Harta Dunia vs Harta Surgawi, Ini Pengalamanku Meraih Keduanya
Oleh Cristal Tarigan
Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ketika orang tuaku menikah, tidak ada harta warisan sama sekali yang mereka peroleh dari kakek pihak bapak maupun mamakku. Hal ini membuat orang tuaku berjuang keras dalam mencari uang untuk bisa bertahan dalam perjalanan rumah tangga mereka.
Sebagai anak pertama dalam keluarga, aku melihat benar perjuangan yang dialami oleh kedua orang tuaku, sampai akhirnya kini kami bisa hidup cukup. Sampai aku kelas 1 SD, orang tuaku hanya menjadi petani yang sehari-harinya–dari pagi sampai sore–ada di ladang. Kemudian saat aku kelas 2 SD, ayahku mulai menjadi pengepul buah pisang yang ada di desa kami, untuk kemudian dijual kepada agen pisang yang datang dari kota. Hingga aku duduk di bangku SMA, ada banyak jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh bapakku. Buah apa saja yang sedang musim, akan dimanfaatkan bapakku untuk menjadi pengepulnya. Ada buah pisang, alpukat, jengkol, duku, manggis, bahkan bapak juga pernah menjadi pengumpul berbagai jenis barang bekas. Pengalaman hidup menjadi anak “Pengepul Buah” membuatku banyak belajar tentang dunia jual-beli. Bukan hanya itu, aku bahkan bermimpi kelak aku harus menjadi orang yang berhasil dalam keuangan. Menjadi orang kaya adalah salah satu hal yang ingin aku capai.
Aku tidak mau hanya menjadi seorang pemimpi. Aku benar-benar memulai sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Di desaku, ada banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan anak kecil untuk bisa menghasilkan uang. Aku memetik hasil tanaman di kebun dan mengupas pisang, juga pekerjaan-pekerjaan lainnya di kebun. Dari pekerjaan itu, aku akan diberi uang oleh pemilik kebun. Jadi, sejak SD aku sudah mulai menabung dari pekerjaan kecil yang bisa kulakukan. Saat SMA, aku mulai untuk berjualan di sekolahku, bahkan sampai kuliah kuterapkan misi ini. Berjualan online maupun offline aku lakukan demi nominal di tabungan yang harus terus bertambah. Tidak banyak memang yang kuhasilkan saat itu, tapi ada perasaan bangga sekali ketika aku bisa membeli sesuatu dengan hasilku sendiri. Begitulah aku, sampai akhirnya selesai kuliah pun aku tetap melakukan hal yang sama.
Aku wisuda bulan Desember 2019 dengan gelar Sarjana Pendidikan. Aku sempat bekerja sebagai freelancer di sebuah bimbingan belajar, di sini gajinya lumayan untuk hidup di kota Medan, apalagi jika kita masih mau mencari tambahan pekerjaan lain. Tapi suasana dunia kerjanya yang seperti “ajang bisnis” membuatku tidak nyaman. Selain itu, di tahun pertamaku setelah wisuda, aku masih mempunyai tanggung jawab di sebuah pelayanan kampus. Dengan kondisiku yang seperti itu—freelancer dan pelayanan di kampus—kadang waktunya pun bertabrakan dan membuatku merasa sangat bersalah ketika tidak maksimal mengerjakan keduanya.
Setelah aku pikirkan kondisiku saat itu, aku memutuskan untuk resign. Aku tidak tahu keputusan itu salah atau benar, mengingat aku baru 3 bulan bekerja. Tapi aku mengikuti hati, prioritasku saat itu adalah pelayanan. Pekerjaan dan keuangan biar Tuhan yang aturkan menurut cara-Nya. Aku benar-benar mengikuti kata hati saja saat itu. Sebenarnya ada banyak dilema yang kurasakan: harus bagaimana selanjutnya, kerja apa yang tidak membuatku harus menyerah terhadap komitmen di pelayanan, apa yang akan kukatakan kepada orangtua dan orang lain yang melihatku berhenti bekerja, dan masih banyak lagi yang ada di benakku. Tapi, Virus Corona yang membuat semua orang akan dirumahkan seakan menjawab semua pertanyaanku. Tepat setelah aku resign, 2 minggu kemudian diberlakukan WFH.
Tiga bulan lamanya aku di rumah sambil membantu orang tua, juga terus berdoa, berserah dan menunggu bagaimana cara Tuhan selanjutnya agar aku bisa mempertahankan komitmen pelayanan tersebut. Tepat 4 bulan kemudian, Tuhan jawab doaku, yaitu aku bisa bekerja tanpa harus mengesampingkan pelayananku. Banyak yang kusyukuri saat itu, termasuk waktuku bersama keluarga. Bahkan yang tidak aku sangka, Tuhan memberi berkat materi lebih besar dengan pekerjaan baruku.
Apa yang aku dapat dari pengalaman ini adalah: pertama, jalan dan waktu Tuhan itu sebuah misteri, jadi kita perlu doa, percaya, berserah dan setia. Hasilnya, rencana-Nya selalu lebih baik dan terbaik. Yang kedua, kita harus punya keberanian dalam memutuskan sesuatu. Aku tidak tahu, kondisi apa yang sedang kita alami dan membuat kita harus memilih serta memprioritaskan hal lain dibanding iman kita saat ini. Tapi, kadang kita terlalu takut untuk memulai atau berhenti terhadap sesuatu karena kita belum tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Padahal, bukankah kita punya Tuhan yang akan senantiasa menyertai? Terlepas itu berhenti atau memulai pekerjaan seperti ceritaku, aku rasa usia 20-30 an yang kerap dekat dengan kata “tantangan dan pencarian jati diri”, berani melangkah dalam iman, wajib hukumnya bagi semua kaula muda.
Kini tujuanku menjadi orang kaya dengan apa yang aku rencanakan sirna sudah. Pengalaman itu justru membawaku untuk mengumpulkan “kekayaan lain” yang tidak bisa diambil oleh pencuri atau dirusak oleh ngengat maupun karat. Lebih besar lagi, perjalanan 2 tahun setelah wisuda itu, dengan segala lika-likunya, membawaku menemukan visi hidupku. Aku ingin berkecimpung dalam bidang sosial, seperti membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Memang, menjadi kaya tidak salah selagi materi hanya sebagai alat dan bukan tujuan, tapi yang terutama adalah sebelum kita memiliki segala kepunyaan di dunia, pastikan kita memiliki dahulu kepastian di sorga, yaitu jika kita mempercayai Yesus saja dengan segenap hati.
Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi ngengat dan karat dapat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusaknya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya (Matius 6:19-20).