Posts

Bertobat dari Kemalasan

Oleh Michael*

Dua tahun lalu setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku tidak bekerja ke kota besar seperti yang teman-temanku lakukan, sebab sepeninggal papaku, mamaku tinggal seorang diri di rumah sementara kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Aku dan mamaku menjalankan usaha toko kelontong yang sekarang kami kelola berdua. Karena usia mama semakin lanjut, dia memintaku untuk mengelola toko ini. Tapi, aku menolaknya dengan alasan aku belum siap, toh mamaku masih sanggup untuk mengelolanya sendiri.

Aktivitas yang kulakukan sehari-hari adalah bermalas-malasan. Pagi dan siang aku bermain game dan nonton YouTube, sore-sore aku bersepeda, dan malamnya kuhabiskan menonton tv. Tak ada satu pun kegiatanku membantu mamaku di toko.

Teguran

Pada tanggal 28 Oktober 2019, ketika mamaku sedang menjaga toko, dia merasakan sakit di dada. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, dan dia pun muntah. Aku panik dan segera membawa mamaku ke rumah sakit dan memberitahu kakak-kakakku.

Di rumah sakit, mamaku segera mendapat pertolongan pertama dan harus dirawat inap. Kakakku yang pertama segera menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia memintaku untuk pulang saja ke rumah dan membuka toko sementara dia yang akan mendampingi mama sampai diperbolehkan pulang. Aku berdalih, kupikir biarkan saja tokoku tutup yang penting aku bisa menjaga mamaku. Namun, kemudian aku teringat, bagaimana pun juga pengobatan di rumah sakit membutuhkan biaya. Dari mana lagi kami mendapatkan uang jika tidak menjalankan usaha toko kelontong.

Pikiranku kalut. Aku seperti menghadapi dua dilema. Aku pun merasa ini seperti teguran dari Tuhan atas kemalasan yang selama ini kupelihara. Aku ingat petikan ayat Alkitab yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah” (Wahyu 3:19).

Aku masih belum beranjak dari ranjang yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba, ada semut yang menggigit lenganku. Aku tak tahu dari mana datangnya semut itu, tapi seketika itu juga aku ingat lagi petikan ayat Alkitab, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?” (Amsal 6:6-9).

Dua ayat yang terlintas di benakku membuatku merasa malu pada diriku sendiri, bersalah kepada mamaku, dan aku menyesal. Tetapi, aku juga seperti diteguhkan bahwa ini dapat menjadi titik balik hidupku.

Buah teguran adalah perubahan

Aku mulai membenahi hidupku. Aku tidak lagi bangun dengan malas-malasan. Aku bangun di pagi hari dan segera menyiapkan tokoku untuk melayani pembeli. Siang hari yang biasanya kuisi dengan main game atau menonton YouTube, sekarang kugunakan untuk mencatat stok-stok barang, menghitung penghasilan, juga menolong pelayanan publikasi di gerejaku. Sore hari yang biasanya kugunakan untuk bersepeda, kini kugunakan untuk menemani mamaku seraya aku melayani pembeli di toko. Dan, malam hari yang biasanya kuisi menonton tv, kini menjadi waktu pribadiku untuk bersaat teduh.

Aku percaya, peristiwa mamaku jatuh sakit bukan karena Tuhan ingin menghukumku, tetapi Tuhan mengasihi mamaku. Tuhan mengizinkan sakit itu terjadi agar aku dan mamaku dapat melihat kasih dan penyertaan-Nya yang sempurna, dan peristiwa ini juga jadi momen untukku menyadari bahwa cara hidupku yang bermalas-malasan adalah cara hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mampu menolong kita keluar dari jerat kemalasan, tetapi kita sendirilah yang memutuskan untuk keluar dari jerat itu atau berkubang di dalamnya. Segala dorongan dari luar tidak akan banyak menolong bila kita tidak punya niatan yang sungguh.

Teman-teman yang terkasih yang membaca tulisan ini, apabila kalian sedang terjerat oleh rupa-rupa kemalasan, aku berdoa kiranya kamu punya tekad yang kuat untuk melepaskannya. Aku juga memohon doa darimu juga untuk kesembuhan mamaku.

“Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi” (Amsal 3:11-12).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Ketika seorang tokoh publik menjadi Kristen, bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Kebiasaan Menunda

Penulis: Jolene C
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Fight Procrastination

5-Ways-to-Fight-Procrastination

Aku orang yang suka menunda. Ini adalah pergumulanku sejak lahir. Kelahiranku sendiri pun kutunda. Aku tidak bersiap pada posisi yang seharusnya pada saat ibuku hendak melahirkan—mungkin karena aku merasa terlalu nyaman di dalam sana—jadi, ibuku harus menjalani operasi Caesar.

Aku menunda pekerjaan dengan melakukan banyak “perencanaan” dan “penelitian”. Aku beralasan bahwa aku perlu memastikan segala sesuatu sudah siap lebih dulu sebelum aku mulai bekerja. Atau, dengan alasan, “Hidupku tidak berpusat pada pekerjaan”, aku akan memakai waktuku untuk mengobrol dengan teman-temanku, mendengarkan podcast, belajar memainkan lagu baru dengan ukulele, pergi berolahraga, bertemu dengan para sepupu … sampai batas waktu yang diberikan hampir habis. Begitu batas waktu mendekat, aku akan panik untuk menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu (biasanya hasilnya agak berantakan), lalu aku akan berkata pada diri sendiri, “Sebenarnya aku bisa melakukan hal ini dengan lebih baik. Lain kali aku berjanji tidak akan menunda-nunda lagi.”

Tetapi, aku mengulanginya. Aku melanggar janjiku sendiri lagi dan lagi. Kebiasaan itu bahkan sudah menjadi pola yang bisa ditebak dalam hidupku. Tanpa sadar aku pun mulai menganggap diriku sendiri memang tidak bisa menyelesaikan tugas tepat waktu—jadi aku pun tidak memperbaiki kebiasaanku menunda.

Jauh di dasar hati, sebenarnya aku benar-benar ingin menjadi orang yang produktif. Aku ingin melakukan pekerjaan yang memberi nilai tambah dan manfaat, dan aku yakin semua orang yang bergumul dengan kebiasaan menunda sebenarnya juga punya kerinduan yang serupa. Aku pun capek dengan diriku sendiri yang suka menunda. Mungkin terdengar ironis, tetapi begitulah kenyataannya.

Aku juga merasa perlu melakukan sesuatu dengan kebiasaan burukku itu karena aku diingatkan bahwa Kristus telah membebaskan kita dari belenggu dosa. Hidup kita telah ditebus-Nya dan menjadi milik-Nya. Demikian juga dengan waktu kita. Pencipta kita telah menempatkan kita di dunia ini untuk menggenapi tujuan-tujuan-Nya.

Berikut ini ada lima strategi yang kugunakan hingga saat ini untuk melawan kebiasaan menunda, semoga bisa menolongmu juga.

1. Berkata tidak kepada kebiasaan menunda.

Terkadang kita tidak menyadari kuasa yang Tuhan berikan bagi kita untuk berubah. Kita berdalih, “Aku tidak bisa mengubah kebiasaan menunda ini!” Namun, bukankah sebenarnya kita bisa berkata tidak kepada keinginan untuk menunda?

Menurutku sendiri, bisa. Katakan tidak kepada kebiasaan menunda dengan langsung menghentikan aktivitas yang bukan menjadi pekerjaan utama kita. Misalnya dengan menutup jendela Google Chrome yang sedang membuka 10 laman tentang berita politik, ekonomi, dan hiburan terkini. Memang topiknya menarik untuk dibaca—tetapi tidak untuk dibaca pada jam kerja!

Mintalah kekuatan dari Tuhan untuk melawan keinginan menunda. Berbicaralah kepada Yesus, ambillah waktu teduh untuk menjernihkan pikiran kita. Ingatkan diri sendiri, “Yesus tidak menyelamatkan aku untuk bermalas-malasan di tempat tidur dan menghindari tugas yang seharusnya dikumpulkan pada dua minggu lalu.”

Menghindari atau membiarkan kebiasaan menunda hanya akan membuat kita makin menunda. Hadapilah kebiasaan itu, namun jangan turuti kemauannya.

2. Memberi instruksi kepada diri sendiri.

Seringkali aku meluangkan waktu terlalu banyak untuk memikirkan apa yang hendak aku lakukan—dan tidak segera mulai melakukannya. Untuk berhenti melakukannya, aku belajar berbicara kepada diri sendiri.

Misalnya, suatu pagi aku mulai berpikir untuk menunda jadwalku untuk lari pagi: “Lima menit lagilah baru bangun… Cuacanya enak sekali untuk tidur… lari paginya besok saja…”

Aku akan memberi instruksi kepada diriku sendiri:
“Sudah waktunya bangun…. kamu tinggal duduk, pakai kaus kaki, pakai sepatu, keluar dari kamar. Ayo, kamu bisa… kita pergi lari ya… SEKARANG.”

Cara ini dapat menolong kita untuk berhenti berpikir terlalu banyak, dan mendorong kita melakukan pekerjaan kita dengan lebih cepat dan efektif. Strategi ini sangat menolong terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran, misalnya merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, mandi, olahraga, dan sebagainya. Bila kita memiliki tugas yang lebih besar, kita dapat membagi-baginya lagi menjadi tugas-tugas yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk mulai dikerjakan—dan lebih mudah diselesaikan. Strategi ini juga sangat menolong jika kita selalu menemukan diri kita kembali pada kebiasaan buruk dan tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

3. Melibatkan teman untuk melatih rasa tanggung jawab kita.

Aku baru benar-benar menyadari betapa buruknya kebiasaan menunda ketika aku melihat dampaknya terhadap teman-temanku. Karena aku suka menunda dan bekerja setengah hati, jadwal mereka kacau balau, mereka menjadi stres dan harus meluangkan waktu ekstra untuk bekerja. Aku telah mengkhianati kepercayaan mereka dengan tidak melakukan bagianku tepat waktu. Aku sadar bahwa aku harus jujur mengakui kesalahanku dan memperbaiki diri.

Tuhan mengetahui bahwa kita, manusia, cenderung ingin menghindari tanggung jawab. Sebab itu, Dia menempatkan kita dalam komunitas, agar kita dapat saling mendukung satu sama lain. Daripada berjuang sendirian untk melawan kebiasaan menunda, kita dapat melibatkan teman-teman kita untuk membantu. Kita bisa minta mereka untuk mengingatkan kita. Latih diri untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Ingatkan dirimu bahwa penundaanmu bisa menyakiti mereka.

“Percayalah kepada mereka yang percaya kepadamu” kata teman-temanku. Kita akan jatuh lagi dan lagi karena kita manusia, tetapi mereka yang benar-benar peduli akan selalu berada di dekat kita, karena mereka percaya kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Kita perlu melakukan hal yang sama bagi mereka.

4. Berhenti menjadi seorang pahlawan.

Aku mulai menyadari bahwa ketidakmampuanku menilai batas kemampuanku membuat aku cenderung membuat terlalu banyak janji dan komitmen yang kemudian tidak bisa kupenuhi. Ketika ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan, aku menjadi kewalahan dan kesulitan memulai apa pun. Akibatnya, situasi tersebut membuatku harus pontang-panting di menit-menit terakhir.

Sebab itu, aku kemudian belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa aku bisa melakukan segalanya. Aku punya waktu yang terbatas, punya tubuh yang terbatas. Aku belajar untuk membawa bebanku sendiri dan memastikan aku menyelesaikan pekerjaanku sendiri sebelum aku berusaha membantu membawakan beban orang lain. Fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting. Jagalah daftar kerja kita agar tidak terlalu panjang, sependek mungkin jika bisa. Pastikan setiap hal yang kita terima tidak akan membuat kita menunda pekerjaan yang menjadi tanggung jawab utama kita.

5. Menjauhkan hal-hal yang bisa memecah fokus kita.

Adakalanya pekerjaan utamaku tertunda karena ada banyak hal yang memecah fokusku. Salah satu hal yang kulakukan adalah mematikan telepon atau memasang mode flight saat sedang bekerja. Dunia akan baik-baik saja meski kita tidak menjawab telepon selama beberapa jam, dan teman-teman yang ingin mengobrol akan menemukan orang lain yang sedang tidak ada pekerjaan/waktunya senggang. Pada saat yang sama, kita sendiri bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan kita. Situasi kita ini tentunya perlu dijelaskan kepada orang-orang di sekitar kita, supaya mereka memahami mengapa kita tidak mengecek telepon seluler kita pada jam kerja. Aku belajar bahwa teknologi seharusnya menjadi sarana yang berguna untuk menata hidup, bukan sesuatu yang mengatur hidup kita.

Tidak ada orang yang dapat membuat kita berhenti menunda kecuali diri kita sendiri. Sekarang mulai ada yang mengembangkan aplikasi ponsel untuk menolong kita lebih fokus dengan pekerjaan kita (misalnya: aplikasi Self Control). Namun, bila kita sendiri tidak punya niat yang kuat, aplikasi semacam itu pun tidak banyak menolong. Begitu juga desakan terus menerus dari seorang teman atau orangtua. Kita mungkin tidak akan pernah bisa menggunakan waktu kita dengan sempurna, namun kita dapat terus melatih diri menggunakan waktu kita seefektif mungkin. Mari belajar menjadi pengelola yang baik dan setia dari karunia-karunia Allah selama masa hidup kita yang singkat di bumi.

Aku ingin hidupku berarti—dalam setiap detik, menit, dan jam, dalam tiap harinya. Mari mulai mengoptimalkan jam-jam yang produktif dan saling mengingatkan satu sama lain.