Posts

Harta Dunia vs Harta Surgawi, Ini Pengalamanku Meraih Keduanya

Oleh Cristal Tarigan

Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ketika orang tuaku menikah, tidak ada harta warisan sama sekali yang mereka peroleh dari kakek pihak bapak maupun mamakku. Hal ini membuat orang tuaku berjuang keras dalam mencari uang untuk bisa bertahan dalam perjalanan rumah tangga mereka.

Sebagai anak pertama dalam keluarga, aku melihat benar perjuangan yang dialami oleh kedua orang tuaku, sampai akhirnya kini kami bisa hidup cukup. Sampai aku kelas 1 SD, orang tuaku hanya menjadi petani yang sehari-harinya–dari pagi sampai sore–ada di ladang. Kemudian saat aku kelas 2 SD, ayahku mulai menjadi pengepul buah pisang yang ada di desa kami, untuk kemudian dijual kepada agen pisang yang datang dari kota. Hingga aku duduk di bangku SMA, ada banyak jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh bapakku. Buah apa saja yang sedang musim, akan dimanfaatkan bapakku untuk menjadi pengepulnya. Ada buah pisang, alpukat, jengkol, duku, manggis, bahkan bapak juga pernah menjadi pengumpul berbagai jenis barang bekas. Pengalaman hidup menjadi anak “Pengepul Buah” membuatku banyak belajar tentang dunia jual-beli. Bukan hanya itu, aku bahkan bermimpi kelak aku harus menjadi orang yang berhasil dalam keuangan. Menjadi orang kaya adalah salah satu hal yang ingin aku capai.

Aku tidak mau hanya menjadi seorang pemimpi. Aku benar-benar memulai sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Di desaku, ada banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan anak kecil untuk bisa menghasilkan uang. Aku memetik hasil tanaman di kebun dan mengupas pisang, juga pekerjaan-pekerjaan lainnya di kebun. Dari pekerjaan itu, aku akan diberi uang oleh pemilik kebun. Jadi, sejak SD aku sudah mulai menabung dari pekerjaan kecil yang bisa kulakukan. Saat SMA, aku mulai untuk berjualan di sekolahku, bahkan sampai kuliah kuterapkan misi ini. Berjualan online maupun offline aku lakukan demi nominal di tabungan yang harus terus bertambah. Tidak banyak memang yang kuhasilkan saat itu, tapi ada perasaan bangga sekali ketika aku bisa membeli sesuatu dengan hasilku sendiri. Begitulah aku, sampai akhirnya selesai kuliah pun aku tetap melakukan hal yang sama.

Aku wisuda bulan Desember 2019 dengan gelar Sarjana Pendidikan. Aku sempat bekerja sebagai freelancer di sebuah bimbingan belajar, di sini gajinya lumayan untuk hidup di kota Medan, apalagi jika kita masih mau mencari tambahan pekerjaan lain. Tapi suasana dunia kerjanya yang seperti “ajang bisnis” membuatku tidak nyaman. Selain itu, di tahun pertamaku setelah wisuda, aku masih mempunyai tanggung jawab di sebuah pelayanan kampus. Dengan kondisiku yang seperti itu—freelancer dan pelayanan di kampus—kadang waktunya pun bertabrakan dan membuatku merasa sangat bersalah ketika tidak maksimal mengerjakan keduanya.

Setelah aku pikirkan kondisiku saat itu, aku memutuskan untuk resign. Aku tidak tahu keputusan itu salah atau benar, mengingat aku baru 3 bulan bekerja. Tapi aku mengikuti hati, prioritasku saat itu adalah pelayanan. Pekerjaan dan keuangan biar Tuhan yang aturkan menurut cara-Nya. Aku benar-benar mengikuti kata hati saja saat itu. Sebenarnya ada banyak dilema yang kurasakan: harus bagaimana selanjutnya, kerja apa yang tidak membuatku harus menyerah terhadap komitmen di pelayanan, apa yang akan kukatakan kepada orangtua dan orang lain yang melihatku berhenti bekerja, dan masih banyak lagi yang ada di benakku. Tapi, Virus Corona yang membuat semua orang akan dirumahkan seakan menjawab semua pertanyaanku. Tepat setelah aku resign, 2 minggu kemudian diberlakukan WFH.

Tiga bulan lamanya aku di rumah sambil membantu orang tua, juga terus berdoa, berserah dan menunggu bagaimana cara Tuhan selanjutnya agar aku bisa mempertahankan komitmen pelayanan tersebut. Tepat 4 bulan kemudian, Tuhan jawab doaku, yaitu aku bisa bekerja tanpa harus mengesampingkan pelayananku. Banyak yang kusyukuri saat itu, termasuk waktuku bersama keluarga. Bahkan yang tidak aku sangka, Tuhan memberi berkat materi lebih besar dengan pekerjaan baruku.

Apa yang aku dapat dari pengalaman ini adalah: pertama, jalan dan waktu Tuhan itu sebuah misteri, jadi kita perlu doa, percaya, berserah dan setia. Hasilnya, rencana-Nya selalu lebih baik dan terbaik. Yang kedua, kita harus punya keberanian dalam memutuskan sesuatu. Aku tidak tahu, kondisi apa yang sedang kita alami dan membuat kita harus memilih serta memprioritaskan hal lain dibanding iman kita saat ini. Tapi, kadang kita terlalu takut untuk memulai atau berhenti terhadap sesuatu karena kita belum tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Padahal, bukankah kita punya Tuhan yang akan senantiasa menyertai? Terlepas itu berhenti atau memulai pekerjaan seperti ceritaku, aku rasa usia 20-30 an yang kerap dekat dengan kata “tantangan dan pencarian jati diri”, berani melangkah dalam iman, wajib hukumnya bagi semua kaula muda.

Kini tujuanku menjadi orang kaya dengan apa yang aku rencanakan sirna sudah. Pengalaman itu justru membawaku untuk mengumpulkan “kekayaan lain” yang tidak bisa diambil oleh pencuri atau dirusak oleh ngengat maupun karat. Lebih besar lagi, perjalanan 2 tahun setelah wisuda itu, dengan segala lika-likunya, membawaku menemukan visi hidupku. Aku ingin berkecimpung dalam bidang sosial, seperti membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Memang, menjadi kaya tidak salah selagi materi hanya sebagai alat dan bukan tujuan, tapi yang terutama adalah sebelum kita memiliki segala kepunyaan di dunia, pastikan kita memiliki dahulu kepastian di sorga, yaitu jika kita mempercayai Yesus saja dengan segenap hati.

Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusaknya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya (Matius 6:19-20).

Cukup Tak Selalu Bicara Soal Angka

Oleh Raganata Bramantyo

Lulus kuliah, bekerja di perusahaan keren, mendapat penghasilan besar, dan hidup berbahagia. Itu rumus hidup yang kupegang saat studiku tinggal menanti sidang skripsi. Tetapi, realitasnya tidak begitu. Pekerjaan yang kutekuni sempat membuatku tidak puas, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah besar.

Kepada atasanku, aku bilang begini, “Saya sudah memutuskan dengan matang bahwa di bulan Mei nanti saya ingin keluar dari pekerjaan ini.” Sudah enam tahun aku bekerja di satu instansi yang jadi pekerjaan pertamaku sejak lulus kuliah. Durasi kerja yang tidak sebentar itu sebenarnya menjadikanku lebih profesional daripada awal masuk dulu. Namun, kekhawatiranku akan kebutuhan-kebutuhanku di masa depan serta iri melihat teman-temanku sudah berproses lebih jauh dalam hal income membuatku merasa harus segera keluar dan mencari ladang baru yang lebih menjanjikan.

“Apa alasannya? Kenapa mau keluar?” atasanku balik bertanya.

“Saya rasa pendapatan saya di sini kurang. Saya udah 6 tahun kerja, Pak. Berharap bisa dapetin penghasilan yang lebih banyak.”

Atasan hingga direktur di tempat kerjaku menyetujui permohonanku, tetapi mereka memberiku nasihat bahwa value suatu pekerjaan tidak selalu diukur berdasarkan materi. Jika aku berubah pikiran, kantorku tetap dengan senang hati menyambutku kembali.

Kejadian yang menjungkirbalikkan pandanganku

Beberapa hari setelah obrolan tentang resign, aku mendapat kabar buruk. Papaku mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Bonggol sendi antara paha dan pinggangnya patah, dan muncul juga penyakit lainnya seperti pneumonia dan yang paling parah adalah autoimun pada bagian usus besarnya. Hanya aku yang punya waktu dan dapat merawat papaku, mengingat papaku telah menikah lagi dan dari keluarga besarku pada mulanya enggan untuk menolongnya.

Saat itu memang biaya pengobatan ditopang oleh BPJS, tetapi tidak semua biaya bisa di-cover. Di sinilah mukjizat terjadi. Dengan tabunganku yang sedikit, rupanya Tuhan mencukupkan dengan berbagai cara. Lebih dari 70 temanku serta beberapa kerabat bahu membahu mengumpulkan uang hingga seratusan juta sehingga semua biaya pengobatan tercukupi. Meskipun pada akhirnya papaku meninggal dunia, tetapi semua biaya pengobatan hingga pemakaman tercukupi tanpa kekurangan sedikit pun. Di samping itu, kantor yang semula ingin kutinggalkan berbaik hati mengizinkanku untuk bekerja dari rumah sakit selama satu bulan tanpa memangkas gaji bulananku.

Momen-momen itu menegurku dengan keras. Aku merasa Tuhan seolah berbicara, “Kamu khawatir sama gajimu yang kecil? Semua kebutuhanmu pasti Aku cukupkan. Biaya rumah sakit papamu pun cukup. Apa yang kamu khawatirkan lagi?”

Aku termenung. Uang yang kudapatkan sebenarnya cukup bagiku, tetapi karena rasa iri aku pun menutup pandanganku akan hal-hal baik yang selama ini aku dapatkan. Mungkin, jika aku berkarier di tempat lain dengan penghasilan yang lebih besar, tentulah ada tuntutan yang lebih besar pula yang mungkin membuatku tidak bisa hadir merawat papaku sampai ujung napasnya. Momen satu bulan kebersamaan itu dipakai Tuhan dengan luar biasa. Aku dan papaku saling memaafkan, dan aku bisa bercerita tentang Tuhan Yesus dan membimbingnya untuk menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Cukup tak selalu bicara soal angka

Pengalamanku di atas mengingatkanku akan kisah tentang seorang kaya raya yang hidupnya tak pernah cukup. Orang kaya itu bernama Rajat Gupta. Dia lahir di Kolkata, India dan menjadi anak yatim pada usia belasan tahun. Tetapi, ketika usianya menginjak pertengahan 40-an tahun, dia menjadi salah satu pebisnis paling sukses. Harta kekayaannya mencapai $100 juta, tetapi dia merasa itu kurang. Ia ingin miliaran dolar. Keinginan inilah yang akhirnya membawanya ke jeruji besi karena dia kedapatan melakukan tindakan curang.

Aku membatin, mengapa Gupta yang telah memiliki uang dengan jumlah amat besar masih saja merasa tidak cukup dan malah ingin terus meraih lebih? Gupta merasa seratusan juta dolar itu kurang. Dia sangat ingin meraih miliaran dolar.

Di sinilah aku mulai belajar merenungkan matematikanya Tuhan. Kita sebagai manusia seringkali berpikir bahwa lebih banyak itu pasti lebih cukup, tetapi natur keberdosaan kita menjadikan kita sulit mendefinisikan pada titik mana kita harus merasa “cukup.” Terhadap keinginan tanpa batas inilah Yesus menegaskan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15).

Senada dengan sabda Yesus, Morgan Housel, penulis dari buku The Psychology of Money juga menekankan hal yang sama mengapa banyak orang menjadi tamak, “Karena mereka tak tahu kapan harus berkata cukup.”

Morgan juga menuliskan bahwa hanya sedikit di antara kita yang akan atau pernah punya harta miliaran, tetapi setiap kita pada suatu saat dalam hidupnya pasti akan mendapat gaji atau punya sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan kebutuhan dan keinginan kita. Dengan apa yang ada pada kita saat ini, inilah 4 hal yang bisa kita lakukan untuk merasa cukup:

1. Keahlian keuangan tersulit adalah menjaga tiang gawang agar berhenti bergerak

Ketika awal-awal aku merantau ke Jakarta, seorang kakak kelasku mengatakan begini di sesi pertemuan kami, “Temen-temen, kita dulu waktu kuliah bisa kok hidup dengan uang yang seadanya. Sekarang, saat kita udah punya penghasilan yang lebih tetap dan besar, yuk kita coba pertahankan gaya hidup kita. Jangan gaya hidup yang naik, tapi kita belajar memberi lebih.”

Kami pun belajar menekan pengeluaran untuk hal-hal yang kurang penting dan bersifat gengsi semata. Hasil dari hidup berhemat itu kemudian kami kumpulkan untuk membiayai kuliah seorang teman yang kesulitan keuangan.

Menjaga standar pengeluaran memang tidaklah mudah. Ketika penghasilan kita bertambah, tanpa kita sadari ada kebutuhan yang bertambah. Semisal, dulu ketika diberi uang jajan orang tua 1 juta satu bulan kita pergi ke mana-mana naik sepeda. Sekarang, setelah kerja dan punya gaji 5 juta, kita perlu motor untuk menunjang mobilitas karena naik sepeda dirasa terlalu melelahkan. Jika memang kebutuhan yang bertambah itu adalah hal pokok, tentu tidaklah masalah untuk dipenuhi. Toh itu akan menunjang produktivitas atau meningkatkan makna hidup kita.

Tetapi, jika itu hanya sebatas urusan gengsi, di sinilah letak masalahnya. Jika dahulu kita bisa enjoy dengan minum kopi yang kita seduh sendiri, maka sekarang harusnya tak perlu memaksa diri untuk ngopi di kafe-kafe kekinian yang cukup mahal.

2. Berhenti membanding-bandingkan pencapaian finansial

Morgan Housel mengatakan perbandingan sosial adalah pertandingan yang tak akan pernah ada pemenangnya. Semua orang dalam natur keberdosaannya selalu merasa ada yang kurang dengan dirinya.

Kita mungkin hanya melihat hasil dari pencapaian orang lain tanpa tahu seperti apa prosesnya. Menetapkan patokan “sukses” kita pada standar orang lain akan jadi perjalanan yang melelahkan. Alangkah lebih baik jika kita memetakan sendiri apa yang hendak kita capai dan menyerahkannya pada Allah, sebab Dialah yang memelihara dan mencukupkan kita.

3. Cukup adalah cukup

Cukup adalah ketika kita menyadari bahwa menginginkan yang lebih akan mendorong kita pada titik penyesalan. Analogi ini dapat diilustrasikan begini. Satu-satunya cara mengetahui seberapa banyak makanan yang bisa kita makan adalah dengan makan terus sampai muntah. Hanya sedikit yang mencobanya karena tahu kalau muntah itu lebih sakit daripada kenikmatan makan (Housel, 2020:36)

Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat meminta hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berhenti dan berpuas diri dengan pencapaian finansial kita.

4. Uang bisa membeli segalanya, tetapi tidak segalanya bisa dinilai dengan uang

Memiliki keluarga yang menyayangi, teman-teman yang saling mendukung, dan tubuh yang sehat adalah sekelumit dari hal-hal kecil yang membentuk kebahagiaan kita.

Melalui pengalamanku merawat papaku yang menghabiskan uang ratusan juta, aku belajar bahwa ada prestasi terbesarku yang Tuhan karuniakan, yang tak mampu dinilai dengan uang sejumlah apa pun, yakni kebersamaan antara ayah dan anak yang begitu hangat. Dengan uang yang terbatas, Tuhan izinkan aku melihat mukjizat dan pemeliharaan-Nya bahwa Bapa di surga memelihara setiap anak-anak-Nya (Matius 6:26).

Dibuai Narasi Negeri nan Kaya—Catatan Perjalanan ke Ujung Indonesia

Oleh Aryanto Wijaya

Usiaku 21 tahun ketika aku menginjakkan kakiku sebagai seorang backpacker selama satu bulan penuh menjelajahi Sumatra. Buatku yang lahir dan besar di Jawa, pulau besar di sebelah barat negeri ini menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda, yang membuat jantungku berdegup kencang sekaligus bibirku tersenyum sumringah akan keindahan alamnya juga keramahan orangnya.

Perjalananku dimulai dengan menaiki pesawat ke Kualanamu, Medan. Dari sini, aku dan temanku—seorang bule Jerman yang mengajakku ikut backpackeran—melanjutkan perjalanan lewat jalur darat. Tiga hari di Medan, tiga hari di Bahorok, kami lalu bertolak menuju Banda Aceh sampai titik nol Indonesia di Sabang dengan naik bus umum dan ferry. Setelah seminggu di Aceh, kami turun ke sisi selatan Sumatra dengan tujuan utama: Padang dan Bukittinggi. Tapi, alih-alih melewati jalan utama dari Aceh yang melewati Medan, kami melewati jalur tengah yang membelah pegunungan Gayo-Luwes sampai nanti kami tiba di Parapat, Sumatra Utara.

Jalanan membelah pegunungan Leuseur ini tidak semulus jalan antar-provinsi di Jawa yang ramai penduduk. Dari Banda Aceh sampai ke Kutacane kami membutuhkan waktu perjalanan tiga malam dengan rincian satu malam wajib transit di Takengon, dan semalam lagi di Kutacane karena tidak ada angkutan yang beroperasi di malam hari. Angkutan antar-kotanya pun tidak seperti travel Bandung-Jakarta yang bisa dengan mudah kita pesan online dengan mobil anyar. Angkutan yang kami naiki adalah mobil L-300 dengan AC alami dari angin semilir.

Jalan belum beraspal yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Aceh Tengah

Menepi sejenak di tepian Danau Lut Tawar, Takengon. Di tiap-tiap kota jika tidak berjalan kaki, kami menyewa motor atau kadang dipinjamkan oleh warga yang berbaik hati.

Pengalaman menarik yang membuat jantung was-was kualami ketika mobil yang kami tumpangi melewati perbatasan provinsi. Di sebuah pasar, naiklah seorang ibu dengan anaknya yang tampaknya masih balita. Ibu ini membawa serta ember besar dengan tas dari anyaman bambu. Di ember itu tampak hasil bumi berupa sayuran.

“Mau ke mana, Dek?” tanya si ibu yang mendapat duduk di sebelahku. Kami duduk di bagian paling belakang karena semua kursi di depan sudah penuh.

“Ke Siantar, Bu,” jawabku.

“Sudah pernah ke daerah sini?” dia bertanya lagi sambil melempar senyum. Aku tak menaruh curiga apa pun, toh dia tampak seperti ibu-ibu biasa. Lagipula, pertanyaan seperti ini sudah sering kudapat sepanjang perjalanan backpakceran. Penampilan seorang anak muda kurus dengan ransel yang lebih tebal daripada badannya memang mengundang pertanyaan bagi warga di desa-desa yang kusambangi.

“Hehe…iya Bu, ini baru pertama ke Aceh…” Aku tak berniat untuk melanjutkan obrolan karena jalanan rusak membuat mobil kami seperti dikocok-kocok. Mual. Jadi, aku pun tertidur.

Kira-kira tiga jam kemudian aku terbangun dengan kondisi mobil telah berhenti. Kutanya ke penumpang lain di depan ada apa, dijawabnya kalau ada pemeriksaan kendaraan sebelum masuk ke provinsi Sumatra Utara. Seraya kami turun, beberapa orang tanpa seragam yang belakangan kutahu itu polisi menghampiri mobil kami dan melakukan penggeledahan.

Awalnya suasana tenang-tenang saja, tapi mendadak riuh ketika ibu yang sedianya duduk di sebelahku berteriak keras dan meronta. Dia berusaha lari, tapi tangannya dipegang erat.

Saat barang-barang kami digeledah, rupanya di balik sayuran yang tampak di ember ibu itu tersimpan ganja.

“Gila…” aku membatin. Belum pernah kulihat rupa asli tanaman itu, sekaligus juga melihat bagaimana seorang ibu diringkus oleh aparat.

“Kenal ibu ini? Tadi naik dari mana dia? Kamu juga naik dari mana dan mau ke mana?” Polisi turut menginterogasiku. Dilihatnya KTP-ku, juga semua penumpang lain ikut diperiksa kalau-kalau ada kaitannya dengan si ibu. Ransel besarku ikut dibongkar, kalau-kalau aku ikut membawa barang terlarang itu. Dalam hati aku was-was. Kalau saja ibu itu berniat buruk, bisa jadi saat aku tidur dia diam-diam menyelipkan sejumput barang itu ke kantong celana cargo atau tasku. Tapi, syukurlah itu tak terjadi. Di ranselku, celanaku, juga di semua barang penumpang lainnya tak ditemukan ada kejanggalan. Setelah dua jam menanti, kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.

Suasana di dalam mobil yang awalnya hening menjadi riuh oleh obrolan seputar ibu tadi.

Supir membuka diskusi, “Gila itu ibu… bawa ganja kok siang-siang demi duit yang gak seberapa.”

“Memang dia itu naik dari mana?” sahut penumpang yang lain.

“Tadi kudengar dia itu dari Blangkejeren. Disuruh bawa itu barang ke Medan. Katanya nanti dikasihlah duit 10 juta, tapi baru 2 juta yang dikasih.”

“Blangkejeren”… aku ingat nama tempat ini. Itu adalah kota yang kulewati dalam perjalananku dari Takengon ke Kutacane. Kota ini kecil dan aksesnya sulit karena terkepung pegunungan. Meskipun mungkin secara potensi alam kaya, tetapi statistik menunjukkan bahwa orang-orang di sana hidup dalam kemiskinan. Tahun 2021 pendapatan per kapita rata-rata orang di sana hanya berkisar 438 ribu per bulan, menjadikannya sebagai kabupaten termiskin kedua di Provinsi Aceh.

Masalah yang kita semua punya andil di dalamnya

Pengalaman di Sumatra itu membuatku merenung lebih jauh. Ketika Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun, tak semua warganya menikmati kehidupan yang layak. Meskipun tiap daerah punya problemnya sendiri-sendiri, kurasa aku yang sehari-harinya hidup di kota besar di Jawa mungkin lebih beruntung karena akses infrastruktur yang lengkap dan ketersediaan lapangan kerja relatif lebih mudah. Tak dipungkiri bahwa sejak kita merdeka, negeri ini belum memaksimalkan potensinya. Pembangunan masih bersifat Jawa-sentris meskipun sudah mulai ada gebrakan pemerataan pembangunan sejak era reformasi. Belum lagi masalah-masalah domestik lainnya seperti intoleransi, pelanggaran HAM, korupsi, juga krisis lingkungan yang semakin hari dapat semakin parah.

Bicara soal kemiskinan, fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru dan mungkin pula terkesan utopis untuk mengenyahkannya seratus persen dari muka bumi. Tetapi, Yesus memberi kita teladan menarik. Ketika Dia berada di Betania, datanglah seorang perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak. Melihat tindakan wanita itu, para murid pun gusar. Mereka bilang, “Untuk apa pemborosan ini? Sebab minyak itu dapat dijual dengan mahal dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin” (Matius 26:8-9).

Yesus pun merespons, “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.” (ayat 10-11).

Sang perempuan yang meminyaki Yesus bukanlah seorang yang dianggap terhormat pada masa itu. Dia bukan Yahudi, dan beberapa tafsiran juga mengungkapkan mungkin perempuan itu adalah perempuan sundal. Tetapi, dia memberikan penghormatan pada Yesus dengan mengurapi-Nya dengan minyak narwastu yang mahal.

Yesus menerima tindakan perempuan itu dan dengan tegas menekankan pada para murid bahwa orang-orang miskin akan selalu ada bersama mereka. Artinya, sepanjang kehidupan ini kita para murid akan senantiasa berjumpa dengan orang-orang miskin, yang teraniaya. Dan, di sinilah panggilan mulia itu diberikan bagi kita bahwa jika kita menolong dan berbaik hati pada seorang yang dianggap dunia paling hina, kita melakukannya untuk Tuhan (Matius 25:40).

Lebih lanjut lagi, Yesus datang ke dunia untuk menggenapi apa yang Yesaya nubuatkan, “…untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin… memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19).

Panggilan untuk melayani mereka yang paling hina masih dan terus berlaku bagi setiap pengikut Kristus sampai kepada hari ini.

Aku tahu mengentaskan kemiskinan dan penderitaan tidaklah mudah dan instan, itu adalah perjuangan yang harus selalu kita upayakan sampai kedatangan-Nya yang kedua. Pada banyak kasus, kemiskinan dan penderitaan ini muncul akibat dari masalah kompleks yang saling berkelindan, atau sederhananya: kekacauan struktural—pemerintahan yang korup, warga yang tak terudaksi dan terampil, akses infrastruktur juga pendidikan yang sulit, timpangnya kesenjangan sosial, hingga posisi geografis. Tetapi, percayalah satu tindakan kecil kita yang bisa kita mulai dengan mendoakan, akan memberi dampak.

Dalam doa-doa kita izinkanlah Tuhan menggerakkan hati kita untuk bertindak. Kita mungkin tak bisa menolong langsung seseorang yang tak berdaya dengan memberinya segepok uang, seperti aku yang tak berdaya bagaimana menolong si ibu di sebelahku yang diringkus polisi. Kita bisa memulainya dengan belajar peka: siapa orang di sekitar kita yang Tuhan letakkan namanya di hati kita untuk kita tolong? Jika memungkinkan, kita bisa menjangkaunya dengan bertanya apa yang jadi kebutuhannya dan memberi pertolongan sesuai kemampuan kita. Atau, kita juga dapat mempertimbangkan untuk memberi lewat lembaga-lembaga yang kredibel yang tak cuma memberi, tetapi mengupayakan empowerement agar masyarakat yang rentan dapat lebih berdaya. Semua tindakan ini meskipun tidak memberi dampak dramatis adalah upaya yang berguna, ibarat menyalakan lilin di tengah kegelapan, alih-alih hanya mengutukinya.

Meskipun statistik mengatakan Indonesia sekarang telah menjadi lebih makmur daripada di masa lampau, tetapi tetaplah ingat bahwa di balik statistik itu ada orang-orang yang berjuang untuk dapat hidup dengan layak. Dan sebagaimana Kristus memanggil kita, kita punya andil dalam kesejahteraan negeri ini.

Kiranya Tuhan memberkati Indonesia, negeri kita yang amat luas ini.

Dirgahayu!

Hidup Sederhana di Tengah Orang-orang yang Ingin Tajir

Oleh Agustinus Ryanto

Sebagai generasi milenial, aku menganggap diriku cukup gaptek dalam urusan investasi. Saat teman-temanku sudah mulai melek kripto, aku baru mulai menabung reksadana. Saat yang lain sibuk-sibuk-gelisah memantau grafik saham setiap hari, aku masih anteng-anteng saja memikirkan gurihnya sebungkus pecel lele yang nanti bakal kubeli sepulang kerja.

Dalam urusan penghasilan—jika aku membandingkan diriku dengan teman-teman satu lingkaranku—akulah yang paling bontot. Uang dingin dan dana darurat juga tidak banyak, namun sangatlah cukup untuk menghidupi diriku serta memberi sedikit nominal pada anggota keluargaku.

Perasaan stabil dalam diriku mulai bergejolak memasuki tahun 2020. Pandemi terjadi dan orang-orang mulai memikirkan bagimana caranya memutar uang agar bisa menghasilkan uang lagi. Seorang temanku yang menurutku cukup kompeten dalam dunia finansial menawarkanku untuk mulai belajar instrumen investasi, mulai dari reksadana, saham, sampai ke kripto. Itulah awal perkenalanku dengan dunia finansial digital, yang puji Tuhan sampai saat ini menolongku untuk lebih bijak mengelola keuanganku.

Namun, dalam dua tahun ke belakang aku melihat media sosialku banyak diwarnai oleh para influencer, juga segelintir temanku yang mengajak orang berinvestasi tetapi dengan narasi yang berbeda. Bukan agar punya tabungan untuk masa depan dan hidup cukup, tapi untuk mencapai kebebasan finansial segera, sesegera mungkin! Kebebasan finansial yang mereka tawarkan bukan sekadar hidup cukup, tapi hidup bermewah-mewah bergelimang harta. Dibalut dengan kata-kata promosi yang menggugah, serta video-video testimoni yang isinya flexing alias pamer harta, tak sedikit orang yang menyetor uangnya dalam jumlah besar, dengan harapan bahwa timbal baliknya akan sepadan, atau kalau bisa jauh melampaui modalnya.

Hasilnya? Tahun 2022 ini kita melihat satu per satu influencer yang gemar flexing diringkus polisi. Mereka memang tampak kaya, tapi kekayaannya itu diraih dari kekalahan orang-orang yang mereka persuasi. Para korbannya gigit jari karena merasa dibodohi.

Gugurnya para penganut flexing di media sosial ini lantas menggemakan refleksi dalam batinku. Apakah tajir yang sesungguhnya itu? Bagaimana jalan menuju kebebasan finansial yang berkenan bagi Tuhan dan tepat bagi kita? Apakah kita sebagai orang Kristen harus proaktif dan kreatif dalam mengejar kekayaan, atau berpasrah saja?

Psikologi tentang uang

Untuk menjawab perenunganku di atas, aku tidak akan membeberkan detail-detail teknis meraih untung dalam instrumen investasi A atau B, toh memang aku bukan ahlinya.

Namun, aku ingat sebuah buku berjudul The Psychology of Money yang kubaca bilang begini: “Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku Anda.”

Pada bagian pengantar buku itu diceritakan kisah tentang dua orang: Ronald dan Richard. Ronald adalah seorang petugas kebersihan tanpa gelar akademik, sedangkan Richard adalah seorang mantan CEO dengan gelar perguruan tinggi. Namun, di akhir hidupnya dua sosok ini punya kisah yang amat berbeda. Saat meninggal di usia 92 tahun, orang-orang kaget karena Ronald memiliki aset di atas $8 juta! Sementara Richard kehilangan semua rumah mewahnya karena disita.

Selidik demi selidik, rupanya diketahui kalau Ronald tak pernah menang undian atau dapat warisan. Dia cuma rajin menabung berapa pun yang dia bisa tabung di saham-saham blue chip. Setelah puluhan tahun, saham-saham itu berkembang dan bertambah nilainya. Sementara itu, Richard dengan segala kegelimangan hartanya berbuat tamak. Dia berutang untuk memperluas rumah mewahnya dan krisis keuangan pun terjadi, menghantamnya dari miliader kaya raya menjadi orang miskin yang terjerat utang.

Kisah Ronald dan Richard menggemakan bagi kita pertanyaan: dalam bidang apa lagi seseorang yang tak punya gelar sarjana, pelatihan, latar belakang, pengalaman formal, dan koneksi bisa mengalahkan seseorang dengan pendidikan, pelatihan, dan koneksi terbaik?

Pengantar buku tersebut mengatakan sulit untuk menemukan jawabannya selain pada bidang keuangan. Kita pun tentu tak asing dengan pepatah yang sudah diajarkan sejak dulu kala: jangan besar pasak daripada tiang; rajin pangkal pandai, menabung pangkal kaya. Baik pepatah lawas maupun kisah Ronald menunjukkan pada kita sebuah benang merah: ada upaya dan proses dalam menumbuhkan nilai uang yang kita miliki. Tidak dalam sekejap, tetapi bisa bertahun-tahun. Dan yang paling menentukan ialah: sikap hati.

Tentang sikap tamak

Dari artikel yang kubaca, ada sekitar 2000 ayat di Alkitab yang bicara soal uang. Tapi, hanya sekitar 500 yang bicara tentang doa. Ini bukan berarti doa dan iman tidak penting, bukan sama sekali. Bisa dikatakan, Alkitab menegaskan kita bahwa masalah uang tidak boleh diabaikan.

Uang adalah benda netral. Baik atau buruknya tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Uang bukan akar dari segala kejahatan, cinta akan uanglah yang jadi akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Cinta akan uang mewujud dalam sikap tamak manusia. KBBI mengartikan tamak sebagai sebuah sikap yang selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri. Ketamakan adalah sebuah sikap dan pengejaran yang tak akan pernah berujung. Saat seseorang telah mendapat sekian jumlah, ketamakan akan merongrongnya untuk meraih lebih dan lebih sampai dia sendiri pun tak tahu pasti seberapa banyak yang dia butuhkan. Alhasil, beragam cara pun dihalalkan. Logika menjadi nomor sekian. Ambisi untuk meraih lebih selalu menempati nomor wahid.

Uang yang sedianya netral bisa berubah menjadi jerat yang menghancurkan kita, jika sikap tamak itu tidak segera kita singkirkan, sebagaimana Alkitab berkata, “…tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yakobus 1:14).

Bukan tentang miskin atau kaya

Dalam artikel berjudul Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan sang penulis menekankan bahwa kekristenan bukanlah tentang kaya atau miskin. Tuhan tak pernah menjanjikan umat-Nya hidup makmur setiap saat, tapi di sisi lain Dia juga tidak mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Mengutip satu paragraf penuh dari artikel tersebut, tertulis demikian: “Lebih dari itu, Injil mengajar kita bahwa Yesuslah Raja pemilik segalanya, yang menanggalkan kejayaan-Nya untuk menjadi miskin dan melayani kita (Filipi 2). Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Pada akhirnya kita perlu menyadari kembali bahwa kita hidup dan diutus di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Tidak ada yang sempurna di sini. Proses yang kita lakukan mungkin tak sejalan dengan akhir yang kita harapkan. Kita mungkin telah berusaha gigih untuk menabung, menekan pengeluaran, belajar investasi secara benar dan dan meletakkan uang kita pada lembaga-lembaga yang legal dan kredibel, namun bisa saja nominal yang kita raih malah membuat kecewa.

Dari perenungan panjang ini, aku berkomitmen untuk belajar menjauhkan diriku dari sikap tamak, dan menanamkan pemahaman bahwa segala yang ada padaku adalah milik Tuhan sehingga aku harus menggunakannya secara bertanggung jawab.

Aku akan menginvestasikan uangku dengan cara yang berkenan bagi Tuhan, agar uang itu dapat dipergunakan kembali untuk melayani-Nya.

Menyinggung judul tulisan ini, apabila aku, atau kamu sempat atau sedang merasa miskin karena pencapaian dan proses finansial kita tertinggal jauh dari orang lain, itu bukanlah fakta sebenarnya. Kita diberkati dan dipelihara Tuhan untuk hidup cukup. Bisa jadi kata “miskin” itu hanyalah label yang secara personal kita sematkan pada diri kita sendiri, sebuah hukuman yang kita timpakan ke diri sendiri atas perasaan gagal mengikuti standar hidup orang lain.

Kita tak perlu minder dengan pencapaian atau flexing yang dilakukan orang-orang di media sosial, karena dalam segala kondisi kita telah diberikan kasih karunia yang sangat mahal.

Di era keterbukaan informasi seperti ini, kita bisa belajar dan belajar lagi bukan hanya untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk menjadi bijak, agar dari kebijaksanaan itu lahir sikap dan perilaku yang menyenangkan hati Tuhan.

Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan

Oleh Jessica Tanoesoedibjo

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Seru pembicara retret tersebut. Dan ketika ia berkata demikian, matanya menatapku dengan tajam.

Aku tidak akan lupa perkataan tersebut. Pada saat itu, aku sedang duduk di bangku SMP, dan menghadiri retret yang diselenggarakan sekolahku. Aku ingat, jantungku berdebar kencang, dan di benakku, aku berpikir, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”

Dalam kehidupanku, harus kuakui bahwa aku telah diberi privilese berkat materil yang berkelimpahan. Namun, ini bukan suatu hal yang dapat kusangkal begitu saja. Aku tidak dapat memilih di keluarga mana aku dilahirkan, ataupun kondisi perekonomian kita. Banyak orang berkata bahwa kita “diberkati untuk menjadi berkat,” tetapi di sisi lain banyak juga yang menkritisasi kekayaan.

Memperoleh Hidup Berkelimpahan

Lahir di keluarga Kristen, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah memberkatiku dengan kedua orang tua yang begitu menekuni imannya, dan juga mengajarkan anak-anaknya untuk demikian. Namun, lahir sebagai anak seorang pengusaha yang cukup ternama di tanah air, juga berarti ada berbagai macam ekspektasi yang orang miliki terhadap diriku. Motivasi untuk menjadi orang yang sukses, seperti yang dicontohkan oleh sang ayah, ditanamkan padaku sejak kecil.

Di gereja pun aku sering dengar ayat ini dikutip: “Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun,” (Ulangan 28:13). Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang, “supaya [kita] mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” (Yohanes 10:10).

Namun, bagaimana dengan orang Kristen yang tidak hidup dalam kelimpahan materil? Apakah Tuhan tidak mengasihi mereka? Bukankah hal tersebut, kepercayaan bahwa Tuhan akan selalu memberkati anak-anaknya dengan kekayaan, adalah Injil Kemakmuran—suatu distorsi Injil yang sesungguhnya?

Berbahagialah Yang Miskin

Karena di sisi lain, firman Tuhan juga berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena mereka yang empunya Kerajaan Sorga” (Matius 5:3). Yesus juga mengajarkan, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin…kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Matius 19:21).

Inilah yang membuatku berpikir dan bergumul. Aku pun menganggap bahwa kekayaan yang aku miliki adalah suatu hal yang keji yang perlu kusangkal. Ada masa di mana aku membenci segala pemberian Tuhan dalam hidupku, karena menurutku semua kepemilikan materil ini adalah fana.

Bukankah Alkitab sangat jelas, bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan: Tuhan dan uang (Lukas 16:13)? Untuk ikut Kristus, kita harus tanggalkan segalanya. Tapi, apakah artinya semua orang Kristen diharuskan menjadi miskin? Apakah untuk menjadi orang Kristen yang sesungguhnya kita harus menjual segala kepemilikan kita dan memberikannya kepada gereja, orang miskin, atau misi gereja? Apakah Alkitab mengajarkan teologi kemiskinan?

Kemiskinan Manusia dan Kekayaan Injil

Tidak. Keduanya bukanlah gambaran yang akurat tentang Kekristenan. Karena Kekristenan bukan tentang kemakmuran ataupun kemiskinan. Tuhan tidak pernah menjanjikan kita untuk menjadi makmur dan kaya di setiap saat. Dan Ia juga bukan Tuhan yang kejam, yang senang dan mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Tapi sesungguhnya, Injil mengajarkan kita bahwa Yesuslah Raja yang empunya segalanya, yang amat sangat kaya, namun menanggalkan segala kejayaan dan rela menjadi miskin, untuk melayani kita. Yesus mengosongkan diri-Nya agar Ia dapat melimpahkan kita dengan kasih dan kebenaran-Nya (Filipi 2).

Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk kaya ataupun miskin. Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Dengan pengertian ini, kita tidak akan mendemonisasi kekayaan, ataupun mendamba-dambakan kemiskinan (atau sebaliknya). Tapi, kita dapat, dalam masa berkelimpahan, mensyukuri segala pemberian Tuhan sebagai suatu kepercayaan, yang patut kita kembangkan. Kekayaan bukan bertujuan untuk kita dapat senang-senang dan memenuhi segala macam keinginan kita di dunia, melainkan, adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Karena “kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut,” (Lukas 12:48).

Dalam 2 Korintus 8:1-15, Paulus menulis kepada orang-orang yang hidup berkelimpahan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Paulus berkata bahwa ia tidak bertujuan untuk membebani mereka, melainkan, setelah mengingatkan mereka tentang kasih karunia Kristus yang telah mereka terima, ia mengajak jemaat Korintus untuk terlibat dalam “pelayanan kasih,” (ayat 6) dengan meringankan beban saudara-saudara yang hidup dalam kekurangan.

Demikian pula, orang-orang yang dalam masa kekurangan, dapat juga mensyukuri kesempatan yang Tuhan berikan untuk bergantung sepenuhnya pada-Nya. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang sedang dalam masa kekurangan dapat lepas dari tuntutan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Karena Paulus pun bersaksi tentang bagaimana jemaat di Makedonia, tetap bersukacita dan kaya dalam kemurahan, walaupun mereka sendiri sangat miskin (ayat 2).

Bagi Paulus, kemurahan hati tidak terhitung dari jumlah yang diberikan. Kaya atau miskin, mereka telah menikmati kasih karunia Kristus yang sangat mahal, dan, mengetahui ini, mereka telah memberikan diri mereka, pertama kepada Tuhan, kemudian kepada orang lain (ayat 5). Karena sesungguhnya, yang Tuhan minta dari setiap anak-Nya adalah hal yang sama: agar kita, dalam segala sesuatu, dapat menyangkal diri kita, memikul salib, dan mengikuti-Nya.

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Ya, memang ini benar. Karena Alkitab menyatakan bahwa tidak ada satu orangpun yang dapat masuk Kerajaan Sorga. Tidak ada yang layak. Namun, karena kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, kita sekarang adalah anak-anak-Nya. Di Rumah Bapa banyak tempat tinggal, dan Yesus sedang menyediakan tempat bagi kita di sana.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkan kita.

Mereka Tanggung Jawab Kita

Oleh Arbentia Pratama Sumbung, Jakarta

Dua hari yang lalu, setelah selesai bertugas di daerah Salemba, panas matahari yang menyengat membuatku memutuskan untuk sejenak berteduh di sebuah mini market. Tidak lama kemudian, seorang anak menghampiri aku dengan wajah memelas, lalu menyodorkan tangan untuk meminta sedikit uang.

Karena tidak ada uang kecil, aku pun mengajak anak itu untuk makan bersama. Aku mengajaknya mengobrol sembari ia melahap setiap suap nasi dengan semangat.

Anak itu bernama Putra, umurnya delapan tahun. Ia tidak bersekolah. Ibunya sudah meninggal karena sakit jantung dan ayahnya pun tidak tinggal bersamanya, sehingga ia tinggal bersama neneknya di emperan pasar di daerah Senen. Putra dan sang nenek mengemis untuk dapat bertahan hidup.

Pertemuan dengan Putra membuatku teringat pada banyaknya anak di Jakarta dengan nasib yang sama. Saat mereka seharusnya pergi ke sekolah untuk belajar, keadaan membuat mereka harus mencari uang sejak dini untuk sesuap nasi.

Terkadang aku merenungkan kesenjangan sosial yang terjadi di depan mata. Di mal-mal besar, banyak orang yang rela mengantre berjam-jam hanya untuk mencoba makanan dan minuman yang sedang trending, atau berburu promo yang tak ada habisnya. Padahal, di luar sana masih banyak orang miskin di jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal dan setiap hari berjuang untuk mencari makan.

Sempat aku terjebak dalam cara berpikir bahwa kesulitan yang mereka hadapi adalah kesalahan mereka sendiri. Mengapa mereka harus datang ke kota besar dan berujung mengemis dan memulung, ketika mungkin mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di kampung halamannya? Tetapi, aku sadar bahwa aku tidak seharusnya menghakimi. Bagianku adalah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membantu.

Aku pun membuka Alkitab dan melihat bahwa fenomena kemiskinan sudah ada sejak dahulu, salah satunya adalah ketika seorang pengemis meminta uang kepada Petrus di bait suci (Kisah Para Rasul 3:3). Dalam Injil Lukas 14:13, Yesus pun berkata, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu”.

Banyak pemahaman baru yang kuperoleh setelah membaca firman Tuhan. Jika kita bisa menangis di dalam gereja, maka kita pun harus juga bisa menangis untuk jiwa-jiwa di luar gereja yang membutuhkan pertolongan tangan kita. Jika kita bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memuji dan menyembah Tuhan di dalam gereja, maka kita pun harus bisa mengulurkan tangan di luar tembok gereja.

Aku percaya bahwa kekristenan sejati tidak terbatas pada apa yang kita lakukan di dalam gereja, tetapi terlebih lagi soal apa yang kita lakukan setelahnya. Sebagai orang percaya, kita semua terpanggil untuk menghadirkan kasih Tuhan dan menjadi Alkitab berjalan bagi mereka yang membutuhkan dengan mengasihi mereka yang terhina, terlupakan, sendirian, dan tersakiti.

Mengutip kata-kata John Keith Falconer, “Saya punya satu terang lilin kehidupan dan saya lebih memilih menerangi tempat-tempat yang penuh dengan kegelapan daripada tempat yang penuh dengan terang.”

Setiap kita adalah lilin yang membawa terang Ilahi. Pelayanan di gereja adalah sesuatu yang baik, tetapi api semangat itu harus kita bawa dan teruskan juga ke tempat-tempat yang membutuhkan terang pengharapan yang kita terima dari Yesus. Kita dapat memulai dari tempat dan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Dilansir dari sebuah situs pelayanan, ada:

140 juta anak yatim di dunia dan 150 juta anak jalanan.

Setiap 1 jam ada 72 anak-anak dan wanita diperdagangkan sebagai budak,

setiap 1 jam ada 237 orang meninggal karena HIV/AIDS,

setiap 1 jam ada 869 orang meninggal karena kelaparan kronis, dan

setiap 1 jam ada 1250 orang meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan.

Seperti Alkitab menulis, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40), melayani Tuhan adalah ketika kita melayani sesama kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang-orang yang menderita dan butuh pertolongan?

Tuhan menempatkan mereka di dalam kehidupan kita, karena mereka adalah tanggung jawab kita. Kiranya perenunganku dapat membangkitkan semangat kita untuk mulai berbuat sesuatu bagi sesama kita yang membutuhkan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Berhenti Memikirkan Hal-hal Negatif

Pernahkah kamu tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif? Apa yang biasanya kamu lakukan untuk menghentikannya?

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Baca: Yakobus 1:9-11

1:9 Baiklah saudara yang berada dalam keaadaan yang rendah bermegah karena kedudukannya yang tinggi,

1:10 dan orang kaya karena kedudukannya yang rendah sebab ia akan lenyap seperti bunga rumput.

1:11 Karena matahari terbit dengan panasnya yang terik dan melayukan rumput itu, sehingga gugurlah bunganya dan hilanglah semaraknya. Demikian jugalah halnya dengan orang kaya; di tengah-tengah segala usahanya ia akan lenyap.

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Tumbuh dengan latar belakang keluarga yang selalu hidup pas-pasan, aku sering berangan-angan menjadi orang kaya. Beberapa waktu lalu, aku merasa kesal karena melihat teman-temanku membeli mobil baru, makan malam di tempat-tempat yang keren, dan mereka memamerkannya di Instagram. Perasaan itu tidak mudah dihilangkan sekalipun aku tahu mereka adalah teman-teman Kristen yang sungguh-sungguh dalam iman.

Aku ingin menjadi orang yang mengandalkan Tuhan, tetapi pada saat yang sama aku juga ingin menjadi seorang yang kaya. Aku tahu bahwa menjadi kaya itu tidak salah, Alkitab mencatat sejumlah tokoh yang kaya raya seperti Ayub dan Yusuf. Namun, Alkitab juga berulang kali mengingatkan kita untuk tidak memburu harta dan kekuasaan (1 Timotius 6:7-10).

Jadi, bagaimana seharusnya aku memandang kekayaan yang bersifat materi? Akankah keinginanku untuk menjadi seorang yang kaya membuat kehidupan Kristenku menjadi dangkal? Apakah keinginan menjadi kaya itu keinginan yang salah?

Dalam pasar 1:9-11, Yakobus menggunakan beberapa paradoks untuk menolong para pembacanya memahami situasi para orang percaya yang sedang dilanda kesulitan. Kemungkinan besar, kesulitan yang dialami mereka itu adalah kesulitan ekonomi demi mempertahankankan iman mereka.

Yakobus memulai suratnya dengan menyapa umat percaya yang miskin dari kelompok Yahudi, yang disebutnya memiliki “kedudukan yang tinggi” (ayat 9). Meskipun orang-orang ini dipandang rendah oleh dunia, mereka memiliki banyak hal yang dapat dibanggakan. Mereka dikaruniai “segala berkat rohani di dalam Kristus” (Efesus 1:3), mereka adalah anak-anak Allah dan para ahli waris bersama-sama dengan Kristus (Roma 8:17). Dalam Kristus, orang-orang yang miskin sungguh menjadi kaya! Mereka bisa disebut sebagai orang-orang miskin yang kaya.

Yakobus lalu ganti menyapa umat percaya yang kaya secara materi, yang disebutnya memiliki kedudukan yang rendah (ayat 10). Meskipun mereka mungkin bisa menikmati hidup yang lebih baik dari orang lain, Yakobus mengingatkan bahaya yang mereka hadapi: mereka cenderung mengandalkan harta kekayaan mereka, lupa bahwa semua pencapaian mereka itu tidak akan bisa bertahan selamanya, sama seperti bunga rumput (ayat 10-11). Sebab itu, umat percaya perlu belajar untuk bermegah dalam keadaan yang rendah, selalu datang dengan kesadaran bahwa mereka miskin secara rohani dan membutuhkan Tuhan, sama seperti saat mereka pertama kali datang kepada Kristus. Mereka bisa disebut sebagai orang-orang kaya yang miskin.

Kedua paradoks tersebut diberikan Yakobus untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita punya di bumi ini suatu hari kelak akan lenyap, baik itu keadaan yang miskin maupun kaya (ayat 11). Sebab itu, rasa aman kita haruslah diletakkan pada harta yang bersifat kekal.

Daripada berupaya menekan keinginan kita untuk menjadi kaya, mari kita mencari kekayaan rohani yang sejati di dalam Kristus dan menempatkan rasa aman kita di dalam Tuhan yang senantiasa mencukupkan hidup kita dengan kehadiran-Nya. —Tracy Phua, Singapura

Memiliki Tuhan berarti memiliki segalanya!

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang menjadi ambisi dalam hidupmu? Hal-hal apa yang bernilai bagimu dan yang kamu impikan?

2. Apakah kamu ingin menjadi seorang yang kaya? Bagaimana keinginan itu bisa menghalangi hubungan pribadimu dengan Tuhan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Tracy Phua, Singapura | Tracy suka meluangkan waktunya bersama orang yang dia kasihi, apalagi jika sambil makan bersama. Dia suka menata dan merapikan ruangan, yang buatnya ini seperti sebuah terapi. Dia juga tertarik pada bahasa dan berharap bisa mempelajari satu atau dua bahasa lain lagi selama hidupnya. Menikmati ciptaan Tuhan dengan pergi ke laut atau gunung adalah liburan yang sempurna buatnya. Dia juga suka dengan kucing, sup panas di hari yang dingin, dan juga ayam goreng.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus