Posts

Kalau Memang Butuh, Tuhan Pasti Cukupkan

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Semasa kuliah, aku bukanlah mahasiswa cukup secara finansial. Aku tidak pergi kuliah dengan kendaraan bermotor karena aku tidak punya, aku tidak makan makanan dengan harga lebih dari tiga belas ribu rupiah karena uangku tidak cukup, serta aku tidak ikut organisasi karena tidak ada uang untuk membayar uang kas dan yang lainnya.

Pernah ada satu masa yang semakin menunjukkan kekurangan itu.

Saat itu sekitar bulan November, adalah masa-masa ujian. Perkuliahan berjalan sebagaimana mestinya dengan dosen yang setia mengajar serta tugas yang tak pernah berujung. Semua berjalan baik-baik saja hingga ketika aku menyadari sisa uang yang aku miliki.

“2 minggu lagi UAS”, gumamku dalam hati. “Tapi uangku hanya cukup untuk ongkos satu minggu.”

Aku pulang dengan wajah temaram dan langsung menjatuhkan diri ke kasur. Saat itu, aku sungguh tidak tau apa yang harus aku lakukan.

Keesokan harinya, aku berpikir keras tentang apa yang bisa kulakukan. Meminta uang ke kerabat tidak mungkin. Menambah penghasilan dengan pekerjaan sampinganku sebagai guru privat juga tidak mungkin, karena saat itu sudah masuk musim ujian.

Pilihan terakhirku saat itu adalah tidak masuk kuliah selama seminggu, dan menggunakan uang yang kupunya untuk biaya transportasi selama ujian.

Malam harinya, aku menerima pesan singkat bertanya kabar dari seorang teman sepelayanan. Cukup umum di antara kami untuk menanyakan kabar satu sama lain, pada waktu yang seringkali tidak bisa diprediksi. Malam itu, kak Vicky namanya, menanyakan kabarku. Saat itu kak Vicky juga seorang mahasiswa yang sedang menjalani perkuliahan tingkat akhirnya.

Aku yang biasanya akan membalas “Puji Tuhan kak, baik”, kali ini tidak menjawab seperti itu. Dalam pikiranku yang kalut, aku menceritakan masalahku kepadanya. Aku menyatakan bahwa aku tidak baik-baik saja. Aku menceritakan kondisiku. Aku menyampaikan berbagai hal yang sudah kucoba lakukan, serta rencana terakhirku saat itu. Aku lupa respons kak Vicky saat itu. Tapi yang kuingat, setelah menceritakan semuanya aku merasa lega.

Saat aku menceritakan itu semua ke kak Vicky, aku sedang tidak berusaha untuk meminta bantuan dia, ataupun menarik empatinya dengan sengaja. Aku hanya ingin meluapkan isi pikiranku supaya aku merasa lebih ringan.

Keesokan harinya, masih dengan rencanaku untuk tidak masuk kuliah seminggu, aku mendapatkan notifikasi. Ada uang masuk ke rekeningku. Jumlahnya bahkan cukup untuk transportasi selama satu bulan!

Tidak terlintas di kepalaku siapa pengirimnya. Hingga aku menerima pesan singkat yang kurang lebih isinya begini:

“Vik, uangku gak banyak. Memberi juga tidak mudah bagiku. Tapi aku sedang belajar untuk berbagi dari kekuranganku. Aku sedang belajar kalau uang yang ada padaku bukan sepenuhnya milikku. Itu adalah milik Tuhan yang perlu juga kubagikan kepada sesama. Jangan anggap kamu berutang denganku, karena kamu tidak. Ini merupakan pernyataan kasihku kepada Allah, dan juga kepada sesamaku. Semoga ini menolongmu tetap berkuliah hingga masa UAS selesai.”

Tanpa kusadari, mataku berkaca-kaca membaca pesan tersebut.

Aku terdiam.

Pesan dan tindakan kak Vicky kala itu membuatku menikmati kembali bagian Alkitab yang berkata, “Lihatlah burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di dalam lumbung. Meskipun begitu Bapamu yang di surga memelihara mereka! Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung?” (Matius‬ ‭6‬:‭26‬ ‭BIMK‬).

***

Hari ini, sudah hampir 5 tahun sejak hal itu terjadi. Namun pesannya begitu kuat terpatri dan aku nikmati.

Tahun lalu, hal yang hampir sama terjadi. Aku diperhadapkan pada dua pekerjaan. Pekerjaan pertama menuntutku ke luar kota dan jauh dari komunitas, dengan gaji yang lebih besar. Pekerjaan kedua tempatnya di Jakarta, tapi gajinya jauh lebih kecil. Saking kecilnya, tidak ada sisa uang yang bisa aku simpan untuk tabungan.

“Kalau memang butuh, Tuhan akan cukupkan”, gumamku sambil menerima pekerjaan di Jakarta.

Dan benar saja, tidak lama, aku menerima telepon terkait tawaran pekerjaan sampingan yang memang mencukupkan kebutuhanku. Setelah telepon itu kututup, tangisku tak bisa lagi terbendung.

Aku melihat kembali Allah yang setia memeliharaku, dengan cara mencukupkan kebutuhanku.

Pengalaman-pengalaman itu semakin menguatkanku bahwa aku berharga bagi Allah, dan Allah-lah yang setia memelihara kehidupanku.

Dalam ketidakpastian masa depan, terkhusus terkait finansial, seringkali memang sangat menakutkan. Apalagi di masa sekarang ini, tuntutan untuk memiliki tempat tinggal, kendaraan, menafkahi keluarga, dan sebagainya; rasanya uang tidak akan pernah cukup. 

Namun aku berharap kita bisa terus berkata dan meyakini, “Kalau memang butuh, Tuhan pasti cukupkan”. Lewat pengalamanku, aku berharap kita bisa mengingat kembali betapa Allah yang baik itu terus setia memelihara. 

Selain itu, mari berdoa supaya aku, dan kamu, mau juga belajar seperti kak Vicky yang kukenal. Belajar kalau uang yang ada padaku, bukan sepenuhnya milikku. Itu adalah milik Tuhan yang perlu juga kubagikan kepada sesama.

Kiranya pengalaman kita bersama Allah, menolong kita untuk terus yakin dan percaya pada kesetiaan dan pemeliharaannya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hal-hal yang Receh dan Kerap Diabaikan, Di Sanalah Ladang Subur untuk Menanam Kebaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Hari-hari anak muda yang telah lulus kuliah dan bekerja tidak lagi seseru dulu. Meski tak semua anak muda merasa begitu, itulah yang kualami beberapa tahun ke belakang. Di umur yang masih muda ini aku sudah punya sakit lambung, dan jumlah temanku pun mulai menyusut seiring dengan banyak di antara mereka yang menikah atau merantau ke lain kota.

Tahun kemarin, untuk merayakan hari ulang tahunku, aku mentraktir diriku sendiri. “Beli burger vegan ah!” celetuk otakku. Burger ini ukurannya lumayan besar. Meskipun tidak ada daging hewani sama sekali, tapi menyantapnya sampai habis sungguh membuat perutku kenyang.

Setengah jam pasca tuntas memakan burger itu, aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku. “Dung…dung…” suara kembung dan begah saat ditepuk. Meski kembung setelah makan adalah hal normal, tapi instingku merasa ini bukan kembung yang wajar… apalagi aku memang sejak 2019 aku mengidap gerd. Kutunggulah sampai beberapa jam ke depan, tapi kembungnya tidak hilang-hilang. Malahan, muncul rasa mual dan sesak. Napasku jadi pendek-pendek.

Sampai empat hari berselang, kembungnya tidak benar-benar hilang dan perasaanku selalu mual. Kuputuskan untuk menemui dokter spesialis langgananku.

“Hayo, kenapa lagi ini?” dokter ini sudah hafal denganku karena memang aku sering kontrol dengannya.

“Iya dok, ini, kemarin Kamis saya sesek di dada. Di tenggorokan banyak lendir. Terus perutnya kembung terus, gak enak,” tuturku mendetail sambil batuk. “Nah dok, ada batuk juga sih ini. Berasa banyak lendir tapi susah dikeluarin.”

“Jangan dipaksa. Jangan didehemin. Nanti takutnya luka tenggorokannya. Coba duduk sini.”

Di kursi yang mirip dengan kursi dokter gigi, alat seperti pistol air dengan ujung runcing dimasukkan ke mulutku. Di pucuknya ada kamera. Lalu muncullah citra isi tenggorokanku di monitor.

“Nah, ini radang. Bengkak laring kamu.”

“Kok bisa, dok?”

“Ini gara-gara lambung,” katanya. “Asam lambung kamu naik, jadi dinding kerongkonganmu itu memproduksi lendir untuk melindungi diri. Cuma lendirnya banyak, dan tenggorokanmu radang. Lendirnya jadi nyangkut, itu yang bikin sesak napas.”

“Lambung lagi lambung lagi,” gumamku. Sesi singkat di ruang praktik itu perlu ditebus dengan harga 200 ribu: 150 ribu untuk konsultasi dokter dan 50 ribu untuk endoskopi. Aku diberi resep empat obat. Total uang yang kukeluarkan hari itu 460 ribu. Angka yang cukup besar di tanggal yang hampir tua. Sialnya, bulan itu tidak ada anggaran yang kualokasikan untuk uang darurat.

Sepulang dari dokter, semua peristiwa di ruang praktik tadi kuceritakan pada kawan di grup WhatsApp yang isinya cuma tiga orang: aku, dan sebut saja Yos, dan Jon.

Yos menanggapi dengan serius. Jam sebelas malam, dia meneleponku dan mendoakanku. “Sembuh ya, udah jangan terlalu dipikirin. Nanti Sabtu pulang aja udah jangan di kosan, ketemu kita.” Tawaran yang menggiurkan, tapi kutolak lembut. “Iya pengen sih, tapi bulan depan aja deh.”

Berbeda dengan Yos, si Jon ini memang yang paling petakilan polahnya. “Lah mahal juga itu berobat. Memang gak bisa dicover asuransi?” tanyanya.

“Kaga bisa. Asuransi gua cuma bisa berlaku rawat inap. Kudu ngendog dulu di IGD minimal 6 jam.”

“Ya udah atuh lu ke RS, opname aja,” ketiknya datar tanpa emoticon apa pun.

“Pret..” balasku dengan agak kesal. Kok sakitnya orang dijadikan candaan. “Opname tuh ribet, gak gampang. Terus kerjaan gimana kalau sampai opname?”

“Wkwk” balasnya.

Aku tidak ada ekspektasi apa pun dari sesi curhat malam itu, terlebih ekspektasi kepada si Jon. Mereka membalas dan menyimak pun aku sudah senang. Jelang jam 12, aku tidur duluan.

Kira-kira tiga hari setelahnya, aku pergi ke ATM untuk menarik uang. Seingatku, jika kutarik uang hari ini saldonya harusnya di bawah 10 ribu. “Loh….kok ada segini?” Terhenyak aku. Kok saldonya jauh lebih besar dari perkiraan. Sudah kutarik kok tidak berkurang?

Kuingat-ingat apakah ada orang yang berutang lalu bayar diam-diam, rasanya tidak ada. Lalu kuceklah mutasi saldo selama seminggu ke belakang. Rupanya di malam saat aku curhat, si Jon mentransferku uang.

“Eh, lu kok transfer gua uang?” kutanya si Jon lewat WhatsApp.

“Uang apa? Gua gak tau,” jawabnya pura-pura.

Kutanya lagi, jawabannya tetap sama: “gak tau” tanpa tanda baca ataupun emoticon.

“Udah, ambil aja itu duitnya,” ketiknya lagi. “Nanti bayarnya 10 tahun lagi aja, kalau bisa bayar 10x lipat ya.”

“Ih, gak mau lah! Itu kalau elu salah transfer, gua mau transfer balik ya.”

“Nggak, itu buat elu. Terima aja.”

Dari lima bahasa kasih, temanku si Jon ini memang paling kurang di kata-kata. Dia sukanya ceplas-ceplos, tapi dia jadi orang yang tampil apa adanya, terutama dalam hal mengkritik orang lain. Karena kami telah berteman lebih dari dua puluh tahun, candaan-candaannya tak pernah lagi jadi soal yang membuatku tersinggung. Akan beda cerita jika aku baru mengenalnya kemarin sore, mungkin aku akan tersinggung dan berpikir kalau orang ini tak punya hati.

Hari itu, setelah aku pulang dari ATM untuk mengambil uang, aku merenungkan tindakan kasih yang dilakukan Si Jon. Karena harus berobat mendadak, uangku jadi berkurang dan ada pos-pos anggaran yang harus aku ubah alokasinya. Tetapi, melalui si Jon aku merasakan betapa Tuhan peduli padaku, dan Tuhan juga selalu punya cara untuk menolong umat-Nya.

Setiap kita punya cara yang berbeda dalam merespons cerita seseorang. Namun, pada hari ketika aku cuma sekadar curhat, si Jon belajar peka terhadap apa yang jadi persoalan di balik ceritaku—bahwa bulan itu aku sakit dan kekurangan dana. Curhatanku tidak dianggapnya enteng, meskipun saat itu dia mengetik guyonan yang kuanggap tak sensitif. Empatinya mewujud dalam tindakan. Dia tahu kalau dalam kisah persahabatan kami, akulah yang punya pendapatan paling rendah. Memang, uang yang kukeluarkan tidak membuatku jadi makan nasi hanya dengan garam dan kecap, tapi itu cukup menguras tabunganku yang bisa kupakai untuk banyak hal lain. Nominal uang yang ditransfernya adalah wujud ungkapan empati yang nyata.

Dari pengalaman ini aku belajar mendengarkan ketika orang lain mengizinkanku untuk menjadi tempat curhat mereka. Setelahnya, aku juga belajar peka: pertolongan apakah yang bisa kuberikan? Aku berdoa lebih dulu memohon agar Tuhan memberiku hikmat mengenai pertolongan apa yang bisa kuberi. Namun, perlu digarisbawahi di sini bahwa peka tidak berarti kita memaksa untuk memberi pertolongan apabila keadaan tidak memungkinkan atau yang bersangkutan menolak untuk ditolong. Semisal, pada saat temanku cerita akan beratnya perjuangannya merawat orang tuanya di rumah sakit dia pasti lelah dan butuh makanan sehat, tapi dia juga tentu sibuk untuk mengurus banyak urusan. Jadi, ketika aku tergerak menolongnya aku bertanya, “Aku pengen kirim sesuatu buat kamu. Kira-kira kamu lagi butuh apa?” Temanku menjawab kalau dia ingin makanan sehat dan berserat karena tubuhnya lelah, tetapi siang itu dia masih sibuk mengurus urusan administrasi jadi tak memungkinkan untuk turun ke lobi dan menemui ojol. Makanan pun kukirim di malam hari. Dia menerima pemberian itu dengan senang hati.

Menolong dan ditolong adalah dua hal yang berkenan bagi Tuhan, yang sama-sama baik nilainya. Ditolong tidak berarti kita lebih buruk daripada yang menolong, sebab semua manusia setara di mata Allah dan tolong-menolong sejatinya tidak bicara soal status. Allah selalu menolong kita melalui berbagai cara, dan bahkan Dia peduli pada setiap hal kecil yang sejatinya kita butuhkan tapi kadang tak kita sadari. Ketika Elia diutus-Nya untuk menyampaikan nubuatan berupa kekeringan hebat, Allah memelihara Elia dengan memberinya air dari anak sungai dan burung gagak membawakan makanan untuknya (1 Raja-raja 17:4). Ketika Yunus terombang-ambing di lautan yang bergelora, Allah mengirim seekor ikan besar bukan untuk membunuh Yunus, tetapi menyelamatkannya sampai ia dimuntahkan pada keadaan laut yang lebih tenang (Yunus 1:17). Ketika sepasang pengantin kehabisan anggur pada pesta perkawinannya, Yesus pun menyatakan mukjizat-Nya dengan mengubah air menjadi anggur (Yohanes 2:1-11).

Kita semua adalah perpanjangan tangan-Nya untuk menolong orang lain. Saat kita memiliki sesuatu yang lebih—tak melulu soal uang—kita bisa membagikannya kepada mereka yang Tuhan letakkan namanya di hati kita.

Seorang Tetangga yang Mengajarkanku tentang Berbuat Baik

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sepulang kantor, kulihat langit masih cerah walaupun matahari mulai tenggelam. Suara keroncongan terdengar dari perutku. Sel-sel dalam otak pun mulai memilah-milah warung makan mana yang sudah buka di sekitar tempat kerjaku sambil aku terus berjalan ke parkiran. Setelah kutemukan motor bebek milik kantor yang dipinjamkan padaku, segera kunyalakan mesinnya. Kuoper persneling ke nomor satu, memutar handle gas, dan melaju ke warung pecel lele kesukaanku. Warung pecel lele ini terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan kecepatan normal, kira-kira sepuluh menit aku bisa tiba..

Begitu sampai di sana, segera kupesan menu favoritku: lele goreng! Tak perlu waktu lama, sepiring lele goreng, nasi, dan es jeruk tersaji di depanku. Semuanya kulahap sampai tak bersisa. Kutepuk perut kenyangku sambil tersenyum. Memang, pecel lele tiada duanya! Setelah makan, aku pun bersiap-siap kembali ke mes karyawan yang berada di kompleks tempat kerjaku. Oh ya, kala itu aku berkarier sebagai salah seorang karyawan hotel di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Saat sudah meninggalkan warung itu beberapa ratus meter, tiba-tiba hujan turun. Aku tidak membawa jas hujan. Langsung saja aku basah kuyup. Tapi, tetap kuputuskan untuk meneruskan perjalanan pulang karena tidak lama lagi aku akan sampai di mes dan bisa segera mandi.

Diguyur hujan, naluriku mendorongku untuk meningkatkan laju motor tanpa menyadari akan licinnya jalan yang dibasahi hujan, dan potensi kecelakaan yang bisa terjadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa sampai di mes sesegera mungkin. Namun, tiba-tiba dalam sekejap aku merasakan kedua tanganku sudah terlepas dari motor yang aku tunggangi! Peristiwa itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku sudah terhempas beberapa meter dari motorku yang sudah jatuh di aspal. Tatapan mataku kabur karena kacamataku juga jatuh entah di mana. Aku berusaha mencarinya di kegelapan senja dengan bantuan cahaya dari ponsel yang masih menyala.

Ketika aku masih meraba-raba tanah di sekitar untuk mencari kacamataku, kulihat cahaya motor yang datang dari arah berlawanan. Ada seorang pria yang mengenakan jas hujan turun dari motornya dan berhenti tepat di depanku yang sedang tergeletak. Ia langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah itu dia maju beberapa meter untuk mengangkat motorku.

Aku tidak kenal siapa dirinya. Namun, tidak lama kemudian pria itu bertanya tentang kondisiku yang kujawab bahwa aku baik-baik saja. Lalu aku mencoba berjalan ke arah motorku dengan tertatih-tatih. Aku memang agak sulit berjalan, tapi aku terus berpikir bahwa diriku baik-baik saja. Padahal kenyataannya, aku tidak sadar bahwa beberapa bagian tubuhku mengalami luka-luka dan memar.

Pria ini sempat memberikan tawaran untuk mengantarku pulang, namun aku enggan menerima karena sungkan merepotkannya. Lantas dia memperkenalkan dirinya sebagai kakak dari salah seorang rekan kerjaku. Mungkin dia mengenaliku sebagai teman kerja adiknya dari seragam yang masih menempel di tubuhku. Kemudian dia memintaku untuk tidak merasa segan karena dia juga warga setempat.

Sambil berbicara, kucoba menyalakan motorku. Pria itu masih membantuku menahan beban motorku yang berat. Puji Tuhan, ternyata mesin motor masih bisa menyala. Aku mengatakan kepada pria itu bahwa aku masih bisa pulang sendiri, walaupun aku mulai merasakan perih di beberapa bagian tubuhku yang luka-luka. Sembari menghaturkan terima kasih atas kebaikannya, aku juga mengucapkan selamat tinggal.

Merasakan Pengalaman dari Kisah Orang Samaria yang Baik Hati

Kawan, beberapa tahun setelah peristiwa ini, ketika aku membaca kembali perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30-35), aku menyadari bahwa aku telah merasakan kebaikan dari seorang tetangga yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetangga ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan diriku. Kami tidak datang dari kota yang sama, bukan suku yang sama, dan juga tidak memeluk agama yang sama. Namun, dengan tanpa pamrih, di tengah hujan yang cukup deras, dia rela berhenti untuk menolong seseorang yang jatuh dari motornya. Dan bukan itu saja, dia yang mungkin sedang dalam perjalanan ke sebuah tempat, juga rela untuk mengantarkan orang yang baru mengalami kecelakaan ini untuk pulang ke rumahnya.

Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati, Yesus menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Orang itu bertemu dengan perampok-perampok yang bukan saja mengambil seluruh hartanya, tapi juga memukulnya sampai babak belur hingga ia terkapar setengah mati.

Kemudian ada seorang imam yang kebetulan melalui jalan itu. Sang imam melihat orang yang terkapar tersebut, tetapi ia hanya melewatinya dari sisi jalan yang lain. Lalu seorang Lewi juga kebetulan melalui jalan tersebut. Dia pun tidak memedulikan orang yang sudah sekarat itu dan terus berjalan seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Beberapa pakar Alkitab meyakini bahwa sang imam dan Lewi tidak mau menajiskan diri setelah mereka memimpin ibadah yang kudus di Bait Allah yang berada di kota Yerusalem.

Memang benar, aku tidak berjumpa dengan seorang imam dan orang Lewi di dalam peristiwa yang aku alami. Namun, aku menemukan diriku yang sering beraksi seperti imam dan Lewi dalam cerita itu.

Aku tahu bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia adalah perintah utama dari taurat, dan kedua hal ini adalah paket yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang Kristen. Namun, aku gagal untuk memberikan uluran tangan sebagai bentuk kasihku kepada sesama, karena keegoisanku.

Aku menjadi seperti sang imam dan Lewi yang mencari-cari alasan untuk tidak mengulurkan tangan sama sekali. Aku berpikir terlalu keras dan mempertimbangkan terlalu banyak alasan sampai akhirnya aku mau mengatakan “iya” untuk meringankan beban orang lain. Hal tersebut membuatku sadar bahwa diriku ternyata “pilih-pilih kasih” ketika hendak menyatakan kebaikan pada orang lain. Contohnya, aku lebih dapat mengasihi orang-orang yang memiliki latar belakang yang mirip denganku, serta giat membantu teman-temanku dengan menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti mereka juga akan membantuku. Namun, ketika aku tidak mendapatkan balasan dengan kualitas kasih dan perhatian yang sama, aku mulai merasa kecewa.

Ya, aku memiliki pandangan dan sikap yang salah. Padahal, mengasihi sesama manusia dengan berbuat baik adalah panggilan kita yang sudah terlebih dahulu menerima kasih dan kebaikan yang besar dari Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus yang melepaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Tak sampai di situ, Tuhan juga terus memelihara hidup kita dengan menambahkan anugerah demi anugerah yang dapat kita rasakan setiap harinya.

Ketika aku merefleksikan kembali insiden yang pernah menimpaku tersebut, aku bersyukur bahwa Tuhan memberikan sebuah pembelajaran yang berharga kepadaku tentang mengasihi sesama melalui perbuatan baik. Dan melalui tetangga yang telah menolongku, aku belajar seperti apa yang dikatakan oleh John Wesley, bapak gereja Methodist,

“Lakukan semua kebaikan yang Anda bisa, dengan segala sumber daya yang Anda bisa, dengan semua cara yang Anda bisa, di semua tempat yang Anda bisa, setiap saat Anda bisa, kepada semua orang yang Anda bisa, selama Anda bisa.”

Kawan, di akhir perumpamaan Yesus memberikan sebuah ajakan kepada pendengar-Nya dan kita semua pada hari ini, “Pergi dan perbuatlah demikian.” (Luk. 10:37b). Yuk, mari kita pergi dan membagikan kasih Allah melalui hidup kita. Ya, bagikan kasih Allah kepada sesama untuk kemuliaan nama-Nya!

Cerpen: Menyenangkan Hati Orang Lain

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku dan Ica sedang asyik menikmati bakso kuah di kantin kampus ketika dua orang temanku datang menghampiri meja kami.

“Eh, Dian, makan di sini juga,” seru salah seorang dari mereka.

Aku menoleh dan tersenyum.

“Di, kamu sudah selesai print paper buat mata kuliah sore ini?” tanya temanku.

Aku mengangguk. “Iya, sudah.”

“Yah, sayang banget.”

“Memangnya kenapa?”

“Begini, Di. Kita berdua mau balik sebentar ke kos, mau ambil buku yang ketinggalan. Tapi, kita belum print paper, sepertinya tidak sempat kalau harus print dulu,” keluh temanku.

“Iya, Di. Kita pikir kamu belum print jadi bisa sekalian, mau nitip tadinya. Tetapi karena kamu sudah selesai, kita coba minta bantuan teman lain saja,” jawab teman di sebelahnya. Dan mereka pun siap-siap untuk beranjak pergi.

“Eh, nggak apa-apa. Biar aku saja yang print, aku juga gak ada kegiatan lain setelah ini.”

“Wah, serius, Di?” sahut mereka hampir bersamaan. Aku mengangguk. Mereka buru-buru meletakkan flash disk dan beberapa lembar uang di atas meja.

“Terima kasih banyak, Di. Kamu memang orang yang baik,” puji mereka sebelum beranjak ke pintu keluar kantin.

Aku memasukkan flash disk dan uang itu ke dalam tas lalu melanjutkan makan. Aku melirik Ica sekilas, tetapi dia tidak berkata apa-apa.

Ica adalah temanku sejak SMP. Kami bersekolah di tempat yang sama dan sekarang kuliah di kampus yang sama juga meski dengan jurusan yang berbeda. Awalnya aku ingin mengambil jurusan yang sama dengan Ica, karena kami memang punya minat yang sama. Tetapi tahun lalu ketika mengisi daftar pilihan jurusan, Bapak memintaku untuk memilih jurusan yang sekarang aku jalani ini. Alasan yang diberikan Bapak adalah jurusan ini memiliki prospek pekerjaan yang lebih luas di masa depan. Sebenarnya aku tidak terlalu menikmati belajar di jurusan ini, tetapi aku tidak ingin mengecewakan Bapak. Aku ingin menjadi anak yang menyenangkan hati orang tuaku.

Drrrt…drrrt…

Aku merogoh ponsel di dalam tas lalu berbicara selama beberapa menit.

“Siapa, Di?” tanya Ica.

“Teman kelompok. Dia minta tolong aku membuat materi presentasi buat besok, dia sedang ada urusan,” jawabku santai.

“Kamu mau?”

Aku mengangguk. “Aku tidak enak menolak. Dia ‘kan minta tolong. Aku juga yang bikin makalahnya, jadi seharusnya tidak begitu susah untuk membuat materi presentasinya.”

“Bukannya kamu ada jadwal pelayanan nanti malam?” Ica mengingatkanku.

“Oh, iya!” seruku menepuk jidat. Aku berpikir sejenak.

“Sepertinya aku akan lembur, nih,” kataku akhirnya.

Ica menghembuskan napas kesal. “Mau sampai kapan kamu berusaha menyenangkan hati semua orang, Di? Apalagi sepertinya hanya membebani diri kamu sendiri saja.”

Aku menanggapinya dengan meringis.

“Kita tidak akan bisa menyenangkan hati semua orang, Di, karena manusia itu tidak akan pernah merasa puas. Dan juga kamu bukan penyedia jasa untuk menyenangkan hati orang lain, kan?” lanjutnya dengan pelan dan lembut, memandangku dengan penuh perhatian.

Aku terdiam.

Aku memang selalu suka membantu orang lain. Sampai kadang-kadang dalam beberapa kasus, aku merasa lelah sendiri. Aku jadi berpikir apa motivasiku menolong orang lain. Apakah aku melakukan semua itu karena aku memang ingin melakukannya, atau karena aku ingin punya citra yang baik di mata orang-orang sekitarku, supaya aku dapat diterima oleh mereka?

Ica sudah sering mengingatkanku akan hal ini tetapi baru sekarang kupikirkan dengan serius. Mungkinkah selama ini Tuhan berusaha mengingatkanku lewat Ica, tetapi aku sengaja mengabaikan-Nya?

Aku tersadar, adalah hal baik untuk menolong orang lain dan melakukan sesuatu yang menyenangkan mereka, tetapi bila hal itu kemudian membuatku mengejar penerimaan dari mereka, apakah Tuhan senang kalau aku melakukannya?

Aku pun perlu berhikmat dan belajar memeriksa motivasiku sebelum menolong orang lain.

Kita tidak akan bisa menyenangkan hati semua orang, dan hal itu tidak salah. Bukankah hanya ada Satu Pribadi yang harus kita senangkan hati-Nya? (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Doa: Sebuah Usaha Bergantung Pada Kebaikan Hati Bapa

Semakin sering aku melihat teman-temanku berdoa, maka semakin sering aku merasa ada yang salah dengan relasiku dengan Tuhan, khususnya dalam hal berdoa.

Meminta dan Menerima Pertolongan Bukanlah Tanda bahwa Kamu Lemah: Sebuah Pelajaran dari Galon Air

Sebuah cerpen karya Tabita Davinia Utomo

“Jadi perempuan itu harus mandiri, jangan mengharapkan orang lain mengasihani kamu.”

Mama sering berkata begitu karena sejak kecil beliau sudah terbiasa untuk jadi anak yang mandiri. Orang tuanya (khususnya Nenek yang cukup dominan) yang sibuk bekerja tidak memiliki banyak waktu untuk berdialog dengan keempat anak mereka secara pribadi. Itulah alasan Mama untuk mendidikku menjadi perempuan yang berdikari, dan serba bisa, apalagi karena Papa juga mengajarkan hal yang sama. Mungkin faktor urutan anak juga berpengaruh, mengingat aku adalah anak yang seharusnya menjadi panutan bagi dua adikku. Ditambah lagi, selama bersekolah dulu, aku merasa cukup sering “dimanfaatkan” oleh teman-temanku sendiri—mulai dari urusan desain hingga menyediakan telinga dan hati untuk mendengarkan curahan hati. Namun saat aku membutuhkan mereka, mereka justru menghilang. Tidak heran bukan, kalau akhirnya aku memilih untuk menutup kerapuhanku dan menjadi “kuat”—walaupun di atas pondasi yang rapuh?

Sayangnya, hal ini membuatku sulit untuk meminta atau menerima pertolongan dari orang lain. Aku tidak terbiasa jika ada orang yang membantuku bahkan untuk hal sesederhana seperti membawa kantong belanjaan—yang sebenarnya terasa berat—sementara ada keluarga atau teman yang belanja bersamaku, atau ketika aku pulang larut malam dari gereja dan ada yang bersedia menemaniku. Entahlah, aku merasa jadi orang yang lemah karena mendapatkan pertolongan dari orang lain seperti itu. Mungkin itulah alasannya Martin berkata, “Kamu tuh jangan terlalu kuat dong, Bi. Aku takut kalau jadian sama perempuan yang ideal banget kayak kamu. Hahahaha…”

Dulu, Martin adalah pacarku, sampai akhirnya kami putus dua tahun lalu. Aku merasa kakak tingkatku di kampusku yang sebelumnya ini sangat membatasi ruang gerakku. Misalnya ke manapun aku pergi, aku harus lapor padanya. Kadang-kadang, dia bisa muncul secara mendadak untuk menemaniku pulang—apalagi karena aku sering pulang malam untuk mengerjakan tugas maupun mengikuti berbagai kegiatan di gereja. Walaupun aku sering mengomelinya agar tidak merepotkan diri sendiri untuk menemaniku ke rumah (dan selama berkuliah, aku tidak pernah mendapatkan masalah apa-apa karena pulang larut), nyatanya dia masih mengulanginya lagi dan lagi. Hmmm baiklah, itu hanya salah satu alasan ketidakcocokan kami, sehingga aku berinisiatif mengakhiri relasi kami. Bagaimana bisa aku hidup bersama laki-laki yang justru mempersempit ruang gerakku untuk produktif? Kalaupun kalian berkata bahwa itu hanya karena dia khawatir padaku, lalu apa kalian bisa menjelaskan kenapa aku selalu merasa lelah setiap kali pulang dari kencan dengannya, bahkan menjadi “hidup segan, mati tak mau”?

“Bianca!”

Lamunanku buyar saat mendengar suara Alex yang barusan memanggilku. Laki-laki itu mendekatiku yang sedang menatap buku referensi dari dosen, sementara pikiranku sendiri melayang-layang ke masa lalu. Sambil nyengir, dia bertanya, “Mau aku bawain galonnya sekarang, nggak? Nanti aku ada kelas sampai malam, nih. Mumpung inget. Ehehe…”
Oh, ya. Salah satu tugas sebagai mahasiswa asrama adalah dengan menyediakan memastikan ada air siap minum di dapur asrama. Sekuat-kuatnya aku, sebenarnya tetap saja aku membutuhkan bantuan laki-laki untuk mengangkat galon dari tempat penyimpanannya ke dapur. Kali ini, aku mendapat jadwal bersama Alex, salah satu temanku di kampus di mana aku menempuh studi lanjut. Untung saja dia ingat, karena kalau tidak aku benar-benar lupa. Hahaha.

“Boleh. Sekarang aja, ya.” Aku menutup bukuku, lalu berjalan bersamanya untuk mengambil galon air.

“Galonnya ambil berapa, nih?” tanyanya sambil membawa galon ke dapur asrama putri yang terletak di lantai tiga.

“Ambil dua kali, ya. Soalnya tadi pas aku cek, airnya udah abis. Biar sekalian ada stoknya gitu, apalagi lusa udah hari Minggu—dan biasanya banyak yang bakal masak pakai air dari situ. Nggak apa-apa kan, Lex?” kataku.

Singkat cerita, kami sudah mengambil dua galon dan akan memasang salah satunya ke dispenser. Setelah membersihkan dan membuka penutup galon, Alex mengangkatnya ke atas dispenser. Tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan sehingga dia berkata, “Eh, tolongin, Bi! Aku kesemutan!”

“Waduh!” Aku segera membantunya memasang galon itu, setelah itu mengeringkan meja dispenser yang kebasahan karena ternyata Alex sempat menumpahkan air di sana.

“Oh, oke deh.”

“Duh, sorry ya, Bi.” Alex menggaruk-garuk kepalanya, lalu melanjutkan, “Aku kaget karena tiba-tiba kesemutan. Nggak tahunya malah bikin mejanya basah…”

“Santai aja. Untung nggak sampai kena ke stop kontak yang ada di sini,” balasku.

“Eh? Ada stop kontak di situ, ya?” tanyanya.

“Nih.” Aku menunjuk ke stop kontak dispenser yang letaknya sangat berdekatan dengan meja dispenser.

“Astagaaa!” Alex menepuk dahinya. “Iya yaa, nggak kebayang kalau korsleting gara-gara masalah angkat galon.”

“Ahahahaha iya… Ya udah, makasih ya, Lex. Ini galon yang kosong biar aku aja yang bawa turun…”

Tidak disangka, ternyata Alex sudah lebih dahulu mengambil galon lainnya dan akan berjalan menuruni tangga asrama. Ketika melihat ke arahku yang masih berada di pintu dapur, dia berkata, “Sini, galonnya biar sekalian aku bawain.”

Lah, kalau kosong aku mah bisa bawanya. Ya kali dia yang bawain, kok aku jadi manja banget, pikirku. “Eh, jangan! Kamu kan, udah naik-turun bawa galon penuh dua kali,” balasku.

“Udahhh, nggak apa-apaaa.” Alex mengulurkan tangannya, seolah-olah memintaku untuk memberikan galon kosong yang masih kupegang.

“Hmmm… baiklah.” Akhirnya aku menyerahkan galon itu pada Alex. “Habisnya enteng, sih. Hehehe… tapi makasih, ya, Lex.”
Alex mengangguk. Sambil berjalan bersamaku menuruni tangga, dia berkata, “Iyaa, aku kan, baru belajar biar jadi cowok yang gentleman. Misalnya buat bawa galon kosong gini. Kalau ada cowok, sebenernya cowok yang bawa aja nggak apa-apa, kok.”

“Ohh… berarti kalau aku, ehm… belajar biar bisa menerima bantuan dari cowok.”

Meskipun setelah itu kami tertawa bersama, aku jadi memikirkan ulang perkataanku. Ternyata salah satu kesulitanku untuk menerima bantuan dari orang lain—khususnya lawan jenis—adalah karena aku akan merasa lemah jika itu yang terjadi. Selama ini, aku dibiasakan untuk tidak menaruh pengharapan yang besar pada seseorang agar dia melakukan apa yang aku butuhkan. Pengalamanku ketika dikecewakan maupun diabaikan di masa lalu membuatku bertekad untuk mengikuti apa yang diajarkan oleh orang tuaku, yaitu agar aku menjadi perempuan kuat yang bisa bertahan tanpa harus terluka. Namun yang muncul di balik “kekuatanku” adalah kelelahan untuk menanggung beban seorang diri, yang pada akhirnya berujung pada mengasihani diri sendiri.

Mungkin inilah alasan Tuhan mempertemukanku dengan Alex dalam konteks jadwal pengambilan galon, agar kami belajar bersama bahwa baik laki-laki dan perempuan adalah berharga di mata-Nya, dan keduanya bisa saling membutuhkan. Meskipun demikian, bukan berarti itu jadi alasan bagi kita untuk tidak menjadi pribadi yang mandiri, kan? Karena peran yang berbeda bukanlah bertujuan untuk meniadakan kesetaraan yang telah Tuhan tetapkan.

Selamat belajar menjadi pria yang gentleman, kamu.

Selamat belajar menjadi wanita yang humble, aku.

Baca Juga:

Anak Bawang Tuhan

Dari dulu aku telah diajarkan bahwa Tuhan itu baik dan aku mempercayainya. Hanya saja bagiku kebaikan Tuhan bersifat eksklusif. Memang benar aku adalah anak Tuhan tapi, aku memandang diriku sebagai anak bawangnya Tuhan.

Mengapa Aku Selalu Menolak Pertolongan dari Orang Lain

mengapa-aku-selalu-menolak-pertolongan-dari-orang-lain

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 只付出不接受的做法真的是上帝喜悦的么?

Beberapa hari yang lalu saat sedang makan malam, ayahku berkomentar tentang zaman yang telah banyak berubah. Dulu, biasanya atasan-atasan di tempat kerja itu peduli dengan pekerja di bawahnya. Ketika kakekku bekerja di sebuah perusahaan arsitektur, manajernya selalu mengunjungi keluarganya setiap tahun baru Imlek sambil membawa serta sejumlah uang dan menanyakan apakah keluarga kami membutuhkan sesuatu untuk dibantu.

Suatu ketika keluarga kami membutuhkan bantuan untuk membangun sebuah rumah, lalu manajer itu mengirimkan beberapa orang pekerja bangunan untuk menolong kami. Awalnya kakekku menolak bantuan itu. Bagi orang-orang pada masa itu, menerima pertolongan dari orang lain itu dianggap bisa menghilangkan “harga diri”.

Aku pikir keadaan hari ini pun tidak banyak berubah. Ada banyak orang yang ingin menolong orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau ditolong.

Banyak dari kita diajar untuk tidak hidup egois. Kita diajar untuk memiliki hati yang tulus menolong tanpa mengharapkan balasan, dan itu sungguh mulia. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Ketika aku masih sekolah, aku dengan senang hati menolong teman sekelasku. Tapi, sangat sulit bagiku ketika aku harus meminta pertolongan dari orang lain. Prinsip ini terus kupegang bahkan sampai aku lulus sekolah. Sebenarnya di lubuk hatiku terdalam aku tahu kalau aku butuh pertolongan. Namun aku tidak mau meminta pertolongan itu. Dan, ketika ada orang lain yang menawarkan pertolongan untukku dengan tangan terbuka, aku malah sulit untuk menerimanya.

Haruskah kita berlaku seperti itu? Apakah Tuhan berkenan jika kita menolong orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditolong?

Tuhan mengajar kita untuk saling menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2). Alkitab juga mengingatkan kita bahwa di dalam Kristus kita semua adalah satu tubuh (1 Korintus 12:12-27). Tolong menolong baru bisa terjadi ketika ada dua pihak yang saling terlibat. Jika setiap orang menolak untuk ditolong, lalu siapa yang bisa kita tolong? Bagaimana kita bisa hidup dalam satu tubuh Kristus?

Ada rasa gengsi di balik penolakan pertolongan

Tuhan mau supaya kita menerima dan memberi dengan sukacita. Jadi, mengapa ada orang-orang yang sangat sulit untuk menerima? Kalau kamu bertanya padaku, aku akan menjawab kalau kesulitan itu terjadi karena rasa gengsi.

Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan kita. Dan salah satu yang kita lakukan agar kelemahan itu tidak dilihat orang adalah meninggikan ego dengan tidak mau menerima pertolongan orang lain. Aku menyadari hal ini ketika aku mulai berpikir lebih dalam tentang esensi dari memberi dan menerima. Rasa gengsiku adalah kelemahanku dan alasan utama di balik prinsipku untuk tidak mau menerima pertolongan.

Mempercayai Tuhan itu sulit ketika kamu menolak untuk ditolong

Kita sulit untuk mempercayai Tuhan seutuhnya ketika kita hanya mau memberi tanpa mau menerima. Tuhan mau supaya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dan dari situlah kita bisa menanggalkan segala beban kita kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Korintus 12:9-10). Bagaimana kita dapat berserah dan percaya kepada Tuhan seutuhnya jika kita menolak pertolongan dan bersandarkan hanya pada diri kita sendiri? Kita tidak bisa mengenal Tuhan seutuhnya jika kita tidak mengakui kerapuhan kita.

Aku ingat suatu masa ketika aku mengikuti sebuah persekutuan dengan beban hidup yang begitu berat. Saat itu aku merasa lelah dan tak sanggup lagi menanggung beban hidupku, tapi aku berpura-pura seolah aku baik-baik saja. Ketika tiba giliranku untuk membagikan kesaksian, aku berencana hanya akan berbicara hal-hal kecil saja. Namun, suara hati kecilku mengingatkanku kalau aku perlu datang di hadapan Tuhan dalam kebenaran. Hatiku luluh, aku menangis di depan teman-teman seimanku dalam Yesus. Aku mengakui bahwa aku butuh ditolong. Aku mengakui kalau aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sendiri.

Aku mengucap syukur karena Tuhan menegurku, mengizinkanku untuk melihat bahaya dari memupuk gengsi, dan mengizinkan aku untuk kembali membentuk imanku lewat persekutuan. Sekarang aku sering datang di hadapan Tuhan dalam keadaan tidak berdaya, memohon pertolongan-Nya. Aku tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika bukan karena kekuatan Tuhan, setiap langkah yang kuambil tentu terasa sulit.

Aku juga mencari pertolongan dari saudara-saudara seiman dalam Kristus. Ketika masalah-masalah kehidupan menghampiriku, aku tidak hanya meminta mereka berdoa untukku, tapi aku juga meminta nasihat dari mereka. Kasih dan pertolongan dari saudara-saudara seiman telah memberkatiku dan menolongku untuk merasakan kasih setia Tuhan. Aku juga merasakan hubungan yang dekat dengan sesama anggota tubuh Kristus.

Terimalah pertolongan itu dengan sukacita

Ketika aku melepaskan segala gengsiku, tentu aku merasa lebih bebas. Aku bisa menerima pertolongan dari orang lain dengan sukacita. Aku tahu kalau aku punya kelemahan dan bukanlah manusia yang sempurna. Tapi, ketika aku berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Dia yang memegang kendali atas hidupku. Ketika aku menaati kehendak-Nya maka di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan akan dinyatakan.

Saudara-saudaraku dalam Kristus, Tuhan mau supaya kamu juga mendapatkan kebebasan ini. Apakah kamu mau untuk menanggalkan rasa banggamu supaya Tuhan bisa berkuasa?

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.