Posts

Perjumpaan yang Memalukan dengan Tuhan

Oleh Minerva Siboro

Perasaan malu, bersalah, bodoh dan sia-sia, begitulah cara Tuhan menegurku.

Aku ingat sekali pada hari itu, aku mengatakan kalimat dusta. Aku berbohong dengan sangat lancarnya. Aku mengatakan hal-hal yang tidak pernah terjadi dan semuanya seperti membaca tulisan mengarang pelajaran Bahasa Indonesia. Kuakui saat itu memang hubungan pribadiku dengan Tuhan sangat buruk. Berulang-ulang kali Tuhan mengingatkanku untuk berdoa, membaca firman-Nya setiap hari sebelum memulai aktivitas, tetapi aku mengabaikan-Nya. Muncul suara yang keras ke telingaku, yang seolah-olah berasal dari hatiku mengucapkan “Hari-hari yang tidak diawali dengan doa adalah hari yang jahat”. Tetapi begitu pun, aku tetap mengabaikan-Nya.

Hal memalukan kemudian terjadi. Aku berbohong agar orang-orang dapat melihat aku yang baik, aku yang kudus, aku yang selalu berdoa, aku yang selalu mengandalkan Tuhan, aku yang selalu melakukan hal-hal baik untuk Tuhan.

Demi terlihat seorang yang saleh karena sering pelayanan, saat seorang pendeta bertanya kepadaku, “Bagaimana hubungan pribadi-Mu dengan Tuhan?” kukatakan baik-baik saja, padahal kenyataannya sedang tidak baik-baik saja. Saat ditanya lagi, “Apakah kamu masih sering membaca Alkitab dan saat teduh?” Aku menjawab “Ya, masih.”

Beliau bertanya lagi, “Lalu pembacaan Alkitab apa yang hari ini kamu baca?”

Saat itu aku mulai panik, karena sudah seminggu aku tidak saat teduh dan tidak membaca Alkitab. Lalu kujawab saja bahwa hari itu aku belum membaca Alkitab.

“Bagaimana dengan kemarin? Ayat Alkitab apa yang kamu baca kemarin?”

Dengan pertanyaan ini, aku semakin panik dan akhirnya keluarlah penjelasan-penjelasan palsu. Padahal aku tidak membaca Alkitab sama sekali.

Saat aku berbohong, ada perasaan aneh yang muncul. Darahku seperti mengalir lebih cepat, sehingga aku dapat merasakan panas sekujur tubuhku. Tak hanya itu, isi kepalaku, hatiku, badanku seolah-olah sedang meneriakkan kata-kata “Kau tak seharusnya mengatakan itu. Sadarlah! Itu sudah terlalu jauh! Heyy, mau mengarang kata-kata indah palsu apa lagi? Berhenti! Berhenti! Itu tidak baik. Malulah! Kau bersalah! Dasar bodoh! Hentikan omong kosongmu. Itu tidak benar. Hm.. lagi-lagi kau melakukannya!”

Usai dari pertemuan itu, aku menangis dan aku menyesal di dalam kamarku. Semoga Tuhan tidak melihatku seperti seorang anak kecil yang sedang memanipulasi dengan suara tangisannya. Aku malu. Secara refleks, aku menutup wajahku dengan tanganku. Mungkin seperti inilah perasaan Adam dan Hawa Ketika pertama sekali melanggar perintah Allah. Perasaan malu, perasaan bersalah tetapi dengan saling menyalahkan. Aku pun begitu, aku menyalahkan diriku. “Makanya dengarkan kalau Tuhan berbicara! Jangan sampai kamu tuli dan suara Roh Kudus sudah tidak bisa lagi kau dengar. Berdoa, Minerva! Kau pikir kau bisa melawan hari jahat dengan kekuatanmu sendiri? Kau tak bisa apa-apa tanpa Tuhan!”

Aku menangis sendirian dan merenung. Setelah melewati perasaan bersalah, kemudian ada rasa bersyukur yang muncul dari dalam hatiku. “Bukankah rasa malu, bersalah, panas sekujur tubuh karena darah yang mengalir dengan sangat cepat adalah bukti Tuhan-lah yang memenuhimu? Seperti seluruh darah, seluruh sel-sel, seluruh badanmu sudah dipenuhi Anugerah Kristus, sehingga engkau mampu membedakan mana yang baik dan benar, mana yang jahat dan tidak benar? Coba seandainya saja, kalau bukan Tuhan yang memenuhimu, mungkin saja darahmu tidak mengalir sederas itu, atau bahkan tubuhmu tidak perlu protes sebanyak itu. Kau perlu pusing dengan suara-suara yang menegurmu dengan keras. Bertobatlah, tetapi jangan lupa untuk bersyukurlah!”

Aku bersyukur bahwa Tuhan ‘menangkapku’. Perisai bagiku adalah Allah, seperti yang Pemazmur katakan: Tuhan memagari umat-Nya dengan anugerah-Nya (Kasih Karunia) seperti perisai (Mazmur 5:13). Perisai Tuhan, yaitu kasih karunia-Nya mengingatkanku akan perbuatan tidak terpuji yang aku lakukan.

Pernahkah kamu seperti aku? Menyadari perbuatan-perbuatan yang tidak benar menandakan bahwa perisai Tuhan sedang bekerja. Setiap hari adalah hari yang jahat tanpa Tuhan—sebab musuh kita, si Iblis tidak pernah berhenti bekerja untuk menarik kita sampai jauh meninggalkan Allah. Tapi kita tidak boleh lupa, Tuhan telah menyediakan perisai itu. Perisai yang melindungi kita selama peperangan ini masih akan terus terjadi sampai pada kesudahannya: kasih karunia.

Kasih karunia seperti tameng yang dipakai dalam peperangan. Memungkinkan kita menahan serangan-serangan, godaan-godaan musuh yang mencoba untuk menjauhkan kita dari Terang. Prajurit-prajurit terpilihlah yang mengenakan perisai. Kitalah prajurit itu, umat Tuhan yang terpilih mengenakan kasih karunia yang dianugerahkan oleh-Nya.

Kasih karunia tidak akan berarti jika kita tidak ikut ambil bagian dalam merespons Anugerah itu. Kita perlu untuk selalu diingatkan setiap hari, dalam perenungan firman Tuhan melalui pembacaan Alkitab, melalui doa yang adalah nafas hidup kita, dan melalui persekutuan komunitas yang sehat, tentunya yang dapat saling mengingatkan satu sama lain untuk terus mengejar suatu kehidupan yang Kudus dihadapan Allah. Sebab Ia adalah yang Mahakudus, sehingga ketika sudah dalam keadaan kuduslah, akhirnya kita dapat bertemu dengan-Nya. Kekudusan itu dapat kita peroleh karena Allah jugalah yang telah melayakkan kita.

Aku bersyukur bahwa Tuhan telah mengingatkanku dengan keras bahwa perbuatan yang kulakukan adalah hal yang tidak benar, karena tidak seturut dengan apa yang dikehendaki-Nya. Pengejaran hidup kudus tidaklah mudah, tetapi kita harus terus berjuang dan melakukannya dengan segenap hati dan sekuat tenaga yang kita miliki untuk Tuhan.

Hal-hal yang tidak kudus apakah yang sering kita lakukan? Berbohong? Malas? Mencuri? Candu terhadap hal-hal duniawi, seperti ketenaran, uang yang banyak atau hal-hal kotor lainnya yang tidak benar dihadapan Tuhan?

Marilah meninggalkan dan menanggalkan seluruh hal itu. Jangan sampai perisai yang kita miliki menjadi tidak berguna. Jangan sampai kita terpisah jauh satu sentimeter pun dari Tuhan, sebab kesukaan musuh kita adalah ketika kita menjauh dari Tuhan.

Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Ini Pesan Tuhan untuk Kita Semua di Tahun 2021

Oleh Minerva Siboro

Natal dan Tahun Baru yang belum lama kita rayakan terasa berbeda. Semua orang kini memakai masker dan selalu mencuci tangan. Maklumlah, adanya virus yang baru saja ditemukan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi banyak orang. Mungkin saja, salah satu di antara kita yang membaca artikel ini mengalami “kehilangan” akibat pandemi ini. Banyak kicau tweet dari twitter yang mengatakan bahwa tahun 2020 hanyalah bulan Januari dan Februari saja, sedangkan sisanya hanyalah rebahan, karena akhirnya tidak terasa sudah dipenghujung tahun lagi. Banyak orang yang berharap bahwa hidup akan semakin baik di tahun 2020 yang cantik, tetapi malangnya tahun 2020 tidaklah menjadi tahun cantik seperti yang diharapkan oleh banyak orang.

Aku terlahir dari keluarga Batak, dan kami punya tradisi setiap akhir tahun, yaitu Mandok Hata, artinya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan kepada seluruh anggota keluarga. Biasanya dimulai dari adik bungsu lalu sulung, kemudian diakhiri oleh orang tua. Pesan yang disampaikan beragam, seperti ucapan salam selamat Natal dan tahun baru, permintaan maaf selama satu tahun berjalan mungkin ada perilaku yang tidak baik, meminta doa restu untuk resolusi di tahun yang baru, dan harapan-harapan yang baik untuk saudara/i serta orang tua.

Pada saat giliran orang tuaku yang Mandok hata, suasana menjadi sedih. Hatiku memang hancur, bahkan air mata pun jatuh karena aku tak kuasa lagi membendungnya. Papa bercerita bagaimana sulitnya menjalani tahun 2020. Profesi Papaku adalah seorang pedagang, sedangkan mamaku tidak bekerja. Pandemi membuat aktivitas jual-beli menurun, sehingga penghasilan pun ikut menurun. Aku sedih karena aku tak bisa banyak membantu. Namun, hal yang membuat air mataku jatuh adalah ketika Papaku berkata, “Tapi sejauh ini Tuhan selalu mencukupkan (menyediakan)”. Mamaku juga berkata, “Tiap malam kami selalu berdoa dan menangis di hadapan Tuhan, supaya kalian sehat, supaya Tuhan selalu jaga (menyertai) kalian yang jauh dari kami.”

Dari dua kalimat yang diucapkan oleh kedua orang tuaku, kini aku mengerti pesan apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui tahun 2020. Jangan lupakan! Bahwa Allah adalah Sang Penyedia dan Sang Penyerta. Meski terasa suram, tahun 2020 adalah tahun di mana kita belajar melihat bahwa Allah sungguh-sungguh menyediakan dan sungguh-sungguh menyertai. Ia tetap berotoritas dan berdaulat meski di tengah-tengah pandemi yang menakutkan. Tuhan juga ingin mengingatkan ciptaan-Nya, bahwa banyak hal di bawah langit adalah sia-sia, tetapi penyertaan Tuhan itulah yang paling penting karena dengan bersama Allah, segala sesuatu yang kita butuhkan dicukupkan-Nya.

Aku teringat pada sebuah lagu yang berjudul “God Will Provide”, liriknya yang sangat menyentuh membuatku semakin kuat untuk terus berharap di dalam Tuhan sepanjang perjalanan 2021 ini.

The time has come to journey on and go where God leads me
And though the road may seem to long
I know God’s love will keep me
I may not know how the road will turn or where God will send me
So by Faith I’ll trust and with grace I’ll learn
God’s mighty hand will defend me
I may not see all the things that are waiting just ahead
But I know God’s watching over me
And in God’s strength I’ll stand
God will provide strength for journey
Bread for the morning and shelter for the night
God will provide hope for the weary
God will sustain me all the days of my life

Aku tahu bahwa kasih Tuhan menyertaiku. Aku tahu bahwa Tuhan menjagaku. Melalui kekuatan yang dari Tuhan, aku dapat berdiri tegak. Tuhan akan menyediakan! Allah sang Penyedia dan Allah sang Penyerta. Pada tahun 2021 yang datang ini pun, Allah tetap sang Penyedia, dan Allah tetap sang Penyerta. Aku mau berjalan terus bersama dengan-Nya.

Saat menulis ini, aku teringat pada kisah kepercayaan Abraham yang diuji oleh Allah. Aku sungguh-sungguh tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Abraham saat “harta” yang berharga baginya, yaitu anaknya, Ishak, yang sudah lama ia tunggu-tunggu, tetapi Tuhan memintanya untuk mempersembahkannya sebagai korban bakaran. “Sebenarnya mau Tuhan apa?” – mungkin itulah yang keluar dari dalam hatiku jika aku menjadi Abraham. Aku mengerti sekali bahwa pada sepanjang perjalanan tahun 2021 ini pun mungkin akan banyak situasi yang membuatku akan terus bertanya “Sebenarnya mau Tuhan apa?”

Benar sekali bahwa Ishak adalah harta yang berharga bagi Abraham, tetapi jauh melebihi itu semua, Abraham menunjukkan bahwa harta yang lebih berharga adalah ketaatan pada Firman Tuhan. Melalui ketaatanlah, kita dapat melihat bahwa Allah itu sang Penyedia, bahwa Allah itu sang Penyerta. Saat Ishak bertanya, “Di mana anak domba korban bakarannya?”, maka dengan Iman, Abraham menjawab bahwa Allah yang akan menyediakannya. Iman yang besar menunjukkan ketaatan kita kepada Tuhan (Kejadian 22:1-19). Ketaatan membawa kita pada kepercayaan bahwa Allah sang Penyedia dan Allah menyertai.

Jika pada tahun 2020, Tuhan mengingatkanku bahwa segala sesuatu tecukupkan (Allah menyediakan) dan Ia selalu menjagaku (Allah menyertai), maka pada tahun 2021, Tuhan mengingatkanku untuk semakin taat pada apa yang Ia telah “hidangkan” di mejaku. Begitu juga dengan semua orang yang membaca artikel ini. Mari belajar taat pada apa yang Tuhan telah “hidangkan” di meja pribadi milik kita. Ketaatan menunjukkan kualitas iman kita, apakah kita mau terus percaya dan berserah pada kehendak-Nya. Tuhan menyediakan, Tuhan menyertai! Terpujilah Tuhan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

2 Cara untuk Berhenti Membanding-bandingkan Diri Sendiri

Membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain seringkali berujung pada rasa kecewa dan tidak puas. Jika kita terjebak dalam jerat membanding-bandingkan diri, inilah dua cara untuk keluar.

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?

Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.

Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”

Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.

Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.

Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.

Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.

Menikmati media sosial dengan perspektif baru

Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.

Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).

We are so precious, kita sungguh berharga.

Baca Juga:

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.

Di Mana Kita Bisa Mengetahui Pimpinan Tuhan?

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Setiap hari kita selalu diperhadapkan dengan pilihan-pilihan. Entah itu kita harus bertahan atau pergi, kita dipaksa untuk memilih suatu keadaan yang sulit, yang mau tidak mau harus dipilih. Terkadang kita dengan yakin merasa bahwa pilihan kita merupakan hasil pimpinan Tuhan. Jadi, tidak salah apabila banyak orang yang yang menyalahkan Tuhan dalam hidupnya, karena merasa bahwa Tuhan telah memimpinnya ke jalan yang tidak benar. Atau mungkin kita marah, karena Tuhan seakan dengan sengaja membiarkan kita hidup tersesat. Bukankah Tuhan mengetahui segalanya, lalu mengapa Ia membiarkan kita untuk hidup di jalan yang yang seolah bukan pimpinan-Nya? Semua orang pasti pernah mengalami hal yang serupa—begitu juga dengan aku—tetapi tidak semua orang memiliki respons yang benar.

Sering sekali kita merasa bahwa Tuhan telah memimpin kita karena kita melihat kesan-kesan baik yang bisa kita terima. Tuhan bisa saja memakai petunjuk menggunakan kesan-kesan yang ada di dalam pikiran dan hati kita—toh, Dia adalah Allah yang berkuasa, yang dapat melakukan apa pun.

Tapi, pernahkah kita menyelidiki sungguhkah kesan yang baik itu pasti menunjukkan ke situlah jalan yang harus kita ambil? Bukankah iblis juga mampu untuk melakukan keajaiban-keajaiban demi membuat pandangan kita buram saat melihat Allah?

Iblis pernah mencoba untuk menggoda Tuhan Yesus dengan hal-hal yang ajaib yang bisa dilihat oleh mata (Matius 4:1-11, pencobaan di padang gurun). Sebenarnya cara kerja Iblis tidak pernah berubah, yaitu selalu memperlihatkan hal-hal yang ajaib dan indah, namun palsu untuk mengelabui kita dan membuat kita meninggalkan Tuhan.

Aku teringat akan sebuah lagu anak sekolah minggu “Firman Tuhan ada di hatiku ada di langkahku ada di hidupku selalu bertumbuh sirami jiwaku berbuah berbuah berbuah berbuah lebat”. Ternyata jawaban tentang bagaimana sebenarnya pimpinan Tuhan itu sudah lama kita ketahui, yaitu semenjak lagu ini dikumandangkan pada saat kita belajar firman Tuhan di sekolah Minggu. Untuk mengetahui pimpinan Tuhan dalam hidup kita hanya ada satu cara yaitu melalui Firman Tuhan yang terus bertumbuh di dalam diri kita. Jikalau Firman Tuhan itu ada di hati, di langkah, dan di hidup kita, maka apa pun yang menjadi keputusan atas pilihan yang kita pilih merupakan hasil dari kesan-kesan kuat yang ditimbulkan dari dalam hati kita melalui kerja Roh Kudus—bukan kesan-kesan palsu yang yang dikerjakan oleh tipu muslihat Iblis.

Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”.

Firman Tuhan merupakan landasan dan jawaban yang tepat untuk setiap pilihan yang kita pilih jikalau kita mau hidup di bawah pimpinan Tuhan. Itulah betapa pentingnya membaca Firman Tuhan setiap hari, bukan hanya di saat kita ingin mengetahui pimpinan Tuhan yang baik dan yang benar itu. Sama seperti tanaman yang disiram setiap hari akan tumbuh subur dan kita dapat melihat bunga yang cantik, begitu juga dengan orang-orang yang setiap hari mendengarkan Firman Tuhan. Mereka akan terus bertumbuh menghasilkan bunga yang cantik yaitu kehidupan yang indah di bawah pimpinan Tuhan. Hidup dibawah pimpinan Tuhan berarti memilih kesan-kesan yang kuat yang berasal dari pada Roh Kudus.

Richard L. Strauss dalam bukunya “Bagaimana memahami kehendak Tuhan” mengatakan Tuhan meletakkan hal-hal tertentu dalam pikiran kita ketika kita membaca Alkitab dengan hati terbuka dan kemauan kita diserahkan pada-Nya. Apa pun yang menjadi pengorbanan pribadi kita, dan kalau kita membuka Firman-Nya untuk mencari apa yang Dia ingin katakan kepada kita daripada hanya sekadar mencari apa yang ingin kita dapati, kita dapat percaya bahwa Dia akan berbicara kepada kita melalui Firman-Nya. Dia sudah berjanji bahwa Firman-Nya akan menjadi terang bagi jalan kita.

Kebingungan akan timbul apabila terlalu banyak pilihan yang terbuka bagi kita. Apalagi saat ini kita menghadapi zaman relativisme, yaitu setiap orang dapat melakukan apa pun yang baik menurut pengertian mereka. Meskipun pola ini adalah pola dosa yang berulang dari zaman perbudakan sampai pelepasan bangsa Israel dari Mesir—hingga saat ini—belum tentu semuanya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu, setiap keadaan harus dipertimbangkan di bawah penerangan Firman Tuhan, dalam sikap berdoa, disertai kepekaan terhadap kesaksian Roh Kudus di dalam batin kita, dan berdasarkan penyerahan total untuk mematuhi rencana-Nya daripada rencana kita sendiri (kutipan buku Bagaimana memahami kehendak Tuhan oleh Richard L. Strauss).

Aku menyelesaikan studiku di Pendidikan Biologi. Tetapi aku ditempatkan mengajar SD. Awalnya aku menangis karena aku tidak mengerti mengajar SD itu harus apa dan bagaimana. Di sisi lain juga karena kesombongan hatiku yang tidak mau mengajar SD dan merasa tidak percaya diri. Seolah-olah Tuhan tidak “mempercayakanku” untuk mengajar Biologi di senior (SMP-SMA) karena aku tidak layak. Tetapi saat itu tidak ada pilihan lain. Namun, aku meyakini itulah kehendak Tuhan. Tetapi, pilihan untuk menjalani kehendak Tuhan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Pilihan untuk bertahan dan bertekun dalam kesetiaan serta sukacita menjalani panggilan pelayanan mengajar SD atau memilih pergi saja. Tetap mengajar demi menuntaskan masa penempatan karena beasiswa yang kuterima sewaktu kuliah, tetapi dengan setengah hati. Toh, semua ini akan berlalu dengan cepat. Keputusan yg aku ambil yaitu memilih untuk taat serta bersuka pada kehendak Tuhan. Saat ini aku mengajar kelas 1 SD dan aku menikmati setiap proses belajar yang Tuhan berikan padaku.

Beberapa minggu lalu, aku dipanggil oleh kepala sekolahku. Ternyata, mereka memberikanku kesempatan mengajar Biologi di SMA. Aku merasa bingung dan benar-benar tidak tau harus memilih apa. Aku teringat pada keinginanku dulu, tetapi aku juga sudah mencintai pengajaran dan anak-anak SD. Dengan pertimbangan yang terus aku gumulkan dan doakan, akhirnya aku menetapkan pilihanku. Bukan suatu keputusan yang mudah. Aku yakin dan percaya Tuhan sedang “mendidik” aku untuk mau terus merendahkan hatiku dan taat pada Kehendak-Nya.

Kini, aku mau terus berjalan di dalam kehendakNya, sampai selama-lamanya.

Mari menikmati setiap proses kehidupan kita dengan selalu mengejar hidup kudus di bawah pimpinan Tuhan. Kiranya apa pun yang kita pilih, biarlah hal itu merupakan pilihan yang tepat dan sudah dipertimbangkan di bawah penerangan firman Tuhan yang kita baca setiap hari.

Selamat bertumbuh dan menghasilkan buah. Tuhan Yesus menyertai kita sekalian.

Baca Juga:

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Bagaimana mengatasinya?