Posts

Aku, si Keong di Antara Macan

Minder, gak percaya diri… Mungkin kita pernah mengalaminya.

Melihat teman yang sudah mapan dalam banyak hal dan melihat diri sendiri yang rasanya “gitu-gitu aja”, seolah benar adanya kalau aku si keong di antara macan: aku berjalan lambat, sedangkan teman-temanku melaju cepat.

Sobat Muda, perjalanan hidup kita dengan orang lain pasti berbeda. Karena itu, hidup bukanlah tentang siapa yang paling cepat, melainkan suatu proses untuk kita belajar banyak hal dan menjalani hidup yang sesungguh-Nya di dalam Dia.

Jadi, jangan patah semangat yaa. Teruslah berproses. Tuhan melihat upayamu dan senantiasa menyertaimu 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Si Takut dan Lemah Hati yang Jadi Pahlawan

Allah menyebut Gideon “gagah berani”.

Nah, sama seperti Allah menyertai dan memperlengkapi Gideon, demikian pula Dia menyertai kita. Dan, gak cuma menyertai, Allah juga menyediakan semua yang kita butuhkan untuk hidup mengikut dan melayani Dia, dalam perkara kecil maupun besar.

3 Perenungan Saat Aku Merasa Minder Karena Berbeda

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Aku bukan penonton drama Korea. Mungkin ketika membaca bagian ini saja, kalian berniat untuk skip tulisanku. Tapi coba tahan dulu hingga akhir.

Aku bukan penonton drama Korea, sedangkan hampir semua orang terdekatku menontonnya. Ketika dalam kelompok, tak jarang mereka membahas bias (artis) A atau drakor (drama Korea) B yang sepertinya seru, sedangkan aku cuma mengangguk atau ikut tertawa tanda upaya melibatkan diri. Kalau sekali dua kali, mungkin biasa saja. Namun hal ini seringkali terjadi di berbagai kelompok pertemananku.

Aku pernah berusaha memahami perbincangan mereka, namun aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka dalam hal K-Pop. Aku juga merasa sangat tertinggal untuk hal tersebut melihat bagaimana up to date-nya teman-temanku yang K-Popers. Bahkan, tak sedikit dari mereka bisa berbahasa Korea.

Karena perbedaan tersebut, beberapa kali aku sedih dan minder. Aku yang bukan penonton drama Korea terkadang merasa sendiri dan terasingkan dari teman-temanku yang lain. Aku merasa berbeda dan don’t belong dalam kelompok pertemananku.

Memang kita hidup dalam masyarakat yang heterogen. Perbedaan suku, agama, budaya, bahkan selera seni seperti hal di atas, ataupun hal lainnya adalah hal yang acap kali kita temui dan bahkan rasakan. Tak jarang perasaan berbeda ini membuat kita minder dan merasa tidak cocok dengan pertemanan yang ada. Mungkin wajar untuk merasakan hal itu, apalagi jika kita adalah sebagian kecil, atau bahkan satu-satunya dalam kelompok yang berbeda dari anggota yang lain.

Namun, ketika merasa minder karena berbeda, aku belajar untuk mengingat beberapa hal ini:

1. Kalau aku berada di tempat yang tepat, perbedaanku semestinya tidak menjauhkanku

Suatu ketika aku pernah sangat sedih karena merasa berbeda. Kali ini bukan karena drama Korea, tapi tentang latar belakang keluarga. Kondisi yang tidak ideal membuatku merasa berbeda dengan teman-teman yang keluarganya terlihat sempurna, sehingga aku merasa takut ditinggalkan oleh teman-temanku ini. Kemudian aku bercerita dengan salah seorang teman yang kebetulan keluarganya juga terlihat sempurna. Dia berkata seperti ini, “Orang-orang yang mau pergi karena tahu latar belakangmu, bukannya memang seharusnya tidak ada di hidupmu?”.

Aku menyetujui kalimat itu karena menyadari bahwa perbedaan yang ada seharusnya tidak menjauhkan ketika kita berada dalam kelompok pertemanan yang tepat. Lingkungan pertemanan yang tepat dan benar justru menerima suatu perbedaan dan mampu menghargainya, bahkan mau saling terbuka dan berbagi mengenai perbedaan tersebut. Hal ini membawaku kepada poin 2.

2. Dengan menjadi berbeda, aku dikasihi dan dimiliki

Hal paling indah yang bisa dirasakan setiap orang adalah tetap dikasihi meski banyak perbedaan.

Jika kembali melihat dua belas murid Yesus, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelayan, misionaris, bahkan seorang pemungut cukai. Namun mereka sama-sama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-Nya tanpa memedulikan latar belakang para murid. Bahkan kita mengenal kisah Tomas, yang seringkali disebut sang peragu, seakan menjadi sangat berbeda dari kehidupan murid Yesus yang harusnya percaya. Namun lagi-lagi, Yesus tidak pergi. Ia justru menunjukkan kehadiran-Nya kepada Tomas secara langsung (Yohanes 20:24-29).

Setiap pribadi dari dua belas murid itu berbeda, namun masing-masing menikmati kasih Kristus dan kasih dari sesamanya. Begitupun dengan kita. Ketika kita diterima walaupun kita berbeda, atau bahkan kita diterima karena perbedaan tersebut, di situlah kita menemukan kepemilikan sejati.

3. Allah mengasihiku tanpa syarat

Kasih Allah yang tanpa syarat sungguh nyata dalam hidup kita. Kasih tersebut adalah kasih yang telah menyelamatkan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib (Yohanes 3:16). Bukankah itu membuktikan bahwa kita sangat berharga di mata-Nya? Dia mengenal kita masing-masing secara pribadi dan mengasihi kita secara pribadi. Mengapa Tuhan mengasihi kita? Itu karena siapa Dia: “Tuhan adalah kasih.” (Yohanes 4 : 8, 16)

Pemahaman tentang hal ini menolongku ketika sedang berada dalam perasaan minder yang berlebihan. Tuhan mengasihiku tanpa syarat. Meski aku berbeda dari teman-temanku, Tuhan tetap mengasihiku. Jika teman-temanku juga adalah murid Kristus, aku juga percaya bahwa mereka tetap mengasihiku meski aku berbeda dari mereka.

Mengetahui hal itu tidak secara instan membuatku merasa aman dan tenang. Perasaan berbeda dan minder masih menghantuiku. Meski begitu, aku akan mengingat ketiga hal di atas yang mampu menguatkanku, dan aku akan berkata pada diri sendiri, “Tidak apa kok, Vik. Itu tidak membuatmu ditinggalkan oleh teman-temanmu yang sesungguhnya.”

Untukmu yang juga merasa berbeda sepertiku, entah karena tidak menonton drama Korea atau hal lainnya, kiranya ketiga hal tersebut juga bisa menolongmu untuk bisa berkata pada diri sendiri, bahwa berbeda itu tidak apa, karena aku dikasihi apa adanya.

Manisnya Kisah Hidup Maudy Ayunda: Jangan Lupa Kalau Hidupmu Juga Manis

Oleh Agustinus Ryanto

Warganet gempar. Bukan karena ada bencana atau peristiwa politik akbar, melainkan karena sosok selebriti tanah air, Maudy Ayunda, tahu-tahu menikah. Maudy secara tersirat sering dianggap sebagai role model kehidupan yang diidam-idamkan oleh banyak orang: berpenampilan menarik, wajah rupawan, seorang intelek, berbakat seni, dan yang teranyar dia menikahi seorang oppa.

Maudy yang lahir pada tahun 1994 memulai karier awalnya di dunia hiburan lewat film Untuk Rena pada tahun 2005. Setelahnya, Maudy tetap aktif membintangi sejumlah film sembari meneruskan studinya sampai lulus S-2 dari Universitas Stanford pada 2021. Di tahun yang sama, Maudy juga masuk ke dalam nominasi 30 orang di Asia yang berpengaruh di bawah usia 30 versi Forbes Asia.

Berita pernikahan Maudy yang bermula dari unggahan fotonya di Instagram dengan cepat menyulut skill investigasi netizen, terkhusus di Twitter. Maudy Ayunda segera menjadi trending topic dengan perhatian utama pada sosok siapa sebenarnya suami Maudy, bagaimana sepak terjangnya, agamanya, dan hal-hal personal lainnya. Tapi, tak sedikit pula yang mengungkapkan perbandingan: “Duh, enak banget ya jadi Maudy…”

Imaji kita akan sosok idaman nan ideal

Membanding-bandingkan diri adalah respons alamiah dari manusia. Setiap kita, secara sadar ataupun tidak, sering membanding-bandingkan diri. Meski komparasi pada level tertentu bisa mengubah cara pandang kita menjadi toxic, tetapi pada sisi lain perbandingan bisa mendorong kita berkompetisi atau meniru seseorang dengan tujuan meningkatkan kualitas diri.

Namun, kadang kita tak tahu atau tak sadar akan di titik mana perbandingan itu harus berhenti kita lakukan. Ketika membandingkan diri dengan seseorang, ada banyak sekali faktor yang menjadikan perbandingan kita tidak sepadan atau apple-to-apple. Sebagai contoh, jika kamu adalah seorang mahasiswa dengan uang saku kurang dari 1,5 juta setiap bulan, kuliah di kampus swasta biasa, menurut data dari Asian Development Bank mungkin kamu termasuk ke dalam kelompok penduduk kelas menengah yang secara posisi ada di tengah-tengah: tidak sekaya para pemilik modal, tetapi berkecukupan walau mungkin juga terasa banyak kurangnya. Imaji untuk membeli barang-barang mewah, studi di kampus beken luar negeri, sukses gemilang, dan hidup nyaman seperti para influencer, mungkin bisa juga terwujud dalam hidupmu, tetapi perlu effort yang besar (terlepas faktor hoki) yang belum tentu hasilnya akan sama dengan apa yang diidamkan.

Kita cenderung mengidolakan sosok yang menurut kita lebih daripada kita. Entah dalam hal karier, status sosial-ekonomi, atau bahkan kerohanian. Kecenderungan itu lantas membuat kita samar terhadap kelemahan yang juga dimiliki oleh sang idaman, yang jika kita tidak bijak bukannya membuat kita jadi terpacu semangatnya, malah jadi minder.

Membandingkan diri kita akan sosok lain yang menurut kita lebih ideal dan manis hidupnya bukanlah sebuah kesalahan, tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa sosok yang kita bandingkan pun adalah manusia berdosa, sama seperti kita. Setiap manusia di bawah kolong langit diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kejadian 1:26-27), namun kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan setiap orang kehilangan kemuliaan Allah dan menanggung banyak kelemahan. Hidup kita yang sekilas tidak seberuntung orang lain bukan berarti hidup kita penuh kepahitan. Kebenaran ini dapat menolong kita untuk melihat sosok idaman kita dari perspektif yang benar dan tidak mengagungkan mereka secara berlebihan.

Sukses kita adalah menggenapi panggilan-Nya

Lantas, jika hidup kita saat ini terasa biasa-biasa saja, apakah bisa menggapai yang namanya sukses?

Jawabannya: tergantung sukses seperti apa yang kita idamkan. Jika kita adalah seorang karyawan swasta dengan jabatan biasa tapi berambisi ingin jadi seperti influencer yang suka membikin es krim aneka rasa, yang kekayaannya sepertinya tak berseri, maka jawabannya: bisa-bisa saja! Tergantung usaha kita. Namun, ada pertanyaan yang lebih krusial daripada siapa dan seperti apa sukses yang ingin kita raih, yaitu: untuk apa segala kesuksesan itu nantinya jika berhasil kita raih?

Dalam Alkitab, kita mengenal kisah Musa yang diutus Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Ketika panggilan mulia ini datang, Musa menolak. “Ah, Tuhan. Aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10). Allah menjawab Musa dengan memberi pengertian bahwa Dialah yang berkuasa dalam melakukan perubahan. “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN?” (ayat 11).

Musa merespons Allah dengan berkelit lagi, “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus” (ayat 12). Allah murka terhadapnya dan memberikan penegasan bahwa Dia “akan menyertai lidahmu [Musa] dan lidahnya dan mengajarkan kepada kamu apa yang harus kamu lakukan…” (ayat 13). Yang menarik dari kisah Musa adalah meskipun dia memang memiliki kekurangan dan minder, itu tidak menghalangi Allah dalam mengutusnya. Segala keterbatasan Musa bukanlah kesalahan Allah, tetapi dalam kelemahan Musa kuasa Allah pun dinyatakan. Kelemahan seseorang tidak menjadi penghalang bagi tergenapinya pekerjaan Tuhan. Nama Musa tetap dikenal sampai sekarang sebagai tokoh besar yang memimpin Israel keluar dari tanah Mesir.

Sebagai orang Kristen, panggilan kita adalah menerangi dunia dan memberi rasa di dalamnya, sebab kita adalah garam dan terang (Matius 5:16). Panggilan ini bisa kita wujudkan tanpa perlu menunggu saldo di rekening menjadi sekian digit, mendapatkan pasangan hidup yang rupawan dan hartawan, atau menunggu pengikut kita di Instagram jadi sekian ribu. Allah mungkin tidak berbicara secara langsung seperti Dia berkomunikasi dengan Musa, tetapi melalui Alkitab yang adalah firman-Nya, setiap kita dipanggil untuk menggenapi rencana-Nya dari aspek yang paling sederhana dalam hidup (Kolose 3:23). Dalam upaya dan panggilan tersebut, ada janji yang Tuhan pasti nyatakan bahwa kita dipelihara-Nya (Mazmur 23:1, Matius 6:34).

Aku: si “Ketidaksengajaan” yang Hadir dalam Keluarga

Oleh Priliana

Aku lahir sebagai anak bungsu dengan kedua saudara yang usianya cukup jauh di atasku. Antara aku dan kakak pertamaku laki-laki, terpaut 10 tahun, sedangkan dengan kakak perempuanku, terpaut 7 tahun. Aku pernah bertanya pada orang tuaku, kenapa aku lahir dengan rentang usia yang cukup jauh dari saudara-saudaraku? Lalu mamaku menjawab, “Iya, kamu itu gak sengaja jadi.”

Entah apa yang kurasakan saat jawaban tersebut terlontar dari orang tuaku. Mereka menjawab sambil tertawa, mungkin mereka bergurau. Aku pun ikut tertawa, tapi juga bertanya-tanya, sungguhkah itu jawaban mereka? Tapi aku tetap merespons jawaban mamaku, “Ah.. Justru kalian beruntung ada aku di keluarga ini. Kalau gak ada aku, pasti keluarga ini sepi, gak ramai.” Dan mereka semakin tertawa.

Interaksi itu kumaknai dengan keterbukaan. Ternyata orang tuaku jujur menjawab pertanyaanku dan aku bersyukur atas itu, dan lebih bersyukur karena sesungguhnya mereka senang atas kehadiranku yang tidak sengaja ini. Ya, aku adalah ketidaksengajaan yang membawa sukacita, pikirku saat itu.

Tapi, ternyata aku tidak selalu membawa sukacita dalam keluargaku.

Ketika SD aku mulai dibandingkan dengan kedua saudaraku mengenai nilai rapor dan prestasiku di sekolah. Kedua saudaraku memang selalu memiliki nilai rapor di atas rata-rata, selalu dapat peringkat kelas, belum lagi prestasi lomba dan keahlian lainnya. Di tengah ekonomi kami yang sulit, kedua saudaraku sungguh seperti air yang mengalir di tengah gurun pasir.

Tetapi, dibanding-bandingkan bukanlah hal yang menyenangkan, justru menjengkelkan.
Aku paham maksud orang tuaku membandingkan kami agar aku mengikuti hal-hal baik dari saudaraku, tapi tetap saja aku jengah.

Setiap perbandingan itu seakan-akan berteriak: “Mereka saja bisa, masa kamu nggak bisa?”

Rasanya ingin kujawab: “Kalau mereka bisa, kenapa harus aku?”

Tentu keinginanku menjawab seperti itu bukanlah hal baik. Kalimat itu hanya tersimpan dalam hati.

Walaupun kesal dibandingkan terus, aku tetap berusaha memberikan yang terbaik di bidang pendidikan. Sampai waktu membuktikan usahaku. Aku yang belum pernah dapat juara semasa SD, berhasil meraih peringkat ketika kelas 1 SMP. Pertama kalinya, dan aku peringkat 3, mengalahkan teman SD ku yang sedari dulu selalu jadi juara kelas.

Aku senang. Aku semakin senang melihat betapa terkejut dan senangnya orang tuaku mendengar hal itu, bahkan orang tuaku langsung mengajakku makan es krim favoritku setelah pulang ambil rapor. Sejak saat itu, aku berusaha mempertahankan peringkatku dan bersyukur hingga SMA tetap memiliki peringkat dan nilai yang cukup baik.

Tapi perbandingan itu tidak kunjung selesai.

Habis membandingkan perihal pendidikan dengan kedua saudaraku, terbitlah membandingkan perihal zaman.

“Zaman kamu sekarang enak, dek. Sekolah negeri udah ga bayaran. Dulu saudara-saudaramu harus bayar. Untung dapat beasiswa, jadi dapat potongan. Makanya, belajar lah yang giat. Lihat abang dan kakakmu.”

“Dulu abang dan kakakmu harus bantu mama dagang sebelum berangkat sekolah. Bawa es batu subuh-subuh ke kantin pakai sepeda, cuci banyak piring setelah masak, angkat air, baru berangkat sekolah. Kamu bangun tidur cuma melakukan persiapan untuk sekolah, lalu berangkat. Enak, toh, dek.”

Huft.. Tidak cukup perbandingan dari orang tua, abangku juga melakukan hal yang sama.
“Enak jadi lo. Dulu gue harus bangun subuh-subuh, angkat air, beresin rumah, bantu dagang sebelum pergi sekolah. Pulang sekolah juga masih harus bantu mama dagang sampai malam. Lo di rumah aja, main-main.”

Hal-hal itu tidak sekali dua kali diungkit. Entah mengapa zaman saja dibandingkan.

Lalu aku harus bagaimana? Rasanya ingin bilang kalimat ini ke abangku:

“Ya siapa suruh lahir duluan. Itu sih DL, Derita Lo.” Tapi lagi-lagi itu hanya tersimpan dalam hati.

Hingga aku sudah merasa sangat jengah. Dan ketika perbandingan itu dilontarkan lagi oleh orang tuaku, aku memberi respon:

“Untuk apa membandingkan zaman kalian dulu dengan zamanku? Toh kita nggak bisa pilih mau hidup di zaman yang seperti apa. Untuk apa juga membandingkanku dengan abang dan kakak? Kita punya bakat masing-masing. Kalau mereka ahli di bidang akademis, apa salah kalau keahlianku di bidang non akademis?”

Dan orang tuaku terdiam. Entah karena terkejut atas sikapku atau memikirkan ucapanku.

Tapi aku lega setelah mengucapkannya. Keluh kesah yang kupendam akhirnya meluap. Entah apakah kejujuranku tersebut dapat mereka terima dengan baik atau tidak, tapi aku selalu mengingat ayat Alkitab yang berbunyi:

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya” (Amsal 2:7).

Aku percaya bahwa keterbukaan adalah awal pemulihan, baik untuk hubunganku dengan keluarga, untuk hatiku, dan mungkin untuk hati keluargaku juga. Keterbukaan menjadi kunci utama untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dan membangun. Dan setiap anggota keluarga memiliki hak untuk berterus terang mengenai perasaannya.

Bagiku, keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka karena dalam keluarga kita tidak perlu menutupi siapa diri kita sesungguhnya.

Selama menjadi anak, aku tetap berusaha mengutamakan rasa hormatku, seperti yang Alkitab bilang:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).

Bagaimanapun, orang tuaku adalah orang pertama yang merawatku sejak aku dalam kandungan. Pasti rasanya tidak mudah merawat seorang anak. Mamaku pernah berkata bahwa ketika memiliki anak, seluruh hidupnya berubah. Jam tidur yang berubah dan tidak teratur, waktu pribadi yang terbatas, dan lainnya. Begitupun dengan seorang ayah. Bertambahnya anggota keluarga pasti bertambah pula kebutuhan finansial untuk sang anak, dan lainnya.

Ayat Alkitab dan hal-hal di atas menjadi pengingat bagiku untuk tetap menghormati orang tuaku. Selama aku hidup, aku tahu mereka berusaha memberikan yang terbaik bagiku, bagi masa depanku.

Tapi orang tua tetaplah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, baik mereka sadari atau tidak. Karena itu, aku memilih terbuka mengenai perasaanku pada orang tuaku. Aku mau hubunganku dan keluarga dilandasi dengan keterbukaan dan kepedulian untuk mau membangun satu sama lainnya.

Ketika aku berterus terang tentang perasaanku— ketidaksukaanku atas perbandingan yang mereka lakukan, aku melihat bahwa sikap orang tuaku mulai berubah. Mereka mulai memberi apresiasi terhadap hal apapun yang yang dapat kulakukan, memberi semangat ketika aku gagal mengikuti ujian masuk universitas negeri, dan berusaha untuk tidak lagi membandingkanku dengan kedua saudaraku.

Aku bersyukur atas itu. Aku tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Ya, aku mau keluargaku bertumbuh dalam kasih-Nya dan berlandaskan kasih-Nya.

Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga seperti apa, tapi kita bisa membentuk pandangan kita terhadap keluarga.

Bagaimanapun hubungan dalam suatu keluarga, Tuhan tetaplah kepalanya. Dia tidak pernah secara asal menaruh kita dalam suatu keluarga. Dia selalu memiliki tujuan ketika menempatkan kita di mana pun.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Memulihkan Sisi “Parentless” Bersama Pacar, Mungkinkah?

Oleh Tabita Davinia Utomo

Pernahkah kamu berpikir mengapa pertengahan tahun sangat sering diwarnai dengan ketidakpastian dan gairah yang berkurang untuk melakukan apa pun? Kalau kamu pernah, well, kamu tidak sendirian, kok. Aku juga sedang mengalaminya saat ini, apalagi kalau bukan karena orang yang sedang mengerjakan tugasnya di depanku itu.

“Avery, kamu kenapa? ”

Aku menoleh ketika mendengar suara Matthew yang sedang menatap laptopnya, lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku nggak apa-apa, kok.”

“Soalnya ekspresimu kelihatan beda, sih. Kayak lagi galau gitu. Ada yang kamu pikirin, ya?” Kali ini Matthew menatapku dalam-dalam.

Sebegitu jelasnyakah ekspresi wajahku di balik masker ini? batinku tak percaya.

Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan, Matthew berkata, “Kita keluar sebentar, yuk. Biar nggak makin jompo badannya.”

Aku hampir saja tertawa, kalau tidak teringat bahwa sebentar lagi obrolan seperti ini tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat. Namun, dengan pura-pura ceria, aku menjawab, “Boleh.”

Di luar dugaan, Matthew mengajakku ke coffee shop yang ada di dekat kampus. Tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Padahal selama ini, kami akan saling mengobrol ringan di dalam perjalanan kami. Rasanya aneh kalau kami diam saja. Kenapa, sih, aku ini? pikirku dengan tidak nyaman. Bahkan setibanya di coffee shop itu, kami masih tetap diam—kecuali saat memesan spicy bulgogi, creamy shroom, susu matcha, dan kopi pandan.

Setelah duduk di meja kami, Matthew kembali bertanya, “Ada yang menggelisahkan kamu, Ve?”

“Hmmm…” aku menggembungkan pipi, lalu berkata dengan pelan, “Kalau aku bilang nanti, kamu bakal kesel, nggak?”

Matthew mengerutkan dahi. “Kan, aku belum denger kamu mau bilang apa… Jadi belum tahu mau merespons apa…”

“Aku nggak mau kamu pergi.”

Tanpa sadar, aku menyela perkataan Matthew. Aku tidak tahan untuk bersikap baik-baik saja saat Matthew akan pergi ke luar pulau selama beberapa bulan ke depan untuk melakukan pengabdian masyarakat di sana. Bukannya ingin posesif: aku tahu kalau mengabdi di suku Asmat adalah salah satu cita-cita Matthew, dan aku senang kalau bisa mendukungnya berkarya di sana. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri saat ini. Rasanya senang, tetapi juga khawatir dan… sedih.

Seakan memikirkan hal yang sama, Matthew berujar, “Tapi nanti aku akan tetep dateng ke wisudamu, kok… Masih keburu…”

“Bukan, sih. Bukan itu,” selaku lagi. “Aku tahu kamu pasti akan datang ke wisudaku setelah pengabdian itu. Cuma… aku juga bingung kenapa selebai ini buat LDR sebentar lagi. Sedih banget, ya.”

“Hmm… nggak juga.”

Jawaban Matthew membuatku menatapnya heran, karena selama berbicara tadi, aku berusaha menghindari tatapannya. Aku takut akan menangis di sini tanpa tahu alasan yang sebenarnya, dan itu justru membuat Matthew kesal. Tepat di waktu yang sama, sang pelayan memanggil Matthew untuk mengambil pesanannya, kemudian kami melanjutkan obrolan yang terputus.

“Maksudnya?” tanyaku sambil mengambil cream shroom-ku.

“Responsmu itu wajar, Avery.” Matthew tersenyum, sementara tangannya mengelus-elus tanganku dengan lembut. “Masa lalumu dengan papamu bisa membuatmu berespons demikian, dan aku bisa paham, kok. Nggak ada yang mau ditinggal pergi sama orang terdekat—apalagi saat kita masih bener-bener butuh perhatian dan kasih sayangnya, kan?”

“Iya, sih…” balasku dengan ragu-ragu, karena merasa titik lemahku dikulik-kulik.

Apa yang Matthew bilang membuatku teringat pada Papa yang meninggalkan Mama demi tugas negara, bahkan hingga hari kelahiranku tiba beliau tidak ada di samping Mama. Akibatnya, Mama jadi bersikap sangat keras padaku karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang Papa selama masa-masa kritisnya—bahkan hingga saat ini. Namun, mau bagaimana lagi? Tugas negara yang diemban itu membuat Papa terpaksa pergi dalam jangka waktu lama, sampai akhirnya beliau ditugaskan untuk bertugas di kota asalku hingga sekarang. Hanya saja, kebutuhan terhadap kelekatan yang sudah absen sejak kecil membuatku sangat canggung untuk berelasi dekat dengan Papa. Begitu pula dengan Mama yang otoriter. Tidak heran kalau kondisi seperti itu membuatku haus akan kasih sayang, bukan?

“Apa mungkin itu, ya, yang dibilang sama Kak Dhea?” tanyaku tiba-tiba saat teringat salah satu sesi konselingku bersama Kak Dhea, konselor kami (iya, kami mengikuti couple counseling bersamanya).

“Yang mana?” Matthew balik bertanya.

“Yang aku pernah ceritain itu… Waktu dia bilang, “Kepribadian Matthew yang friendly itu mengisi sisi “fatherless”-mu, kan?””

“Ohh…” Matthew tersenyum, lalu membalas, “Kamu juga, kok, Ve. Kamu juga mengisi sisi “motherless”-ku, bahkan lebih dari yang bisa aku bayangin sebelumnya.”

“Hmm… Kayak gimana maksudmu?” aku mengerucutkan bibir.

“Hehe… Dengan kamu mau dengerin dan kasih penguatan ke aku, itu lebih dari cukup. Aku jarang banget dengerin Mamaku kayak gitu.” Dia menggaruk kepalanya dengan salah tingkah.

“Iya, sih. Syukurlah kalau aku bisa memperlakukanmu sesuai kebutuhanmu.” Aku balas tersenyum, kemudian melanjutkan, “Tapi aku bersyukur karena bisa menjalin hubungan ini setelah punya gambaran yang baru tentang Bapa di surga…”

“Yaps. Kamu pernah share itu di paduan suara, kan? Waktu Bu Tracy tanya apa yang kamu bakal lakuin pertama kali kalau ketemu Dia?”

Aku mengangguk. “Dari dulu aku paling nggak suka kalau harus peluk Papaku. Entah. Aku merasa canggung, tapi juga ambigu. Mungkin antara love and hatred kali, ya. Tapi akhirnya aku sadar kalau seburuk-buruknya Papaku, aku punya Bapa yang pelukan-Nya selalu menyambutku, bahkan kalaupun aku nggak bisa peluk Papaku buat cari perlindungan…”

Sambil menyesap kopi pandannya yang sudah dingin, Matthew berujar, “Iya, ya… Pada akhirnya, nggak ada siapa pun atau apa pun yang bisa gantiin “parentless” yang kita alami—kecuali Tuhan sendiri.”

Matthew benar. Dulu, aku berpikir bahwa ironis ketika orang tua kita merelakan diri untuk menolong orang lain dan berjibaku di medan yang berbahaya, tetapi kehadirannya justru absen dari anggota keluarganya sendiri. Aku butuh beberapa tahun untuk bisa pulih dari cara pandang bahwa aku berhak untuk tidak mengasihi orang tuaku, sampai akhirnya membuat rasa haus akan kasih sayang itu mendorongku mencari pemenuhannya dari orang lain. Berkali-kali aku ingin punya pacar yang mampu menyayangi dan menerimaku, tetapi hasilnya selalu nihil. Entah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, perbedaan latar belakang yang menjadi “tembok” bagi relasiku, hingga verbal abuse yang aku terima dari mantanku.

“Kamu nggak akan bisa nemuin orang lain sebaik aku, Avery!” kata mantanku itu dengan keras saat aku mau putus. “Aku cinta kamu sampai mau ngalah terus-terusan, tapi ini balasanmu!? Haha! Kamu egois banget!!”

Padahal momen itu adalah awal mula dari pemulihan hidupku. Aku—yang sedang menjalani konseling dengan konselor lain—pelan-pelan sadar bahwa karena sisi parentless-ku, aku menurunkan standarku dalam mencari pasangan hidup. Aku seolah-olah rela berelasi dengan siapa saja, selama dia seiman dan sanggup mengayomiku sebagai wanita. Namun, kenyataannya berkata lain: secara tidak sadar, hal itu juga membuatku ingin “kabur” dari orang tuaku sendiri tanpa mengalami rekonsiliasi yang diperlukan. Mungkin itu juga yang menyebabkan relasiku dengan mereka makin menjauh.

“He’em,” aku mengiyakan Matthew, “kalau bukan karena Tuhan, aku nggak akan sadar secepat ini kalau isu “parentless” bisa jadi “tembok” untuk relasi kita. Jadi… maafkan aku, ya, Matt, kalau tadi aku kedengarannya egois.”

“Nggak apa-apa, kok, Ve…,” balas Matthew. “Aku juga bersyukur karena lewat relasi ini, aku merasa Tuhan sedang memulihkanku. Bukan berarti aku pengen pacaran biar bisa pulih dari “parentless”-ku, ya. Tapi aku juga mau konteks relasi ini jadi sesuatu yang mendewasakan kita dan bikin kita makin kenal Tuhan dan saling kenal diri sendiri.”

“Iya. Makasih udah ingetin aku, Matthew.” Aku tersenyum, mengingat naik-turunnya relasi kami ternyata tidak sia-sia untuk dijalani.

“Jadi, aku dibolehin pergi nggak, nih?” Matthew bertanya dengan iseng.

Aku tertawa dan mengangguk. “Iya. Hahaha… Pergilah dengan damai sejahtera, Kakakk. Dua bulan LDR mah bisalah, yaa.”

Di luar dugaan, Matthew membalas dengan kalimat dan gestur yang menghangatkan hatiku.

“Kalau pun nanti aku pergi, Avery tetep pegang tangan Tuhan, ya. Dia akan selalu bersamamu, dan cuma Dia yang layak untuk Avery percayai sepenuhnya. Tapi kalau Tuhan berkenan kasih kesempatan buatku…”

Tiba-tiba Matthew menggenggam tanganku yang sedang memegang susu matcha di meja. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke tangan yang digenggamnya, dia melanjutkan, “Aku mau diutus-Nya untuk pegang tangan ini dan melindungi pemiliknya sebagai pendamping hidupku.”

Ya, sisi parentless yang kami miliki mungkin dapat membuat kami kehilangan harapan akan adanya kasih sayang dan penerimaan yang utuh. Ada kalanya pula Matthew mengecewakanku, pun sebaliknya. Namun, relasi ini justru mengajarkan kami bahwa ketika Tuhan memulihkan anak-anak-Nya dengan cara-Nya, Dia bisa memakai apa pun—termasuk relasi yang Dia anugerahkan pada mereka. Terlepas bagaimana ujung kisah kami, aku berdoa agar aku tidak menyesali relasi ini, karena kami sama-sama melihat bahwa ada pertumbuhan dan pemulihan yang Tuhan hadirkan bagi kami secara pribadi—maupun sebagai pasangan.

3 Hal untuk Direnungkan Untukmu yang Punya Keterbatasan Fisik

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Memiliki bentuk tubuh dan rupa yang menarik dilihat rasanya adalah dambaan setiap orang. Tapi, tak semua ‘beruntung’ terlahir dengan kondisi fisik yang diidamkan.

Aku dilahirkan sebagai bayi yang normal dan sehat, sampai beberapa bulan setelahnya orang tuaku menyadari ada yang berbeda dengan mata kananku. Terjadi pembekuan darah dan saraf di sana, sehingga pupil dan bola mataku tidak bereaksi terhadap cahaya. Cerita yang lebih lengkap tentang kelainan mataku ini pernah kutuliskan sebelumnya di sini.

Sampai saat ini, kerap kali aku masih ingat dengan ejekan teman–teman saat aku bersekolah dulu atas kondisi fisikku. Terkadang, memori lama itu membuatku tidak percaya diri, terutama saat berinteraksi dengan orang banyak. Dengan kondisiku fisikku ini, tentunya ada kesulitan yang aku rasakan saat melakukan aktivitas sehari–hari. Salah satunya seperti saat mengendarai motor atau belajar mengemudikan mobil. Untuk melihat spion yang berada di sisi kanan dan kiri, aku hanya bisa melihat dengan sebelah mata. Ditambah lagi apabila aku mengalami kelelahan fisik, kelopak mataku pasti akan nyaris menutup.

Teman-temanku, melalui tulisan ini, aku ingin membagikan beberapa poin menurut perjalananku yang bisa dilakukan ketika fisik kita memiliki keterbatasan.

1. Ingatlah selalu bahwa tidak ada manusia yang sempurna

Tidak ada hal yang lebih sulit daripada penerimaan atas diri sendiri. Mereka yang berhasil berdamai dengan diri sendiri pasti butuh waktu untuk berproses. Tidak ada yang instan. Aku pun demikian. Aku masih dan akan terus belajar menerima diri sendiri. Tidak lagi mbatin “seandainya aku begini” atau “seandainya aku begitu”.

Rasul Paulus menuliskan begini: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9).

Jika saja Paulus tidak memiliki keterbatasan, besar kemungkinan pelayanannya akan penuh dengan kesombongan akan diri sendiri. Kelemahan tidak selalu tentang fisik yang terlihat berbeda, mungkin saja ada penyakit dalam yang sulit disembuhkan, yang membuat kita merasa tidak nyaman dalam menjalani keseharian. Tetapi, tidak ada satu pun manusia yang sempurna yang terbebas dari kekurangan fisik, meskipun di mata kita seseorang itu tampak tidak ada kurang-kurangnya sama sekali.

Sepenggal kisah Paulus dalam 2 Korintus mengingatkan kita untuk selalu bergantung pada Tuhan Sang Pemilik Hidup kita.

2. Ingatlah segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya

Masih ingat bagaimana sikap murid–murid saat bertemu orang yang buta sejak lahir di ayat awal Yohanes 9?

Mereka bertanya “Siapakah yang berbuat dosa, dirinya sendiri kah atau orang tua nya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tua nya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia” (Yohanes 9:3).

Memang begitu banyak hal di luar jangkauan kita. Namun, percayalah tidak ada satupun hal tersebut berada di luar kuasa-Nya. Keterbatasan yang saat ini aku dan teman–teman alami adalah hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita. Bukan karena dosa bawaan keluarga, tetapi seperti kusebutkan di poin pertama, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat segala kemalangan tidak terhindarkan, tetapi ada kabar baiknya… Kristus telah menang atas dosa dan bagi kita yang menerima-Nya sebagai Juruselamat, Dia memberikan bagi kita identitas baru. Identitas kita tidak lagi ditentukan berdasarkan seperti apa penampilan kita di mata orang lain, tetapi ditentukan oleh apa yang telah Dia perbuat bagi kita.

3. Tetap berkarya meski terbatas

Keterbatasan fisik bukanlah suatu halangan untuk kita terus berkarya dan menjadi saksi-Nya. Kamu dan aku adalah terang dan garam dunia (Matius 5:13–14). Di mana pun saat ini kita berada, apa pun status kita, kita adalahi terang dan garam dunia.

Hidup yang kita jalani adalah hidup yang berutang kepada Penebus yang tergantung di kayu salib. Maka sudah sepatutnya kita menjalani hidup dengan tidak setengah-setengah dan terus berjuang memberikan yang terbaik, bahkan sekalipun ketika yang terbaik itu tidak terlihat oleh manusia. Selain itu, hidup kita bagaikan kitab terbuka yang dapat dibaca oleh sesama. Siapa yang mereka lihat dan rasakan melalui perbuatan dan perkataan kita, tergantung dari bagaimana kita menjalani hidup kita.

Teman, itulah tadi poin-poin yang kuambil selama 30 tahun perjalananku sebagai seorang yang memiliki keterbatasan fisik. Sampai saat ini, aku masih dan akan terus berjuang untuk memberikan hidup yang terbaik bagi Tuhan. Belajar untuk tidak minder saat bertemu dengan orang banyak dan juga terus memelihara pemberian Tuhan lainnya. Meski hanya melihat dengan sebelah mata, tetapi aku tahu dunia ini begitu luas dan Tuhan berjalan bersamaku untuk menikmatinya. Kendala di mataku tidak membuatku abai akan anggota tubuh yang lain, yang tetap harus kupelihara.

Kiita dicipta segambar dan serupa dengan Allah dan ketika Dia membentuk kita, Dia melihat bahwa semuanya itu baik.

Dalam tangan-Mu, ku s’rahkan hidupku
Ku taruh penuh harapku pada-Mu
Kemenanganku hanya ada di dalam janji-Mu
Engkaulah Tuhan Pemilik Hidupku

Semua yang terjadi dalam hidupku
Semuanya atas seijin Diri-Mu
Semuanya indah dalam rencana-Mu
S’bab ku tahu, Kau Pemilik Hidupku

Ketika Penampilan Tidak Good-Looking, Bagaimana Bisa Meraih Bahagia?

Oleh Jasmine Ong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Be Happy If I’m Not Good Looking?

Ketika film Crazy Rich Asian dirilis, banyak orang mengapresiasinya karena itu jadi film Hollywood pertama yang diperankan orang-orang Asia dan menonjolkan budaya ‘Asia’. Tapi, yang menohok buatku adalah: selain crazy rich, para pemeran film itu penampilannya luar biasa good looking. Aku pun teringat omongan orang yang berkata kalau penampilan fisik yang menarik bisa membuat hidup jadi sukses.

Tahun 1994, ada artikel berjudul “Beauty and the Labor Market” ditulis oleh Daniel Hamermesh dan Jeff Biddle. Artikel itu menunjukkan kalau karyawan yang dianggap berpenampilan menarik oleh perusahaannya mendapatkan penghasilan 10-15% lebih tinggi dari orang sepantarannya. Selain dalam hal pekerjaan, riset lain dari Alan Feingold yang berjudul, “Good-Looking People Are Not What We Think” menemukan kalau penampilan yang lebih baik juga berkorelasi secara positif dengan jumlah teman yang lebih banyak, dan popularitas yang lebih tinggi kepada lawan jenis. Tahun 2016 juga digelar studi yang melibatkan 120 ribu orang di Inggris Raya. Periset studi itu mendapati kalau laki-laki yang pendek atau perempuan yang tubuhnya gemuk (kebanyakan karena hal genetik) cenderung berpenghasilan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang lebih tinggi dan langsing.

Aku tidak membutuhkan riset-riset di atas untuk memberitahuku apa yang telah kulihat dengan nyata di keseharianku–tapi, hasil riset itu seolah menegaskanku omongan-omongan orang yang bilang ‘kalau kamu good-looking, hidupmu bakal lebih gampang.’ Semua orang ingin jadi temanmu; kamu memancarkan kepercayan diri dan menghadapi hidup dengan mudah; kamu selalu menulis tagar #blessed di postingan Instagrammu. Aku tidak sedang bicara soal selebriti atau influencer. Mereka yang kumaksud adalah orang-orang biasa—teman sekelas, sesama jemaat gereja, tetangga kita—yang kelihatannya mendapatkan privelese karena genetik alias keturunan.

Aku juga melihat bagaimana orang-orang bisa kehilangan kesempatan kerja dan lingkaran sosial karena penampilan mereka. Aku ingat dua teman sekelasku yang bersusah payah mencari pekerjaan di negara asal mereka. Meskipun nilai-nilainya bagus dan mereka bisa berbicara dalam beberapa bahasa, mereka tidak juga diterima karena masalah berat badan. Suasana pasrah di antara kedua temanku itu sungguh memilukan, mereka seolah telah menerima kenyataan pahit itu sebagai bagian dari hidup mereka. Ada pula temanku yang lain yang diomeli oleh saudaranya yang bilang kalau dia melajang sebagai akibat dari keengganannya diet dan menurunkan berat badan.

Pertarunganku dengan tubuhku sendiri

Dalam kasusku pribadi, masa-masa remaja dan awal usia 20-anku dipenuhi rasa tidak percaya diri dengan penampilan fisikku. Kupingku berukuran besar dan menonjol. Aku pun sering dijadikan bahan ejekan dengan dalih ‘canda doang kok’, tapi candaan itu menusuk begitu dalam. Tubuhku juga lebih besar dibandingkan dengan rata-rata perempuan Asia, fakta yang sering disematkan padaku oleh teman sekelas, keluarga, dan bahkan orang asing.

Karena semua itu, harga diriku terpukul jatuh. Aku menghabiskan waktuku berjam-jam menatap kaca di tembok, mengkritik wajah dan tubuhku sendiri. Aku memelas kepada papaku untuk melakukan operasi di telingaku dan hidungku supaya lebih mancung. Aku pikir semua itu jika dilakukan akan membuat kepercayaan diriku meningkat dan aku akan benar-benar bahagia. Papa dengan tegas menolak ideku itu.

Dia menjelaskan tentang risiko operasi plastik, tapi meskipun aku tahu itu memang bahaya aku tetap ingin melakukannya, terkhusus jika itu bisa membuatku berhenti membenci diriku sendiri.

Ketika akhirnya aku tidak lagi terobsesi operasi plastik, aku ingin menguruskan badanku. Aku bersumpah untuk makan lebih sedikit, tapi akhirnya terjebak dalam lingkaran setan yang terus membuatku merasa gagal dan membenci diri sendiri. Dikalahkan oleh beberapa upaya yang gagal, aku pun berpikir: Harapan macam apakah yang tersedia buat orang sepertiku, yang tidak kaya ataupun cantik, untuk memperoleh kebahagiaan?

Kecantikan di mata Allah

Pada waktunya, Alkitab menolongku memutus cerita dongeng yang kupercayai itu. Pada satu perikop, Allah memberitahu Samuel ketika Dia hendak menunjuk raja Israel yang selanjutnya: “Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: ‘Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7).

Bagian ini menarik buatku. Allah yang menciptakan manusia menegaskan bahwa penampilan fisik tidaklah menarik. Ayat itu lantas membuka mataku untuk berpikir bahwa standar Allah itu berbeda. Allah menunjuk orang-orang untuk memenuhi peran masing-masing yang unik dalam kerajaan-Nya, tanpa melihat bagaimana penampilan fisik mereka. Aku sadar bahwa masyarakatlah, bukan Tuhan, yang membangun gagasan dan bias tentang kecantikan.

Aku kemudian belajar bahwa penderitaan adalah sesuatu yang lumrah bagi umat manusia. Kekayaan dan penampilan rupawan tidak menjamin hidup akan terbebas dari kesulitan. Lihatlah berita tentang bencana alam, perang, atau penyakit yang menghacurkan hidup seseorang tanpa melihat status mereka. Dokumenter yang baru dirilis tentang Britney Spears misalnya, menunjukkan padaku bahwa bintang terkenal sekalipun tidak kebal dari masalah mental.

Melalui realita ini, aku belajar untuk menerima bahwa melakukan operasi plastik tidak akan mengubah jalan hidupku. Hidupku malah berubah drastis ketika aku menerima Kristus sebagai Juruselamatku. Dari titik ini, aku tidak lagi menghadapi penderitaanku seorang diri, karena aku telah mendapatkan Penghibur dan Kawan yang mampu melihat rasa tidak percaya diriku dan berbagi beban. Yesus, yang disebut dalam nubuat Yesaya sebagai ‘tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada; (Yesaya 53:2), yang kemudian ditelanjangi dan berdarah-darah di atas kayu salib, sungguhlah jauh dari definisi fisik yang rupawan. Namun, dari Dialah kasih dan harapan hadir bagiku. Yesus jugalah yang berkata, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Meskipun kadang masih sedih karena tidak memiliki fisik yang rupawan dan berberat hati karena tekanan yang diberikan oleh masyarakat untuk menjadi ideal berdasar standar mereka, aku menghibur hatiku dengan Mazmur 23 yang menyatakan Allah adalah gembala, dan aku tidak kekurangan suatu apa pun. Meskipun aku tidak memenuhi standar kecantikan masyarakat, atau aku menghadapi diskriminasi dan penolakan dalam berbagai bentuk, aku tahu Allah membimbingku melalui setiap momen itu dan Dia sungguh peduli padaku.

Bertahan hidup dalam pandemi telah mengajariku banyak hal. Hari-hari ini, aku merasa sungguh bahagia ketika aku pulang kerja setelah melayani pasien-pasien dan rekan kerjaku dengan sepenuh hati, sesuai kemampuanku. Aku menemukan sukacita dalam memupuk persahabatan yang telah bertahan dalam ujian waktu dan jarak.

“Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mazmur 145:9).

Baca Juga:

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, Papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.” Ian tak tahu harus menjawab apa.

Berdamai Dengan Perasaan Rendah Diri

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Satu hal yang sering menjadi pergumulanku secara pribadi adalah kecenderunganku untuk minder dan rendah diri. Mungkin hal ini adalah hal yang ironis, karena sepertinya di mata orang, hidupku baik-baik saja. Tuhan telah memberi aku keluarga yang baik, pekerjaan yang stabil, dan dalam ukuran dunia, memang aku hidup dalam kecukupan, dan bahkan kelimpahan.

Dari usia dini aku selalu merasakan pressure untuk menjadi orang yang sempurna. Sewaktu aku masih di Sekolah Minggu, aku memiliki ketakutan yang tidak wajar tentang neraka. Karena Alkitab pun menuntut kita untuk sempurna, karena Tuhan sendiri sempurna (Matius 5:48). Mungkin karena aku adalah anak tengah dari lima bersaudara—banyak orang berkata bahwa anak tengah cenderung memiliki “middle child syndrome” atau keinginan untuk dianggap. Atau mungkin ada unsur bullying yang pernah aku alami ketika duduk di bangku SMP. Apapun itu, selalu ada keinginan untuk menyenangkan orang tua, diterima di komunitas, dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang. Dan selalu–hal ini membuat aku merasa bahwa diriku adalah “kurang”.

Banyak orang berkata, “jangan minder!” “Itu hanya masalah mindset.” Namun, apa yang kita rasakan, tidak dapat kita abaikan begitu saja. Nasihat seperti ini, walaupun mungkin diucapkan dengan maksud yang baik, kadang malah tidak membantu. Karena kalau kita jujur, mau sekeras apapun kita mendorong diri, sesungguhnya, kepercayaan diri bukanlah hal yang bisa di buat-buat.

Supaya Aku Jangan Meninggikan Diri

Memang, ada perbedaan di antara kerendahan hati dan kerendahan diri. Alkitab mengajarkan kita untuk rendah hati, dan bukan rendah diri, karena sesungguhnya, manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27). Namun, kerendahan diri bukanlah sesuatu yang dapat kita ubah dalam sekejap. Setidaknya, selama ini, perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah bagi diriku. Walaupun mungkin setelah sekian lama tentunya aku mengalami pertumbuhan, kecenderungan untuk jatuh dalam unhealthy self-image seringkali masih ada.

Suatu bagian Firman yang menguatkan bagiku adalah 2 Korintus 12, di mana kita diceritakan tentang suatu kelemahan yang Paulus miliki. Ia menulis,

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. 8 Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku (ayat 7).

Kita tidak pernah diberitahu apakah sesungguhnya ‘duri’ tersebut yang menjadi suatu gangguan dan halangan bagi Paulus, namun kita diceritakan betapa sang rasul telah berdoa pada Tuhan untuk mengambil duri tersebut darinya. Akan tetapi, dalam keluhannya pun, ia menyatakan suatu kebenaran, yaitu, bahwa duri tersebut ada “supaya aku jangan meninggikan diri.”

Satu hal yang aku syukuri dalam kecenderunganku untuk rendah diri adalah peringatan yang sangat nyata akan kelemahanku dan ketergantunganku kepada Tuhan. Banyak orang memikir bahwa cara untuk mendorong orang lain untuk menjadi percaya diri adalah untuk membanjiri mereka dengan pujian. Tentu, kita boleh memuji dan mengapresiasi orang lain. Namun, jika berlebihan, sanjungan dapat memupuki bibit keangkuhan yang ada dalam hati setiap manusia–keangkuhan yang ada di awal mula, ketika Adam dan Hawa menginginkan otonomi, dan menyangkal dependensi mereka terhadap Tuhan.

Dalam Kelemahan, Kuasa-Nya Sempurna

Mengakui kelemahan kita bukan berarti kita menjadi orang-orang yang pesimis dan tanpa harapan. Orang Kristen tidak seharusnya merasa terkalahkan ataupun putus asa. Karena sesungguhnya, Kristus telah menang atas dunia.

Namun, kemenangan Kristus bukan berarti tiba-tiba kita tidak lagi dihadapi oleh kekurangan dan kelemahan. Sayangnya kebiasaan kita dalam komunitas Kristen adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memberikan kesaksian, hanya ketika ada hal-hal yang ‘layak’ untuk dibagikan. Seperti mengalami suatu mujizat atau terobosan yang tak terduga.

Sebaliknya kita melihat bahwa dalam kelemahannya, Paulus datang kepada Tuhan, sebagai seorang yang mengakui ketergantungannya pada-Nya. Dan Tuhan pun menjawabnya:

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. 10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (ayat 9).

Satu hal yang menjadi penghiburan dan kekuatan bagiku, sewaktu-waktu aku jatuh dalam pemikiran-pemikiran yang tidak sehat tentang diriku sendiri (atau, unhealthy self-image) adalah Kebenaran Kekristenan yang paling mendasar. Bahwa identitasku tidak tergantung pada apa yang aku miliki, apa yang aku dapat bawa, ataupun pada pemikiranku tentang diriku sendiri. Identitasku sebagai anak Allah telah diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan yang telah membeliku dengan darah-Nya yang mahal.

Dalam Kebenaran inilah, aku percaya. Dan maka dari itu, karena Kebenaran ini, aku dapat bermegah atas kelemahanku, bahkan kerendahan diriku.

Yesus, Sang Raja Yang Merendahkan Diri-Nya Untuk Melayani Kita

Tuhan sendiri mencontohkan hal ini. Meskipun Ia adalah Raja segala raja, Ia datang ke dunia sebagai Bayi di palungan. Walaupun Ia adalah Tuhan, Ia tumbuh sebagai seorang manusia selama tiga puluh tahun dalam keterampilan pekerjaan ayah-Nya, seorang tukang kayu. Ketika Ia memulai pelayanan-Nya, banyak orang ingin menjadikan-Nya sebagai Raja. Tapi tidak lama kemudian, Ia dicemooh dan dihina, bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib.

Yesus, Tuhan yang sempurna, merendahkan diri-Nya agar Ia dapat melayani kita, manusia yang angkuh. Ia tidak menuntut kesempurnaan dari kita, melainkan, mengasihi kita bahkan dalam segala kelemahan, agar kita dapat berseru kepada-Nya, sang Juruselamat. Dan karena Ia telah menjubahkan kita dengan kesempurnaan-Nya, kita dapat menjalankan hari-hari kita dengan setia, mengetahui bahwa bahkan dalam kelemahan kita, kasih Karunia Tuhan selalu ada.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Aku Mengalami Frustasi Spiritual

Perasaan frustasi akan kegagalanku dalam pertobatan malah membuatku semakin menjauhi-Nya. Perasaan takut, sungkan dan khilaf membaur menjadi satu. Perasaan berulang inilah yang membuatku semakin depresi dalam spiritualku.