Posts

5 Hal yang Bisa Bikin Hari Kamu Keep Going!

Semakin dewasa, orang-orang bilang kalau kita perlu banyak kerja keras (tak ada waktu untuk istirahat), punya list perencanaan yang super detail, dan gak boleh melakukan kesalahan.

Namun, hal-hal itu mitos. Kita hanyalah manusia biasa yang bisa cape, bikin salah, dan lain sebagainya. Justru itulah yang bikin kita menjadi manusia.

Yang terpenting, Tuhan mau kita keep going dengan berpegang terus pada-Nya 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

4 Mitos yang Kita Percayai dalam Relasi Sehari-hari

Berelasi dengan sesama pastilah ada jatuh-bangunnya, alias gak selalu mulus-mulus. Baik itu relasi dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, atau lainnya. Namun, apapun relasi yang kita jalani, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai pondasi utama kita dalam berelasi dengan sesama dan mintalah hikmat dari-Nya.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Mengupas Mitos Maskulinitas

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Hidup sebagai manusia adalah sebuah kompleksitas antara menjadi diri sendiri yang otentik dan juga tuntutan dari kelompok sosial di mana tiap individu ditempatkan. Seperti lagu yang dibawakan oleh Tulus, “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, aku setuju bahwa ada beberapa tuntutan yang harus diberikan dalam kehidupan bersosial, dengan tujuan adanya perkembangan menjadi pribadi yang lebih baik. Ada juga beberapa tuntutan lain dari lingkungan kita, yang mungkin perlu kita pertimbangkan, karena belum tentu membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Lahir dengan jenis kelamin “laki-laki” pun lambat laun akan disertai dengan berbagai tuntutan dari lingkungan sosial, mulai dari keluarga, teman sepergaulan, rekan-rekan dalam belajar maupun bekerja, gereja, maupun masyarakat secara umum. Namun seperti yang aku sampaikan, tak semua tuntutan yang diberikan kepada kita sebagai laki-laki harus dilakukan, karena ada tuntutan yang bersifat faktual, tapi ada juga tuntutan yang bersifat mitos.

Hal-hal di bawah ini merupakan mitos maskulinitas yang mungkin kerap kudengar dan justru menjadi tuntutan kepada kaum laki-laki. Buat kamu, pembaca laki-laki, coba cek, benar atau enggak, dan tambahkan juga di kolom komentar, mitos apa yang kerap disematkan padamu. Dan buat kamu, pembaca perempuan, kamu bisa kirim dan ajak dialog teman, atau saudaramu laki-laki, atau pasanganmu.

1. “Ga Ngerokok? Ga Jantan Banget Sih!”

Tawaran merokok, mungkin dihadirkan ketika berada di warung, sembari ngopi, atau menunggu makanan dibawakan oleh pelayan warung. Aku pun sering ditawari merokok sejak SMP hingga sampai saat ini. Ketika aku masih berusia belasan, aku menolak tawaran mereka. Lalu sebagian responsnya ialah, “Ga jantan kamu, Ar!” Aku pernah merokok tapi itu cuma mencoba karena penasaran. Aku merasa biasa saja setelah menghirup tembakau yang dilinting tersebut, tidak merasa lebih jantan dari sebelum aku menghirupnya, maka kurasa ke”jantan”anku tidak bergantung pada sebatang rokok.

Seiring aku belajar tentang media, periklanan dan branding, sebenarnya kejantanan dari aktivitas merokok, hanyalah sebuah branding yang dibuat oleh perusahaan rokok. Jika kita melihat sebagian iklan rokok, tentu aktor yang dipakai ialah laki-laki dengan badan atletis, melakukan aktivitas yang mengandalkan kekuatan, atau mungkin juga dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi penyelamat, seperti koboi.

Perlu kita pahami, tujuan dari branding tersebut agar membentuk persepsi bahwa laki-laki keren harus merokok. Dan hal terpenting, bos dari perusahaan rokok sendiri tidak merokok, info ini bisa kita lihat di Internet.

Bagi kita yang berusaha menjadikan Alkitab sebagai landasan hidup, mari kita lihat sejenak surat Paulus di Roma 12:1:

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Aku tidak anti terhadap perokok, aku pun tetap bergaul dengan teman-teman yang merokok. Namun bagi kita yang bukan perokok maupun yang masih menjadi perokok, gumulkanlah bagaimana hidup kita dapat menjadi persembahan,dan pilihan kita bukan disebabkan jebakan branding yang ditawarkan oleh dunia.

2. “Gitu Aja Kok Nangis, Lemah Kaya Perempuan!”

Heeeiiii… jangan remehkan perempuan. Perempuan adalah ciptaan yang kuat, mampu merawat kita selama kurang lebih 9 bulan dalam perut mereka dan berani melewati ancaman hidup mati demi berlangsungnya kehidupan setiap kita.

Perlu kita sadari, komentar di atas sangat mungkin terucap dari orang yang terdekat dengan kita, salah satunya keluarga. Dalam beberapa kasus, mulai dari yang kecil, saat kita belajar sepeda lalu jatuh, orang tua tentu meminta kita berhenti menangis. Beranjak lebih dewasa pun, kita tentu pernah menangis disebabkan permasalahan yang lebih kompleks, seperti ditinggalkan oleh orang terkasih (entah putus dari relasi pacaran atau bahkan ditinggal meninggal oleh kerabat), sedang dalam permasalahan berat, atau situasi di mana emosi sedih kita tak terbendung. Dan ketika air mata keluar, mungkin ada beberapa orang yang menyuruh kita menangis, karena kita adalah laki-laki, apakah memang tidak boleh?

Apa kata Alkitab tentang menangis? Banyak tokoh Alkitab mengenai menangis, salah satunya adalah Yesus, seperti tertulis dalam Yohanes 11:35, “Maka menangislah Yesus,” di mana Yesus berduka akan kematian Lazarus. Yusuf anak Yakub pun dalam rasa rindunya juga menangis menghampiri saudara-saudaranya, tertulis dalam Kejadian 45:2. “Setelah itu menangislah ia keras-keras, sehingga kedengaran kepada orang Mesir dan kepada seisi istana Firaun.”

Aku pun memahami bahwa emosi sedih, bahkan hingga harus menangis, adalah sebuah bagian dari hidup, termasuk bagi laki-laki. Seperti tertulis pada Pengkhotbah 3:4, bahwa: ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari. Dalam aspek psikologi pun, mengutarakan emosi senang maupun sedih, termasuk menangis, memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh, dibandingkan memendam emosi dalam diri. Maka, bagi kita laki-laki, menangislah jika memang dibutuhkan.

3. “Cowok Wajar kok Aktif Seks Sebelum Menikah.”

Ucapan ini mungkin tidak terucap di dalam gedung gereja atau ketika dalam sebuah kegiatan kerohanian, namun sangat mungkin tersampaikan dalam obrolan antar lelaki di tempat nongkrong. Kenapa kesenjangan dialog ini bisa terjadi? Karena aspek seksualitas di Indonesia, masih menjadi hal tabu untuk diperbincangkan dalam ruang ibadah maupun ruang pendidikan. Dan manusia, dengan segala rasa ingin tahunya, akan mencari informasi secara mandiri, walaupun belum tentu dari sumber yang tepat dan belum tentu mendapatkan informasi yang akan berbuah baik.

Berbagai riset yang dapat kita akses melalui berbagai media open source, menunjukkan aktivitas seks usia remaja dan muda menunjukkan angka yang tinggi. Secara empiris pun, ketika aku sedang berpacaran, ada saja teman yang bertanya, “Udah ngapain aja?” Ataupun dalam kondisi nongkrong santai, mungkin saja ada topik mengenai pengalaman melepas keperjakaannya. Bagi yang belum, mungkin akan dilekatkan dengan label “cupu” dan dimotivasi untuk mendapatkan pengalaman seksual sebelum menikah.

Dengan jelas, Allah memerintahkan, “Jangan berzina,” dalam Keluaran 20:14! Berzina bukan hanya perbuatan selingkuh dari pasangan yang sudah menikah. KBBI pun mengartikan “zina” sebagai perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Rasul Paulus juga memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus, di mana mereka hidup di suatu kota dengan tingkat pelacuran yang tinggi, agar menjaga kekudusan. Dituliskan dalam 1 Korintus 6:18 “Jauhkanlah dirimu dari percabulan. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.

Apakah mudah bagi seorang laki-laki untuk menjaga kekudusan sebelum menikah? Tentu tidak mudah. Salah satunya dikarenakan sebagian dari kita mengetahui informasi mengenai seksualitas bukan dari institusi yang mendidik, melainkan dari industri pornografi. Aku pun hidup dalam keluarga yang merasa tabu untuk berbicara seksualitas, sehingga aku pernah mengonsumsi pornografi. Tetapi semakin dewasa, kita perlu mengetahui, bahwa konten pornografi yang kita nikmati, bukanlah suatu pengalaman seksualitas yang nyata, melainkan hanya narasi palsu dari industri. Maka jangan jadikan konten pornografi sebagai patokan standar aktivitas seksual dalam kehidupan kita, boys!

Bagi kita, yang mungkin belum pernah melakukan hubungan seksual, bersabarlah dan jangan merasa kikuk. Dan bagi yang sudah pernah terjatuh ke dalam dosa ini, mari kita refleksikan arti kehadiran pasangan kita, serta makna dari menjadi satu tubuh. Pahamilah bahwa pacar kita, istri kita kelak, ataupun perempuan yang kita temui di mana pun, bukanlah budak dari hawa nafsu kita, karena setiap manusia adalah sama di hadapan-Nya. Dan maknailah bahwa menjadi satu tubuh, akan menjadi sempurna ketika Tuhan juga menyatukan kita dengan pasangan kita, menjadi satu roh dan daging dalam kasih-Nya.

Mitos-Mitos Lainnya dalam Gender

Aku yakin, masih banyak tuntutan lainnya yang diberikan lingkungan sosial terhadap predikat yang miliki, entah sebagai laki-laki dan perempuan. Tentu kita perlu meminta hikmat dari Tuhan, apakah benar tuntutan tersebut membawa kebaikan bagi kita, atau tuntutan tersebut hanyalah mitos yang belum tentu valid kebenarannya. Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian (Amsal 2:6).

Aku membuka ruang diskusi bagi kita, apakah ada mitos-mitos lainnya yang dituntut oleh lingkungan kita? Bagaimana kita merespons tuntutan yang tidak faktual tersebut?

Selamat menjadi manusia yang otentik, seturut kehendak Tuhan.

Baca Juga:

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’.

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

“Kuliah jangan di perguruan tinggi swasta, nanti kamu susah dapat kerja.”

“Jurusan untuk perempuan itu bagusnya ambil pendidikan atau keguruan, supaya bisa bekerja sambil mengurus keluarga.”

“Untuk apa lanjut kuliah S2? Nanti ujung-ujungnya kamu di rumah saja. Toh juga yang mencari nafkah kelak adalah tugas suamimu.”

“Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”

Itu adalah beberapa pernyataan yang pernah disampaikan orang-orang kepadaku. Aku tidak tahu apa yang mendasari mereka mengatakan hal tersebut. Kadang aku beranggapan mungkin mereka pernah melihat orang yang mengalami hal yang sama atau mungkin mereka sendiri pernah mengalaminya. Di awal aku sempat kepikiran dengan pernyataan-pernyataan tersebut. Aku takut melangkah karena bisa jadi yang mereka katakan itu benar, apalagi yang mengatakannya adalah orang-orang yang sudah dewasa atau berpengalaman.

Namun, kembali ke tulisanku dua bulan lalu, “Membuat Pilihan yang Berkenan pada Tuhan”, sejatinya yang penting adalah bagaimana kita bergumul terlebih dahulu kepada Allah saat membuat keputusan. Orang lain tidak mengambil andil sepenuhnya dalam setiap hal yang kita putuskan. Jika Allah meyakinkan kita untuk membuat pilihan tersebut, lakukanlah, sambil terus senantiasa bergumul dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Sekalipun kita gagal, Allah pun akan turut campur tangan menggunakan kegagalan tersebut untuk kebaikan buat hidup kita.

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya: kalau aku kuliah di perguruan tinggi swasta aku susah dapat kerja. Nyatanya, aku bisa dapat kerja yang baik walaupun aku lulusan perguruan tinggi swasta. Kadang kala, pernyataan-pernyataan itu malah membuat kita jadi menyerah duluan. Bayangkan, jika ada beberapa orang yang lulusan perguruan tinggi swasta mendengar pernyataan tersebut lalu menelannya mentah-mentah. Mereka mungkin menjadi tidak bersemangat, enggan berusaha dengan lebih lagi, hingga akhirnya jadi sungguhan kesulitan mendapat kerja.

Pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya sesungguhnya sangat berbahaya dan bisa membuat orang lain menyerah dalam mengerjakan setiap hal dalam hidupnya.

Kyle Idleman, dalam bukunya yang berjudul Don’t Give Up mengatakan bahwa dalam kehidupan, kita sering sekali diperhadapkan dengan berbagai kebohongan. Karena kita mempercayai kebohongan itu, maka kita pun menjadi hidup sesuai dengan kebohongan tersebut. Mungkin bukan masalah besar jika kita menghabiskan waktu kita dengan kebohongan yang terbilang tidak serius, misalnya: jangan potong kuku di malam hari. Tetapi, bagaimana jika kita diperhadapkan dengan kebohongan yang lebih serius?

Menurut Kyle Idleman, ada tiga kebohongan yang sering kita percayai dan mari kita pelajari kebenaran Firman Allah yang mampu membebaskan kita dari kebohongan tersebut:

1. Kita tidak punya kemampuan yang dibutuhkan untuk berhasil

Ketika Allah mempercayakan kita sesuatu untuk dikerjakan, maka Dia akan memberikan kita kemampuan untuk mengerjakannya. Misalnya: kita sedang bergumul untuk mengerjakan tugas akhir. Allah mempercayakan kita untuk sampai ke tahap mengerjakan tugas akhir, artinya Dia akan menolong kita untuk mengerjakannya.

Baru-baru ini, aku mendapatkan tanggung jawab yang baru di pekerjaanku. Awalnya aku merasa tidak sanggup, pekerjaan itu menurutku sangat berat untuk aku lakukan, tetapi aku tidak bisa menolak karena itu sudah keputusan dari pimpinan di tempat kerjaku. Aku berdoa dan bergumul sama Tuhan. Dalam saat teduhku, Allah mengingatkanku dari Filipi 4:19 “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Pagi itu aku diingatkan, keperluanku bukan hanya soal uang, makan, minum atau kebutuhan jasmani lainnya. Keperluan disini juga termasuk kemampuan yang akan diberikan Tuhan agar aku dimampukan mengerjakan tanggung jawab yang baru dipercayakan kepadaku.

Bersama Tuhan, kita memiliki segala sesuatu yang kita perlukan untuk melakukan segala sesuatu yang perlu kita kerjakan.

2. Kita bisa memperbaikinya sendiri

Bagian ini berlawanan dengan poin yang pertama, tetapi ini pun masih sebuah bentuk kebohongan. Kita sering beranggapan bahwa kita bisa menyelesaikan sendiri setiap hal yang terjadi dalam hidup kita. Kita merasa tidak perlu memerlukan bantuan orang lain. Kita berusaha menyembunyikan segala kelemahan dan kekurangan kita. Padahal secara tidak langsung selain sedang melakukan kebohongan, kita juga sedang melakukan kesombongan. Merasa tidak memerlukan Tuhan atau orang lain. Kondisi ini pun bisa menyebabkan kita menjadi menganggap enteng setiap masalah yang kita hadapi, merampas keintiman dalam hubungan kita dengan orang lain, dan menjadikan kita seperti munafik, karena tidak membiarkan orang lain tahu kelemahan kita dan ini merupakan suatu hal yang sangat melelahkan.

Tidak semua hal tentunya perlu kita sampaikan kepada orang lain. Yang utama yang perlu kita lakukan adalah bergumul bersama Allah lewat doa dan Firman setiap hari. Jika Allah mengarahkan kita untuk meminta bantuan orang lain, kita melakukannya. Namun pada kenyataannya, kita juga sering gagal. Kita lebih sering menyimpan sendiri atau buru-buru mencari pertolongan kepada orang lain. Kita lupa untuk terlebih dahulu bergumul kepada Allah.

3. Kita pantas bahagia

Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Filipi 1:29).

Keadaan yang sulit, kondisi yang tidak kita inginkan, seringkali membuat kita merasa bahwa Tuhan sedang tidak berpihak kepada kita. Tidak jarang kita bahkan menyalahkan Tuhan untuk setiap kesulitan atau penderitaan yang kita alami.

Tuhan ingin kita bahagia, tetapi kebahagiaan yang berasal dari mengejar dan mengenal Dia. Sayangnya, kita sering memandang Tuhan sebagai alat untuk meraih kebahagiaan dalam versi kita sendiri. Kita tidak memiliki Tuhan agar Dia bisa memberi kita berkat supaya kita bahagia. Kita memiliki Tuhan, dan Dia adalah kebahagiaan sejati itu.

Bahkan seringkali kesulitan dan penderitaan kita alami tujuannya adalah untuk mengenal Allah, supaya kita menemukan bahwa hanya Allah saja yang mampu membuat kita bahagia.

Sangat mudah bagi kita untuk mempercayai setiap kebohongan yang disampaikan di tengah kehidupan kita setiap hari. Bahkan kebohongan itu sering membuat kita menjadi memilih untuk menyerah.

Saat ini, aku tidak tahu kebohongan-kebohongan apa yang sudah teman-teman percayai. Jika kita tahu bahwa semua itu adalah kebohongan, maka kita tidak akan mempercayainya. Tetapi, ketika kebohongan-kebohongan itu kita percayai, maka kebohongan-kebohongan itu memiliki kekuatan atas hidup kita. Jika saat ini rasanya kita ingin menyerah, entah itu karena kondisi keluarga, kondisi studi, kondisi pekerjaan atau mungkin kondisi keuangan, mari kita coba tanyakan dalam diri kita, apakah ada kebohongan yang sedang kita genggam. Berdoalah dan minta Tuhan untuk menyatakan kebohongan apapun yang sedang kita hidupi.

Kita berharga di mata Tuhan, buktinya Dia sudah memberikan Putra-Nya Yesus Kristus untuk disalibkan menebus seluruh dosa-dosa kita. Jangan biarkan kebohongan-kebohongan yang ada di dunia ini membuat kita menjauh dari Tuhan.

Hidupmu berharga bagi Allah
Tiada yang tak berkenan di hadapan-Nya
Dia ciptakan kau seturut gambar-Nya
Sungguh terlalu indah kau bagi Dia

Dia berikan kasih-Nya bagi kita
Dia telah relakan segala-galanya
Dia disalib tuk tebus dosa kita
Karena hidupmu sangatlah berharga

Buluh yang terkulai takkan dipatahkan-Nya
Dia kan jadikan indah sungguh lebih berharga
Sumbu yang telah pudar takkan dipadamkan-Nya
Dia kan jadikan terang untuk kemuliaan-Nya

Baca Juga:

Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

“Kuliah itu kudu di negeri.”
“Ah, anak kota mah manja, mana sanggup jauh dari orang tua”
“Masih fresh graduate, susah cari kerja.”

Pernyataan di atas mungkin kita dengar ketika jalan yang kita pilih berbeda dari pilihan kebanyakan orang. Tapi, di pilihan dan jalan sunyi sekalipun, Tuhan menuntun kita.

4 Mitos Cinta yang Membuai

Oleh Arie Saptaji, Yogyakarta

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Pemilihan ini semestinya dilakukan secara cerdas dan bijaksana, dengan pertimbangan akal sehat dan obyektivitas yang jernih. Untuk itu, kita akan memerlukan pertolongan Tuhan. Seperti dinasihatkan Yakobus, kita perlu meminta hikmat kepada-Nya. Kita dapat menemukan petunjuk dan hikmat Tuhan tersebut di dalam firman-Nya.

Alkitab memang tidak memberikan tuntunan yang jelas dan detail tentang berpacaran. Bisa dimaklumi, karena pacaran memang tidak dikenal dalam budaya dan zaman ketika Alkitab ditulis. Meskipun demikian, firman Tuhan mengandung prinsip-prinsip membangun hubungan yang tetap relevan untuk diterapkan dalam menjalani masa berpacaran.

Masalahnya, alih-alih belajar menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, tidak sedikit orang yang malah terhanyut oleh berbagai mitos cinta. Mitos-mitos ini menawarkan khayalan yang melambung, namun diterima orang begitu saja sebagai kebenaran, tanpa diuji secara sungguh-sungguh. Untuk dapat membangun hubungan cinta secara sehat, kita perlu terlebih dulu mengenali dan menelanjangi mitos-mitos itu serta menepiskannya.

Berikut ini kita akan membahas empat mitos cinta membuai yang semestinya kita waspadai.

Mitos #1
Jodoh ada di tangan Tuhan

Jodoh kita ada di tangan Tuhan. Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang istimewa, sang soulmate, untuk kamu nikahi. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi pendampingnya, dan Tuhan pasti akan menuntunmu untuk bertemu dengannya. Apa pun rintangan yang menghadang.
(Diiringi lagu Munajat Cinta: “Tuhan, kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati, yang mencintai aku apa adanya…”)

Kamu menganut pandangan seperti itu? Berbeda dengan aliran cinta romantis yang sangat kimiawi, pandangan yang satu ini begitu rohani. Kalau cinta romantis melayang gara-gara pengaruh hormon, yang satu ini melangit dengan mengatasnamakan takdir Tuhan. Seperti halnya cinta romantis, ada butir kebenaran dalam pandangan di atas. Namun, bila dianggap sebagai paket yang utuh dan lengkap sebagai dasar menentukan pasangan hidup, tak ayal pandangan ini menyeret ke sisi ekstrem yang tidak sehat pula. Bagaimana, misalnya, kalau jodoh yang disiapkan Tuhan itu tidak kita sukai? Repot, kan?

Orang yang berpandangan bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan kelak setelah menikah juga akan menganggap perceraian pun ada di tangan Tuhan. Sekuat-kuatnya kita berusaha, kalau memang tidak jodoh, perceraian pasti akan terjadi, tak terelakkan. Sebaliknya, kalau sudah jodoh, sekalipun sempat bercerai pasti suatu saat akan bersatu lagi.

Wah, ternyata bukan hanya Iblis yang sering dipersalahkan atas masalah yang menimpa manusia akibat kebebalannya sendiri. Tuhan pun tidak luput dari tudingan! Tuhan bisa mengelus dada dipersalahkan seperti itu. Bagaimana pandangan ini akan didampingkan dengan penegasan sikap Tuhan terhadap perceraian dalam Maleakhi 2:16? Apakah Yesus keliru ketika Dia menyatakan bahwa orang bercerai akibat kekerasan hatinya? Mengapa pula Tuhan mesti repot-repot menjodohkan pada awalnya kalau pada akhirnya Dia bermaksud menceraikan? Bercerai dengan alasan ternyata tidak jodoh lagi dan memang sudah takdir Tuhan sama saja dengan lempar batu sembunyi tangan.

Jodoh ada di tangan Tuhan, menurutku, tidak dapat diartikan secara sempit seperti itu. Benarkah Tuhan hanya menciptakan satu orang yang istimewa, yang secara khusus disiapkan-Nya sebagai belahan jiwa kita, dan bila kita tidak menemukan dan menikah dengan orang itu, kita tidak akan mengalami pernikahan yang berbahagia? Tampaknya tidak seperti itu.

Jodoh di tangan Tuhan mestinya dimaknai secara luas: bahwa seluruh proses perjodohan kita berada dalam tangan pemeliharaan dan bimbingan Tuhan. Tuhan tidak menyediakan jodoh khusus bagi kita, tetapi Dia memaparkan bimbingan dan nilai-nilai yang kita perlukan untuk mencari jodoh. Kenapa? Lebih dari sekadar untuk kebahagiaan kita, pernikahan dirancang oleh Tuhan sebagai sarana untuk memuliakan Dia. Melalui petunjuk-Nya, Tuhan akan menuntun kita untuk membangun bersama dengan pasangan kita suatu hubungan yang menjadikan kita semakin efektif dalam melayani Dia.

Mitos #2
Cinta mampu mengatasi segalanya

Kita menghela napas lega saat dongeng-dongeng atau kisah cinta berujung dengan “and they lived happily ever after.” Kita percaya, dan diam-diam mendambakan fantasi itu: cinta mendatangkan kebahagiaan abadi. Dengan cinta, segala masalah akan teratasi. Namun, pernahkah kita bertanya: apa yang terjadi sesudah itu? Bagaimana si Cinderella, yang biasa berkutat di dapur, menyesuaikan diri dengan protokol istana setelah dipersunting pangeran tampan? Apakah benar cinta mereka bertahan selama-lamanya? Kalau saja ada dongeng yang menggambarkan situasi ini!

Lagu dangdut mendendangkan sisi ekstrem yang lain. Sambil berlenggak-lenggok dan mengerdip genit, sang biduan bersenandung syahdu: tidak apa-apa tidur di gubuk derita dan makan sepiring berdua—asalkan ada cinta di antara kita! Bener, nih?

Benarkah cinta mampu mengatasi segalanya? Jawabannya antara lain terpampang di acara-acara infotainment. Bertubi-tubi muncul kabar tentang pasangan selebritas yang semula tampak mesra, namun akhirnya angkat tangan, merasa tidak menemukan titik temu satu sama lain lagi, dan memilih memutuskan hubungan pernikahan mereka. Bukan hanya di kalangan selebritas, keluarga-keluarga pada umumnya juga tidak sedikit ang berantakan akibat perceraian. Ambil contoh di daerahku sendiri. Menurut catatan dari koran Kedaulatan Rakyat, pada 2003 ada 696 kasus perceraian di Pengadilan Agama Sleman, Yogyakarta. Pada 2004 ada 722 perkara, dan pada 2005 ada 803 perkara. Jumlahnya meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Alasan yang banyak dikemukakan adalah tidak adanya lagi kecocokan.

Kalau benar cinta itu mengalahkan segalanya, kenapa terjadi banyak perceraian? Kenapa cinta tidak mampu menahan terpaan badai masalah—entah itu bernama ketidakcocokan, entah kesulitan ekonomi, entah perselingkuhan?

Sederhana saja. Cinta saja tidak cukup untuk membangun dan mempertahankan hubungan di antara dua anak manusia. Cinta romantis bisa luntur dan memudar. Untuk membangun hubngan yang bertahan lama dan langgeng dengan pasangan hidup kita, masih diperlukan bahan-bahan lain, yaitu karakter, komitmen, kecocokan, dan keintiman (4K).

Jadi, “cinta mengalahkan segalanya” adalah salah satu mitos gombal dalam menetapkan pasangan hidup. Kegombalannya seperti SMS yang dikirimkan seorang pemuda kepada pujaan hatinya. Dia menulis: “Sayang, aku sangat rindu padamu. Aku akan mengarungi lautan terluas, mendaki gunung tertinggi, menembus hutan terlebat, melintasi gurun terpanas, demi mendapatkan dirimu. Btw, Sabtu ini aku pasti berkunjung ke rumahmu—kalau tidak hujan.”

#Mitos 3
Cinta sejati dapat dikenali dari pandangan pertama

Jatuh cinta pada pandangan pertama memang pengalaman yang indah. Berjuta rasanya, kata Eyang Titiek Puspa. Namun, bila gelora perasaan yang kuat dan memabukkan itu dijadikan landasan dalam menentukan pasangan hidup, ya nanti dulu.

Cinta pada pandangan pertama itu barangkali mirip dengan iklan suatu produk. Yang tampak menonjol hanya sisi yang indah-indah, kehebatan, dan keunggulan produk yang bersangkutan. Kalau kita tidak teliti sebelum membeli, bisa-bisa kita mendapatkan produk yang ternyata tidak sebagus yang kita harapkan. Kita jadi kecewa dan jengkel.

Karena itu, cinta pada pandangan pertama masih perlu diteliti kualitasnya. Masih perlu diuji daya tahannya, apakah mampu menghadapi rintangan dan tantangan. Cinta yang otentik perlu waktu untuk bertumbuh dan berkembang.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan ketika panah asmara menembus dada dengan munculnya si dia yang begitu menawan? Seperti kata iklan: Enjoy aja! Nikmati saja hal itu sebagai bagian dari proses pertumbuhan alamiahmu. Perasaan menggelora dan energi membuncah yang dirangsang oleh panah cinta itu dapat disalurkan secara kreatif. Bukankah banyak orang menjadi penyair atau penggubah lagu dadakan gara-gara jatuh cinta?

Tapi, jangan berkubang di situ. Jangan mengambil keputusan signifikan atau melakukan tindakan gegabah yang akhirnya mendatangkan penyesalan. Jatuh cinta membawa kita memasuki “zaman kebodohan”. Kita jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Kondisi mabuk asmara itu lebih kuat diliputi oleh proses kimiawi daripada oleh hikmat dan akal sehat. Karena itu, tunggu sampai gelombang cinta itu mereda dan kamu kembali mendarat di bumi, siap untuk menilai keadaan secara obyektif.

Bila kamu memang berniat dan sudah siap untuk membangun hubungan secara serius guna menentukan pasangan hidup, ujilah cinta romantis itu. Manfaatkan ranjau-ranjau cinta dan pilar-pilar untuk menjajakinya. Ranjau-ranjau cinta menunjukkan jenis hubungan yang sebaiknya dihindari; pilar-pilar cinta memaparkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperkuat hubungan.

Kalau kecewa terhadap suatu produk yang telanjur kita beli, dengan mudah kita dapat berpaling ke produk lain yang lebih baik. Namun, kalau kita nekad berpacaran sampai melanggar batas, kita bisa dirundung penyesalan berkepanjangan. Atau, kalau kita sudah memasuki bahtera pernikahan, dan baru menemukan bahwa pasangan kita ternyata mengecewakan hati, kita mesti menanggung konflik berkepanjangan atau bahkan memutuskan untuk bercerai. Menyakitkan, bukan?

#Mitos 4
Pasangan hidup akan memenuhi kebutuhanku seutuhnya

Aku merasa kesepian. Rasanya kosong. Hidupku rasanya kurang lengkap. Kurang sempurna. Ah, kalau saja aku menemukan soulmate, belahan jiwa yang akan melengkapi hidupku. Menyempurnakan kekuranganku. Kebutuhanku akan terpenuhi. Oh, hidupku akan benar-benar bahagia!

Salah besar! Mitos keempat ini menyesatkan dan mengandung sejumlah kerapuhan yang dapat menjerumuskan kita.

Tidak ada seorang pun yang begitu hebatnya sehingga dia dapat menyempurnakan kekurangan orang lain. Kita masing-masing manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Kita memang bisa bekerja sama, saling mendukung, dan saling menolong, namun kita tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain secara utuh, lengkap, dan sempurna. Sampai ke ujung bumi pun, mustahil kita menemukan pasangan hidup yang tanpa cela.

Kalau kita kesepian sebelum menikah, kita akan tetap—bahkan bisa jadi bertambah—kesepian setelah menikah. Kita memang kurang lengkap dan kurang sempurna. Namun, bila kekurangan itu sampai sedemikian mencekam kita, berarti ada yang tidak beres dengan gambar diri kita. Kita mengidap sindrom kroco jiwa alias minder. Sikap rendah diri ini mencuatkan perasaan sepi dan kosong. Kehadiran pasangan hidup bisa jadi bukan memperbaiki kondisi tersebut, namun malah memperparah keadaan.

Siapa yang dapat memecahkan masalah ini? Hanya satu yang sanggup mengisi kehampaan hidup kita secara sempurna, yaitu Tuhan. Melalui pemulihan Tuhan, kita akan menemukan kehidupan yang utuh dan bermakna.

Selain itu, cinta sejati bukan bertabiat menuntut dan mengambil, tapi memberi dan membagi. Kita hanya bisa memberikan dan membagikan apa yang kita miliki. Kalau kita kekurangan, kita akan menyedot, bukannya memberi. Karenanya, untuk siap membangun hubungan cinta yang kokoh, kita harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang utuh dan memiliki gambar diri yang sehat. Seperti dikatakan Anthony de Mello, “Di mana ada cinta, di situ tidak ada permintaan, pengharapan, dan ketergantungan. Aku tidak meminta orang untuk membuatku bahagia; kebahagiaan yang aku alami ada di dalam diriku sendiri. Kalau orang itu meninggalkanku, aku tidak akan menyesali diri; aku sangat senang berada di dekat orang itu, tapi aku tidak terikat dengannya.”

* * *

Artikel ini merupakan kutipan dari salah satu bab buku Arie Saptaji, Pacaran Asyik dan Cerdas (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010, Cetakan Kedua).
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan di blog pribadi penulis.

Baca Juga:

5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Ketika Temanmu Mengalami Gangguan Kejiwaan

Setiap kita pasti pernah mengalami pergumulan hidup yang sedikit banyak memberi dampak terhadap kesehatan kejiwaan kita; yang membedakannya hanya tingkatannya. Inilah sedikit pengalaman yang kualami ketika temanku mengalami gangguan kejiwaan.