Posts

Di Bawah Matahari

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

”Fani, buat acara penutupan ibadah Youth Sabtu depan kamu ‘kan MC nya?”

Aku mengangguk, fokus dengan layar di hadapanku.

“Konsep acara buat jam doa minggu ini udah selesai?”

“Ini hampir selesai,” jawabku singkat sambil mengangguk samar.

“Oke. Aku kabarin yang lain dulu ya!” katanya berjalan ke luar ruangan, lalu kembali beberapa waktu kemudian.

Beberapa menit suasana hening, suara orang-orang di ruang utama juga hampir tak terdengar. Hanya suara ketikan keyboard laptop yang terdengar beradu.

“Anna,” panggilku pelan.

Yang dipanggil hanya menyahut samar.

“Ann!”

Barulah Anna menoleh. “Why?”

Suara ketikan keyboard tidak terdengar lagi, berganti dengan suara deru nafasku yang tidak beraturan. Aku menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

“Aku lagi lost motivation nih, Ann,” kataku akhirnya.

Anna mengerutkan kening, tidak langsung menanggapi, tampak berpikir sejenak lalu menjawab. “Ehm maksudnya? Gimana lost motivation versimu?”

Aku menghembuskan napas lagi.  “I don’t know, it just happened.

“Maksudmu, lagi butuh disemangatin nih? Lagi butuh bepergian buat healing?”

Aku mengangkat bahu, “Kayaknya disemangatin juga nggak pengaruh gitu lho Ann. Dan, aku nggak tahu apa itu akan membantu.”

“Atau lagi di fase nggak peduli apa-apa dan malas melakukan apa-apa?”

“Hampir iya” jawabku pelan. Aku menghembuskan napas lagi lalu melanjutkan, “Entah mengapa aku merasa kosong dalam melakukan apa pun, Na. Aku malas setiap bangun pagi dan memikirkan untuk berangat kerja. Aku ingin berlama-lama tidur dan membiarkan waktu berlalu. Tapi menyadari waktu berlalu dengan cepat, aku juga merasa cemas. Aku nggak tahu untuk apa melakukan kegiatanku setiap hari. Aku kayak robot yang hanya melakukannya sebagai aktivitas, menyelesaikan satu hari untuk kemudian mengulang aktivitas yang sama di hari berikutnya. Aku frustrasi. Aku kayak kehilangan alasan mengapa aku melakukan semua ini. Entah kehilangan atau aku yang tidak berhasil menemukannya.”

Anna terdiam sejenak. Aku tahu dia sedikit banyak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Walau tidak mengetahui bagaimana persisnya, tapi kurasa dia tahu kalau perasaan ini menyesakkan dan memang sulit dideskripsikan.

Anna bergerak mendekat, duduk di sebelahku.

“Apa baru-baru ini hal-hal tidak terjadi seperti yang kamu harapkan?” tanyanya lembut. Aku menoleh, namun tidak mengangguk atau menggeleng. Kemudian aku kembali menatap  layar laptopku.

“Mungkin.” 

“Apa itu yang membuatmu merasa tidak bersemangat lagi? Karena merasa kehilangan alasan untuk melakukan sesuatu? Yang kamu artikan sebagai kehilangan motivasi?”

Aku tidak menanggapi apa-apa, tapi sejujurnya mulai menyadari apa yang dikatakan Anna. 

“Kadang aku bertanya, aku hidup buat apa sih? Apa sih yang aku kejar dengan semua aktivitas ini?” kataku akhirnya. “Wajar nggak sih kita berpikir seperti itu?”

Anna tidak menjawab apa-apa. Seolah dia sengaja membiarkan aku berkutat dengan pikiranku. 

“Kamu nggak ada tanggapan Ann?” tanyaku akhirnya setelah beberapa saat dia hanya terdiam.

“Ehmm… Aku rasa sebenarnya kamu tahu kok apa jawaban dari pertanyaan itu, Fan” jawab Anna penuh arti.

Aku menghembuskan napas. Berpikir beberapa saat.

“Iya kan, kamu sebenarnya tahu untuk apa kita melakukan semua ini. Untuk siapa kita sebenarnya hidup,” sambungnya lagi.

Aku masih tidak berkata apa-apa.

“Atau, kamu hanya sedang butuh diingatkan lagi?” tanyanya. Lalu tanpa menunggu responsku, ia melanjutkan.

“Fan, that’s life. Sebuah perjalanan panjang. Kita memang bisa aja berada di titik seperti itu, hanya berjalan, merasa asing, dan seolah sedang tidak tahu tujuan dalam perjalanan kita ini. Seperti sedang tidak tahu untuk apa melakukannya. Tapi Fan, bukannya fase ini bisa aja jadi titik balik untuk kita menyadari lagi kita sedang berada di mana? Kita tidak sedang berada di rumah, Fan. Tentu saja kita sering merasa tidak menemukan apa-apa di sini, karena dunia ini memang bukan rumah kita. Jadi, kalau kita tidak menemukan alasan apa pun di dunia ini untuk melakukan segala sesuatunya, apa Yesus tidak cukup menjadi motivasi kita untuk melakukannya?”

Aku membisu, pandanganku masih tertuju pada layar laptop di depanku. Tapi pikiranku benar-benar sedang bekerja keras mengolah kata-kata Anna yang disampaikan dengan lembut namun tepat sasaran. Beberapa waktu ini memang suatu hal telah membuatku khawatir dan mempengaruhi semangatku dalam bekerja atau dalam kegiatan pelayananku. Aku melupakan dan mengesampingkan Pribadi yang harusnya menjadi satu-satunya motivasiku untuk mengerjakan semua aktivitas ini. Sepertinya aku benar-benar telah dikelabui oleh perasaan khawatirku sendiri.

Aku menoleh dan menatap mata temanku ini. Aku tahu dia berusaha untuk mengerti dan membuatku mengetahui kalau dia mengerti. Aku tersenyum padanya. Dia juga. Lalu entah mengapa kami tertawa bersamaan.

“Jadi, apa kita masih perlu pergi healing dulu weekend ini?” tanyanya.

“Ah, healing juga bisa dimana-mana, sekarang aja kita sedang healing kok.”

Kami kembali tertawa lagi.

Kalau kita melihat hidup hanya sebagai hidup di bawah matahari, kita akan terperangkap dalam sebuah dunia yang tak berjendela. Solusinya ada di atas matahari. Yesus, Sang Pengharapan Dunia. (Pengkhotbah 2:11) – Sen Sendjaya, Menghidupi Injil Menginjili Hidup.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Cintaku yang “Profesional”

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku teringat dengan wejangan-wejangan yang pernah kuterima beberapa tahun yang lalu ketika aku memulai karier pertamaku. Dosen-dosenku, teman-teman kuliahku, bahkan sampai atasan di tempat kerjaku pernah menyuarakan tentang pentingnya profesionalitas di dalam pekerjaan. Nasihat-nasihat dari para senior ini tentunya menjadi masukan yang berarti.

Tanggal 18 Desember 2011, aku pun memulai hari pertamaku sebagai seorang karyawan orientasi di sebuah resort tepi pantai di pulau Bintan, Kepulauan Riau. Aku bersyukur bisa langsung diterima bekerja di tempat ini pasca menyelesaikan penulisan skripsi. Dengan berpakaian atasan putih dan bawahan hitam, aku diajak oleh bagian personalia untuk berkeliling dari satu departemen ke departemen lainnya di resort berbintang empat tersebut.

Dalam waktu lebih kurang satu jam, aku melihat profesionalitas dari rekan-rekan kerjaku di dalam melayani para tamu yang sedang berlibur di situ. Usai perkenalan singkat tentang kondisi lingkungan kerja, aku pun dititipkan di departemen pelayanan tamu untuk memulai masa orientasi. Dari sinilah perjalananku sebagai seorang pekerja hotel yang profesional berawal.

Aku mempelajari banyak kiat untuk meningkatkan kompetensi di dalam melayani para wisatawan, mulai dari penampilan hingga tutur kata. Aku juga berguru kepada rekan-rekanku tentang trik-trik di dalam menghadapi sejumlah karakteristik tamu. Demi meningkatkan kapabilitas di dalam memberikan pelayanan yang terbaik, aku belajar dengan sekuat tenaga. Aku pun tidak keberatan untuk menambah jam kerjaku ketika okupansi hotel cukup tinggi, sehingga aku bisa memiliki lebih banyak pengalaman berinteraksi dengan para tamu hotel. Aku bersyukur kerja kerasku tidak sia-sia. Profesionalitasku teruji ketika aku dua secara kali berturut-turut terpilih sebagai karyawan terbaik.

Senyuman yang merekah dari wajah para wisatawan saat aku melambaikan salam perpisahan adalah momen yang paling aku nantikan. Apalagi, jika mereka memberikan ucapan terima kasih yang tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga berupa tip. Sayangnya, aku salah memaknai bentuk apresiasi itu. Tambahan pemasukan yang menggemukkan pundi-pundiku ini mulai memutar otakku.

Cinta yang terdistorsi

Aku menyenangi dunia perhotelan sejak kecil. Aku selalu kagum melihat profesionalisme dari para karyawan hotel. Berkarier di bidang perhotelan memang adalah salah satu cita-citaku di masa kanak-kanak. Namun, cintaku terhadap pekerjaan sebagai karyawan hotel terdistorsi oleh uang. Aku memanipulasi cinta itu dengan berpura-pura menjadi seorang karyawan hotel yang profesional hanya demi memperoleh masa depan yang cerah secara finansial.

Aku menghabiskan hari-hariku di tempat kerja bukan lagi karena ingin melayani para wisatawan, tetapi bagaimana bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Jam kerjaku yang tinggi bukan lagi karena wujud loyalitasku, tetapi aku dimotivasi oleh hasrat untuk memperoleh sejumlah privilese yang diberikan kepada karyawan yang lembur. Selain itu, aku berpikir kalau si bos menatapku yang sering bekerja ekstra, aku berharap akan mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar dan termasuk juga peluang untuk naik jabatan. Jam-jam kerjaku dilewati hanya dengan fokus untuk menambah jumlah nol di rekeningku.

Sejak aku meniti karierku sebagai pekerja hotel, aku hidup jauh dari persekutuan orang percaya. Aku tidak bisa beribadah ke gereja pada hari Minggu karena aku memang harus masuk kerja pada akhir pekan. Namun, aku bersyukur kalau Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak yang dikasihi-Nya. Suatu hari, ketika aku merasa mumet dengan sejumlah hal yang harus diselesaikan dengan segera, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke tepi pantai sebentar sambil mencari inspirasi.

Di depan mataku, terpampang laut yang sedikit bergelombang dengan langit biru dan sejumlah gumpalan awan putih. “Pemandangan yang sempurna!,” sahutku dalam hati. Aku mengambil ponselku dan ingin mengabadikan momen ini. Ketika aku sedang mencari sudut yang pas, hatiku tergerak untuk memuji Tuhan, Sang Pencipta dari indahnya alam yang terbentang di hadapanku. Aku teringat dengan pemazmur yang menyanyikan bahwa “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” (Mzm. 19:2).

Momen ini sungguh menggelisahkan hatiku dan aku mulai berefleksi daripadanya. Aku mempertanyakan makna dari pekerjaanku. Kemudian, aku menemukan bahwa ternyata selama ini aku telah salah menaruh orientasi di dalam berkarier. Aku hanya bekerja untuk memperkaya diriku. Perjuanganku untuk menjadi pelayan hotel yang profesional dikarenakan aku mencintai uang. Aku menilai profesionalisme itu hanya secara finansial. Padahal, uang bukan merupakan alat ukur utama di dalam menentukan profesionalitas kerja seseorang.

Setiap karier memang menuntut pekerjanya untuk dapat berkarya secara profesional. Konsep ini bukan hanya sekadar pandangan dunia sekuler, melainkan juga adalah kehendak Allah. Allah mendesain manusia sebagai pribadi-pribadi yang akan bekerja bersama-Nya untuk mengembangkan dunia ciptaan-Nya. Ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, Allah berfirman: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:28).

Manusia pertama, yang menerima mandat ini secara langsung dari Allah, menjalankan pekerjaannya secara profesional. Salah satunya, Adam memberi nama kepada binatang-binatang (Kejadian 1:20). Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengubah perspektif manusia di dalam bekerja. Profesionalitas manusia berdosa telah dicemarkan oleh kejahatan yang terus membawanya untuk hanya fokus pada mengejar kepentingan pribadi, tanpa lagi mempedulikan nasib rekan kerja, perusahaan, alam sekitar, apalagi mengurusi rancangan Allah.

Inilah fakta yang diungkapkan oleh Timothy Keller, dalam bukunya Apakah Pekerjaan Anda Bagian dari Pekerjaan Allah? Ia memperlihatkan bahwa banyak orang yang menganggap bahwa profesionalitas lahir dari perjuangan keras yang telah diupayakan oleh seorang pekerja, tanpa pernah memikirkan bahwa status profesional juga adalah sebuah anugerah Allah. Padahal, untuk dapat menjadi seorang yang bekerja secara profesional, setiap orang membutuhkan talenta-talenta yang dianugerahkan oleh Allah.

Oleh karena itu, Yesus Kristus datang ke dunia ini untuk mempresentasikan bentuk cinta-Nya yang murni bagi menyelamatkan manusia berdosa. Di atas kayu salib, Ia menebus dan memperbarui manusia dari kuasa dosa. Relasi manusia dan Allah yang telah terputus akibat kejatuhan ke dalam dosa, kembali tersambung. Di dalam Kristus, setiap orang percaya memperoleh kuasa Injil yang memampukannya untuk menerima undangan Allah bagi manusia untuk menjadi rekan sekerja-Nya.

Dengan menempatkan Kristus sebagai yang terutama di dalam hidup, kita pun akan mendapatkan sudut pandang yang baru tentang menjadi seorang pekerja yang profesional. Aku bersyukur untuk pengalaman iman ini sebelum aku mengakhiri karier sebagai seorang karyawan hotel. Tidak ada yang berubah dari rutinitas pekerjaanku, malahan aku dibebankan lagi dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Namun, motivasiku untuk bekerja secara profesional bukan lagi karena ingin dibayar dengan upah yang lebih besar. Cinta yang dianugerahkan Kristus bagiku menjadi pendorong yang menyemangatiku untuk bisa melayani Tuhan melalui vokasiku, di mana aku bisa mengajak para wisatawan untuk mengagumi alam ciptaan Tuhan. Aku bersukacita karena lewat pekerjaanku, aku bisa memperkenalkan kasih Kristus kepada mereka yang belum percaya.

Kisah baru dari orang-orang Kristen di dalam berkarier adalah menyelaraskan Injil dengan profesionalitas. Dengan demikian, kita tidak lagi memisahkan Kristus hanya pada hari Minggu dan beban pekerjaan pada hari kerja. Dengan membawa Kristus serta di dalam karier, apa pun bidang yang sedang kita tekuni, kita dapat mencintainya dan mengerjakannya secara profesional karena ketika kita sedang bekerja sama dengan Allah.

Jadi, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

Pelayanan di Balik Layar

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

“Hebat banget sih pemimpin pujian itu, ingin rasanya aku menjadi seperti dia.”

Itulah kalimat yang terlintas di benakku tatkala aku melihat seorang pemimpin pujian, pemain musik, penari, ataupun anggota paduan suara yang bisa tampil dengan memukau di depan jemaat. Suara mereka yang merdu mampu mengajak jemaat untuk memuji Tuhan. Mereka juga tampil dengan lincah dan tampak sangat percaya diri. Setiap tindakan mereka di atas mimbar itu seolah menjadi sebuah kesaksian yang begitu hidup bagi para jemaat yang hadir di kebaktian.

Aku kagum dengan pelayanan yang mereka lakukan. Tapi, tanpa kusadari kekagumanku ini membuatku jadi membandingkan pelayanan yang mereka lakukan dengan pelayananku.

Sewaktu kuliah dulu, selama hampir dua tahun aku melayani di persekutuan kampus. Tapi, pelayananku bukanlah seperti mereka yang kukagumi. Pelayanan yang kulakukan adalah menjadi operator multi-media, menempelkan poster ajakan kebaktian tiap Senin pagi di kampus, menyediakan air minum bagi pembicara, juga menata Alkitab yang nantinya akan dibagikan di awal kebaktian. Pelayananku adalah pelayanan yang dilakukan di balik layar, tidak terlihat oleh orang banyak.

Di dalam hatiku, ada rasa tidak puas terhadap pelayanan yang kulakukan. Tidak seperti para pelayan di depan mimbar yang sering diberikan tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih secara langsung, pelayanan yang kulakukan ini sepi dari apresiasi. Tak ada tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih yang kuterima dari para jemaat. Jadi, aku pun merasa minder karena kupikir pelayananku ini bukanlah pelayanan yang berarti.

“Ketika kebaktian berjalan lancar setiap minggunya, adakah siapa yang bertanya siapa yang menyiapkannya? Atau, adakah yang bertanya siapa yang membawa peralatan kebaktian dan Alkitab dari gudang ke depan pintu masuk?” tanyaku dalam hati.

Aku mendapati bahwa dalam pelayanan yang kulakukan itu aku lebih sering mendapatkan tudingan daripada apresiasi. Ketika layar LCD mendadak mati atau slide pujian terlambat berganti, respons yang muncul seringkali adalah tudingan: “Siapa sih yang jadi operatornya?” Seolah mereka hendak berkata: “Bisa gak sih kamu kerjakan tugasmu lebih baik lagi?” Tapi, ketika segalanya berjalan lancar, hampir tidak ada apresiasi ataupun sekadar ucapan terima kasih yang diberikan kepadaku.

Pemahaman bahwa pelayananku ini kurang berarti dibandingkan para pelayan mimbar ini membawaku kepada rasa iri hati dan rendah diri. Akhirnya, aku kehilangan gairah dalam melayani. Pelayanan hanya menjadi sekadar rutinitas mingguan yang kulakukan. Lama-lama pelayananku jadi terasa hambar. Saat teduh pun kulakukan ala kadarnya, hanya sekadar aktivitas supaya ketika ditanya oleh kakak pembimbing rohaniku aku bisa menjawab: “Aku sudah saat teduh kok.”

Hingga suatu ketika, aku mendengar khotbah di kampus dan sebuah ayat dari Kolose 3:23 menjadi poin pembahasannya.

“Apa saja yang kamu kerjakan untuk tuanmu, lakukanlah dengan sepenuh hati. Karena kamu sebenarnya sedang melayani Tuhan – bukan manusia” (Terjemahan Sederhana Indonesia).

Sebenarnya ayat ini sudah sangat sering kudengar. Aku bahkan sudah hafal. Namun, kali ini, ayat ini membuat air mataku mengalir. Aku tertegur dan mendapati bahwa betapa aku hanya ingin mencari pujian manusia. Alih-alih mempersembahkan seluruh pelayananku untuk Tuhan, aku malah berfokus pada apresiasi dari manusia. Ketika aku tidak dipuji oleh teman-teman dan pembimbingku atas pelayanan yang kulakukan, aku menjadi sedih dan juga kecewa.

“Lakukanlah dengan sepenuh hati, karena kamu sedang melayani Tuhan, bukan manusia”. Sejak khotbah itu kudengar, kalimat ini terus kuucapkan dalam hatiku setiap kali aku mengerjakan pelayananku yang di balik layar. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku dapat menerima dan menyadari bahwa pelayanan yang kulakukan seharusnya adalah bentuk ungkapan syukurku kepada Tuhan. Yang harus aku ketahui adalah pelayanan ini adalah milik Tuhan, aku hanyalah pekerja-Nya. Sudah seharusnya yang mendapatkan pujian dan kemuliaan dari pelayananku adalah Tuhan itu sendiri.

Orang yang melayani di belakang layar mungkin tidaklah sepopuler orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk melayani di depan mimbar. Namun, kehadiran orang-orang di balik layar ini bukan berarti bahwa mereka itu tidak penting. Di dalam sebuah kebaktian, penyedia minuman untuk pembicara, orang yang mengangkat mimbar, orang yang membersihkan ruangan kebaktian, juga operator sound-system dan multimedia, mereka juga memerankan tanggung jawab yang penting. Tanpa mereka yang memerhatikan detail-detail terkecil, mungkin kebaktian tidak akan berjalan dengan lancar.

Ketika ruangan kebaktian kotor, mungkin jemaat yang akan beribadah menjadi kurang nyaman. Ketika bunyi mic dan pengeras suara tidak pas, mungkin jemaat menjadi kurang khusyuk. Ketika tidak ada air minum yang tersedia bagi pengkhotbah, mungkin pengkhotbah itu akan mengalami suara serak. Pada akhirnya, aku mendapati bahwa orang-orang yang tidak tampil di depan layar pun memiliki peranan yang penting, peran yang saling bersinergi untuk menciptakan pelayanan yang berkenan pada Tuhan.

Aku belajar bahwa pelayanan, apapun tugas dan tanggung jawabnya, itu adalah kesempatan berharga dari Tuhan dan sudah seharusnya untuk kemuliaan Tuhan saja. Siapapun itu, entah itu pelayan mimbar atau pelayan di balik layar, kita harus memberikan apapun yang terbaik yang bisa kita berikan. Lakukanlah semuanya itu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Sebagai seorang yang dulu melayani di balik layar, aku juga belajar untuk terus bersikap rendah hati dan tidak mencari pujian. Setiap orang yang melayani dengan sikap rendah hati akan selalu menghargai pelayanan sebagai sebuah privilege atau kesempatan istimewa dari Tuhan, dan tentu dia tidak akan mencuri kemuliaan Tuhan melalui pelayanan yang dikerjakannya.

Melalui tulisan ini, aku pun hendak menyuarakan kekagumanku kepada setiap pelayan Tuhan yang melayani dengan rendah hati. Tulisan ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang-orang yang melayani di depan mimbar, justru aku merasa kagum karena melalui pelayanan inilah jemaat turut dibantu untuk menikmati hadirat Tuhan.

Setiap orang diberikan Tuhan talentanya masing-masing. Tetapi, hendaklah kita melakukan semuanya dengan sikap rendah hati dan tidak mencari pujian untuk diri sendiri. Baik pelayanan yang kelihatan maupun tidak kelihatan, biarlah yang ditampilkan dari setiap pelayanan kita adalah kemuliaan Kristus, seperti yang tertulis dalam Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Baca Juga:

Saat Tuhan Mengajarku untuk Mengasihi Keluarga yang Berbeda Iman Dariku

Kasih. Kita sering mendengar kata ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. Inilah kisahku ketika Tuhan mengajarku untuk mengasihi keluarga besar ayahku yang berbeda iman dari kami.

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Oleh Olyvia Hulda

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard. Bersama dengan 3 orang pemusik lainnya, aku tergabung dalam tim inti. Selain kami, ada tim pemusik lainnya, namun timku sering mendapatkan jam pelayanan yang tinggi. Tak jarang kami diberikan kepercayaan untuk melayani di acara-acara akbar seperti Natal, Paskah, dan ulang tahun gereja.

Bapak Gembala dan beberapa jemaat mengagumi permainan musik yang kami lakukan. Kami terus berusaha untuk mengembangkan kemampuan bermusik kami. Dengan tekun, kami belajar melodi-melodi baru, membuat intro-intro yang berbeda, bahkan kami pun berusaha membuat instrumen terdengar unik dan menarik sekalipun itu cukup rumit untuk dilakukan.

Suatu ketika, ada permasalahan yang terjadi di gereja. Dalam beberapa khotbahnya, Bapak Gembala melontarkan kritik secara terang-terangan yang ditujukan kepada para pelayan mimbar. Sebenarnya, kritik tersebut sudah pernah disampaikan kepada pemimpin tim musik kami, akan tetapi kritik itu tidak pernah tersampaikan karena kami jarang sekali mengadakan persekutuan pelayan mimbar. Cara Bapak Gembala yang mengkritik secara terang-terangan di depan jemaat itu membuat dua dari anggota tim pemusik inti mengundurkan diri. Alhasil, tersisa aku dan seorang temanku saja serta empat pemusik lainnya yang jam pelayanannya tidak sesering timku.

Aku dan temanku merasa terpukul atas kehilangan kedua anggota pemusik. Selama setahun, permainan musikku mulai kacau karena aku merasa tim musikku kini tak sekompak dahulu. Sering juga aku merasa kurang cocok dengan permainan musik keempat temanku. Feeling kami dalam bermusik ternyata berbeda. Nada-nada yang kami mainkan juga tidak selaras sehingga lagu-lagu pun sering menjadi sumbang.

Semangatku memudar dan aku sempat menyalahkan Bapak Gembala dan Tuhan atas persoalan ini. Mengapa Bapak Gembala harus menegur di depan jemaat hingga membuat teman-temanku mengundurkan diri? Namun, suatu hari Tuhan menegurku melalui sebuah ayat: “Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan, bukanlah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:1-3).

Kata “manusia duniawi dan hidup secara manusiawi” yang disebutkan oleh Paulus itu membuatku tertohok. Di balik pelayanan yang kulakukan, ternyata aku masih memelihara kehidupan sebagai manusia duniawi. Ketika permasalahan di gereja terjadi, alih-alih berusaha memahami dengan jernih duduk perkaranya, aku malah langsung menghakimi Bapak Gembala karena cara dia mengkritik yang menurutku kurang elok. Aku sadar, sebagai seorang pelayan Tuhan, seharusnya aku bisa membantu mendamaikan keadaan, bukan malah mendukung teman-temanku yang lain untuk menyudutkan Bapak Gembala.

Kemudian, secara tidak sengaja, aku mendengar sebuah khotbah yang bercerita tentang nabi Samuel yang mengurapi Daud. Hamba Tuhan yang berkhotbah tersebut menekankan bahwa ukuran yang Tuhan pakai untuk menilai sesuatu berbeda dari ukuran manusia. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7b).

Aku merenungkan ayat tersebut dan mengintrospeksi diriku sendiri serta pelayananku. Apakah movitasi dan tujuanku untuk melayani-Nya sudah benar? Tapi, saat itu aku sendiri masih bingung apa dan di mana letak kesalahanku.

Aku berdoa dan memohon supaya Roh Kudus membimbingku untuk memeriksa hatiku. Aku mendapati bahwa diriku selama ini telah berdosa dan salah di hadapan Tuhan. Aku dan teman-temanku terlalu berfokus pada apa yang dilihat mata—penampilan, performa, bahkan apresiasi dari Bapak Gembala dan jemaat telah menjadi motivasi terselubung dari pelayanan yang kami lakukan. Aku lebih terpaku pada kunci-kunci dan tempo lagu daripada persekutuan pribadiku dengan Tuhan. Aku mengerahkan kekuatanku untuk mempelajari kunci dan melodi daripada mempelajari apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku. Tanpa kusadari, melalui permainan keyboard dan tim pelayananku, aku telah membangun tembok kesombongan.

Aku bersyukur hari itu Tuhan mengingatkanku untuk tidak menjadikan pelayanan sebagai sarana untukku memegahkan diri. Aku memohon ampun dan berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberikanku kesempatan untuk berubah. Tidaklah salah untuk melatih kemampuan bermusikku, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pelayanan yang kulakukan tidak boleh menghilangkan waktu-waktu pribadiku bersama Tuhan. Sejak saat itu, aku mulai belajar untuk mempraktikkan kerendahan hati secara nyata dalam kehidupan pelayananku.

Lambat laun, semangatku untuk melayani Tuhan kembali menyala, namun dengan motivasi yang berbeda dari pelayananku terdahulu.

Jika dahulu aku mengandalkan diriku sendiri dalam melayani-Nya, kini aku mengandalkan Tuhan dengan cara berdoa terlebih dahulu sebelum mulai melayani-Nya. Aku belajar untuk membangun relasi dengan Tuhan, supaya yang mengalir dalam jiwaku adalah hikmat dari-Nya, bukan hikmatku sendiri.

Jika dahulu aku memainkan instrumen musik sesuai keinginan hatiku dan timku sendiri, sekarang aku melakukannya berdasarkan kebutuhan jemaat dan gereja. Bermain musik bukan sebuah ajang untukku pamer di depan jemaat.

Jika dahulu aku sedih karena merasa tidak cocok dengan teman-teman yang gaya bermusiknya berbeda dariku, sekarang aku belajar untuk tidak menggurui dan tidak menghakimi mereka saat berlatih. Aku belajar untuk menerima setiap keunikan mereka dan menyesuaikan gaya permainanku dengan gaya mereka.

Jika dahulu aku menyalahkan Tuhan dan bersedih karena kedua temanku yang meninggalkan gereja, sekarang aku mendoakan mereka supaya di gereja manapun mereka berada, mereka boleh tetap melayani Tuhan dan menjadi berkat. Alih-alih berfokus pada diriku sendiri, sekarang aku mulai memikirkan tentang regenerasi pemusik di gerejaku. Kepada orang-orang yang berminat, dengan senang hati aku akan mengajar dan membimbing mereka bermain keyboard.

Ada perjuangan yang harus kulakukan untuk melayani Tuhan dengan motivasi yang benar dan untuk melakukannya aku sangat membutuhkan pertolongan dari Roh Kudus. Aku perlu menyangkal diri, merendahkan hatku, memikul salib, dan melakukan apa yang memang Tuhan kehendaki.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk mengerti bahwa melayani Tuhan adalah sebuah panggilan yang mulia, yang diberikan oleh Allah untuk kita orang Kristen. Akan tetapi, sebelum kita melayani, satu hal yang perlu kita bangun adalah relasi yang intim dengan Allah. Keintiman kita dengan Allah sajalah yang akan menggerakkan hati kita untuk rindu melayani-Nya dengan cara yang benar.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Di Balik Kepergian Papa yang Mendadak, Ada Pertolongan Tuhan yang Tak Terduga

Ketika Tuhan memanggil pulang Papa begitu cepat, duniaku seakan runtuh. Perasaanku tidak karuan dan aku pun tak habis pikir. Papa tidak punya riwayat sakit, juga bersahabat baik dengan semua orang. Namun, mengapa Tuhan melakukan ini semua?

Memakai Topeng

Kamis, 17 November 2016

Memakai Topeng

Baca: Matius 6:1-6

6:1 “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.

6:2 Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.

6:3 Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.

6:4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

6:5 “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.

6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. —Matius 6:4

Memakai Topeng

Kerri berusaha keras membuat orang mengagumi dirinya. Ia suka tampil gembira agar orang lain memperhatikan dan memujinya karena perangainya yang ceria. Ada yang mendukungnya karena melihat Kerri memang menolong orang-orang di komunitasnya. Namun suatu kali Kerri dengan jujur menyatakan, “Aku memang mengasihi Tuhan, tetapi adakalanya aku merasa seperti memakai topeng.” Perasaan tidak aman yang dimilikinya menjadi alasan di balik hampir semua upayanya untuk terlihat baik di mata orang lain, dan ia mengatakan sudah jenuh bersikap demikian.

Kita semua bisa memaklumi Kerri karena tidak seorang pun dapat memiliki motivasi yang sempurna. Kita memang mengasihi Tuhan dan sesama, tetapi motivasi kita dalam menjalani kehidupan iman kita terkadang tidak lagi murni, karena bercampur dengan kerinduan kita untuk dihargai atau dipuji.

Yesus pernah berbicara tentang mereka yang bersedekah, berdoa, dan berpuasa agar diketahui orang (Mat. 6:1-6). Dia mengajar dalam Khotbah di Bukit: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi,” “berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi,” dan “apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu . . . supaya orang melihat bahwa [kamu] sedang berpuasa” (ay.4,6,16).

Melayani memang paling sering dilakukan di depan umum, tetapi mungkin suatu pelayanan sederhana yang tidak diketahui banyak orang dapat menolong kita untuk belajar mencukupkan diri dengan pandangan Allah atas diri kita. Allah yang menciptakan kita menurut gambar-Nya sangat menghargai kita hingga Dia menyerahkan Anak-Nya bagi kita dan menyatakan kasih-Nya kepada kita hari lepas hari. —Anne Cetas

Ya Tuhan, ampuni aku karena lebih menginginkan pujian dari orang lain ketimbang dari-Mu. Tolonglah aku untuk menjaga kemurnian motivasiku.

Kerinduan kita untuk menyenangkan Allah seharusnya menjadi motivasi kita yang tertinggi untuk menaati Dia.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 5-7; Ibrani 12

Artikel Terkait:

Mengapa Harus Aku?

Bukankah ada banyak orang lain yang punya keahlian dan lebih layak untuk dipakai Allah? Mengapa harus aku? Aku tidak punya hal yang cukup baik untuk diberikan. Baca kesaksian Putri Patuan di selengkapnya di dalam artikel ini.

Pengawasan Supernatural

Kamis, 4 April 2013

Pengawasan Supernatural

Baca: Matius 6:1-6, 16-18

Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. —Matius 6:18

Tidak jauh dari rumah kami, pihak yang berwenang telah memasang seperangkat kamera untuk memotret pengemudi yang kedapatan melanggar lampu merah. Para pelanggar kemudian akan menerima surat tilang lewat pos bersama dengan “foto bukti peristiwa”, yang menjadi bukti nyata dari pelanggaran lalu lintas tersebut.

Terkadang saya membayangkan Allah berbuat seperti halnya yang dilakukan kamera itu—Dia ada di atas sana dan sedang menunggu saatnya untuk memergoki saya melakukan suatu kesalahan. Allah memang melihat dosa kita (Ibr. 4:13), tetapi Dia juga melihat dan menaruh perhatian pada perbuatan baik kita. Dengan pengawasan supernatural-Nya, Allah melihat nilai pengorbanan kita ketika kita mempersembahkan uang pada gereja atau kepada mereka yang membutuhkannya (Mrk. 12:41- 44). Dia mendengar doa-doa pribadi kita (Mat. 6:6). Dan ketika berpuasa, kita dapat terus melakukan kegiatan seperti biasa karena kita yakin bahwa “Bapa [kita] . . . melihat yang tersembunyi” (ay.18).

Ketika mengetahui bahwa Allah melihat segala sesuatu, kita pun bebas dari kekhawatiran terhadap pandangan orang lain. Ketika melakukan segala yang benar, kita tidak membutuhkan pujian dari orang yang melihatnya; sebaliknya, ketika berdosa, kita tidak perlu khawatir tentang reputasi kita, asalkan kita telah menyelesaikan masalahnya dengan Allah dan pihak-pihak yang kita rugikan. Kita dapat merasa tenang karena mengetahui bahwa “mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia” (2Taw. 16:9). —JBS

Tuhan, terima kasih karena Engkau melihat segalanya. Engkau tahu
segalanya yang kupikirkan dan kulakukan. Tolong aku untuk
menyenangkan hati-Mu dan hidup sesuai dengan standar-Mu,
apa pun yang dipikirkan orang lain.

Orang lain melihat apa yang kita lakukan, tetapi Allah melihat alasan kita melakukannya.

Jadikan Hidup Bermakna

Kamis, 21 Maret 2013

Jadikan Hidup Bermakna

Baca: 1 Petrus 4:1-8

Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian. —1 Petrus 4:1

Dalam pergumulannya dengan penyakit kanker, Steve Jobs, salah satu pendiri Apple Inc., berkata: “Mengingat kematian saya yang semakin dekat adalah tindakan terpenting yang pernah saya ambil untuk membantu saya mengambil keputusan-keputusan penting di dalam hidup. Karena hampir segala hal—segala tuntutan dari luar diri, segala kebanggaan diri, segala rasa takut akan dipermalukan atau gagal—semua ini akan luruh begitu saja menjelang kematian, dan yang tersisa hanyalah yang benar-benar penting.” Penderitaan Steve mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuatnya.

Sebaliknya, Rasul Petrus ingin mendorong para pembaca suratnya untuk menggunakan penderitaan mereka demi menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan. Ia juga ingin agar penderitaan dan kematian Yesus mengilhami mereka untuk rela menerima konflik rohani dan penganiayaan yang akan timbul sebagai akibat dari iman mereka kepada Yesus. Karena mereka mengasihi Yesus, penderitaan pun tak terhindarkan. Penderitaan Yesus dimaksudkan menjadi motivasi bagi mereka untuk melepaskan keinginan-keinginan berdosa dan rela taat kepada kehendak Allah (1Ptr. 4:1-2). Jika ingin menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan, mereka harus berhenti berkubang dalam kenikmatan yang sementara dan sebaliknya menggunakan sisa waktu hidup mereka untuk menyenangkan Allah.

Mengingat bahwa Yesus telah menderita dan mati untuk mengampuni dosa kita merupakan pemikiran terpenting yang dapat mengilhami kita dalam mengambil keputusan yang tepat hari ini dan menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan. —MLW

Yesus, Engkau telah menderita dan mati untuk menebus dosa kami;
kiranya kematian dan kebangkitan-Mu mengilhami kami untuk
tidak kembali pada kehidupan kami yang lama. Tolong kami
menjalankan tekad kami untuk taat pada kehendak-Mu.

Kematian Yesus menebus dosa masa laluku dan mengilhami ketaatanku di masa sekarang.

Terlalu Ringan Tangan?

Sabtu, 7 April 2012

Terlalu Ringan Tangan?

Baca: 1 Korintus 13:4-8

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah apakah jalanku serong. —Mazmur 139:23-24<

Mungkinkah kita bersikap terlalu ringan tangan? Mungkinkah pertolongan kita justru membuat hidup orang lain menjadi lebih sulit? Bisa saja, ketika sikap kita ternyata mempersulit, mengekang, mengganggu, memanipulasi, atau mengendalikan hidup orang itu. Jika bantuan yang kita berikan hanya didorong oleh kecemasan diri kita, bisa jadi yang kita ringankan hanya beban kita sendiri.

Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa hati dan tindakan pelayanan kita benar-benar menjadi gambaran kasih Allah yang tanpa pamrih? Bagaimana kita bisa mengasihi dengan motivasi yang murni? (Ams. 16:2; 21:2; 1 Kor. 4:5).

Dalam doa, kita bisa meminta Allah untuk menunjukkan kepada kita dalam cara apa kita telah menyakiti atau menghalangi orang lain (Mzm. 139:23-24). Kita dapat meminta Allah untuk membantu kita menunjukkan kasih yang “sabar; . . . murah hati; . . . tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (1 Kor. 13:4-5).

Upaya kita untuk menolong orang lain, terutama yang paling kita kasihi, tak akan pernah sepenuhnya bebas dari kecemasan. Namun oleh anugerah Allah, kita bisa mulai mengasihi dengan bebas tanpa pamrih, sebagaimana Allah mengasihi. Tentu saja, pertumbuhan kita dinilai dan diukur dari cara kita bereaksi ketika “pertolongan” yang kita berikan tak dianggap atau tak mendapat balasan (lih. Luk. 14:12-14).

Tuhan, tolonglah kami untuk mengasihi dengan motivasi yang murni dan untuk kebaikan orang lain. Tolong kami untuk mengasihi tanpa pamrih, dengan tidak mengharapkan balasan apa pun. —DHR

Tolong aku, Tuhan, dalam segala yang kulakukan
Untuk bertindak dan berpikir dengan motivasi murni;
Dan oleh kasih-Mu ungkapkanlah kepadaku
Dosa yang hanya terlihat oleh mata-Mu. —D. De Haan

Kiranya kerinduan kita untuk menolong diwujudkan dalam kasih dengan motivasi yang murni.