Posts

Bukan Lagi Aku, Melainkan Kristus

Penulis: Abyasat Tandirura
Ilustrator: Galih Reza Suseno

Bukan-Aku-Melainkan-Kristus

Menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi adalah keputusan terbesar dan terpenting yang pernah aku buat dalam hidupku, karena aku yakin, hanya di dalam Yesus saja aku beroleh keselamatan dan hidup yang kekal (Kisah Para Rasul 4:12, Yohanes 3:16). Akan tetapi, dalam menjalani hidup sehari-hari aku sadar bahwa aku tidak lebih baik dari orang lain. Sering aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku benar-benar telah menjadi pengikut-Nya?

Salah satu contoh sederhana, aku tahu bahwa ketika aku menyebut Yesus sebagai Tuhan, itu artinya Yesus harus menjadi pusat dari seluruh hidupku, baik itu dalam pikiran, tutur kata, dan perbuatanku. Yesus harus menjadi yang terutama dalam hidupku. Namun, kenyataannya, susah untuk menomorsatukan Tuhan dalam hidup setiap hari. Seringkali, kemalasan mengalahkan niatku untuk bersaat teduh di pagi hari. Sibuk, buru-buru, tidak sempat. Ada saja alasan yang membuatku sulit meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tuhan dalam doa secara teratur. Aku bahkan sempat malu jika kelihatan sedang berdoa di tempat umum.

Sebagai pengikut Kristus, aku tahu bahwa aku harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan mulai bertumbuh serupa Kristus. Namun terus terang, menjadi serupa Kristus itu tidak mudah. Sulit sekali untuk merendahkan hati dan membangun sikap mengampuni saat orang lain menyakitiku. Rasanya hampir mustahil menanggalkan sikap “suka marah-marah” yang sudah begitu lama ada dalam diriku. Menyontek adalah jalan pintas yang jauh lebih menarik daripada bertekun untuk belajar secara teratur dan memohon hikmat dari Tuhan. Berfokus pada diri sendiri dan semua pergumulan pribadiku jauh lebih mudah daripada memperhatikan kepentingan orang lain, apalagi mendoakan mereka.

Aku mulai mengerti mengapa Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23). Memiliki identitas sebagai seorang Kristen saja ternyata tidak menjamin seseorang menjadi seorang pengikut Kristus sejati. Adakalanya, keakuan kita menggeser Tuhan dari takhta-Nya dalam hidup kita. Kita hanya menganggap-Nya sebagai “tamu” yang datang sewaktu-waktu, bukan “Raja” yang berhak mengendalikan hidup kita sepanjang waktu.

Alkitab memberitahukan bahwa Yesus Kristus mati dan bangkit untuk menjadikan kita sebagai ciptaan yang baru (2 Korintus 5:17). Itu berarti meninggalkan cara hidup kita yang lama dan memulai pola hidup baru. Kita tidak lagi dikuasai oleh keinginan daging kita, tetapi oleh Yesus. Menyangkal diri dan memikul salib setiap hari berarti bersedia meninggalkan zona nyaman kita agar dapat mengikut Yesus. Kita berkata “tidak” pada kehendak pribadi agar dapat berkata “ya” pada kehendak Yesus. Kita berani dan konsisten menerapkan kebenaran yang sudah kita tahu, sekalipun risikonya kita mungkin harus “menderita” seperti Yesus.

Bagiku pribadi, ini adalah proses seumur hidup. Setiap hari adalah perjuangan iman untuk memusatkan diri pada Kristus. Setiap hari adalah proses jatuh bangun untuk sungguh-sungguh mengikut Dia. Kita pasti akan gagal jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Namun, kita bersyukur ada Roh Kudus yang menyertai dan menolong setiap orang yang percaya kepada Kristus. Bersama Rasul Paulus, kita bisa berkata, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20).

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Kebenaran apa yang sebenarnya sudah kamu tahu, tetapi tidak pernah atau sangat jarang kamu lakukan hingga hari ini? Apa yang membuatmu sulit melakukannya?

Surat Cinta untuk Seorang Lesbian

Oleh: Jackie Hill Perry
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Love Letter To A Lesbian
Diterjemahkan dengan izin dari Desiring God

love-letter-to-a-lesbian

Yang terkasih ________________,

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengerti apa yang kamu rasakan.

Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan sesama perempuan. Merasa ingin selalu bersamanya lebih dari apapun juga. Merasa dunia sungguh kejam karena membiarkan hatimu direbut oleh makhluk yang persis seperti dirimu.

Dulu, aku juga adalah seorang lesbian. Aku mulai tertarik dengan sesama jenis sejak aku berusia lima tahun. Perasaan itu terus berkembang seiring aku beranjak remaja. Aku jatuh cinta kepada sahabat-sahabat perempuanku, tetapi aku malu mengakuinya kepada mereka. Aku hanya menyimpannya sendiri.

Pada usia 17 tahun, aku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menekan hasrat dalam hatiku. Aku mulai menjalin hubungan dengan “pacar pertama”-ku. Ciuman pertama kami terasa sangat natural, seolah-olah itulah yang memang kubutuhkan dalam hidup ini. Aku punya dua pacar lagi setelahnya. Semua hubunganku itu bisa dibilang sangat serius, setiap hubungan bisa bertahan lebih dari setahun. Aku menikmati semua hubungan itu dan sangat mencintai mereka. Pada satu titik aku bahkan rela mengorbankan segalanya, termasuk jiwaku, untuk menikmati cinta mereka.

Bulan Oktober 2008, saat aku berusia 19 tahun, hidupku akhirnya dihentakkan oleh hadirnya cinta yang jauh lebih dalam—cinta yang datang dari luar diriku, cinta yang sudah pernah aku dengar sebelumnya namun belum pernah kualami sendiri. Untuk pertama kalinya, aku disadarkan akan dosa-dosaku sedemikian rupa hingga aku benar-benar memikirkan tentang segala sesuatu yang aku cintai (yang telah menjadi ilah dalam hidupku) beserta segala konsekuensinya. Aku melihat hidupku dan menyadari bahwa aku telah mencintai berbagai macam hal, kecuali Allah, dan keputusanku itu jelas akan membawaku kepada kematian kekal kelak. Mataku terbuka dan aku mulai mempercayai semua yang dikatakan Allah dalam firman-Nya. Aku mulai yakin bahwa apa yang Dia katakan tentang dosa, kematian, dan neraka, adalah benar.

Yang luar biasa, di saat aku menyadari betapa ngerinya akibat dosa yang telah banyak kuperbuat, Allah menunjukkan kepadaku keindahan yang luar biasa dari salib Kristus. Gambaran tentang Anak Allah yang disalibkan, menanggung murka yang seharusnya kuterima, juga kubur kosong yang menyatakan kuasa Kristus atas maut—semua yang dulu pernah kudengar tanpa rasa tertarik sedikit pun, kini menjadi penyataan cinta yang paling mulia dan paling berharga yang pernah kutemukan.

Aku menyadari, bila aku memutuskan mengikut Kristus, ada banyak hal yang harus aku tinggalkan. Aku pun berkata kepada Allah, “Aku tidak bisa melepaskan rasa ini, juga orang-orang ini, dengan kekuatanku sendiri. Aku terlalu mencintai mereka. Tetapi, aku tahu bahwa Engkau baik dan berkuasa untuk menolongku.”

Kini, di usiaku yang ke-23, aku bisa menyatakan dengan segenap hati bahwa Allah telah menjawab permohonanku. Allah telah menolongku untuk mencintai-Nya di atas segala sesuatu.

Lalu, untuk apa aku memberitahumu tentang semua ini? Aku membagikan sekilas tentang kisah hidupku karena aku ingin kamu tahu bahwa aku memahami apa yang kamu alami. Selain itu aku ingin kamu tahu bahwa aku juga mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta kepada Sang Pencipta jagat raya. Tidak menginginkan apa pun selain bisa bersama dengan-Nya selamanya. Merasakan anugerah-Nya, berita paling baik yang pernah didengar umat manusia. Melihat pengampunan-Nya, bagaimana Dia merengkuh hati yang jahat dengan tangan-Nya yang penuh belas kasihan.

Meski begitu, bagi sebagian besar masyarakat dalam dunia tempat kita hidup sekarang, kisah seperti yang kualami dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak menarik. Homoseks mulai digaungkan di mana-mana, mulai dari musik, tayangan televisi, bahkan dunia olahraga. Jika kamu mempercayai pendapat banyak orang tentang homoseks, mungkin sekali kamu akan menyimpulkan bahwa homoseks itu adalah sesuatu yang wajar, bahkan mengagumkan. Akan tetapi, pendapat tersebut sangat jauh dari kebenaran. Allah memberitahu kita bahwa homoseks itu dosa, kekejian, dan sesuatu yang tidak normal (Imamat 18:22; 20:13; Roma 1:18-32; 1 Korintus 6:9-11; 1 Timotius 1:8-10). Jujur saja, adakalanya daya tarik homoseks terkadang terasa begitu wajar bagiku.

Mungkin saja saat ini kamu juga sedang menghadapi dilema, sama seperti yang pernah kuhadapi. Kamu tahu apa yang dikatakan firman Allah tentang homoseks, tetapi hatimu berkata lain. Firman Allah bilang itu dosa, tetapi hatimu bilang itu baik-baik saja. Firman Allah bilang itu kekejian, hatimu bilang itu sebuah kenikmatan. Firman Allah bilang itu menyimpang, hatimu bilang itu normal. Apakah kamu dapat melihat perbedaan yang sangat jelas antara apa yang dikatakan firman Allah dan apa yang dirasakan hatimu? Suara mana yang harus kamu percayai?

Dalam perjalananku mengikut Kristus, ada banyak hal yang menggodaku untuk kembali menjadi seorang lesbian. Semua godaan itu membuatku meragukan firman Allah. Keinginan hatiku terasa jauh lebih nyata daripada kebenaran Alkitab. Dalam doa dan perenungan pribadi, Allah berbicara dengan kuat dalam hatiku, “Jackie, kamu harus percaya bahwa firman-Ku benar, sekalipun itu bertentangan dengan perasaanmu.” Wah, itu benar sekali. Aku harus memilih apakah aku mau mempercayai firman Allah atau perasaanku sendiri. Apakah aku mau mencari Allah untuk memuaskan hasrat jiwaku atau mencari hal-hal fana yang tidak dapat memuaskan jiwa? Apakah aku akan menaati firman Allah atau menolak kebenaran-Nya seolah-olah itu sebuah kebohongan?

Perjuangan melawan homoseksualitas adalah sebuah pergulatan iman. Apakah Allah adalah sukacitaku? Apakah Dia cukup baik? Ataukah aku masih terus berusaha menggali kolam yang bocor, berusaha memuaskan kehausanku dengan apa yang hanya dapat dipuaskan Allah? Ini adalah tantangan yang harus aku dan kamu hadapi.

Sobat, pilihannya ada di tanganmu. Aku berdoa agar kamu meletakkan imanmu di dalam Kristus dan lari menjauhi kebohongan zaman ini yang terasa pas dengan suara hatimu—hati yang oleh Alkitab digambarkan licik dan tak terduga (Yeremia 17:9). Larilah mendekat kepada Yesus. Kamu diciptakan untuk Dia (Roma 11:36). Dialah yang paling kamu butuhkan! Dia baik dan penuh rahmat (Mazmur 145:9). Dia sumber segala penghiburan (2 Korintus 1:3). Dia sabar terhadap kita (2 Petrus 3:9). Dia benar dan setia (Mazmur 33:4). Dia suci dan adil (1 Yohanes 1:9). Dialah Raja kita yang sesungguhnya (Mazmur 47:7). Dialah Juruselamat kita (Yudas 1:25). Dan, Dia mengundangmu tidak hanya untuk menjadi hamba-Nya, tetapi juga menjadi sahabat-Nya.

Jika kamu selama ini mencari cinta yang akan bertahan selamanya di luar Kristus, kamu sedang mencari hal yang sia-sia, mencari hal yang tidak akan pernah kamu temukan, dan perlahan-lahan kamu akan dihancurkan oleh pencarianmu itu. Akan tetapi, di dalam Yesus, ada kepenuhan sukacita. Di dalam Yesus, ada hubungan yang jauh lebih berharga daripada semua hubungan lainnya, yaitu hubungan dengan Pribadi yang mengetahui dan dapat memenuhi semua kebutuhanmu. Mendekatlah kepada-Nya.

 
Tentang Penulis
Jackie Hill Perry (@JackieHillPerry) adalah seorang penyair dan penyanyi hip-hop dari St. Louis yang telah diselamatkan oleh anugerah Allah. Album terbarunya adalah The Art of Joy.

Ketika Aku Bersedia untuk Diproses Tuhan

Oleh: Risky Samuel

ketika-kubersedia-diproses-Tuhan

Lahir dalam keluarga Kristen, tinggal di kota dengan mayoritas penduduk Kristen, tidak membuat hidupku lebih mudah dijalani. Sama seperti kebanyakan anak muda, aku pun bergumul dengan berbagai masalah, terutama dalam proses pencarian jati diri. Keluargaku berantakan, dan sejak kecil aku kehilangan kasih sayang orangtua, khususnya papa. Aku tumbuh sebagai anak yang haus kasih sayang, dan dengan mudah aku dipengaruhi oleh teman-temanku untuk mencari kasih di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Kehausanku akan kasih seorang papa membawa aku kemudian terlibat dalam hubungan homoseksual.

Awalnya aku merasa baik-baik saja. Bukankah wajar kita mencari komunitas yang mau menerima kita, mengasihi kita, dan peduli pada kebutuhan kita? Pikiranku membela diri. Aku hanya berusaha mencari kasih sayang yang tidak kutemukan di dalam keluarga. Aku bersyukur untuk pasanganku. Aku yang tadinya sudah suam-suam kuku di gerejaku, bahkan diajak pasanganku untuk kembali mencari Tuhan. Aku mengikutinya ke gereja, dan dilayani hingga menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Kami aktif melayani. Aku bahkan merayakan Natal bersama dengan keluarganya. Tidak ada yang menegur kami, karena mereka tidak tahu bahwa kami adalah pasangan gay.

Pada akhirnya, firman Tuhan sendirilah yang menegurku. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa hubungan antara sesama jenis adalah dosa dan kekejian di mata Tuhan (Imamat 20:13; 1 Korintus 6:9-10). Namun, untuk keluar dari dunia yang telah kuhidupi selama bertahun-tahun lamanya, sangatlah sulit. Dengan berbagai cara aku berusaha membenarkan diri. Bukankah Tuhan yang menciptakan aku seperti ini? Bukankah aku tidak merugikan orang lain? Bukankah yang penting aku hidup dalam “kasih”?

Amsal 16:2 menegurku dengan keras, “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” Tuhan tahu betul apa yang ada di dasar hatiku. Tuhan tahu kalau aku lebih percaya kata hatiku sendiri daripada percaya firman-Nya. Tuhan tahu kalau aku lebih mengasihi kenikmatan hubunganku dengan pasanganku daripada mengasihi-Nya. Aku sangat menyesal telah melangkah terlalu jauh dalam hubunganku dengan sesama jenis, namun aku juga merasa tidak punya harapan lagi untuk dapat dipulihkan.

Bersyukur bahwa Tuhan tidak meninggalkanku. Ketika aku bersungguh-sungguh mencari-Nya dengan segenap hati, Dia memampukanku untuk akhirnya bisa lepas dari pola hidup yang lama. Selama 3 tahun lebih aku berjuang melawan godaan untuk kembali berhubungan dengan sesama jenis. Teman-teman lamaku itu selalu baik dan siap menerimaku apa adanya. Sementara, keluarga dan teman-teman yang lain justru kerap merendahkan aku karena masa laluku. Jujur saja, hingga kini godaan yang sama masih kerap mengganggu, namun firman Tuhan menjadi benteng pertahananku. Tantangan itu juga menyadarkanku bahwa yang lebih penting adalah penilaian Tuhan, bukan manusia. Ketika aku merasa nyaris putus asa dan mulai menyalahkan situasi atau orang lain sebagai penyebab masalahku, firman Tuhan mengingatkan aku bahwa semua ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, tetapi “karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan” di dalam diriku (Yohanes 9:3). Aku pun dikuatkan untuk tetap bergantung kepada Tuhan saja. Aku menyadari bahwa hidup ini bukan sekadar untuk memuaskan keinginan hatiku belaka, tetapi untuk memuliakan Tuhan, Pencipta hidupku.

Dalam budaya serba instan di abad ini, kebanyakan kita menghendaki segala sesuatu bisa terwujud dengan cepat. Termasuk dalam perjalanan iman kita. Kita berharap begitu percaya kepada Yesus, semua masalah kita bisa langsung beres, semua orang mendukung kita, dan keberhasilan mengejar kita tanpa kita perlu berusaha. Faktanya, kita hidup dalam dunia yang tidak ideal, dan firman Tuhan memberitahu kita bahwa perjalanan kita tidak akan mulus-mulus saja.

Proses pembentukan Tuhan bagi setiap kita mungkin berbeda-beda. Apa yang kualami mungkin tidak sama dengan apa yang kamu alami. Tetapi satu hal yang pasti, kita perlu sabar dengan yang namanya proses. Perhiasan emas yang indah dan tinggi nilainya, dibentuk lewat proses pemurnian dan pembentukan yang panjang. Tidak terjadi begitu saja. Seringkali hidup kita tidak mengalami perubahan apa-apa karena kita tidak sabar dalam proses, takut untuk diproses, atau tidak mau diproses oleh Tuhan. Kita memilih kembali pada pola hidup kita yang lama. Amsal 16:32 menyemangati kita dalam menjalani proses pembentukan Tuhan, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.”

Apapun yang teman-teman alami di masa lalu, yuk kita sama-sama berjuang menjalani hidup ini ke depan! Mari luangkan waktu untuk terus isi pikiran kita dengan kebenaran firman Tuhan, di manapun kita berada, agar kita tidak mudah terpengaruh oleh pola pikir dunia. Ada saatnya kita mungkin akan jatuh, tetapi Tuhan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk menolong kita bangkit kembali. Dia Mahatahu dan memahami segala pergumulan kita, Dia tidak akan membiarkan kita sendirian.