Posts

Saat Aku Mencintainya Lebih Dari Tuhan

Penulis: By
Artikel Asli dalam Bahasa Thailand: รักเรา… พระเจ้าอยู่ไหน?

When-God-Was-Not-My-First-Love

Peristiwa ini aku alami saat masih kuliah. Pada masa-masa itu, aku selalu mengikuti kata hatiku sendiri.

Ben (bukan nama sebenarnya) dan aku sudah berteman baik selama 3 tahun. Pada tahun terakhir kuliah, hubungan persahabatan kami mulai tidak biasa. Kami lebih dari teman biasa, tetapi tidak sampai resmi berpacaran. Kami jelas saling menyukai, namun aku tahu bahwa menjalin hubungan khusus dengannya bukanlah sesuatu yang mudah karena ia suka main mata dengan perempuan.

Meski sudah sangat jelas ia orang yang seperti apa, aku memberanikan diri bertanya apakah ia akan membawa hubungan kami ke tahap selanjutnya. Jawaban singkatnya adalah: “tidak”. Ia merasa sudah puas dengan hubungan kami yang sekarang dan ia belum ingin terikat dengan siapa pun pada saat itu. Aku sebenarnya senang bisa dekat dengannya lebih dari sekadar teman biasa, sekalipun aku juga tidak yakin mau meneruskan hubungan kami yang serba tidak jelas. Namun, setiap kali aku mendoakannya, aku merasa tidak tenang, aku takut Tuhan akan menjauhkannya dari hidupku karena ia bukanlah seorang Kristen.

Sebagai orang yang baru saja menerima Kristus pada tahun kedua di kampus, aku sendiri punya banyak pertanyaan tentang Tuhan, tentang kekristenan, dan tentang cinta. Aku bertanya-tanya, “Mengapa orang Kristen tidak boleh berpacaran dengan orang non-Kristen? Bukankah Ben juga perlu diselamatkan? Bagaimana bila aku dapat meyakinkannya untuk menjadi seorang Kristen?”

Pada saat itu, aku merasa bahwa pembimbingku tidak mengerti dan tidak memberiku dukungan sama sekali. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, ia akan memberi jawaban yang sama, “Terlalu berisiko berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Kalian berdua memiliki keyakinan yang berbeda. Apakah kamu mau nekad menjalin hubungan dengannya?” Lama-kelamaan aku memutuskan untuk tidak lagi berkonsultasi dengannya. Aku yakin bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk diriku dan aku bisa menangani masalahku sendiri.

Jadi, hubunganku yang tidak jelas bersama Ben terus berlanjut—sementara hubunganku dengan Tuhan memburuk. Yang aku pikirkan setiap hari adalah apa yang dapat kulakukan bersama Ben atau ke mana aku bisa jalan-jalan dengannya. Aku berhenti berdoa dan tidak lagi menceritakan apa-apa tentang Ben kepada teman-teman Kristen-ku. Kalau sebelumnya perbedaan iman kami membuatku ragu melanjutkan hubungan dengannya, kini aku jarang sekali memikirkan bagaimana aku bisa membawanya untuk mengenal Tuhan. Aku hanya bisa melihat segala yang baik dari dirinya. Aku benar-benar buta terhadap kesalahan-kesalahannya.

Ternyata, masa-masa bahagiaku tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat masalah-masalah yang ada dengan jelas. Tuhan mengeluarkan selumbar yang menghalangi pandanganku. Aku menemukan bahwa aku bukan satu-satunya gadis yang diperhatikan Ben. Awalnya aku pikir ia akan berubah. Lambat laun aku menyadari bahwa situasinya kian memburuk. Aku tidak bisa tahan lagi—dan akhirnya aku mulai berdoa. Doa seharusnya menjadi hal pertama yang aku lakukan, namun selama ini aku menghindarinya. Namun setelah aku mulai berdoa, segala sesuatu menjadi terang benderang. Betapa bodohnya aku yang berpikir aku bisa menangani semua masalahku sendiri!

Ben ternyata mengatakan hal-hal yang buruk tentang diriku kepada gadis lain. Ia mengarang-ngarang cerita untuk membuat gadis itu merasa kasihan dan peduli kepadanya. Ia mengaku bahwa ia harus menjaga hubungan baik denganku karena aku sedang “mengandung” dan ia ingin menjadi orang yang “bertanggung jawab”. Aku merasa sangat sakit hati dengan kebohongan itu, kami tidak pernah sampai berhubungan intim. Ia berbohong karena ia tidak mau kehilangan aku maupun gadis itu.

Aku merasa sangat terpukul dengan perbuatan Ben, namun pada saat yang sama aku menyadari bahwa kejadian itu menolongku melihat siapa Ben sebenarnya. Awalnya, aku sangat marah karena ia telah mencemarkan nama baikku dan aku ingin membalas perbuatannya. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah memaafkannya seumur hidupku.

Pada saat itulah Tuhan membawaku, putrinya yang hilang, kembali kepada-Nya. Ketika aku mencurahkan isi hatiku kepada Tuhan dan menyerahkan hidupku kepada-Nya, Dia memulihkanku dengan anugerah-Nya. Dia menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak perlu larut dalam kemarahan dan tidak perlu mempertahankan hubungan itu.

Hubunganku dengan Ben pun berakhir. Aku bersyukur kepada Tuhan untuk semua hal yang telah kulewati. Melalui pengalaman yang menyakitkan itu aku belajar bahwa jalan-jalan Tuhan jauh melampaui jalan-jalanku, dan bahwa kasih-Nya tidak pernah berkesudahan. Sekalipun aku telah tidak taat dan keras kepala, Tuhan tetap menunjukkan kasih dan kesabaran-Nya kepadaku.

Mengingat kembali masa-masa itu, aku menyadari betapa aku dulu telah mengutamakan Ben lebih dari hubunganku dengan Tuhan. Jelas hubunganku itu sudah bermasalah sejak awal. Aku sadar, aku tidak menaati Tuhan saat bersikeras berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Aku juga menyadari bahayanya mengutamakan pasangan kita lebih dari Tuhan, sesuatu yang cenderung dilakukan banyak orang, termasuk dengan pasangan yang seiman.

Apakah kita memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan? Apakah kita mengasihi Tuhan lebih dari pacar kita? Apakah kita cukup rendah hati untuk memohon pimpinan Tuhan?

Ketika kita mengandalkan pikiran kita sendiri atau mencoba untuk lari dari Tuhan, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Namun syukur kepada Tuhan yang berjanji tidak akan pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan bertobat dari pilihan-pilihan kita yang salah, Dia akan menyertai dan membimbing kita kembali.

Jika kamu pernah mengalami apa yang aku alami, aku ingin mendorongmu untuk menyerahkan semua pergumulanmu di hadapan Tuhan dan tunduk sepenuhnya pada pimpinan-Nya. Tuhan memiliki rencana yang baik bagi setiap anak-anak-Nya, kita dapat mempercayakan hidup kita kepada-Nya.

4 Pelajaran Penting Dalam Pernikahan

Penulis: Henry Jaya Teddy

empat-pelajaran-penting-dalam-pernikahan

Tak terasa sudah delapan tahun lamanya saya menikah. Sebagaimana semua orang lain pada umumnya, saya memimpikan rumah tangga yang bahagia bersama pasangan tercinta. Kami sudah lama berpacaran, dan saya merasa sangat siap untuk memulai hidup baru bersamanya. Namun, begitu menikah, saya harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama delapan tahun berumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kamu yang sedang memikirkan untuk berumah tangga atau yang sedang menjalaninya.

1. Pasangan kita, sama seperti kita, bukanlah orang yang sempurna

Setiap orang yang menikah, tentu berharap bahwa pasangannya akan dapat melengkapi hidupnya. Namun kita perlu menyadari bahwa pasangan kita, sama seperti kita, adalah manusia yang terbatas. Kita sama-sama adalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih karunia Tuhan.

Saya sendiri sudah menerapkan prinsip saling terbuka sejak awal masa pacaran. Saya mau pasangan saya mengetahui kelebihan dan kekurangan saya sejelas-jelasnya, demikian pula sebaliknya. Harapan saya, saat menikah nanti kami sudah siap untuk bisa saling menerima.

Namun, sekalipun kami sudah demikian terbuka, ternyata saat masuk dalam pernikahan, masih ada banyak hal yang harus kami sesuaikan. Kami sering bentrok di masa-masa awal pernikahan kami. Butuh waktu sekitar tiga tahun lamanya bagi saya untuk bisa benar-benar mengerti karakter dan kebiasaan istri saya. Inilah proses yang Tuhan izinkan kami alami, agar kami tidak bergantung pada kekuatan sendiri atau pasangan kami, tetapi pada anugerah Tuhan semata.

2. Menikah tidak membuat hidup kita jadi lebih mudah

Banyak orang muda berpikir, alangkah indahnya bila saya bisa menikah, hidup bersama orang yang saya cintai selamanya. Banyak yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Rasanya sengsara betul kalau harus hidup tanpa pasangan di dunia ini. Namun, kenyataannya menikah tidak membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ada banyak masalah baru yang muncul justru setelah menikah. Hubungan yang harus kita perhatikan tidak hanya hubungan dengan pasangan kita, tetapi juga hubungan dengan mertua, ipar, dan segenap keluarga besar yang ada. Belum lagi saat kita dikaruniai anak.

Dalam kasus saya, Tuhan juga mengizinkan saya menderita penyakit autoimun (kelainan sistem tubuh yang menyerang organ tubuh sendiri) setelah saya menikah. Butuh dua tahun lebih bagi saya untuk bisa kembali beraktivitas normal. Bila saya hidup sendiri, kesulitan itu cukup saya tanggung sendiri. Karena saya menikah, kesulitan saya juga menjadi kesulitan keluarga saya. Berat sekali harus mengalami kondisi yang tidak berdaya sebagai seorang kepala rumah tangga. Namun, melalui masa-masa yang tidak mudah itu, kami (saya, istri, anak, dan keluarga) belajar untuk tetap saling mendukung dan mengandalkan pertolongan Tuhan.

3. Pernikahan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik

Terlepas dari segala kesulitannya, bila kita punya sikap yang mau diajar, pernikahan dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Melalui pernikahan, Tuhan mengajar saya untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Menikah membuat saya harus memperhatikan orang lain: istri saya, keluarganya, juga anak saya. Bukan hanya sekali seminggu, atau kapan saja saya ingin, tetapi setiap hari! Apalagi ketika Tuhan lagi-lagi mengizinkan keluarga kami menghadapi kesulitan. Anak saya juga jatuh sakit. Ia mengalami spasme infantil (kejang akibat gelombang otak yang tidak normal, yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan). Hingga hari ini, ia masih harus menjalani terapi untuk bisa beraktivitas seperti anak yang normal.

Masa-masa sulit yang Tuhan izinkan saya alami membuat saya banyak berpikir ulang tentang arti hidup. Sebelum menikah, saya hanya memikirkan tentang diri sendiri dan semua yang ingin saya capai. Namun kini, saya menyadari bahwa hidup baru berarti ketika dijalani sesuai kehendak Sang Pencipta. Saya diciptakan Tuhan bukan untuk mementingkan diri sendiri, melainkan untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain.

4. Mengutamakan Tuhan adalah dasar keberhasilan sebuah rumah tangga

Merenungkan delapan tahun yang sudah saya lewati dalam pernikahan membuat saya yakin bahwa dasar terkuat bagi keberhasilan sebuah rumah tangga adalah mengutamakan Tuhan. Saya dan istri saya punya banyak perbedaan. Tidak mudah untuk hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mengikat kami, yaitu janji kami di hadapan Tuhan. Kami menyatakan janji nikah kami tidak hanya di hadapan satu sama lain, tetapi juga di hadapan Tuhan. Dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Ketika Tuhan menjadi yang utama, fokus kami bukanlah apa yang kami ingin atau tidak ingin lakukan, melainkan apa yang diinginkan Tuhan melalui pernikahan kami.

Saya ingat kisah yang dicatat dalam Daniel 3 tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka yakin Tuhan berkuasa melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, namun bila Tuhan tidak melepaskan pun, mereka tidak goyah, karena mereka yakin Tuhan tahu cara terbaik untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Daniel 3:17-18). Saya tahu Tuhan bisa saja memberikan saya pernikahan yang mudah. Dia juga berkuasa untuk meluputkan saya dari penyakit autoimun dan segala macam masalah dalam rumah tangga saya. Namun, dalam hikmat-Nya, Tuhan mengizinkan saya mengalami semua masalah itu, supaya saya dapat makin bergantung kepada-Nya, dapat terus bertumbuh di dalam firman-Nya, dan bahkan dapat terus menyatakan kuasa Kristus yang selalu menaungi saya dalam setiap kelemahan yang ada (2 Korintus 12:9).