Posts

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Melalui Depresi, Aku Mengalami Anugerah Tuhan

Oleh Prillia Setiarini, Jakarta

Kira-kira sudah sepuluh tahun aku menjalani hari-hariku sebagai penyintas gangguan emosi manik-depresif. Aku ingat beberapa bulan sebelum psikiater mengeluarkan vonis tersebut, aku seringkali tercetus pemikiran untuk mengakhiri hidup. Saat itu aku masih menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa. Namun, pemikiran-pemikiran yang negatif terus menghantuiku. Aku berpikir seakan tidak ada harapan buat masa depanku, dan aku juga kehilangan semua minat terhadap hobi-hobiku. Bahkan pada saat itu, aku merasa untuk bangun dari tempat tidur merupakan hal yang sangat berat.

Aku banyak berdiskusi dengan psikiaterku. Tentu saja aku ingin mengetahui mengapa aku mengalami hal seperti ini—mengapa pikiranku cenderung negatif dan aku seolah-olah tidak memiliki energi untuk bangun dari tidur. Psikiaterku menjelaskan dengan sabar. Gejala yang kualami mengindikasikan aku mengalami Bipolar, yang terdiri dari dua kata: “bi” yang berarti dua; dan “polar” yang berarti kutub. Ini bukan berarti penyintas bipolar memiliki dua kepribadian. Penyintas bipolar memiliki dua ‘kutub’ emosi yang berpindah sangat cepat atau bahkan mungkin mengalami dua ‘kutub’ emosi tersebut di saat yang bersamaan.

Secara sains apa yang aku alami disebabkan oleh genetik yang berarti keturunan, lingkungan yang mungkin membuat ada pencetusnya, atau lain sebagainya. Pada kasusku, penyebabnya merupakan kombinasi dari semuanya. Hanya saja, aku teringat satu hal yang benar-benar membuatku menjadi orang yang perfeksionis. Secara tidak langsung, sikap itu memengaruhiku dan menjadi alasan yang kuat mengapa aku begitu hilang harapan saat aku mengalami kegagalan.

Dari aku kecil, aku termasuk orang yang berprestasi. Aku dapat membuat daftar apa-apa saja yang sudah aku capai semenjak aku menginjak pra-sekolah. Hal ini terus memberi ‘makan’ ego yang aku miliki. Hingga suatu ketika, aku belajar Biologi di salah satu institut terbaik di Indonesia. Aku benar-benar merasa seperti ‘orang biasa’ tanpa prestasi saat bersekolah di sana. Aku mengalami yang aku maksud sebagai kegagalan. Aku dibawa ke psikiater pada saat pergantian semester dari semester 6 ke semester 7. Pada saat itu keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan semuanya tidak mengerti mengapa aku bisa sampai divonis mengalami bipolar. Memang dari luar aku terlihat tidak apa-apa. Namun, di dalam hati aku merasa aku adalah orang gagal.

Psikiater memberikanku terapi, yang salah satunya menggunakan metode medisinal alias pemberian obat. Aku diberikan beberapa obat seperti anti-depresan, anti-cemas, obat tidur, dan obat-obat lainnya yang mendukung aku agar bisa beraktifitas seperti semula. Aku juga pergi ke konselor di gereja untuk meminta bantuan. Dukungan doa sangat membantuku untuk pulih. Selain itu aku juga melakukan terapi mindfulness, meditasi Firman Tuhan, memperbaiki pola tidurku dan pola makanku. Semenjak itu aku menjalani pola hidup sehat baik secara fisik maupun rohani.

Perjalananku untuk pulih tidak seratus persen mulus. Ada satu hal yang membuatku sakit hati saat itu, yaitu ketika aku diharuskan untuk mengambil cuti kuliah. Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya untuk mengundur kelulusanku hanya karena riwayat kesehatanku ini. Namun, aku benar-benar diingatkan melalui renungan akan Firman bahwa Tuhan tidak membiarkanku jauh dari-Nya dan bahwa aku tidak boleh memprioritaskan pencapaian-pencapaianku di atas segalanya. Ayat yang terus aku ingat pada saat aku menyadari akan hal ini diambil dari Keluaran 20:3: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”

Setelah apa yang aku alami, aku sadar bahwa aku dulu orang yang begitu sombong. Dulu aku menjadikan pencapaian-pencapaianku sebagai pijakan; tempat di mana aku dapat menyandarkan identitas, latar belakang aku, dan harga diri, sehingga saat aku merasa gagal, aku merasa harga diriku sangat rendah. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal-hal tersebut dialami oleh aku dan oleh kamu. Aku yakin Tuhan ingin kita menjadikan Dia sebagai batu penjuru dan prioritas utama di hidup kita.

Sampai sekarang aku masih belajar untuk menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk Tuhan. Aku menyerahkan identitasku, pencapaian-pencapaian, masa lalu, masa kini, masa depan, harga diri, semuanya aku serahkan kepada Allah Bapa.

Aku yakin Ia akan menjamin semuanya. Aku juga yakin Ia akan menjamin hidup teman-teman juga. Apakah kamu juga mau menyerahkan hidupmu seutuhnya kepada Allah Bapa, sang Juruselamat?

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

Kamu Gpp? 5 Alasan Kita Sulit Mengungkapkan Perasaan

Mana nih tim yang selalu bilang “Aku gapapa” (padahal gak baik-baik aja)?

Sobat Muda, kita boleh dan perlu terbuka tentang perasaan kita kepada orang yang kita percayai.

Artspace ini didesain oleh @verses_illustrated dan diterjemahkan dari @ymi_today

Cerpen: Ira dan Nathan

Oleh Meili Ainun

“Maaf, kami tidak bisa menerima anak ibu. Persyaratan untuk masuk kelas 1 adalah anak sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar. Anak ibu tidak memenuhi persyaratan kami.”

“Tentu. Tentu saja kami menerima anak ibu dengan senang hati. Biaya sekolah per bulan tiga juta rupiah. Ditambah biaya makan, buku, kegiatan sekitar dua juta rupiah. Total biaya per bulan adalah lima juta rupiah.”

“Hasil tes anak ibu tidak memenuhi syarat untuk masuk kelas 1. Kami mohon maaf. Demi kebaikan anak ibu, kami menyarankan agar dia masuk ke sekolah khusus yang lebih sesuai dengan kemampuannya.”

***

Berbagai pesan yang disampaikan oleh beberapa sekolah kembali terngiang dalam pikiran Ira.

“Lagi-lagi penolakan.. Dan biayanya.. Oh, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus mama lakukan, Nathan?”

Nathan yang sedang bermain Lego langsung menoleh dan tersenyum mendengar namanya dipanggil.

Ira tersenyum kembali pada Nathan. “Yuk, kita tidur.”

Di tepi tempat tidur, Ira berlutut bersama Nathan. Dengan wajah serius, Nathan memejamkan matanya menunggu Ira berdoa.

“Tuhan yang baik, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih Tuhan menjaga Nathan. Terima kasih untuk makanan yang kami makan. Terima kasih untuk tubuh yang sehat. Tuhan, tolong kami menemukan sekolah untuk Nathan. Sekarang kami mau tidur, tolong jaga kami ya Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Nathan menyahut dengan bersemangat. “Amin. Sekarang cerita.”

“Nathan mau dengar cerita apa?”

“Daud.”

Ira duduk di atas tempat tidur, mengambil Alkitab anak-anak, membuka halaman tertentu, dan membiarkan Nathan memegang Alkitab itu. Lalu Ira mulai membacakan cerita Daud melawan Goliat. Mata Nathan terlihat antusias melihat gambar-gambar yang ada.

“Tuhan hebat!” begitu komentar yang biasanya Nathan ucapkan tiap kali Ira selesai membaca cerita.

“Ya, Tuhan hebat. Mama sayang kamu,” sahut Ira memeluk Nathan.

“Nathan sayang mama,” kata Nathan.

Setelah memastikan Nathan tertidur, Ira duduk di ruang tamu dengan perasaan sedih.. Ira menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Apa yang harus kulakukan? Hanya sekolah ini yang mau menerima Nathan. Tetapi lima juta sebulan? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

Sejak kematian Hendri, suaminya akibat kecelakaan lalu lintas pada awal tahun, tidak banyak pilihan kerja yang bisa diambil Ira karena Nathan harus selalu dijaga dan tidak dapat ditinggal tanpa pengawasan. Maka, Ira memilih bekerja sebagai agen asuransi karena jam kerja yang fleksibel. Bila Ira harus bertemu dengan klien di luar, Nathan dititipkan sebentar kepada tetangga sebelah yang bersedia menjaganya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan bantuan karena Ira anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal sedangkan orang tua Hendri sudah lanjut usia dan tinggal di kota yang berbeda.

Namun penghasilan sebagai agen asuransi tidak menentu, dan tabungan yang dimilikinya tidak banyak, hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ira bersyukur dia dapat tinggal di rumah yang cukup layak tanpa harus dibebani dengan cicilan rumah. Tetapi biaya pendidikan Nathan yang tidak sedikit membuat Ira resah. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Setiap hari diawali dengan rutinitas yang sama. Ira akan membangunkan Nathan pada jam yang sama, mengawasinya saat mandi karena Nathan sedang belajar mandi sendiri, lalu mereka makan pagi bersama-sama. Ira bersyukur Nathan mau makan apa saja yang disajikannya sekalipun sangat sederhana seperti bubur.

Kemudian waktu belajar pun dimulai. Bagi Ira, waktu belajar adalah waktu yang penuh tantangan. Ira tahu Nathan tidak begitu suka belajar. Ira berusaha mencari cara agar waktu belajar menjadi waktu yang menyenangkan bagi Nathan, namun Ira tahu dirinya bukan seorang yang sabar dan kreatif. Dan Nathan mudah sekali bosan.

“Nathan, ini huruf apa?” Ira menunjuk huruf A pada poster abjad yang ditaruhnya di meja.

Nathan menjawab dengan bangga. “A.”

Ira tersenyum dan memuji Nathan. “Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

“B”, sahut Nathan dengan cepat.

“Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

Nathan diam dan menoleh memperhatikan mainan Lego yang terletak di pojok.

“Nathan. Ini huruf apa?” tanya Ira kembali dengan penekanan pada suaranya.

Nathan menatap Ira dan menjawab, “A.”

“Tidak, ini bukan A. Yang ini huruf A. Ini bukan A. Ini huruf apa?” tanya Ira dengan panik.

“A,” jawab Nathan dengan keras.

“Bukan. Ini bukan huruf A. Ini huruf C. Ayo ingat, ini apa? C,” jelas Ira dengan nada suara kesal.

Nathan diam dan kembali memperhatikan mainan Lego.

“Nathan. Anak pintar. Ayo, belajar. Ingat ya, ini huruf A. Yang ini B, yang ini C. Sekarang coba ulangi lagi,” kata Ira sambil berusaha sabar.

“A. A. A. A. A,” teriak Nathan sambil berlari mengambil mainan Lego kesayangannya.

“Nathan, kembali ke sini. Kita belum selesai belajar,” Ira membentak dengan suara keras.

Nathan diam saja dan sibuk memainkan Lego di lantai.

“Mama bilang kita belum selesai belajar. Kalau kamu seperti ini terus, kamu tidak bisa pergi ke sekolah. Nathan, kamu dengar mama?” Ira menatap Nathan dengan marah.

Suara terisak-isak Nathan segera terdengar. Tubuh kecilnya tergoncang sedikit.

“Maaf…maafkan mama, Nathan. Mama tidak bermaksud marah padamu. Tetapi Nathan harus belajar. Oh…apa yang harus kita lakukan, Nathan?” Ira memeluk Nathan sambil menangis.

Ira menyadari dirinya kadang keras pada Nathan. Dia ingin memastikan agar Narhan dapat tumbuh sama seperti anak-anak lain. Ira tahu Nathan lahir dalam kondisi yang khusus. Nathan telah dibawa bertemu dengan beberapa psikolog dan mereka mengatakan hal yang sama. Nathan adalah penyandang Disabilitas Intelektual ringan dengan tingkat IQ 70. Hal itu membuat Nathan mengalami kesulitan kognitif. Meskipun umurnya sudah menginjak usia 7 tahun, Nathan baru mengenal beberapa huruf dan angka. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nathan untuk mengingat sebuah huruf maupun angka. Ira tahu Nathan mampu hanya dia butuh waktu yang lebih lama dibanding anak-anak lain.

Ira sempat menyalahkan dirinya karena kondisi Nathan. Dia berpikir apakah dirinya penyebab Nathan lahir dalam kondisi itu. Para psikolog menyakinkan Ira bahwa tidak ada suatu penyebab pasti dalam kasus ini. Ada banyak faktor penyebab dan berbagai kemungkinan yang terjadi, sehingga tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri.

Meskipun Nathan kadang menyulitkan, namun Ira tahu dia tidak dapat hidup tanpa Nathan. Melihat Nathan tersenyum mampu membuat hati Ira merasa lebih baik. Mendengar Nathan bernyanyi lagu-lagu Sekolah Minggu kadang membuat Ira berpikir Nathan sama seperti anak-anak lain. Nathan memang suka bernyanyi dan paling senang bila hari Minggu tiba. Karena hari itu Nathan akan ikut Sekolah Minggu. Nathan bahkan memiliki pakaian khusus yang dia hanya pakai di hari Minggu.

Di Sekolah Minggu, Nathan akan duduk bersama anak-anak lain. Bernyanyi dengan suaranya yang enak didengar. Bertepuk tangan dengan gembira. Tersenyum lebar setiap waktu. Ira yang mengintip di pintu akan tersenyum juga. “Nathan yang manis,” begitu Ira menyebut Nathan.

Namun, hati Ira menjadi miris melihat Nathan yang duduk dengan tatapan mata kosong karena tidak mengerti apa yang sedang diceritakan guru Sekolah Minggu. Dan selesai Sekolah Minggu dimana anak-anak lain berlari dan bermain bersama, Nathan akan duduk sendirian bermain Lego. Kadang ada guru Sekolah Minggu yang menemaninnya, tetapi lebih sering dia sendirian. Ira sampai pernah meminta seorang anak untuk mau menemani Nathan setiap kali Sekolah Minggu selesai. Anak itu bersedia melakukannya tetapi hanya beberapa kali karena Nathan tidak bisa diajak ngobrol, dia tidak mengerti percakapan yang berlangsung. Pembicaraan mereka tidak nyambung. Maka Nathan akan kembali sendirian.

Adakalanya Ira ingin menyerah dengan keadaan Nathan apalagi jika Ira memikirkan apa yang harus Nathan hadapi bila sudah dewasa nanti. Namun di saat-saat Ira merasa dirinya tidak akan sanggup lagi bertahan, ada Firman Tuhan yang selalu menguatkannya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. (1 Petrus 5:7). Ira tahu dirinya dapat bergantung kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan yang setia dan pemelihara hidup. Meski Ira tidak selalu dapat mengerti rencana Tuhan terhadap dirinya dan Nathan, namun Ira percaya Tuhan tidak pernah salah. Nathan hadir dalam hidupnya bukanlah kesalahan. Seperti nama Nathan (Nathaniel) yang berarti anugerah Tuhan, bagi Ira, Nathan adalah anugerah Tuhan yang diberikan dalam hidupnya..

Bunuh Diri Tak Pernah Jadi Solusi

Kita tak asing dengan istilah ‘bunuh diri’.

Ada figur publik, bahkan mungkin orang yang kita kenal, pernah terbersit atau nahasnya mengakhiri hidupnya dengan cara ini.

Bunuh diri adalah sebuah gunung es dari permasalahan kesehatan mental yang tak diatasi dengan benar. Tidak peduli seberapa baik penampilan seseorang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam.

Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Ketika Beban di Pundakmu Terasa Terlalu Berat

Oleh Bramantyo

“Brakkkkk!”, kereta api yang tengah melaju kencang menghantam sesuatu.

Bukan motor atau mobil yang ditabrak oleh kereta itu, melainkan sesosok manusia yang sengaja menabrakkan dirinya dengan cara bertengkurap di rel. Kisah pilu ini terjadi di kota Jogja, pada bulan Mei 2013. Tidak ditemukan identitas apa pun pada lokasi kejadian selain ciri-ciri fisik korban yang berkulit sawo matang dan disinyalir berusia sekitar 40 tahunan.

Barulah setelah aparat kepolisian melakukan investigasi, terungkap teka-teki siapa identitas korban dan mengapa dia nekat melakukan aksi tragis tersebut. Dia [korban] adalah ayah dari anak semata wayang, suami dari seorang istri, dan ketua panitia dari sebuah konser musik. Kesalahan komunikasi pada gelaran musik yang diketuainya membuatnya jadi bulan-bulanan dari banyak pihak yang melemparkan caci maki untuknya di media sosial. Konser musik akbar yang didamba berjalan mulus rupanya didera banyak masalah; mulai dari urusan promosi yang tak jalan, persoalan dana yang kurang, dan para artis yang akhirnya membatalkan partisipasi karena belum menerima honor. Sebagai ketua panitia, korban mencari cara untuk menutupi kekurangan uang. Dia berutang, tapi hasil utangan itu tidak cukup. Konser yang seharusnya berjalan dua hari, hanya jadi sehari. Pendapatan dari tiket masuk dan sponsor pun tetap tidak balik modal. Segala kemelut ini menghimpit pundaknya, dan bebannya menjadi terlampau berat ketika caci-maki dilemparkan padanya.

“Trimakasih atas sgala caci maki….ini gerakan.. Gerakan menuju Tuhan.. Salam,” tulis korban pada akun twitternya. Ini adalah status terakhirnya sebelum dia ditemukan tak lagi bernyawa.

* * *

Aku ingat kisah itu pernah kubaca di sebuah koran cetak. Pada tahun 2013, aku masih menjadi mahasiswa semester dua di kota Jogja, masa-masa yang banyak kuisi dengan terlibat di berbagai kepanitiaan kampus. Aku bergidik membaca kisah pilu itu. Aku tak dapat membayangkan betapa beratnya menjadi seorang ketua panitia yang dicap gagal menjalankan sebuah event. Bagi kita yang pernah terlibat dalam sebuah kepanitiaan, entah itu untuk acara festival di kampus, atau acara kebaktian Natal di gereja, kita mungkin setuju bahwa menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah acara tidaklah mudah.

Jika beban untuk sebuah acara yang berlangsung dalam hitungan jam atau hari saja terasa berat, kita tidak menampik bahwa beban-beban hidup lainnya pun tak kalah berat. Malahan, ia harus ditanggung setiap hari dan kita tak tahu kapan dan di mana garis finishnya. Ketika studi kita terganggu karena kesulitan keuangan, ketika beban pekerjaan semakin membuat letih karena tuntutan yang semakin tinggi dari atasan, atau ketika segala impian dan harapan kita karam karena penyakit yang menggerogoti tubuh kita. Segala beban tersebut seringkali membuat pundak kita seolah remuk. Dan, pada banyak kasus pikiran kita meresponsnya dengan memunculkan gambaran solusi instan: mengakhiri kehidupan.

Data dari Bank Dunia mencatat pada 2016 kasus bunuh diri di Indonesia berada di angka 3,4 per seratus ribu populasi . Kasus-kasus ini bukanlah statistik semata, itu menyajikan pada kita sebuah realitas: bahwa kehidupan ini rentan. Siapa pun tidak kebal dari godaan untuk mengakhiri masalah secara instan. Aku pun pernah beberapa kali mengutarakan keinginan ini dalam tangisanku. Kehidupanku sebagai anak yang lahir di luar pernikahan sah, yang tak mendapat perhatian cukup dari orang tua seringkali membuatku dirundung kesepian. Aku beranggapan jika keluarga yang katanya orang terdekatku saja tidak peduli denganku, maka siapalah aku ini hingga aku perlu melanjutkan hidup.

Namun, syukur kepada Allah karena dalam momen terkelam sekalipun sejatinya Dia tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Melalui berbagai kesempatan—rangkulan hangat dari seorang kawan yang tetiba mengajakku mengobrol, sapaan apa kabar dari teman lama, alunan musik yang lirik dan nadanya meneduhkan hati, atau dari pandanganku akan ciptaan Allah di sekelilingku yang dipelihara-Nya dengan cantik, meneguhkan kembali pondasi hatiku yang rapuh. Aku dan kamu, kita semua berharga dan dipelihara-Nya, sebagaimana Allah memelihara kehidupan pada burung-burung pipit di udara yang tidak menabur dan menuai. Bahkan, kita jauh melebihi daripada burung-burung itu. (Matius 6:26).

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin hati dan bibirmu enggan untuk mengakuinya. Mungkin kamu malah menghakimi kalau dirimu terlalu lemah untuk menanggung semua ini.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin akan ada orang-orang yang tetap mencibirmu karena mereka tak melihat betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang telah kamu tempuh.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin air matamu akan menetes dan pandangan di depanmu tampak kelam. Kamu tak tahu bilamana permasalahan ini akan berujung.

Tetapi…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada Pundak lain yang turut menanggungnya bersamamu. Ingatlah bahwa di atas pundak itu pernah tertanggung segala cela dan hina yang seharusnya mengantar seluruh umat manusia kepada kebinasaan.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada janji mulia yang dianugerahkan kepadamu. Bahwasannya segala penderitaan yang kamu alami akan mendatangkan bagimu kemuliaan kekal.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa Dia yang turut menanggung bebanmu, berkuasa untuk membalut luka-luka hatimu dan meneguhkan kembali langkahmu yang gontai. Dia mungkin tidak mengubah keadaan dengan sekejap, pun melenyapkan segala beban itu, tetapi dalam tuntunan-Nya, Dia akan membawamu menang sampai ke garis akhir.

Aku berdoa, kiranya dalam perjalanan berat yang kamu lalui, kamu senantiasa dapat merasakan kehadiran Allah yang memelihara. Bersama Dialah, perjalananmu akan mengantarmu kepada tujuan yang telah Dia tetapkan untukmu.

Tuhan memberkatimu.

Baca Juga:

Kasih yang Melukai

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Kesadaran akan kesehatan mental sedikit banyak meningkat, terlebih setelah film karya DC berjudul Joker (2019) sukses di berbagai layar bioskop. Namun, kesadaran tersebut disertai dengan dampak negatif. Karena melihat suatu film yang menunjukkan karakter pengidap mental illness, ada penonton yang merasa cocoklogi. Karena mengisi kuis dari Facebook, ada orang-orang yang merasa dirinya pasti mengidap penyakit mental tertentu. Dan lucunya, orang-orang yang cocoklogi, merasa dirinya mengalami gangguan psikologis, merasa keren, disebarkan di sosial media; seolah menjadi tren.Sebagai seorang yang rutin ke psikolog, aku merasa sedih melihat fenomena ini dan rasanya penting untuk berdialog mengenai fakta seputar kesehatan mental.

Menguji Kesehatan Mental Butuh Uji Ilmiah, Bukan Cocoklogi

Pada awal pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, masyarakat menjadi waspada kesehatan. Ketika aku berada di suatu tempat, dan bersin, sontak seisi ruangan menoleh ke arahku. Apakah aku pasti terjangkit Covid-19? Menurut ilmu cocoklogi, mungkin wajar kalau aku diduga demikian. Namun, sebagai bangsa yang cerdas, kita pun bisa tahu seseorang mengalami Covid-19 melalui uji ilmiah, berupa Rapid Test, Swab Test atau PCR.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan mental kita. Kuis yang ada di sosial media maupun Google, hanyalah kisi-kisi yang belum tentu akurat 100%. Kecocokan karakter pada film atau novel yang kita baca, tidak bisa membatasi karakter dan kondisi psikologis kita. Maka, untuk mengetahui kesehatan mental kita, datanglah ke ahli kesehatan mental, di mana sang psikolog, psikiater, terapis atau konselor akan berbincang-bincang bersama kita untuk mengetahui kondisi kita.

Penting banget ya untuk datang ke psikolog, psikiater, terapis, atau konselor? Secara logika, ketika sakit gigi, tentu kita datang ke dokter gigi, bagi ibu hamil tentu memeriksa kandungannya datang ke obgyn atau dokter kandungan. Lantas jika kita mengalami gangguan psikis, datanglah juga ke tenaga profesional, yang tentunya dapat membantu kita, bukan sekadar tebak-tebakan kuis.

Datang ke Konselor, Bukan Sekadar Curhat ke Teman

“Tapi aku sudah cerita ke temanku, si A, mahasiswa psikologi, atau si B, mahasiswa teologi, apa masih perlu ke konselor?”

Jawabannya? Tergantung kebutuhanmu. Jika butuh didengarkan, carilah orang yang benar-benar mampu mendengarkanmu. Namun, jika kamu butuh dibantu secara mendalam, bagaimana merespons kondisi psikis kamu dan mengelolanya, maka datanglah kepada tenaga ahli.

Tanpa bermaksud mengecilkan latar belakang mereka yang sedang atau menempuh studi psikologi, teologi maupun orang-orang berlatar pendidikan humaniora lainnya, datang ke konselor (terlebih yang sudah bersertifikat) memiliki poin kelebihannya tersendiri. Kelebihan pertama ialah sisi profesionalitasnya, di mana kita sudah membayar (secara langsung atau melalui BPJS di beberapa klinik) dan kita tentu bisa menaruh ekspektasi lebih daripada bantuan teman biasa. Kedua, mereka telah menaruh sumpah untuk menjaga rahasia dari kita, sebagai klien. Hal ini menjadi jaminan bahwa cerita kita akan terjaga dengan baik, dan kita bisa menuntut apabila hal itu tersampaikan kepada khalayak umum. Ketiga, karena tidak memiliki kedekatan personal, tenaga profesional mungkin dapat memberikan saran yang lebih obyektif dibandingkan dengan orang-orang yang mengenal dekat dengan kita dan pendapatnya condong mendukung kita.

Tentu aku tidak melarangmu untuk curhat ke teman, aku pun masih curhat ke teman. Namun dalam batasan tertentu, kita perlu melihat kedalaman privasi cerita yang disampaikan dan apa yang kita harapkan setelah cerita kita tersampaikan.

Konseling Tidak Sepenuhnya Langsung Menyelesaikan Masalah

Lantas buat apa ke psikolog kalau masalah tidak selesai? Buang-buang uang dong? Nyatanya, konseling memang tidak langsung menyelesaikan masalah kita. Kondisi keluarga kita tidak akan langsung harmonis. Orang yang kita cintai belum tentu akan kembali, masalah pendidikan atau pekerjaan mungkin masih tetap ada. Datang ke ahli, seperti, psikolog, psikiater bahkan pendeta, tidak sama seperti kita datang ke tukang sulap maupun tukang ketok magic; ada proses yang perlu kita lalui.

Kembali menggunakan perumpamaan di bidang kesehatan, kita perlu mengingat pengalaman kita ke dokter. Kala kita mengonsultasikan kesehatan kita, sang dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Prosesnya tidak berhenti di situ. Harus ada aksi yang kita lakukan, yaitu menebus resep dan meminum obat tersebut secara berkala, sesuai petunjuk dokter. Dengan skala waktu tertentu, kita akan merasakan pemulihan secara perlahan dan jika kita masih merasa sakit, kita perlu kembali memeriksanya kembali ke dokter bukan?

Hal yang sama juga kita alami ketika kita melakukan konseling kesehatan mental kita, di mana memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Dalam pertemuan pertama, kita akan banyak menceritakan perasaan dan pikiran kita, di mana cerita tersebut masih seperti puzzle yang tercerai-berai. Bersama dengan tenaga profesional, kita diajak untuk mencari akar permasalahannya, baik dengan ragam metode kesadaran jasmani maupun di bawah kesadaran, sesuai permintaan kita dan kemampuan sang konselor tersebut. Dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya kita akan mencoba mencari metode bersama-sama, cara yang tepat agar kita memiliki ketenangan dalam menentukan pilihan tindakan dan pikiran kita. Proses setiap orang tentunya tidak akan sama, aku harus sesi 4 kali, mungkin kamu bisa kurang dan bisa lebih, hingga dirasa memiliki kondisi mental yang baik.

Konseling Bagian dari Kita Menghargai Anugerah Tuhan

Seperti yang dijelaskan Vika, dalam artikel 4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental, aku rasa mungkin setiap orang berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental kok. Tentu gangguan kesehatan mental jangan dianggap negatif, karena spektrum dan tingkatannya sangat luas. Kita tidak bisa menyempitkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanyalah orang yang melakukan tindakan sadis saja. Ketika kita merasa sedih yang berlarut-larut, mengalami ketakutan yang berlebih, hal itu pun sudah termasuk gangguan kesehatan mental, dengan spektrum yang berbeda dengan pelaku tindakan sadis.

Teman-teman mungkin hafal dengan hukum kasih kedua, yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan Hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Melalui ayat tersebut, aku memahami bahwa mengasihi diri sendiri adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi diri tentunya bermacam-macam, salah satunya rutin melakukan cek kesehatan, USG, kontrol gula, kontrol gigi, yang kerap kita maupun orang tua kita lakukan secara berkala. Mental kita pun perlu diperiksa juga, tentu dengan kesadaran bahwa kita mengasihi diri kita, sebagaimana Allah juga telah mengasihi diri kita.

Dengan kondisi mental kita yang baik, didukung juga oleh kondisi fisik dan spiritual yang baik, aku yakin bahwa kita jauh lebih optimal memuliakan nama Tuhan lewat berbagai aspek hidup kita. Dan bagi kamu yang merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, it’s okay to not be okay. Datanglah ke tenaga ahli, dan saya juga turut berdoa bagi kamu. God bless us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental

Oleh Vika Vernanda, Depok

Di akhir tahun 2018, fakultas psikologi di kampusku menginisiasi program kesehatan mental untuk mahasiswa. Salah satu layanan dari program tersebut adalah memfasilitasi mahasiswa yang ingin berkonsultasi dengan psikolog. Ini membuka makin banyak peluang mahasiswa di kampusku untuk berkonsultasi terkait kesehatan mentalnya kepada professional dengan lebih mudah.

Namun, sayangnya, aku masih melihat beberapa orang yang merasa ragu dan malu berkonsultasi dengan profesional terkait kesehatan mentalnya. Demikian pula anak-anak Tuhan. Masih banyak orang dalam komunitas Kristen enggan berbicara atau konseling kepada konselor Kristen, padahal manfaat berbicara atau konseling dengan konselor Kristen sangat besar. Oleh karenanya, aku menuliskan beberapa hal berdasarkan pengalaman pribadi dan orang di sekitarku, alasan untuk kamu atau kerabatmu yang merasa perlu namun masih ragu untuk datang menemui konselor Kristen.

1. Menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan

Dari apa yang kudengar, salah satu alasan orang enggan menemui psikolog atau konselor adalah karena orang-orang di sekitar mereka menganggap menemui ahli psikis adalah memalukan. Disangka tidak punya keluarga atau teman yang bisa menjadi tempat bercerita. Disangka tidak percaya bahwa Tuhan yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam hidup. Namun pemikiran seperti itu tidaklah tepat. Ada beberapa hal yang memang perlu diselesaikan, dan teman kita tidak berkapasitas untuk membantu menyelesaikannya; misalnya saja untuk seseorang yang merasa kehilangan harga diri setelah mengalami pelecehan seksual. Kehadiran konselor Kristen merupakan anugerah Allah untuk menolong kita untuk bisa semakin melihat bahwa identitas kita aman di dalam Allah dan tidak bergantung pada masalah atau kejadian buruk yang kita alami. Jadi, menemui praktisi konselor Kristen bukanlah hal yang memalukan, melainkan justru merupakan satu keputusan yang menunjukkan keberanian.

2. Menemui praktisi kesehatan mental bisa menolong kita mengenal diri kita lebih dalam

Satu tahun lalu aku rutin bertemu dengan Kak Sabeth yang adalah seorang konselor Kristen. Aku memutuskan untuk menemuinya karena aku bergumul dengan emosi yang saat itu mudah sekali untuk ‘meledak’.

Pertemuan-pertemuan awal dimulai dengan aku yang bercerita tentang berbagai ledakan emosi itu. Kak Sabeth kemudian mendiskusikan denganku beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya hal tersebut. Lewat pertemuan-pertemuan rutin itu, aku akhirnya mengetahui beberapa hal dalam diriku yang tidak aku ketahui sebelumnya. Misalnya, ternyata ada beberapa kejadian masa kecil yang membuatku cenderung menumpuk emosi, sehingga ketika emosi tersebut dikeluarkan akan menjadi ‘meledak’.

Ada beberapa kecenderungan diri yang tidak kita sadari ternyata bisa menyebabkan masalah dalam hidup. Kesadaran akan hal itu yang didapatkan dari diskusi dengan konselor akan sangat menolong kita menghadapi permasalahan hidup kedepannya.

3. Menemui ahli kesehatan mental bisa menjadi sebuah awal kita melayani Tuhan lebih efektif

Masalah yang kita hadapi seringkali membuat kita tidak berdaya. Tidak jarang masalah kehidupan sehari-hari mempengaruhi bagaimana kita melayani Tuhan. Misalnya saja karena masalah yang bertubi-tubi datang membuat kita tidak percaya akan kebaikan Tuhan, sehingga kita merasa percuma untuk tetap mengerjakan pelayanan.

Menemui seorang konselor akan menolong kita melihat dan menemukan penyelesaian permasalahan yang kita alami. Hal itu akan membuat kita kembali bisa memandang kehadiran Tuhan dengan cara yang benar.

Pertemuan rutinku dengan Kak Sabeth satu tahun lalu menyadarkanku bahwa aku tidak perlu memendam berbagai emosi yang kurasakan, hingga saat ini aku lebih bisa untuk mengekspresikannya. Pelayanan yang aku kerjakan saat ini berhubungan dengan banyak orang, sehingga ledakan emosiku yang sangat jauh menurun membuatku lebih efektif dalam melayani.

4. Kamu tidak menemui seorang konselor sendirian: Allah bersamamu

Masih ada orang-orang dalam lingkungan kita yang menganggap pergi menemui praktisi kesehatan mental hanya diperlukan untuk orang “gila”. Ditambah lagi mungkin ada teman-teman yang mengatakan bahwa pergi menemui praktisi kesehatan mental tidak diperlukan karena masih ada teman yang bisa mendengarkan, “kayak ga punya temen aja sih”. Hal-hal itu membuat kita merasa sendiri dan semakin ragu untuk memberanikan diri. Sehingga, memutuskan menemui praktisi kesehatan mental bukanlah hal yang mudah.

Markus 4:35-41 menceritakan tentang Yesus yang meredakan angin rebut. Ayat 37 menyatakan adanya taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Craig Groeschel dalam buku Divine Direction menuliskan bahwa keadaan saat itu terlalu besar untuk diatasi oleh perahu kecil dan para murid yang ketakutan di dalamnya. Tapi, meskipun keadaan tampak terlalu berat untuk dihadapi, para murid tidak sendirian. Markus mencatat “Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam”.

Bersama dengan Yesus di buritan perahu tidak berarti bahwa badai tidak akan menghantam perahu kita. Ini hanya berarti bahwa badai itu tidak akan menenggelamkan kita.

Allah bersama dengan kita, melewati berbagai ketakutan yang kita hadapi untuk akhirnya berani memutuskan untuk menemui praktisi kesehatan mental.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Aku sekeluarga berada di ruang isolasi setelah positif terjangkit Covid-19. Momen yang awalnya menakutkan ini rupanya dipakai-Nya untuk mengingatkan kami betapa Tuhan sayang pada kami.