Posts

Berusaha Menjadi Seorang yang Hebat

Oleh: Lydia, Beijing, berdasarkan sebuah kisah nyata
(Artikel asli dalam Simplified Chinese: 小英的英雄梦)

Striving-to-be-somebody

Kamu harus rajin belajar supaya bisa menjadi orang yang hebat,” demikian nasihat orangtua yang biasa didengarnya. Dan, itulah tujuan hidup yang tertanam di benak Sammy kecil. Ia ingin suatu hari kelak bisa berhasil kuliah di Universitas Oxford seperti tetangganya. Langkah awalnya dimulai ketika ia berhasil masuk ke salah satu SMA yang bergengsi. Target selanjutnya adalah mengikuti jejak kakak-kakak kelasnya untuk bisa kuliah di universitas papan atas.

Ia belajar mati-matian di SMA, dan jerih lelahnya tidak sia-sia. Ia diterima untuk masuk ke salah satu sekolah bisnis terbaik di China. Sekolah itu terkenal telah melahirkan orang-orang terbaik di bidangnya. Banyak lulusannya berhasil meraih kesempatan studi lanjut di berbagai program pascasarjana lintas bidang studi yang bergengsi, menerima tawaran untuk masuk ke universitas-universitas Ivy League (asosiasi yang terdiri dari 8 universitas terbaik di Amerika), dan pasti diterima bekerja baik di lembaga pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan multinasional. Beberapa lulusan bahkan langsung direkrut bank-bank investasi dan mengantongi gaji lebih dari satu juta dolar setiap tahunnya. Di antara orang-orang terbaik itu, Sammy tak ingin kalah bersaing; ia berharap dapat menjadi seseorang yang diperhitungkan.

Sayangnya, pada tahun kelulusannya, krisis ekonomi menghantam negaranya. Setelah berkali-kali mengikuti wawancara kerja tanpa hasil. Sammy akhirnya menerima tawaran kerja dari sebuah perusahaan yang tidak masuk dalam daftar Fortune-500 [daftar 500 perusahaan dengan pendapatan tertinggi yang dibuat setiap tahun oleh majalah Fortune], demi bisa bertahan hidup di kota kosmopolitan, Beijing.

Setiap hari, saat istirahat makan siang, Sammy akan berjalan-jalan di taman dekat kantornya untuk menghilangkan stres sejenak. Taman itu dihiasi bunga-bunga biasa, tak ada yang seindah peony atau secantik mawar. Pada saat-saat itu, Sammy kerap berpikir, “Perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang sekarang menggunakan jasaku sama seperti bunga-bunga ini. Kami bukan perusahaan terbaik dan tidak akan pernah bisa meraih posisi itu. Mungkinkah orang-orang seperti kami bisa memiliki hidup yang dapat dibanggakan?”

Setiap kali pikiran yang demikian memenuhi benaknya, Sammy merasa tertekan. “Aku lulus dari sebuah SMA dan universitas papan atas, bagaimana bisa aku sekarang hanya bekerja di sebuah perusahaan kelas dua, melayani klien-klien kecil dan menengah yang tidak akan pernah masuk daftar Fortune 500? Jika kondisi ini terus berlanjut, mungkinkah aku bisa menjadi seseorang yang berarti? Apakah pekerjaan yang sedang kujalani ini bermakna? Dibandingkan dengan orang-orang berpengaruh dari almamaterku, aku sungguh bukan siapa-siapa.”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggunya hingga ia kemudian mengenal Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Ia bertanya kepada Yesus, “Ya Tuhan, apa yang Engkau pikirkan tentang aku dan pekerjaanku? Mungkinkah aku akan bisa menjadi seseorang yang hebat?” Saat Sammy mengarahkan perhatiannya kepada salib, perspektifnya terhadap kehidupan dan pekerjaannya pun mulai berubah.

Ketika ia merenungkan tentang Pribadi dan karya Yesus, nilai sesungguhnya dari seorang manusia menjadi jelas baginya. Yesus adalah Anak Allah yang berharga dan bahkan adalah Allah sendiri. Akan tetapi, Dia “… walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8). Yesus mati menggantikan para pendosa supaya mereka yang telah hidup terpisah dari Allah dapat kembali kepada Allah melalui Dia. Sepanjang hidupnya, Sammy sangat ingin menjadi “orang yang hebat”, tetapi Yesus, Pribadi terhebat di jagat raya ini justru telah merendahkan derajat-Nya, menjadi seorang hamba untuk menyelamatkan semua orang.

Orang-orang yang dilayani Yesus tidak hanya terdiri dari para politisi, orang-orang yang kaya dan berhasil, tetapi juga para pelacur, penderita kusta, dan kaum papa yang tidak punya kuasa dan direndahkan orang. Sekalipun mereka miskin dan tidak dianggap di mata dunia, mereka dipandang berharga di mata Yesus. Alkitab jelas menyatakan bahwa setiap kita diciptakan dalam rupa Allah, dan itulah sebabnya setiap kita berharga.

Dengan perspektif yang baru ini, Sammy menyadari, jika Yesus sendiri tidak mengukur orang menurut kekayaan, pekerjaan, atau status sosial mereka, mengapa ia harus mengukur dirinya sendiri dan klien-kliennya menurut standar tersebut? Para klien dan dirinya sendiri berharga di mata Allah. Jika ia mengikuti pengajaran Alkitab dan melayani kliennya dengan kasih Yesus, ia sesungguhnya sedang melayani Allah.

Kini Sammy memiliki mimpi baru yang lebih besar—mengikuti jejak Kristus. Yesus berkata, “…Anak Manusia … datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Sammy akhirnya memahami bahwa yang lebih penting di mata Allah bukanlah usaha untuk tampil lebih hebat dari orang lain, tetapi untuk melayani mereka, sama seperti yang diteladankan Yesus.

Sammy lalu menuliskan doa berikut ini:
Tuhan yang terkasih, tolonglah aku untuk melihat sesamaku melalui mata-Mu dan memperlakukan orang lain sebagaimana Engkau akan memperlakukan mereka. Tolong aku untuk meneladani cara hidup-Mu, mengasihi dan melayani sesama dengan kerendahan hati dan kelemahlembutan, menyenangkan-Mu dalam segala sesuatu yang kulakukan.”

Apakah kamu memiliki pengalaman yang mirip dengan Sammy? Maukah kamu menjadikan doanya sebagai doamu juga?