Posts

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought I Needed To Be Beautiful

Aku dan rekan kerjaku sedang makan siang di dapur ketika kami melihat seorang rekan lainnya berjalan ke arah pintu sambil membawa tasnya.

“Mau pergi ke mana dia?” salah seorang rekanku bertanya.

Yang lain lalu menjawab, “Oh, dia cuti setengah hari buat nonton konser musik pop Korea. Dia punya tiket premium.”

“Wow,” aku menanggapi. “Dia sungguh-sungguh fans K-Pop!”

Peristiwa itu membuatku teringat kembali kenangan bertahun-tahun lalu, ketika aku masih seorang remaja. Waktu itu, aku sangat menikmati drama dan musik pop Korea. Aku bahkan mengidolakan beberapa selebriti. Mereka tampak memiliki segalanya yang aku inginkan—penampilan yang menarik dan popularitas.

Aku menghias binder sekolahku dengan foto-foto mereka. Aku menggunakan uang jajanku untuk membeli majalah atau koran yang memuat cerita dan foto tentang mereka. Aku dengan tekun menenggelamkan diriku dalam setiap detail kehidupan mereka. Kalau saja ada ujian tentang seberapa dalam aku mengenal dengan detail idola-idola itu, pasti aku akan lulus dengan nilai terbaik.

Namun, di samping mengagumi mereka, aku pun mulai membandingkan diriku dengan mereka. Semua selebriti yang aku sukai itu cantik dan langsing. Ketika aku melihat diriku di cermin, aku melihat diriku hanyalah seorang perempuan biasa. Aku merasa ada yang salah dengan penampilan wajahku. Tinggiku pun hanya 150 cm. Dan, aku tidak kurus.

Dengan segera aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku. Kupikir para selebriti itu terkenal dan disukai banyak orang karena penampilan mereka yang menarik.

Ketika aku membaca tulisan-tulisan tentang selebriti yang menjalankan program diet demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, aku merasa perlu meniru mereka juga. Aku harus diet, membatasi asupan kaloriku. Banyak selebriti juga menjadi bintang iklan produk-produk diet dan pelangsing badan sekalipun tubuh mereka sebenarnya tidak gemuk. Selain itu, setiap kali ada selebriti yang berat badannya turun, media dan para penggemarnya segera menyuarakan rasa keprihatinan atas kesehatan para selebriti itu. Sepertinya para selebriti itu mendapatkan perhatian dan popularitas yang lebih besar ketika mereka melakukan diet—dan kupikir itu juga akan berlaku buatku kalau aku mengikuti jejak mereka.

Aku pun berubah jadi seorang yang percaya kalau tubuh langsing itu cantik. Kalau aku tidak bisa mengubah wajah atau tinggi badanku, aku bisa mengubah berat badanku. Jadi, meskipun berat badanku sudah menurun, aku tetap melakukan diet. Tapi, betapapun kerasnya aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi seorang selebriti.

Selain itu, diet dengan mengurangi asupan kalori sering membuatku jadi merasa murung dan lesu. Ketika aku sudah bekerja, ketertarikanku pada dunia selebriti mulai menurun karena aku semakin sibuk. Tapi, aku masih terus melakukan dietku dan memperhatikan berat badanku.

Cara pandangku akhirnya berubah ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi empat tahun lalu. Sebagai buah dari berbagai pencobaan yang kualami dalam keluargaku, aku mulai membaca firman Tuhan dengan tekun dan mendapatkan penghiburan di masa-masa sulit itu. Dan, karena aku begitu larut dalam firman Tuhan, obsesiku pada selebriti pun menjadi bagian dari masa laluku. Selama masa-masa inilah kebutuhan emosionalku dipenuhi oleh Tuhan dan akhirnya aku menemukan siapa diriku yang sejati di dalam Tuhan.

Yesaya 43:7 mengingatkanku bahwa aku diciptakan untuk kemuliaan Tuhan. Tujuan dari kehadiranku di dunia ini adalah untuk kemuliaan-Nya! Aku mungkin tidak rupawan seperti selebriti, atau paling pintar, atau paling baik dalam semua yang kulakukan. Tapi, itu tidak penting, sebab tujuan hidupku ditemukan dalam Kristus.

Aku juga belajar dari 1 Korintus 6:19-20 bahwa tubuh ini adalah bait Roh Kudus. Aku bukanlah milikku sendiri, dan tubuhku adalah kepunyaan Tuhan. Aku harus merawat tubuhku baik-baik sebab itu adalah kediaman Tuhan. Ini berarti tujuanku menjaga pola makan adalah untuk membuat tubuhku tetap sehat.

Lambat laun, aku belajar menerima penampilan diriku, karena aku tahu bahwa Tuhan menciptakanku dengan sangat baik. Tuhan tidak membandingkanku dengan selebriti. Kenyataannya, Dia begitu mengasihiku hingga tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkanku dari kasih-Nya (Roma 8:35)!

Ketika baru-baru ini aku membaca tulisan tentang meningkatnya jumlah kasus bunuh diri di antara para bintang K-Pop, aku dapat membayangkan bagaimana kegelapan yang mereka hadapi—perbandingan tanpa akhir, tekanan industri, kritik-kritik di media sosial. Mungkin mereka pun sebenarnya tidak ingin untuk mengakhiri kehidupan mereka.

Tapi aku juga teringat sebuah lagu Sekolah Mingguku dulu yang liriknya berkata, “Bersama Kristus kita bisa tersenyum dalam badai, tersenyum dalam badai.” Lagu ini mengingatkanku bahwa di dalam masa-masa kelam kita, kita dapat berseru kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita untuk menghadapi pergumulan seorang diri. Tuhan akan mengubah kegelapan kita menjadi terang (Yesaya 42:16). Seandainya saja para bintang K-Pop itu mengetahui betapa Tuhan mencintai dan menyayangi mereka, mungkin mengakhiri hidup tidak akan jadi pilihan mereka.

Membanding-bandingkan diri adalah hal yang mengerikan. Itu membuatku sengsara selama masa remajaku dan menghalangiku untuk memenuhi tujuan Allah dalam hidupku. Sekarang aku menyadari bahwa para selebriti yang dulu sangat aku kagumi suatu saat nanti pasti akan menjadi tua. Penampilan fisik mereka yang mengagumkan akan memudar. Tapi tujuan Tuhan untuk kita memiliki nilai yang kekal. Perhatian dan kasih sayang yang aku cari tidak berasal dari penampilanku, tetapi hanya ditemukan di dalam Kristus.

Alih-alih terobsesi pada selebriti dan kecantikan fisik, sekarang aku berusaha menggunakan waktuku dengan bijaksana. Aku membaca firman Tuhan dengan sepenuh hati supaya aku dapat terus belajar lebih mengenal Dia. Pengejaranku juga telah berubah, dari lagu-lagu populer kepada lagu-lagu yang berisi puji-pujian kepada Tuhan. Tuhan adalah penghiburan dan sukacitaku yang luar biasa di hari-hari tergelapku, dan sukacita dari Tuhanlah yang akan terus menjadi kekuatan dan perisaku selamanya (Mazmur 28:7). Hatiku menemukan penghiburan di dalam Dia.

Baca Juga:

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Karena penyakit tumor yang menyerangku di usia 20 tahun, hubunganku dengan pacarku pun terguncang hingga akhirnya kami putus. Aku patah hati dan begitu kecewa. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Dia menolongku dan memulihkanku.

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku kepadamu lewat tulisan ini.

Aku adalah seorang yang mengalami albinisme. Sewaktu aku kecil, aku merasa diriku tidak ada bedanya dengan teman-temanku lainnya. Ketika aku beranjak dewasa, barulah aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari fisikku dengan teman-temanku lainnya. Awalnya aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, hingga saat aku duduk di bangku SMP, aku mulai mencari tahu. Aku pun mendapati bahwa diriku mengalami albinisme.

Albinisme adalah suatu kelainan pada produksi melanin yang mengakibatkan penderitanya kekurangan melanin, atau sama sekali tidak memiliki pigmen tersebut. Akibatnya, rambutku, kulitku, dan mataku terlihat sangat pucat atau putih. Penderita albinisme biasa disebut sebagai orang albino. Aku kurang tahu pasti apa yang mengakibatkanku mengalami ini, namun setahuku kelainan ini bisa juga disebabkan karena faktor keturunan. Nenek buyutku juga adalah seorang albino.

Keadaan fisikku ini lumayan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hariku. Aku tidak bisa terlalu banyak terkena sinar matahari karena kulitku begitu sensitif. Lalu, ada juga dampak sosial yang kualami. Orang-orang sering memandangiku, mungkin karena mereka baru pertama kali melihat seorang albino. Saat aku sedang jalan di tempat yang ramai misalnya, banyak orang akan melihat kepadaku dengan penasaran. Aku seolah menjadi pusat perhatian dan bahkan ada di antara mereka yang bertanya-tanya hal aneh seperti apa yang ibuku makan waktu ia hamil sehingga aku bisa menjadi albino. Bahkan, ada beberapa juga yang mengajakku berfoto.

Lalu, di sekolah pun ada beberapa temanku yang merasa risih dengan perbedaan fisikku. Mereka mengolok-olokku: “Pucat seluruh badan”, turis masuk kampung!”, “mayat hidup berjalan!”. Meski begitu, aku mengucap syukur karena tidak semua temanku bersikap demikian. Ada juga yang tetap memandang dan memperlakukanku dengan baik.

Saat ada orang yang menghinaku seperti itu, awalnya aku selalu menangis dan merasa tidak terima dengan keadaanku yang seperti itu. Meski aku tahu perbedaanku hanyalah pada pigmen di kulit, tapi astaga, mengapa respons yang diberikan sampai seperti itu.

Aku pun mencoba menceritakan pergumulan ini kepada orangtuaku. Aku bersyukur karena mereka selalu mengajarkanku bahwa aku sesungguhnya tidak berbeda dari teman-temanku yang lain; aku tetap bisa beraktivitas, bermain, dan belajar sama seperti anak-anak lainnya. Lalu, orang tuaku juga meyakinkanku bahwa aku tidak perlu marah ketika teman-temanku mengolokku. Katanya, olokan mereka adalah suatu bentuk perhatian mereka kepadaku, hanya mungkin caranya yang salah. Aku pun diajar mereka untuk selalu berdoa meminta kekuatan pada Tuhan. Berkat dukungan inilah aku memiliki tekad untuk tidak kecewa, sedih, dan marah terus-terusan. Kehidupan ini terus berlanjut, entah itu kalau aku menerima keadaan fisikku ataupun tidak. Jadi, kupikir hanya buang-buang waktu saja kalau aku larut dalam rasa kecewa.

Orang tuaku pun mendukungku dengan memberiku nasihat-nasihat berdasarkan firman Tuhan. Di mata Tuhan, kita semua adalah sama. Untuk setiap kekurangan yang ada dalam hidup kita, Tuhan pun sesungguhnya memberikan kelebihan. Namun, segala dukungan itu masih belum membuatku benar-benar mengerti mengapa Tuhan membuatku keadaanku seperti ini. Hingga suatu ketika, dalam sebuah ibadah keluarga, renungan yang disampaikan itu menegurku. Tuhan memiliki rencana atas kehidupan kita masing-masing, dan aku ingat betul inti dari renungan itu terdapat dalam Yeremia 29:11.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Seusai ibadah itu, aku pun merenungkan ayat yang baru saja kudengar itu. Di rumah, aku berdoa memohon bimbingan Tuhan supaya aku dapat mengerti apa yang jadi kehendak Tuhan lewat renungan tersebut. Dan pada akhirnya, aku pun mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana yang terbaik untuk kehidupanku melalui perbedaan fisik yang aku miliki. Tuhan tidak menciptakanku dengan kesalahan. Pun Dia tidak meninggalkanku sendirian. Tuhan menunjukkan kasih-Nya juga melalui orang tuaku dan sahabatku yang selalu mendampingiku.

Sekarang, aku tidak lagi memandang albinismeku sebagai kekurangan, melainkan sebagai sebuah keunikan dari Tuhan yang tidak semua orang miliki, dan aku bersyukur untuk hal itu. Meski terkadang ada masa di mana rasa minder itu muncul, tetapi ketika itu terjadi, aku berdoa dalam hati meminta kekuatan dari Tuhan, supaya aku tidak larut dalam perasaan tersebut.

Kepada teman-temanku yang mau berteman denganku, aku mau menjalin relasi sebaik mungkin dengan mereka. Aku sangat menghargai kesediaan hati mereka. Kepada teman-temanku yang masih mengolokku, aku pun belajar untuk menghormati mereka. Aku tidak akan marah dan tidak akan memasukkan olokan-olokan tersebut ke dalam hatiku.

Kelak, aku ingin terus memuliakan Tuhan lewat kehidupanku. Aku ingin menjadi seorang guru Bahasa Inggris supaya aku bisa mendidik generasi yang akan datang dengan terang firman Tuhan.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Gosip tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Bahkan di Instagram, ada sebuah akun gosip yang followersnya mencapai 5,3 juta!

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If God Made Me Pretty?

Tubuhku pendek, gemuk, dan penampilanku terlihat biasa-biasa saja. Ketika aku tumbuh besar, orang-orang suka mengomentari hidungku yang pesek. Seorang temanku bahkan berkata kalau hidungku itu seperti habis ditabrak oleh sesuatu.

Waktu masih kecil, aku mengenal boneka Barbie; boneka-boneka itu terlihat cantik, tinggi, dan langsing. Aktris utama di sinema televisi favoritku penampilannya mirip seperti boneka Barbie, dan aku berharap supaya bisa terlihat seperti mereka. Meskipun aku tahu bahwa lebih penting menjadi sehat daripada cantik, sulit buatku untuk menerima diriku sendiri yang tampilannya biasa-biasa saja dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain di sekelilingku.

Saat usiaku sekitar 18 tahun, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku. Dari yang semula mengenakan kaos dan celana jeans, aku mulai berpakaian lebih keren, memakai aksesoris, topi, dan jaket. Aku juga mulai berdandan setiap kali aku pergi keluar. Namun, dandananku hanya dapat menutupi kekuranganku, bukan mengubahnya. Aku tidak dapat mengubah tinggi badanku. Dan, tak peduli latihan dan keringat yang tercucur, aku tidak dapat mengubah bentuk tubuhku; yang kuinginkan hanyalah tampak lebih langsing. Aku ingin menjadi cantik dan populer, seperti para model dan aktris yang aku kagumi.

Saat usiaku menginjak 20-an, aku menemui seorang dokter kecantikan untuk membicarakan tentang langkah-langkah apa yang mungkin dilakukan untuk membuat wajahku lebih cantik. Tapi, setelah menimbang-nimbang risiko dan suntik botoks yang kuperlukan, aku mengurungkan ide ini. Selain ingin mengubah penampilan wajahku, aku juga ingin mengubah bentuk tubuhku, tapi dokter tidak bisa menganjurkan cara-cara yang nyaman buatku. Prosedur meninggikan badan sangat berisiko karena perlu melakukan operasi kaki, dan keberhasilannya pun tidak dijamin. Setelah menimbang risiko, biaya, dan hasil yang tidak terjamin, tidak butuh waktu lama buatku untuk membuang ide ini.

Di atas keinginan bahwa aku ingin terlihat lebih menarik, diam-diam aku ingin punya pacar. Banyak perempuan di sekolah yang punya pacar, dan kupikir aku tidak punya pacar karena wajahku yang tidak cantik. Aku juga pemalu dan menganggap kalau perempuan cantik pasti percaya diri, mudah bersosialisasi, dan populer karena penampilan mereka. Aku iri kepada mereka. Aku membenci Tuhan dan merasa Dia tidak adil. Dia menciptakan banyak perempuan cantik, tapi bukan aku. Aku tidak suka teman-temanku yang cantik. Aku tidak suka berbaur dengan mereka karena di sanalah aku merasa jelek dan tidak nyaman. Jadi, aku cenderung berusaha untuk mengabaikan mereka.

Aku tidak dapat mengerti ayat dari Mazmur 139:14 yang berkata “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” Aku merasa ayat itu tidak berlaku buatku. Aku kecewa dan berkata pada Tuhan, “Engkau pasti bercanda. Kalau Engkau menciptakanku dahsyat dan ajaib, tentu aku jadi perempuan muda yang cantik.”

Hingga suatu ketika, aku menemukan ayat dari Amsal 31:30 saat aku bersaat teduh, dan melalui ayat ini aku sadar kalau Tuhan sedang berbicara denganku. Ayat itu berkata, “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.” Ayat lain yang menyentakku adalah 1 Petrus 3:3, “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah.”

Tuhan tidak mencari orang yang menawan atau cantik, melainkan yang takut akan Dia. Tuhan tidak melihat penampilan luar, tapi hati kita. Ayat-ayat ini menguatkanku dan membuatku sadar betapa dangkalnya pemikiranku. Aku hanya berfokus pada kecantikan yang fana daripada Dia. Tuhan tidak pernah menghukumku; akulah yang menghukum diriku sendiri karena merasa jelek. Kenyataannya, Tuhan memuji perempuan yang takut akan Dia. Jadi, kalau aku ingin dipuji oleh-Nya, aku harus takut akan Dia. Aku harus memuliakan Dia dengan menjadikan Dia yang pertama dan utama dalam hidupku.

Sekalipun aku masih belum tahu mengapa Tuhan menciptakan beberapa perempuan tampak cantik dan yang lain tidak, aku tahu bahwa aku bisa berlari kepada-Nya dengan membawa segala perasaanku. Firman-Nya berbicara kebenaran untuk memuaskan kehampaan dalam diri kita. Alkitab berkata dalam Yesaya 55:9 bahwa jalan dan rancangan Tuhan lebih tinggi daripada jalan dan rancanganku. Sungguh, aku bisa mempercayai Allah bahwa Dia membuatku dahsyat dan ajaib dalam cara-Nya, seperti yang tertulis dalam Mazmur 139:14. Tuhan menciptakan kita seturut rencana-Nya supaya kita dapat memenuhi tujuan dan panggilan yang diberikan-Nya secara unik kepada masing-masing kita.

Seiring aku bertumbuh dalam pengetahuan tentang-Nya, aku merasa terpanggil untuk melayani-Nya melalui tulisan. Aku merasakan kebenaran Allah meresap dalam setiap area kehidupanku dan berbicara kepadaku. Aku juga mendapatkan wawasan baru ketika aku membaca tulisan-tulisan dari rekan-rekan Kristen yang membagikan cerita tentang bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan mereka. Semuanya itu menguatkanku. Dan, aku terinspirasi untuk berbuat yang sama, membagikan pengalaman dan ceritaku supaya orang lain dapat ikut dikuatkan di saat mereka membutuhkan. Untuk menulis aku tidak perlu tampil cantik. Yang aku perlukan adalah hati yang murni, yang merindukan Allah di atas segalanya, dan menjadikan-Nya satu-satunya keinginanku.

Ketika aku melihat ke belakang, jika seandainya aku cantik, aku mungkin bisa menggapai impianku menjadi seorang model. Pekerjaan itu mungkin tidak mengizinkanku berpakaian sederhana, dan mungkin juga aku jadi terlalu berbangga diri atas tubuhku. Aku mungkin tidak memperlakukan tubuhku dengan hormat atau mengingat bahwa tubuhku adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19). Tuhan menciptakanku seperti ini supaya aku bisa fokus kepada-Nya dan mengemban panggilan-Nya dalam hidupku.

Sekarang, meskipun aku masih tergoda untuk mengharapkan kecantikan fisik setiap kali aku melihat seseorang yang tampak cantik, aku mengingatkan diriku bahwa apa yang dunia anggap cantik bukanlah apa yang Tuhan katakan. Aku mengerti sepenuhnya bahwa tidak perlu menjadi cantik dulu untuk bisa percaya diri. Kepercayaan diriku ada pada Allah yang memuji orang-orang yang takut akan Dia dan berbicara pada kita dalam masing-masing panggilan hidup kita. Sekarang aku mengerti apa yang Mazmur 139:14 maksudkan, bahwa aku diciptakan dengan dahsyat dan ajaib. Dia meyakinkanku bahwa aku dicipta oleh-Nya dan identitasku yang sejati ada di dalam Dia.

Baca Juga:

Ketika Orangtuaku Melarangku untuk Ikut Kelompok Pendalaman Alkitab

Aku bersemangat mengikuti kelompok Pendalaman Alkitab (PA) bersama rekan-rekan sekampusku. Tapi, setelah beberapa kali ikut PA, orangtuaku melarangku dengan alasan khawatir. Aku sedih, kecewa, dan bergumul dengan keputusan orangtuaku tersebut.

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought Marriage Could Change Me

“Jangan digaruk lagi! Kalau kamu bisa berhenti menggaruk kulitmu, kamu akan jadi cantik seperti anak-anak perempuan lainnya!” Itulah yang perkataan yang sering diucapkan ibuku seiring dengan aku tumbuh dewasa.

Aku menderita eksim, suatu penyakit yang membuat kulitku menjadi merah, pecah-pecah, gatal, dan penuh luka seperti luka melepuh. Ibuku sangat khawatir, apabila nanti kulitku tidak benar-benar pulih, maka kecil kemungkinanku untuk menikah karena tidak ada laki-laki yang menginginkanku.

Walaupun kondisi kulitku semakin membaik seiring aku beranjak dewasa, tapi kulitku masih tetap kering dan kemerahan bila dibandingkan dengan kulit perempuan lainnya. Kekhawatiran yang dulu dialami ibuku pun jadi kekhawatiranku juga. Aku khawatir dengan penampilanku. Rasa khawatirku akan kondisi fisikku ini pada akhirnya membawaku pada suatu kesimpulan: solusi dari permasalahanku adalah menemukan seorang lelaki yang mau menerimaku dan menikahiku.

Lalu, aku pun berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Bukan pernikahan yang dapat mengalahkan segala rasa takut itu, melainkan cinta sejati. Aku berpikir bahwa dengan menikah nanti aku akan berhenti menganggap rendah diriku sendiri, berhenti menjadi orang yang temperamental, dan aku akan dicintai dan diterima apa adanya.

Di pertengahan usiaku yang ke-20, aku bertemu dengan seseorang yang istimewa. Dia menerima kondisi kulitku yang kemerahan dan kering, dan segera setelah itu dia pun menjadi suamiku. Aku sangat bangga karena pada akhirnya aku menikah. Aku merasa aman dengan statusku yang baru seakan aku sudah terpilih dari sekian banyak gadis lainnya.

Namun, rasa kenyamanan dalam status baruku itu tidak bertahan lama. Pernikahan hanya memberiku rasa aman yang semu.

Di awal pernikahanku, aku mulai melihat bahwa aku dan suamiku ternyata tidak memiliki banyak kesamaan. Ketika kami berpacaran dulu, aku berusaha terlalu keras untuk terus mengalah demi mencapai kata sepakat. Aku tidak pernah benar-benar menyuarakan apa yang aku inginkan.

Kami adalah dua pribadi yang sangat berbeda. Suamiku suka suka menonton ke bioskop sementara aku sering tertidur saat film diputar. Dia lebih suka makanan Barat, sedangkan aku lebih suka makanan Asia. Setiap kali kami pergi berkencan dan harus memutuskan sesuatu, ujung-ujungnya kami malah berkonflik. Saat di rumah, dia suka menonton TV sampai larut malam, sedangkan aku lebih memilih untuk tidur di jam sepuluh. Dia seperti tidak peduli dengan kerapian, sedangkan bagiku kerapian itu merupakan hal yang penting.

Kami berdua terlalu keras kepala untuk mengalah dan pertengkaran kami seperti tidak ada ujungnya. Ketika anak kami lahir, kami malah jadi semakin sering bertengkar dan sifat temperamentalku pun semakin bertambah parah. Bahkan, kekesalan sedikit saja bisa membuat emosiku memuncak dan menjadi sangat marah. Membanting pintu sudah menjadi suatu kebiasaanku di rumah, bahkan suatu ketika aku pernah melempar iPad ke lantai saking aku begitu marahnya. Konflik yang terjadi setiap harinya membuat emosiku sangat terkuras.

Sebelumnya, aku pernah berpikir bahwa pernikahan itu akan melengkapiku dan memberiku rasa aman. Aku pikir aku akan menjadi pribadi yang lebih sabar dan mencintai setelah menikah. Namun, ternyata aku benar-benar salah. Pernikahan malah membuatku merasa tidak dicintai, bahkan aku menyesal karena telah menikah. Aku sangat terluka dan takut akan masa depan, terutama karena sekarang aku memiliki tanggung jawab atas seorang anak. Pikiran akan perceraian menggantung di benakku dan aku bertanya-tanya: apakah aku mampu jika harus hidup sebagai seorang single mom?

Hal ini terus berlangsung selama berbulan-bulan sampai seorang kakak rohaniku datang menghampiriku dengan penuh kasih dan mengarahkanku kepada firman Tuhan. Aku menemukan sebuah ayat dari materi pendalaman Alkitab yang aku ikuti. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:19). Cinta sejati awalnya datang dari Tuhan dan kami (aku dan suamiku) sungguh-sungguh memerlukan Tuhan dalam hidup kami. Kami perlu memahami dan menerima kasih Tuhan sebelum kami bisa memberikan kasih yang sama kepada sesama. Hanya kasih Allah yang mampu memulihkan dan melepaskan tekanan yang kami hadapi dalam pernikahan kami.

Seiring aku mempelajari Alkitab, sebuah ayat lain yang menyakinkanku adalah dari Yakobus 4:1:

“Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?”

Aku menyadari bahwa akar permasalahan dari pertengkaran-perengkaran kami adalah karena aku terlalu terfokus pada apa yang aku inginkan. Aku telah meletakkan keinginan dan kepentinganku di atas kepentingan suamiku. Alih-alih menjadikan Allah sebagai pusat dari kehidupan pernikahanku, aku malah menjadikan diriku sendiri sebagai pusatnya. Dan, itulah yang menghalangiku untuk menunjukkan kasih yang sejati kepada suamiku, seperti yang Allah telah tunjukkan kepadaku.

Di situlah titik balik kehidupanku. Aku berpaling kepada Allah dan memohon pertolongan Roh Kudus agar aku dapat melihat bahwa sesungguhnya aku berharga di mata Allah. Aku juga meminta kekuatan untuk dapat mengendalikan diriku di saat-saat yang mengarah kepada konflik. Perlahan-lahan, aku mulai bisa menguasai emosiku dengan lebih baik, dan kami jadi lebih jarang bertengkar.

Saat ini, relasiku dengan suamiku sudah membaik karena kehadiran dan campur tangan Allah di dalamnya. Melalui pengalamanku, aku sadar bahwa pernikahan tanpa Allah sebagai pusat segalanya tidak akan pernah bisa mengubah seseorang. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kekuatan manusia untuk mengerjakan semuanya tidak akan pernah berhasil karena kita adalah manusia penuh dosa yang menjadi mangsa dari keinginan dosa kita sendiri.

Kita perlu Seseorang yang lebih kuat dari kita supaya kita bisa berhasil. Kita perlu Tuhan.

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Tapi, melalui masa singleku yang panjang inilah Tuhan sedang membentukku.

Ketika Aku Minder Karena Usiaku

Oleh Revensyah Sihombing, Medan

Di usiaku yang telah menginjak 20 tahun, aku sangat mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat dan kesempatan yang Dia berikan. Melalui tulisan ini, izinkan aku untuk membagikan sebuah cerita tentang rencana Tuhan yang indah dan tak terduga yang terjadi dalam hidupku.

Aku adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Antara aku dan saudara-saudaraku, terpaut jarak usia sekitar dua tahun. Dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, bukan hal mudah untuk kedua orangtuaku membesarkan dan merawat kami semua. Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan ibuku hanya seorang buruh tani di ladang milik orang lain.

Ketika usiaku sudah 6 tahun, orangtuaku tidak menyekolahkanku ke SD karena selagi mereka bekerja, aku harus menjaga adik-adikku. Begitu juga saat usiaku 7 tahun, bahkan sampai usiaku menginjak 8 tahun, aku baru masuk ke SD. Waktu itu belum terasa perbedaan antara usiaku dan teman-teman sekelasku. Aku merasa bahwa tidak ada masalah antara usiaku yang lebih tua daripada usia teman-temanku.

Namun, ketika aku masuk SMP, aku mulai merasakan perbedaan ini. Usiaku 15 tahun, sementara teman-teman sekelasku rata-rata baru berusia 12 atau 13 tahun. Karena usiaku yang paling tua di kelas, mereka memanggilku “kakak”. Aku sangat malu dengan panggilan ini. Apalagi ada beberapa dari mereka menjulukiku “kakak tua”. Aku benar-benar merasa tidak nyaman dan akhirnya menjadi seorang yang pendiam.

Julukan dan sindiran dari teman-teman tersebut membuatku malah jadi merasa marah dan benci kepada kedua orangtuaku. Aku menyalahkan mereka atas keadaan yang kualami. Seandainya saja dulu mereka menyekolahkanku sejak aku usia enam tahun, tentu keadaannya tidak akan begini. Dalam benakku, aku berpikir kalau orangtuaku sangat jahat dan tidak tahu apa yang kurasakan. Untuk mengekspresikan amarahku, aku sering melawan perintah mereka bahkan memaki mereka di dalam hatiku.

Keadaan ini terus berlangsung selama beberapa tahun. Saat di bangku SMA, aku tumbuh jadi seorang yang jauh lebih pendiam dan menutup diri dari teman-temanku. Aku tidak suka berkumpul dengan teman-teman layaknya para remaja pada umumnya. Aku juga tidak suka jika ada orang yang menanyaiku usia atau tanggal lahir. Dan, hal yang paling kubenci adalah hari ulang tahun. Aku berharap hari ulang tahun itu tidak ada supaya usiaku tidak bertambah. Rasa ketertolakan ini juga sempat membuatku berpikir untuk berhenti sekolah saja.

Namun, sebuah titik terang mulai terlihat. Suatu ketika, dalam pelajaran agama Kristen di sekolah, guru agamaku membagikan brosur tentang persekutuan Kristen. Walaupun saat itu aku sudah menjadi orang Kristen, aku tidak tertarik dan tidak mau ikut persekutuan itu. Tapi, karena teman sebangkuku mengajakku, akhirnya aku pun memutuskan untuk mencoba ikut.

Sekali, dua kali, dan seterusnya aku malah menikmati persekutuan ini dan mulai melayani. Teman-temanku di persekutuan menerimaku dengan baik. Mereka tidak mempermasalahkan usiaku, malah mengajari dan membimbingku supaya aku bisa memahami apa rencana Tuhan dalam hidupku. Di sinilah aku belajar untuk menerima diriku sendiri sebagai ciptaan Tuhan yang berharga.

Tuhan mengajariku bahwa sesungguhnya tidak ada yang harus disalahkan atas keadaanku karena semua yang terjadi ada dalam kendali-Nya, seperti firman-Nya yang berkata: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 5:8-9).

Ketika aku sadar bahwa sesungguhnya Tuhan merancangkan sesuatu yang indah dalam hidupku, aku dimampukan-Nya untuk memaafkan kedua orangtuaku. Memang aku tidak meminta maaf secara langsung, tetapi aku mengubah sikapku kepada mereka. Dan, sekarang aku sangat mengasihi mereka. Aku sadar bahwa semuanya ini terjadi bukan karena kesalah mereka. Orangtuaku telah berusaha memberikan yang terbaik untukku. Perjuangan mereka untuk menghidupi aku dan saudara-saudaraku adalah perjuangan yang amat besar.

Jika dahulu aku merasa malu karena usiaku yang lebih tua, sekarang aku malah bersyukur. Usia yang lebih tua ternyata membuat teman-temanku suka curhat tentang berbagai masalahnya kepadaku. Mereka menganggap kalau cara berpikirku jauh lebih dewasa dari mereka. Aku benar-benar bersyukur karena meski pengalaman dan ilmuku tidak banyak, tetapi Tuhan memakaiku untuk membantu orang lain melalui masalah yang mereka hadapi.

Setelah lulus SMA, aku pun melanjutkan pendidikanku ke sebuah perguruan tinggi negeri. Betapa bersyukurnya aku karena aku menjadi orang pertama di keluargaku yang bisa mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah.

Saat ini, aku tidak malu lagi jika ditanya tentang berapa usiaku ataupun tanggal lahirku karena aku tahu bahwa kasih Tuhan kepadaku tidak didasarkan atas berapa usiaku. Tuhan sangat mengasihiku. Tak hanya memulihkanku dari gambar diri yang rusak, Dia juga memulihkan keadaan keluargaku. Sekalipun Tuhan telah memanggil pulang ayahku sepuluh bulan lalu, sekarang kedua kakakku sudah bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ibuku pun kini tak lagi bekerja sebagai buruh tani di ladang orang lain, melainkan bekerja di ladang miliki kami sendiri.

Inilah sepenggal ceritaku akan kebaikan dan rancangan Tuhan yang indah. Kiranya cerita ini boleh menjadi berkat bagi kamu yang membacanya.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Baca Juga:

Kisah Raja dan Penjual Beras

Menjelang momen Natal kali ini, aku teringat akan sebuah cerita pernah kudengar ketika aku masih tinggal di Yogyakarta dulu. Cerita ini adalah kisah nyata yang pernah terjadi puluhan tahun silam, sebuah cerita sederhana yang menggetarkan sekaligus menggelitik hati. Mari kuceritakan cerita ini untukmu.

Aku Merasa Cacat Karena Kelainan Mata, Namun Inilah Cara Tuhan Memulihkan Gambar Diriku

Oleh Sukma Sari, Jakarta
Ilustrasi oleh Galih Reza Suseno

Aku dilahirkan sebagai bayi yang normal dan sehat di sebuah desa di Jawa Timur 26 tahun lalu. Namun, beberapa bulan kemudian, orangtuaku menyadari ada yang berbeda dengan mata sebelah kananku. Setelah diperiksa, dokter mendapati kalau pupil dan bola mata kananku tidak bereaksi terhadap cahaya karena ada pembekuan darah di saraf mata sebelah kanan.

Ketika duduk di bangku SD, aku menyadari bahwa mataku berbeda. Selama ini hanya mata kiriku saja yang bisa melihat normal. Jika mata kiriku melirik ke kiri atau kanan, mata kananku tidak bisa mengikutinya. Dalam keadaan normal, mata kananku pun terlihat lebih kecil daripada mata kiri. Lalu, jika mata sebelah kiri kututup, otomatis aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap. Kalau aku mulai kelelahan, mata sebelah kananku akan makin mengecil, bahkan nyaris tertutup.

Kondisi fisikku yang berbeda dari anak-anak lainnya membuatku minder. Beberapa teman di sekolah sering mengejek kondisi mata kananku. Mereka suka menyamakanku dengan seorang mantan presiden Indonesia yang juga memiliki kendala penglihatan. Seakan belum cukup dengan ejekan dari teman-teman sekolah, saat aku bepergian, entah di kendaraan umum atau saat mengantre dan ada anak kecil yang melihat ke arahku, mereka akan spontan berkata kepada ibunya. “Ih, matanya kecil sebelah.” Atau, jika anak kecil itu mengenalku, dia akan menanyakan, “Mengapa matanya kecil sebelah?” Dan, jika ditanyakan pertanyaan seperti itu, aku hanya menjawab “kecapean” sambil memberikan senyum terbaikku.

Aku ingat, dulu dokter pernah mengatakan jika mataku sedari dini sudah ditangani, mungkin ada jalan keluar yang bisa diambil. Saat aku berusia 5 tahun, aku takut untuk menjalani CT-Scan. Alat itu tampak begitu mengerikan buatku. Ibuku pun sempat kesal karena aku selalu menangis menolak jika diminta menjalani CT-Scan. Ketika aku dewasa, aku sempat menyesali betapa penakutnya aku dulu. Seandainya saja dulu aku berani, mungkin dokter bisa menangani lebih lanjut kondisi mataku.

Kekuranganku membuatku lupa bahwa di luar sana ada orang-orang yang tidak seberuntung aku, tetapi mereka tidak berputus asa. Selain itu, aku juga sempat meragukan kasih sayang Tuhan. Jika Tuhan mengasihi anak-Nya, apakah mungkin Dia memberikan sesuatu yang begitu pahit untuk ditelan?

Meski kondisi fisikku berbeda, namun aku termasuk anak yang berprestasi selama di sekolah. Setiap pembagian rapor, aku selalu masuk di jajaran 10 besar. Jauh di dalam hatiku, aku tahu sebenarnya prestasiku ini hanya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku ini cukup pintar. Saat itu aku berpikir bahwa orang-orang akan menerimaku jika aku pintar. Selama masa SMP dan SMA, tidak ada lagi yang mengejekku, tapi kenangan pahit semasa SD dulu mematrikan dalam benakku bahwa aku cacat dan tumbuh menjadi seorang yang tidak percaya diri.

Ketika aku menyadari identitas diriku yang sejati

Bukan perjalanan yang singkat bagiku untuk bisa memahami bahwa aku diciptakan untuk tujuan Allah yang mulia. Waktu itu aku masih merasa malu dengan kondisi mataku dan sulit menerima kenyataan bahwa aku sedikit berbeda. Aku sering membandingkan diriku dengan orang lain dan berandai-andai jika aku memiliki mata seperti mereka. Selama bertahun-tahun aku hidup dengan melabeli diriku sendiri sebagai seorang yang cacat. Sampai suatu ketika terjadi sebuah peristiwa yang pada akhirnya menyadarkanku akan identitasku yang sesungguhnya.

Aku mulai mengenal Kristus saat mengikuti persekutuan di kampus. Dalam ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), pembicara di sana menyampaikan pesan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan mulia Allah. Akan tetapi, dosa telah merusak relasi manusia dengan Allah, dan segala upaya manusia untuk memulihkan relasi ini gagal. Oleh karena itulah, Kristus diutus Bapa untuk memulihkan relasi yang rusak ini melalui karya penebusan di kayu salib.

Firman Tuhan yang diberitakan hari itu membuatku terpesona dan pesan bahwa darah Yesus tertumpah bagiku itu sangat menggetarkan hatiku. Selepas KKR itu, aku tahu bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi. Tuhan telah “menangkapku”. Sejak aku menerima Kristus, aku merasa duniaku seakan jungkir balik. Apa yang dulu kurasa merupakan suatu kebanggaan dalam diriku (seperti prestasi juara di sekolah) ternyata adalah suatu penyakit! Aku disadarkan bahwa identitasku yang sesungguhnya bukan didasarkan pada apa kata orang, bukan juga dari kebanggaan duniawi atas apa yang telah kuraih.

Dalam salah satu sesi sharing bersama kakak seniorku di kampus, dia memberiku sebuah ayat dari Yohanes 9:3. Di awal perikop itu, ketika murid-murid Yesus menjumpai seorang yang buta, mereka bertanya pada Yesus siapakah yang membuat orang itu buta? Apakah karena dosa orangtuanya, atau karena dosa orang itu sendiri? Yesus pun menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Sharing tersebut membuatku merasa terhibur dan dikuatkan. Aku percaya bahwa melalui diriku, Allah ingin mengerjakan sesuatu. Dia ingin aku menjadikan kelemahanku sebagai pengingat agar aku tidak mengandalkan kekuatanku sendiri dan berserah kepada-Nya. Aku bersyukur karena pada akhirnya, kekurangan fisikku dan pergumulanku untuk menerima gambar diriku seutuhnya bisa dipakai Allah untuk menjadi sebuah kesaksian yang kuharap akan memberkati orang-orang yang membacanya.

Aku percaya, bahwa Tuhan menciptakan diriku bukanlah karena suatu kecelakaan, tapi Dia telah merencanakan semuanya, dan segala sesuatu yang dicipta oleh-Nya itu baik adanya (Kejadian 1:31). Aku juga belajar untuk melihat ke bawah, bahwa ada orang yang tidak seberuntung aku, namun mereka sanggup untuk bersyukur akan keadaannya.

Jika dulu aku enggan menatap diriku di cermin, kini aku bisa berkaca dan berkata pada diriku sendiri, “Aku dicintai-Nya!” Kalau dulu aku begitu pesimis akan kesembuhanku, sekarang aku bisa mengikuti terapi untuk membuat otot mata sebelah kananku tetap bergerak sama dengan otot mata sebelah kiri. Prestasi-prestasi yang kuperjuangkan bukan lagi menjadi ajang pembuktian diri supaya aku diterima oleh teman-temanku, melainkan sebagai sebuah ungkapan syukur atas Allah yang begitu baik untukku.

Ada sebuah lagu berjudul “Semua Baik” yang liriknya begitu menyentuh. Lirik-lirik sederhana ini selalu menjadi pengingatku bahwa Allah adalah Allah yang teramat baik. Dia merancangkan masa depan yang terbaik buatku.

Dari semula, t’lah Kau tetapkan hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu, Tuhan
Rencana indah t’lah Kau siapkan bagi masa depanku yang penuh harapan
S’mua baik, s’mua baik, apa yang t’lah Kau perbuat di dalam hidupku
S’mua baik, sungguh teramat baik, Kau jadikan hidupku berarti

Sahabat, jika saat ini ada dalam dirimu suatu kondisi atau penyakit yang membuatmu merasa berbeda dengan orang lain, jangan pernah menyerah dan putus asa. Aku dan kamu dicipta Tuhan baik adanya. Percayalah, segala sesuatu terjadi bukan karena kebetulan. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita, Tuhan maksudkan untuk mendewasakan, mendidik, dan membentuk kita menjadi makin serupa dengan Dia.

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9).

Baca Juga:

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kemiskinan dan menolong mereka yang kurang beruntung? Pertanyaan ini pernah membuatku bingung. Awalnya aku menganggap bahwa kemiskinan adalah realita yang terlalu besar. Tapi, sejatinya ada satu hal yang bisa kita perbuat.

Kamu Pernah Minder Karena Penampilanmu Diejek Teman? Aku Pernah. Inilah Kisahku.

kamu-pernah-minder

Oleh Grace Anindya, Jakarta

Aku terlahir dengan rambut yang keriting. Tapi, jangan bayangkan ikal besar seperti rambut boneka. Rambutku cenderung kasar, dan terkadang kusut seperti kabel telepon yang jarang dipakai.

Sewaktu duduk di kelas 2 atau 3 SD, aku menganggap rambut keritingku ini mirip seperti rambut para putri kerajaan yang sering muncul di dalam film kartun. Jadi, dengan percaya diri, aku senang membuat rambutku tergerai. Tapi, teman-temanku tidak menganggapnya demikian. Bagi mereka, dengan rambut seperti itu, aku lebih mirip seperti singa yang sedang kelaparan daripada putri kerajaan. Awalnya aku bersikap biasa saja dengan candaan itu, namun lama kelamaan aku jadi merasa tidak nyaman.

Ketika aku duduk di bangku SMP, ada seorang guru yang suka memberikan julukan kepada murid-muridnya berdasakan kondisi fisik yang dia lihat. Dia menjulukiku dengan panggilan “Si Kribo”, “Si Keriting”, “Si Rambut Mi”, dan masih banyak nama lain. Teman-temanku menganggap julukan itu sebagai hal yang lucu, jadi mereka pun ikut-ikutan. Julukan yang terus menerus disematkan kepadaku itu membuatku makin merasa tidak nyaman dengan rambut keriting yang kumiliki.

Puncak kekesalanku tiba tatkala ada seseorang yang menempelkan kertas penuh double-tape bertuliskan “Aku orang gila” di rambutku. Awalnya aku tidak menyadari apapun. Tapi, aku merasa aneh karena semua orang tertawa apabila menaptaku. Ketika aku menyadari bahwa ada kertas itu di rambutku, aku menangis sejadi-jadinya. Rambutku rontok karena ada begitu banyak double-tape yang menempel. Bukannya permintaan maaf yang kudapat, teman-temanku malah menuntutku supaya tidak marah. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu hanyalah sebuah candaan sehingga aku tidak boleh cengeng.

Semenjak peristiwa itu, aku jadi semakin minder. Aku jadi sensitif dengan candaan, tetapi aku juga takut apabila tidak punya teman. Aku merasa diriku tidak berharga ketika teman-teman menganggapku tidak asyik karena aku sering tersinggung jika diajak bercanda. Tak kupungkiri, aku juga menaruh rasa dendam kepada teman-teman yang pernah membuatku menangis. Bukan perasaan dendam ingin balik menyakiti mereka, tetapi dalam hati aku bertekad supaya suatu hari aku bisa membuktikan pada mereka kalau aku pun bisa sukses dan mereka “berlutut” di hadapanku.

Ketika aku masuk SMA, aku jadi semakin membenci rambutku. Berbagai perawatan rambut sudah kucoba lakukan. Mulai dari memakai sampo dan kondisioner terbaik, hingga mencoba berbagai produk pelurus lambut. Tetapi pada akhirnya rambutku selalu kembali lagi menjadi keriting. Aku putus asa. Alih-alih menjadi bagus, segala perawatan itu malah membuat rambutku menjadi kering dan rontok banyak. Selain itu, rasa minderku membuatku merasa kalau aku tidak memberikan kesan yang baik ketika aku pertama kali bertemu dengan orang lain. Banyak yang menganggapku terlalu pendiam bahkan sombong, padahal sebenarnya aku hanya malu dan tidak cukup percaya diri untuk memulai percakapan.

Singkat cerita, di tengah pergumulanku untuk bangkit dari rasa minder, aku bertemu dengan sebuah komunitas di gereja. Bermula dari sekolah minggu, lalu aku mengikuti kebaktian remaja. Di sana, aku diajak untuk bergabung dengan kelas pembinaan dan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Awalnya aku sempat merasa ragu. Aku masih merasa takut diejek karena rambut keritingku. Tapi, seiring berjalannya waktu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasa diterima. Untuk pertama kalinya aku merasa punya sahabat dan bertemu dengan orang-orang yang tidak memandang bentuk fisikku sebagai sebuah hal yang bisa dijadikan ejekan.

Selain mendapatkan relasi yang baik, dalam kelas pembinaan dan KTB ini juga aku banyak belajar tentang kebenaran firman Tuhan. Aku masih ingat dengan jelas bahwa tema yang dibahas pada pertemuan pertamaku adalah tentang penciptaan dan gambar diri manusia dari kitab Kejadian. Tuhan menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik (Kejadian 1:31), termasuk juga manusia. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita menghina ciptaan Tuhan yang unik, apalagi sesama manusia.

Aku juga diingatkan akan begitu besar kasih Allah bagi dunia ini. Ketika Yesus datang ke dunia, tidak semua orang mau menerima-Nya. Tetapi, Yesus tidak marah apalagi menaruh dendam. Padahal, jika dipikir dengan pola pikir dunia, bisa saja Yesus marah dan membinasakan semua orang yang menolak-Nya. Tetapi, karena kasih-Nya, Yesus tidak melakukan itu. Yesus memberi diri-Nya mati di kayu salib untuk menebus semua manusia, termasuk orang-orang yang juga menghina-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Aku begitu tertegur. Hinaan dan celaan yang aku terima jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Yesus terima. Setelah aku menerima kebenaran ini, aku belajar untuk tidak lagi menaruh dendam kepada teman-temanku. Aku belajar untuk tidak menganggap ejekan-ejekan teman-temanku itu sebagai sesuatu yang menjatuhkanku, tetapi merupakan sebuah sarana untuk aku belajar bijaksana merespons dan mengikuti teladan yang Tuhan Yesus berikan.

Kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti perlahan melatih diriku untuk percaya diri dan menerima keadaan diriku apa adanya. Akhirnya, aku bisa menerima bahwa dilahirkan dengan rambut keriting bukanlah suatu kesalahan, tetapi sebuah anugerah yang Tuhan berikan untukku. Yang perlu aku lakukan adalah merawat rambutku supaya tetap sehat, bukan memodifikasinya supaya disukai orang lain. Rambut keriting ini adalah bagian dari desain Tuhan yang sempurna atas tubuhku, oleh sebab itu aku tak perlu lagi malu jika bertemu dengan orang banyak.

Aku bersyukur karena lewat kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti, Tuhan menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku bersedih hati karena bentuk fisikku berbeda dari standar orang lain. Perlakuan yang kurang menyenangkan di masa lalu juga bukan jadi alasanku untuk bersedih, tetapi jadi pembelajaran buatku bahwa aku tidak boleh melakukan yang sama. Aku belajar untuk tidak menjadikan bentuk fisik orang lain sebagai bahan ejekan yang bisa menyakiti hati mereka.

Akhir kata, aku amat bersyukur bisa mengenal Tuhan di masa mudaku melalui komunitas yang menguatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku bila waktu itu aku tidak mengenal-Nya. Mungkin, aku akan terus menerus menyesali keadaanku. Melalui pengalaman ini, aku sadar bahwa ketika Tuhan menjadikan sesuatu yang seolah tampak tidak menyenangkan, sejatinya Dia sedang melatih imanku. Tuhan ingin aku mampu bersikap bijaksana dan memandang hanya kepada-Nya saja.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Bos yang Menyebalkan

Jika kamu membaca artikel ini karena kamu memiliki bos yang menyebalkan, aku mengerti perasaanmu. Dari pengalamanku, aku sangat paham betapa beratnya beban yang harus kamu pikul akibat memiliki bos seperti itu. Stres dan gelisah bahkan bisa menghantuimu hingga waktu di luar jam kerja dan bahkan saat kamu bangun pagi.

Menikmati Anugerah Tuhan dalam Cacat Fisik yang Kualami

Menikmati-Anugerah-Tuhan-dalam-Cacat-Fisik-yang-Kualami

Oleh Novianne Vebriani, Bandung

Terdiam sejenak aku menikmati dinginnya malam, ditemani oleh bunyi detik jam di kamarku. Aku sedang mempersiapkan tugas akhirku untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi. Jika aku mengingat kembali bagaimana akhirnya aku bisa kuliah Psikologi, aku menyadari bahwa itu semua hanya karena anugerah Tuhan. Perjalananku untuk menggapai cita-cita ini tidaklah mudah, terlebih karena sebuah cacat fisik yang kupunya sejak lahir.

Aku terlahir dalam keadaan prematur dan mengalami gangguan otot pada bagian kaki yang pada akhirnya menjadikan aku tidak bisa berjalan normal apalagi berlari. Saat masih duduk di bangku sekolah dulu, teman-teman sering memanggilku “pincang”. Tapi, meskipun aku memiliki cacat fisik dan ada teman-teman yang menjadikan kekuranganku itu sebagai candaan, aku tetap memiliki cita-cita.

Sejak masa SMP aku sering membaca buku dan salah satu buku yang pernah kubaca itu berjudul “Sheila” yang ditulis oleh Torey L. Hayden. Buku ini begitu istimewa karena menceritakan perjalanan seorang guru yang membaktikan hidupnya untuk mengajar di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui buku ini aku mulai merasa tertarik terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.

Saat itu aku menceritakan hal-hal yang aku baca itu kepada guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolahku. Aku menceritakan kepadanya tentang cita-citaku ingin menjadi guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Beliau menjelaskan kepadaku kalau untuk menjadi guru anak-anak berkebutuhan khusus maka aku harus mendaftar kuliah di Jurusan Psikologi.

Waktu terus berjalan, aku tetap memiliki minat terhadap psikologi hingga saat aku memasuki masa SMA. Selain membaca buku-buku tentang psikologi, aku juga menyiapkan diriku untuk menjadi pendengar yang baik. Kemampuan itu semakin terasah ketika aku bisa menjadi tempat curhat bagi sahabat-sahabatku. Aku juga bergabung dengan sebuah persekutuan doa di gereja supaya bisa saling menguatkan satu sama lain.

Jika kelak aku bisa kuliah di Jurusan Psikologi, aku sangat ingin membantu anak-anak yang memiliki kekurangan fisik sepertiku. Aku ingin membantu mereka meringankan hari-hari mereka yang berat. Untuk menggapai cita-cita itu aku pun melatih diriku, salah satunya adalah dengan menjadi pendengar yang baik.

Perjuanganku untuk menjadi Sarjana Psikologi

Tetapi, jalanku untuk bisa kuliah ke jurusan Psikologi itu tidaklah mudah. Tuhan mengizinkanku melewati berbagai tantangan yang harus aku lalui. Kadang aku terjatuh dan merasa sulit untuk bangkit, salah satunya adalah ketika aku diperhadapkan dengan masalah keluarga. Sejak aku masih kecil orangtuaku telah bercerai dan aku lebih banyak diasuh oleh kakek dan nenekku.

Dilahirkan di keluarga yang broken-home membuatku khawatir akan masa depanku. Seringkali aku berdoa kepada Tuhan memohon supaya Dia memulihkan kembali keluargaku. Aku hanya menceritakan pergumulan ini kepada sahabatku yang juga memiliki masalah keluarga sepertiku. Persahabatan inilah yang akhirnya membantuku untuk terus kuat menjalani kehidupanku.

Sahabatku itu selalu mengajarku untuk berdoa dalam keadaan apapun. Dia juga mengatakan kalau untuk kelak menjadi seorang psikolog, aku harus menjadi perempuan yang tegar menghadapi setiap persoalan kehidupan. “Kelak pengalaman hidup yang kamu rasakan sekarang akan menguatkan orang-orang lain yang juga mengalami pergumulan seperti kamu,” kata dia kepadaku.

Saat ini di usiaku yang menginjak usia ke-23 tahun, perlahan tetapi pasti aku dapat melihat penyertaan Tuhan yang sempurna. Memang kedua orangtuaku tidak menjadi rujuk kembali, tapi aku tetap mengucap syukur atas semua yang terjadi dalam kehidupanku.

Ada satu ayat Alkitab dari 1 Korintus 10:13 yang menguatkanku. “Pencobaan–pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Kini tinggal selangkah lagi aku dapat mewujudkan mimpiku sebagai seorang Sarjana Psikologi dan memulai karierku selanjutnya sebagai seorang pengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Apapun yang terjadi di dalam hidupku adalah rancangan Tuhan. Dia menenun kita dalam kandungan ibu kita. Memang setiap proses dalam kehidupan ini tidak selalu berjalan mulus. Kadang kita dihadapkan dengan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi, Tuhan menempatkan kita di dunia ini bukanlah suatu kebetulan. Kita memiliki tugas untuk memuliakan Tuhan dan menjadi kesaksian bagi orang di sekitar kita. Semoga kita selalu melibatkan Tuhan di dalam setiap langkah kehidupan kita.

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (Mazmur 23:4).

Baca Juga:

Kisahku sebagai Putri Seorang Penarik Becak yang Belajar Mengampuni

Ibuku meninggal saat aku duduk di kelas 2 SD karena penyakit kanker. Beberapa tahun kemudian, ayahku yang bekerja sebagai penarik becak pun dipanggil Tuhan karena penyakit darah tinggi. Di tengah kemiskinan dan kehidupanku sebagai yatim piatu, Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik untukku. Inilah sepenggal kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.