Posts

Ketika Kutemukan Bagian yang Hilang dari Kesuksesan

Oleh Michele Ong
Artikel ini dalam bahasa Inggris: When I Found The Missing Piece To Success

Beberapa waktu lalu, aku mulai merenungkan apa artinya sukses.

Semua dimulai ketika ayahku berkomentar betapa suksesnya salah satu sepupu jauhku yang berprofesi sebagai ahli bedah. Aku ingat, aku pernah memberi tahu ayahku—dengan agak kesal—bahwa lulusan seni bisa sama suksesnya seperti rekan-rekan mereka yang belajar kedokteran. Maksudku, lihatlah sutradara film dari Selandia Baru, Taika Waititi. Dia sukses! Aktor Inggris, Tom Hiddleston begitu memuji Waititi dan mengaguminya karena kecakapannya. Tom juga menyukai film Waititi, Hunt For The Wilderpeople.

Namun, komentar itu tetap membuatku berpikir tentang definisi sukses.

Apakah dengan memiliki jumlah saldo rekening yang besar, pakaian, sepatu mahal, dan tinggal di apartemen mewah? Apakah dengan melepaskan pekerjaan yang nyaman dan penghasilan tetap untuk menjadi sukarelawan di negara dunia ketiga? Atau apakah dengan memiliki keluarga, menetap di rumah yang bagus, dan menikmati kehidupan sosial yang baik bersama keluarga dan teman?

Aku mencari di Google, “Apa itu sukses?”, dan mendapatkan 1,040,000 hasil pencarian. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah playlist pembicaraan yang menampilkan orang-orang terkemuka yang berbagi ide dan definisi tentang kesuksesan mereka. Dua dari mereka menonjol secara khusus.

Yang pertama adalah penulis Amerika, Elizabeth Gilbert, yang menulis memoar populer pada tahun 2006, yaitu Eat Pray Love. Baginya, kesuksesan berarti gigih dalam menghadapi rintangan. Gilbert menerima banyak surat penolakan selama enam tahun sebelum dia menerbitkan buku pertamanya. Namun, sama seperti penolakan-penolakan yang menghancurkannya itu, dia tidak pernah melihat berhenti sebagai pilihan.

Yang kedua adalah pemain dan pelatih bola basket Amerika, John Wooden, yang mendefinisikan kesuksesan sebagai “ketenangan pikiran yang dicapai hanya melalui kepuasan diri dengan mengetahui bahwa kamu melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik yang kamu mampu”.

Setelah mendengar kedua pembicaraan tersebut, aku merasa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang membuat hidup menjadi sukses. Rumus sukses banyak bicara tentang mengatasi kesulitan dan menjadi yang terbaik semampu kita. Dan prinsip-prinsip ini selaras dengan apa yang diajarkan Alkitab. Alkitab memperingatkan tentang kemalasan (Amsal 6:10-11; Amsal 10:4) dan mendorong kita untuk memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan, memahami bahwa kita bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23-24).

Tapi, tetap saja aku merasa ada yang kurang dalam “rumus sukses” ini.

Jadi, aku melihat buku favoritku sepanjang waktu, The Purpose Driven Life, ditulis oleh pendeta Amerika, Rick Warren. Dia menulis bahwa manusia tidak diciptakan hanya untuk mengonsumsi sumber daya atau untuk “mendapatkan” hasil maksimal dari kehidupan, namun Tuhan telah menciptakan kita untuk membuat perbedaan dalam hidup dengan memberi dan melayani. Bunda Teresa, contohnya. Dia tidak memiliki rumah besar, tapi karya-karyanya telah mempengaruhi jutaan orang di sekitarnya.

Dan tentu saja, ada Yesus sendiri. Ia dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana, tanpa kemegahan atau kemewahan. Dia mengabdikan hidup-Nya untuk membantu dan melayani orang lain, melakukan banyak mukjizat di antara mereka untuk menunjukkan kuasa dan kasih Bapa-Nya. Kemudian, Yesus menunjukkan tindakan pelayanan dan pengorbanan terbesar, yaitu menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Sampai hari ini, nama-Nya dikenang dan satu tindakan tanpa pamrih-Nya terus mengubah kehidupan di seluruh dunia. Apakah itu kehidupan yang sukses?

Jadi, jika kehidupan Yesus adalah lambang kesuksesan, kita dapat yakin bahwa Tuhan tidak mengukur kesuksesan kita dengan kekayaan materi kita. Dia juga tidak mengukur kesuksesan kita dengan perbuatan baik yang kita lakukan atau pencapaian yang kita miliki.

Meski begitu, tidak salah jika kita diberkati dengan penghasilan yang lumayan, prestasi yang membanggakan, atau jika kita ingin menjadi relawan di masyarakat. Aku mengenal beberapa pengusaha dan wiraswasta yang mendapatkan gaji besar dan menyumbang sebagian dari pendapatan mereka ke gereja sebagai sarana pelayanan mereka. Ada juga orang yang terpanggil untuk menjadi misionaris dan meninggalkan kenyamanan rumah mereka untuk melayani di lingkungan yang asing. Di mata Tuhan, kedua kelompok itu sama berharga dan suksesnya karena motivasi mereka sama—melayani dan memberi kepada Tuhan.

Aku tahu, kesuksesan dapat dengan mudah didefinisikan berdasarkan gaji, jabatan, dan pencapaian dalam hidup kita. Aku pun jatuh ke dalam perangkap ini sesekali, dan membandingkan pekerjaanku dengan pekerjaan teman-temanku yang memiliki jam terbang tinggi. Terkadang aku bahkan merasa malu karena tidak mengambil bagian dalam tiap misi besar di hidupku, dan merasa seperti aku telah gagal mencapai “kesuksesan”.

Tetapi aku harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa Tuhan tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Akan ada hari ketika kita harus berdiri di hadapan Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban tentang bagaimana kita hidup. Akankah kita dapat berdiri dengan percaya diri di hadapan-Nya karena mengetahui bahwa kita telah melayani-Nya dengan sepenuh hati dan memberikan yang terbaik kepada-Nya? Jika demikian, aku benar-benar percaya bahwa itulah tanda kehidupan yang sukses!

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup



Oleh Michele Ong, New Zealand

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Getting Married Need Not Be A #LifeGoal

Berbagai postingan tentang pernikahan dan pertunangan mendominasi timeline media sosialku, dan aku mulai merasa tertinggal dari teman-temanku.

Setiap postingan biasanya berisi penggalan kalimat yang kurang lebih berkata seperti ini: “Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan sahabatku”, “Tak kusangka, dia berkata ya”. Lalu, kalimat-kalimat itu juga dilengkapi dengan foto-foto pasangan yang berbahagia di mana sang perempuan menunjukkan cincin lamarannya, juga dilengkapi hashtag #SoBlessed, #MarriedMyBestFriend, dan lain-lain.

Buletin gereja pun sama saja. Hampir setiap hari Minggu selalu ada saja pengumuman pernikahan dari anggota jemaat di gereja. Bila kulihat sepintas, foto-foto pasangan yang tercetak di buletin itu tampak penuh senyuman kebahagiaan, juga berlatar pemandangan yang begitu indah. Beberapa dari pasangan calon pengantin itu usianya masih sangat muda—mungkin berkisar baru setahun atau dua tahun setelah lulus SMA—dan, hal ini sempat membuatku berpikir: mengapa mereka lebih memilih untuk menikah daripada mengejar gelar dan pengalaman hidup di usia muda mereka.

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah itu, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tapi jangan salah sangka dahulu: apabila diberikan pilihan, tentu aku pun ingin menikah, sama seperti orang-orang lainnya. Satu alasan sederhananya adalah karena aku takut mati dalam kesepian. Aku takut apabila nanti tidak ada orang lain yang mengetahui berita kematianku dan akhirnya jenazahku pun baru ditemukan dua tahun setelahnya (aku membaca cukup banyak berita tentang peristiwa semacam ini).

Namun demikian, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali aku memiliki relasi yang berjalan untuk kurun waktu yang cukup lama. Ketika mantan pacarku baru-baru ini menikah, aku belum juga menemukan seorang yang tepat untukku di mana pun di bumi ini.

Tidak kupungkiri, pencarianku akan seorang yang tepat itu cukup melelahkan dan rasanya seperti memeras otak. Tapi, satu hal yang pasti adalah, dia yang tepat untukku itu tidak akan kutemukan di dalam diskotik, juga aku belum menemukannya di situs kencan online. Selain itu, di tempat kerjaku juga tidak ada lagi pria single yang tersisa. Baru-baru ini, aku mendaftarkan diriku untuk bergabung sebagai penjaga pantai, dengan harapan aku akan berjumpa dengan seseorang yang tepat di sana (tapi, tentunya tujuan utamaku adalah untuk menjaga kesehatanku dan berkontribusi kepada komunitasku). Aku juga sudah bertanya kepada teman-temanku kalau saja mereka mengetahui atau punya kenalan beberapa pria yang masih single.

Katakanlah aku sudah mencoba berbagai macam cara dan belum juga membuahkan hasil. Jadi, aku pun berhenti untuk berusaha mencari.

Walaupun begitu, hidupku sebagai seorang perempuan single itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hidup yang menyedihkan ataupun tragis; justru kebalikannya. Dalam 10 tahun terakhir, aku menghabiskan waktu luangku untuk menjadi sukarelawan tim penerima tamu di gerejaku. Aku memenangkan beasiswa kesempatan magang di sebuah perusahaan media berbahasa Mandarin, China Daily yang berbasis di Beijing. Aku juga pindah dari Auckland, Selandia Baru untuk bekerja sebagai seorang reporter. Dan, saat ini aku juga menjadi seorang kontributor untuk menulis di YMI. Ketika nanti aku telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai penjaga pantai, aku juga akan berpatroli di sekitar pantai selama akhir pekan di musim panas.

Masa single memberikanku kesempatan untuk berkontribusi bagi komunitasku melalui berbagai cara. Menurutku, hal-hal ini juga bisa jadi tujuan hidup yang sama baiknya dengan tujuan hidup yang lain.

Aku tidak merendahkan pernikahan, karena aku tahu itu merupakan suatu usaha dan kerja keras. Aku memuji mereka yang berkomitmen dalam pernikahan, tetapi aku pun percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bagi setiap manusia di dunia.

Sebagai contoh, cobalah lihat Rasul Paulus. Sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus dulunya adalah orang yang menganiaya orang-orang Kristen. Namun, pada akhirnya dia menjadi seorang yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk memberitakan pesan tentang Yesus ke berbagai daerah di Kerajaan Romawi. Paulus mengakui bahwa jika dia menikah, besar kemungkinan bahwa pernikahan itu akan menghambatnya dalam menjalankan tugasnya. Pada kenyataannya, Paulus juga mendukung keputusan untuk tetap single. Kata Paulus: seorang pria ataupun wanita yang menikah akan memerhatikan urusan dunia dan bagaimana mereka bisa menyenangkan pasangan mereka (1 Korintus 7:32-35). Tetapi, mereka yang hidup sebagai seorang yang single memusatkan pikiran pada perkara-perkara rohani, dengan tujuan untuk mempersembahkan diri kepada Allah “di dalam tubuh dan roh”.

Aku percaya, seandainya Paulus waktu itu menikah, mungkin dia takkan bisa bepergian dengan begitu bebasnya ke banyak daerah di Kerajaan Romawi untuk memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, dan menyemangati orang Kristen mula-mula. Selain Paulus, Yohanes Pembaptis juga adalah seorang pria single (berdasarkan catatan sejarah yang ada), yang kehidupannya menjadi teladan. Yohanes Pembaptis tahu misi Tuhan bagi hidupnya adalah mempersiapkan orang-orang untuk menyambut kedatangan Mesias, dan selama hidupnya pun Yohanes Pembaptis memberitakan kabar tentang Yesus Kristus. Alkitab mengatakan bahwa dia memiliki kehidupan yang keras, dan fokus utamanya adalah mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dari hidup Paulus dan Yohanes Pembaptis, kita dapat melihat dengan jelas suatu kebenaran: tidak perlu malu untuk menjadi seorang yang single.

Di tengah masyarakat yang menganggap hal-hal seperti pernikahan menjadi lebih penting, alangkah bahagianya apabila kita bisa menjalani hidup yang penuh arti, meskipun kita single.

Selanjutnya, aku percaya bahwa kita harus bertanya kepada Tuhan mengenai apakah yang menjadi tujuan-Nya bagi hidup kita. Aku pikir, tujuan hidup yang Tuhan inginkan atas kita itu tidaklah jauh dari mengasihi. Kita harus mengasihi satu sama salin (Yohanes 13:34), mengampuni sesama kita (Efesus 4:32), dan senantiasa mengucap syukur (1 Tesalonika 5:16-18).

Saat ini, aku belum sepenuhnya kehilangan harapan untuk menemukan seorang yang tepat buatku. Namun, aku belajar supaya pencarianku ini tidak menghentikanku untuk menikmati hidup.

Jika kamu berada dalam situasi di mana semua temanmu beranjak menikah dan pasangan hidup yang kamu cari semakin terasa seperti mitos yang jauh dari kenyataan, bolehkah aku mengajakmu untuk menikmati masa single-mu dan bertanya kepada Tuhan tentang talenta dan karunia apakah yang bisa kamu gunakan untuk pekerjaan-Nya?

Ada banyak hal lain yang berharga dalam hidup ini selain pernikahan.

Baca Juga:

4 Mitos Cinta yang Membuai

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Tapi, ada 4 hal yang seringkali disalahartikan ketika seseorang berusaha mendapatkan pasangan hidupnya.