dijadikan sunyi sepi, dan mengenai kaum Yehuda, waktu mereka harus pergi ke dalam pembuangan” (Yeh. 25:3). Karena bani Amon yang keji itu bersukacita merayakan musibah yang dialami Israel, mereka pun mengalami ketidaksenangan Allah dan menerima hukuman yang mengerikan (ay.4-7).

Bagaimana sikap kita ketika malapetaka atau kesusahan menimpa sesama kita? Jika ia seorang yang baik dan ramah kepada kita, tentu kita akan bersimpati dan rela menolongnya. Namun bagaimana apabila ia adalah seorang yang tidak ramah dan sering mencari-cari masalah? Mungkin kita cenderung untuk tidak mengacuhkannya atau bahkan diam-diam bergembira atas kesulitan yang menimpanya.

Kitab Amsal memperingatkan kita: “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok” (Ams. 24:17). Sebaliknya, Yesus meminta kita untuk menunjukkan kasih-Nya dalam tindakan nyata dengan melakukan perintah-Nya, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Dengan melakukan itu, kita sedang mencerminkan kasih Tuhan yang sempurna (Mat. 5:48). —Lawrence Darmani

Tuhan, bukalah mata dan hatiku untuk jujur mengakui sikapku terhadap mereka yang bersikap jahat atau tidak adil kepadaku. Penuhi hatiku dengan kasih-Mu, ya Tuhan, dan tolonglah aku untuk mendoakan mereka.

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 45-46; 1 Yohanes 2

Photo credit: stefano peppucci / Foter / CC BY-ND