Posts

Inspirasi yang Aku Dapatkan dari Dalam Penjara

inspirasi-yang-aku-dapatkan-dari-dalam-penjara

Oleh Jes Nuylan, Filipina
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Day I Spent In Prison

Aku mempersiapkan diriku untuk pertemuan itu, sembari memikirkan bagaimana aku harus berkata-kata dan bersikap di tengah mereka. Hatiku berdebar-debar, tidak sabar menantikan pertemuan itu, namun aku juga menjadi gugup karena aku belum pernah berinteraksi dengan para tahanan sebelumnya. Dan aku begitu terkejut ketika akhirnya aku bertemu mereka.

Penjara New Bilibid. Sebelum aku mengunjungi penjara itu, aku hanya pernah mendengar namanya saja. Beberapa temanku pernah mengunjungi para tahanan itu dan mengenal mereka ketika mengerjakan disertasi mereka. Mereka mengajakku untuk pergi dengan mereka di kunjungan mereka yang kedua. Mereka berencana untuk melayani para tahanan tersebut—memberikan mereka kado Natal, dan kata-kata penghiburan.

Mendengar bahwa mereka adalah pria-pria berusia paruh baya dan dipenjara karena kasus narkoba dan pencopetan, awalnya aku merasa gelisah. Namun, aku terkejut ketika bertemu mereka. Mereka begitu senang melihat kami dan memperlakukan kami bagaikan kawan-kawan lama. Kemudian aku baru tahu bahwa mereka merindukan interaksi dengan “orang-orang luar”, karena mereka terpisah dari keluarga mereka.

Kami memberikan mereka hadiah-hadiah sederhana, yang mereka rasakan seperti hadiah-hadiah terbaik yang pernah mereka terima. Mereka mendengarkan dengan saksama kesaksian-kesaksian yang telah kami siapkan dan renungan singkat yang dibagikan oleh temanku. Mereka memberitahu kami bahwa mereka begitu dikuatkan. Respons mereka menggetarkan hati kami.

Sebagai balasannya, mereka memberikan kami barang-barang kerajinan tangan seperti karangan bunga dan lentera Natal berbentuk bintang. Mereka juga membuat pertunjukan untuk kami, menunjukkan talenta mereka dalam bernyanyi, menari, bermain drama, dan sebagainya. Aku sungguh bersukacita menontonnya! Namun lebih daripada perasaan senang yang kami rasakan dari interaksi dengan mereka, ada satu hal yang begitu mengena bagiku. Aku diingatkan bahwa aku kurang mengucap syukur dengan apa yang aku miliki saat ini.

1. Kita adalah orang merdeka, namun seringkali kita berlaku seperti kita dipenjara—oleh keegoisan kita, kemarahan kita, pergumulan kita, stres kita, dan lain-lain.

2. Seringkali kita tidak mensyukuri keberadaan orang-orang yang ada di sekeliling kita. Kunjungan itu menyadarkanku betapa Tuhan telah memberkatiku dengan memberikanku keluarga dan teman-teman.

3. Kita mempunyai begitu banyak hal material, tapi begitu sulit bagi kita untuk menjadi puas dengan apa yang kita miliki. Aku terus-menerus mengeluh tentang barang-barang yang aku tidak miliki dan yang aku ingin miliki.

4. Kita sulit melihat hal-hal yang menginspirasi yang ada di sekeliling kita. Kunjunganku ke penjara adalah sebuah pengalaman yang merendahkan hatiku, membuatku merefleksikan bukan hanya berkat-berkat Tuhan, tapi juga anugerah-Nya.

* * *

Meskipun para tahanan itu tidak memiliki banyak hal yang dapat dinikmati orang-orang yang bebas, namun, dalam beberapa aspek, mereka memiliki begitu banyak hal yang dapat kita pelajari, khususnya tentang mengucap syukur.

Aku mengunjungi mereka dengan tujuan untuk melayani mereka, namun justru akulah yang merasa diberkati dan terinspirasi. Dan meskipun 5 tahun telah berlalu sejak kunjunganku itu, pengalaman itu masih terus mengingatkanku untuk mengucap syukur. Aku berdoa agar kiranya refleksiku ini dapat menginspirasi kamu untuk mengucap syukur juga.

Photo credit: Gowiththe Flo via Scandinavian / CC BY-NC-ND

Baca Juga:

5 Hal yang Menolongku Lepas dari Kecanduan Bermain Game

Beberapa tahun yang lalu, aku sempat kecanduan bermain sebuah game ponsel yang bernama “Temple Run”. Berikut adalah 5 hal yang menolongku lepas dari kecanduan tersebut.

Memperhatikan

Sabtu, 27 Februari 2016

Memperhatikan

Baca: Ayub 39:34-40:9

39:34 Maka jawab TUHAN kepada Ayub:

39:35 “Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!”

39:36 Maka jawab Ayub kepada TUHAN:

39:37 “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan.

39:38 Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan.”

40:1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub:

40:2 “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku.

40:3 Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?

40:4 Apakah lenganmu seperti lengan Allah, dan dapatkah engkau mengguntur seperti Dia?

40:5 Hiasilah dirimu dengan kemegahan dan keluhuran, kenakanlah keagungan dan semarak!

40:6 Luapkanlah marahmu yang bergelora; amat-amatilah setiap orang yang congkak dan rendahkanlah dia!

40:7 Amat-amatilah setiap orang yang congkak, tundukkanlah dia, dan hancurkanlah orang-orang fasik di tempatnya!

40:8 Pendamlah mereka bersama-sama dalam debu, kurunglah mereka di tempat yang tersembunyi.

40:9 Maka Akupun akan memuji engkau, karena tangan kananmu memberi engkau kemenangan.”

“Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?” —Ayub 38:4

Memperhatikan

Ketika membersihkan rumah untuk menyiapkan sebuah acara istimewa, saya merasa kecil hati karena membayangkan para tamu takkan memperhatikan apa yang saya bersihkan, tetapi hanya melihat apa yang lupa saya bersihkan. Saya pun terpikir pada pertanyaan filosofis dan spiritual yang lebih penting: Mengapa manusia lebih cepat melihat apa yang salah daripada yang benar? Kita cenderung lebih ingat pada sikap kasar daripada kebaikan seseorang. Kejahatan tampaknya lebih menarik perhatian daripada tindakan yang murah hati. Dan bencana merebut perhatian kita lebih cepat daripada keindahan alam yang luar biasa di sekeliling kita.

Namun, saya menyadari bahwa saya pun bersikap demikian terhadap Allah. Saya cenderung berfokus pada apa yang belum dilakukan-Nya daripada apa yang telah Dia lakukan, pada apa yang belum saya miliki daripada yang sudah saya miliki, pada beragam persoalan yang belum Dia bereskan daripada banyak persoalan yang sudah diselesaikan-Nya.

Ketika saya membaca kitab Ayub, saya diingatkan bahwa Tuhan juga sama tidak senangnya seperti saya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kemakmuran, Ayub menderita serangkaian bencana. Tiba-tiba saja semua bencana itu menjadi fokus dari hidup dan percakapannya. Akhirnya, Allah turun tangan dan mengajukan sejumlah pertanyaan sulit kepada Ayub guna mengingatkan Ayub akan kedaulatan-Nya dan segala sesuatu yang belum diketahui dan dilihat oleh Ayub (Ayb. 38-40).

Ketika saya mulai berfokus pada sisi yang negatif, kiranya saya mau berhenti sejenak, berkaca pada hidup Ayub, dan memperhatikan segala keajaiban yang sudah dan terus Allah kerjakan. —Julie Ackerman Link

Pikirkan untuk membuat jurnal berisi “ucapan syukur”. Setiap hari, tuliskanlah satu hal yang sudah Allah perbuat bagimu.

Ketika kamu mengingat segala hal yang baik, mengucap syukurlah kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29

Mudahnya Tidak Bersyukur

Minggu, 14 Februari 2016

Mudahnya Tidak Bersyukur

Baca: Ibrani 12:18-29

12:18 Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan dan angin badai,

12:19 kepada bunyi sangkakala dan bunyi suara yang membuat mereka yang mendengarnya memohon, supaya jangan lagi berbicara kepada mereka,

12:20 sebab mereka tidak tahan mendengar perintah ini: “Bahkan jika binatangpun yang menyentuh gunung, ia harus dilempari dengan batu.”

12:21 Dan sangat mengerikan pemandangan itu, sehingga Musa berkata: “Aku sangat ketakutan dan sangat gemetar.”

12:22 Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah,

12:23 dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna,

12:24 dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel.

12:25 Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman. Sebab jikalau mereka, yang menolak Dia yang menyampaikan firman Allah di bumi, tidak luput, apa lagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari sorga?

12:26 Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: “Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan bukan hanya bumi saja, melainkan langit juga.”

12:27 Ungkapan “Satu kali lagi” menunjuk kepada perubahan pada apa yang dapat digoncangkan, karena ia dijadikan supaya tinggal tetap apa yang tidak tergoncangkan.

12:28 Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.

12:29 Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.

Karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur. —Ibrani 12:28

Mudahnya Tidak Bersyukur

Krek, krik. Krek, krik . . .

Bunyi alat penyeka kaca depan mobil yang bergerak naik turun membersihkan terpaan air hujan yang lebat hanya menambah kekesalan hati saya. Saya masih mencoba menyesuaikan diri untuk mengendarai sebuah mobil bekas yang saya beli belum lama ini. Yang saya kendarai adalah mobil tua jenis station wagon yang sudah berjarak tempuh 128.000 KM dan tanpa kantong udara yang dapat melindungi anak-anak saya.

Untuk membeli mobil bekas itu, dan agar memiliki sedikit uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak, saya harus menjual “harta” terakhir kami, yaitu sebuah mobil station wagon Volvo keluaran tahun 1992 dengan kantong udara untuk melindungi anakanak. Dengan terjualnya mobil itu, kami pun tidak punya apa-apa lagi. Rumah dan tabungan kami semuanya habis untuk membiayai pengobatan penyakit yang hampir merenggut nyawa.

“Tuhan!” teriak saya, “Sekarang aku bahkan tak bisa melindungi anak-anakku karena mobil ini tak punya kantong udara. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, tebak apa yang akan kulakukan . . .”

Krek krik. Krek krik. (Glek.)

Tiba-tiba saja saya merasa malu. Selama dua tahun sebelumnya, Allah telah menyelamatkan istri dan putra saya dari penyakit yang hampir merenggut nyawa mereka, tetapi sekarang saya mengeluh tentang “harta” saya yang telah hilang. Saya pun menyadari betapa mudahnya untuk tidak bersyukur kepada Allah. Bapa yang penuh kasih, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri supaya saya selamat, sudah pernah menyelamatkan nyawa anak saya dengan cara-Nya yang ajaib.

“Ampuni aku, Bapa,” doa saya. Sudah, anak-Ku. —Randy Kilgore

Ya Tuhan, saat pencobaan melanda, betapa mudahnya kami melupakan perlindungan dan penyertaan-Mu. Terpujilah Engkau, ya Bapa, untuk kesabaran dan kasih-Mu yang tak bersyarat dan tak berkesudahan.

Sukacita tumbuh subur di dalam hati yang penuh ucapan syukur.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 14; Matius 26:51-75

4 Cara Berhenti Mengasihani Diri

Penulis: Yahya A. Tioso

Aku punya banyak sekali alasan untuk mengasihani diri sendiri. Salah satu alasan terbesar adalah kondisiku yang tunarungu sejak lahir. Aku tunarungu berat dan tidak bisa bicara hingga usia sekolah. Orangtuaku kemudian menyekolahkan aku ke SLB-B Pangudi Luhur. Sejak kecil, aku selalu merasa paling nyaman di rumah bersama keluargaku dan di sekolah bersama teman-teman tunarungu. Aku sering merasa minder jika harus berinteraksi di tempat umum, misalnya saat memesan makanan di food court. Aku takut ditertawakan karena merasa suaraku bakal terdengar aneh dan orang tidak akan mengerti apa yang kukatakan. Sebab itu, aku sering meminta orang tua atau kakak memesankan makanan untukku. Aku menempatkan diri sebagai “korban”, pihak yang harus dikasihani orang lain, dan tidak berani melakukan banyak hal. “Apa boleh buat, aku ‘kan tunarungu, jadi memang perlu ditolong,” alasanku setiap kali. Saat itu aku tidak menyadari bahwa sikap mengasihani diri sendiri yang terus menerus dilakukan setiap hari justru bisa merusakku, membuatku kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan talenta yang Tuhan berikan di dalam diriku.

Tetapi, Tuhan bekerja menunjukkan kasih dan kuasa-Nya yang tidak terbatas di dalam hidupku yang serba terbatas. Dia mengajarku untuk mengganti kebiasaan mengasihani diri sendiri itu dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai firman-Nya. Kupikir, empat kebiasaan berikut ini dapat menolongmu juga setiap kali perasaan mengasihani diri datang menghampiri:

1. Mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Setelah lulus dari SLB-B, orangtua menyekolahkan aku ke SMP Jubilee, sebuah sekolah normal yang tidak menyediakan penanganan khusus bagi siswa tunarungu seperti aku. Sekolah ini termasuk sekolah nasional plus yang memiliki kurikulum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski aku tahu orangtuaku telah banyak berdoa minta petunjuk Tuhan sebelum menyekolahkan aku di sana, tetap saja aku merasa takut. Aku merasa orang normal pasti jauh lebih pintar dan lebih kuat daripada aku.

Benar saja, saat mulai bersekolah di sana, aku merasa sangat frustrasi. Dunia tunarungu dan dunia normal itu sangat berbeda. Aku selalu merasa sendirian dan terkucil. Tidak ada teman sekelas yang mengajakku berbicara atau mendekati aku. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran yang diberikan karena gurunya berbicara terlalu cepat. Semua di luar kemampuanku. Aku sering sekali menangis di toilet. Di sekolahku dulu, para guru berbicara pelan-pelan dan aku mengerti pelajaran yang mereka berikan. Teman-teman tunarungu selalu memahamiku, bisa bermain dan ngobrol denganku. Semua menyenangkan dan mudah.

Suatu kali aku memberanikan diri mengangkat tangan dan meminta guru mengulangi kalimat yang tidak aku mengerti. Spontan, teman-teman sekelas tertawa mendengar suaraku. Aku menjadi makin minder dan menutup diri. Aku tidak mau berbicara lagi di sekolah. Kesehatanku mulai terganggu karena stres. Aku sering sakit diare. Namun, ketika dibawa ke rumah sakit, obat diare yang diberikan tidak efektif. Dokter menyimpulkan bahwa penyebab sakitku bukanlah bakteri, melainkan stres.

Di puncak stres aku minta orangtuaku untuk memindahkan aku ke sekolah khusus tunarungu. Mereka tidak setuju. Mereka bertanya, apa yang kubutuhkan agar bisa tetap bertahan. Aku langsung menjawab, “Satu teman.” Mereka pun mengajakku berdoa dengan sungguh-sungguh, meminta satu teman dari Tuhan.

Dan, Tuhan mendengar! Tanpa kuduga, ada satu teman yang kemudian menghampiriku dan bertanya apakah aku bisa bicara.

“Bisa sedikit,” kataku.

Teman itu sangat baik dan mau belajar berkomunikasi denganku. Ia minta aku mengulangi ucapanku jika ia tidak dapat menangkap maksudku. Bila setelah tiga kali diulang ia masih juga belum mengerti, barulah aku menulis apa yang kumaksudkan di sebuah buku. Demikian pula sebaliknya. Jika ia berbicara kepadaku dan aku tidak memahami maksudnya hingga tiga kali, ia juga akan menuliskannya di sebuah buku. Perlahan-lahan aku mulai berani bicara lagi.

Sungguh ini merupakan jawaban Tuhan yang luar biasa dan sangat sesuai dengan kebutuhanku untuk beradaptasi di sekolah. Aku terkagum-kagum. Pengalaman itu membuat imanku bertumbuh makin kuat. Aku percaya bahwa Tuhan itu hidup, dan Dia mendengarkan doa anak-anak-Nya. Aku dapat bergantung kepada-Nya dalam segala hal. Ketika masalah datang, aku belajar untuk tidak mengasihani diri, tetapi segera datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya.

2. Mengucap syukur.
Sikap mengasihani diri membuat kita berfokus pada hal-hal yang negatif dan lalai memperhatikan kebaikan-kebaikan Tuhan. Kita sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita menyalahkan situasi, menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan.
“Mengapa Tuhan menciptakan aku seperti ini?”
“Mengapa aku tidak secantik/setampan orang lain?”
“Mengapa Tuhan mengizinkan aku dilahirkan di keluarga ini dan bukan di keluarga itu?”
“Mengapa orang tuaku tidak sebaik orangtua temanku?”
“Seandainya aku seperti orang itu, hidup pasti jauh lebih menyenangkan dan lebih mudah.

Mengucap syukur adalah sikap hati yang mengubah fokus tersebut.

Tuhan membuka mataku untuk melihat bahwa sebenarnya ada begitu banyak hal yang bisa kusyukuri setiap hari. Dia memberiku keluarga yang menyayangi aku, tempat untuk tinggal, makanan yang cukup, kesempatan bersekolah, teman-teman yang baik, guru-guru yang sabar, dan banyak lagi.

Yang lebih luar biasa, Dia mengizinkan aku mengenal-Nya dan mengalami kasih-Nya. Firman Tuhan memberitahukan bahwa Dia menciptakan setiap orang—termasuk aku—secara istimewa (Mazmur 139:13-14). Karena begitu besar kasih-Nya kepada dunia ini, Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Kalau Tuhan itu tidak baik, tidak mengasihi kita, Yesus tidak akan turun ke dunia dan mati di kayu salib, dan kita tidak akan punya kesempatan menjadi anak-anak-Nya.

Ketika aku mulai berfokus pada kebaikan Tuhan, hatiku menjadi ringan dan penuh sukacita. Masalah yang aku hadapi jadi tampak sangat kecil dibandingkan dengan semua yang sudah Tuhan berikan kepadaku. Masalah-masalah itu memang tidak serta-merta pergi, tetapi aku mendapatkan kekuatan untuk menghadapinya bersama dengan Tuhan. Fokusku tidak lagi tertuju pada masalah, tetapi pada kebesaran Tuhan.

3. Menyerahkan hak pribadiku kepada Tuhan.
Sikap mengasihani diri membuat kita merasa berhak untuk diperhatikan, ditolong, dilayani, diberi perlakuan istimewa. Kita berfokus pada diri kita sendiri, dan kecewa ketika orang lain tidak memenuhi harapan kita. Aku pribadi mendapati diriku sering mengeluh, ”Ah, mengapa tidak ada orang yang memperhatikan aku, membantu aku, dan mau menjadi temanku?” Secara tidak sadar aku berharap orang lain melakukan ini dan itu untukku karena aku tunarungu. Ketika semua harapan itu tidak terwujud, aku menjadi sangat stres.

Aku ingat saat aku mulai kuliah di Malaysia dan untuk pertama kalinya harus hidup jauh dari keluarga dan teman-temanku di sana. Aku merasa sangat tertekan dan sulit beradaptasi. Aku berdoa, tetapi situasiku tidak kunjung membaik. Di tengah rasa frustrasi itu, Tuhan berbicara di dalam hatiku, “Anak-Ku, serahkan semua hak pribadimu kepada-Ku. Hak untuk diperhatikan. Hak untuk dibantu. Hak untuk mempunyai teman.”

Aku sungguh terkejut dengan permintaan Tuhan yang menurutku aneh dan sangat bergumul untuk menanggapi-Nya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk taat. Aku menyerahkan semua hak pribadiku kepada Tuhan, sekalipun aku belum begitu memahami apa artinya itu.

Keesokan harinya, hatiku berubah drastis. Aku menjadi sangat tenang. Pikiranku yang tadinya frustrasi kini diliputi damai sejahtera. Aku baru mengerti maksud Tuhan. Menyerahkan hak pribadi berarti aku tidak lagi menuntut orang lain untuk membantu, memperhatikan, dan memberiku perlakuan yang khusus karena situasiku. Sebaliknya, aku belajar percaya bahwa Tuhan akan menyediakan semua kebutuhanku pada waktu-Nya. Sebuah perubahan pola pikir yang radikal! Namun melaluinya, aku sungguh mengalami bagaimana Tuhan menyediakan semua yang terbaik bagi anak-anak-Nya!

4. Menerima dan mempercayai apa yang Tuhan rancangkan atas hidupku.
Waktu kecil, aku sering bertanya kepada mama, “Mengapa aku dilahirkan tunarungu?” Mama biasanya menjawab, “Oh karena mama sakit waktu hamil.” Tetapi, jawaban itu tidak pernah memuaskan aku. Suatu hari, aku bertanya lagi. Mama membuka Alkitab, lalu mengajak aku membaca Yohanes 9:1-3 bersamanya:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Jawaban Yesus sungguh luar biasa. Banyak yang berpikir bahwa cacat adalah hukuman atas dosa, baik dosa orang cacat itu sendiri ataupun dosa orangtuanya. Namun, Yesus menegaskan bahwa kondisi cacat itu berasal dari Allah sendiri, karena ada pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam diri orang tersebut.

Hatiku diliputi rasa tenteram mendengar jawaban itu. Aku menjadi tenang karena tahu bahwa aku bukan sebuah produk gagal. Tuhan punya rencana dengan menciptakan aku dalam kondisi yang tunarungu. Aku belum mengerti bagaimana pekerjaan Tuhan dapat dinyatakan di dalam hidupku, tetapi aku berusaha belajar dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Aku mau hidup untuk menyenangkan Tuhan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendapatkan lebih banyak teman dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Tanpa disangka, aku bahkan menjadi langganan juara 1. Aku kemudian mendapat kesempatan belajar di luar negeri, bekerja, dan bahkan membangun rumah tangga sendiri.

Menengok ke belakang, aku mulai mengerti bagaimana Tuhan menyatakan pekerjaan-Nya melalui hidupku. Jika orang normal bisa berprestasi, itu hal biasa. Tetapi, jika orang seperti aku yang susah berkomunikasi dan sulit menangkap apa yang disampaikan guru di kelas sampai bisa meraih juara pertama, jelas itu bukan hal yang bisa kulakukan dengan kemampuan sendiri.

Aku pernah melihat orang yang tidak punya tangan, tetapi bisa melukis dengan kaki jauh lebih indah daripada orang normal, membuat banyak orang takjub. Kupikir, Tuhan memakai orang cacat dan mereka yang dianggap lemah oleh dunia untuk menyatakan bahwa Dia sungguh HIDUP. Kesadaran ini membuatku tidak lagi punya alasan untuk mengasihani diri sendiri. Kelemahanku ternyata justru menjadi sarana Tuhan menyatakan kebesaran-Nya kepada banyak orang. Tuhan sanggup memakai situasi terburuk untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya (Roma 8:28).

Temukan kisah lengkapnya di http://godisnotdeaf.com/

Hanya Sebuah Surat Tilang

Rabu, 9 Desember 2015

Hanya Sebuah Surat Tilang

Baca: Efesus 1:1-10

1:1 Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah, kepada orang-orang kudus di Efesus, orang-orang percaya dalam Kristus Yesus.

1:2 Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.

1:3 Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.

1:4 Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.

1:5 Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,

1:6 supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.

1:7 Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,

1:8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.

1:9 Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus

1:10 sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.

Sebab di dalam Dia dan oleh darah- Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya. —Efesus 1:7

Hanya Sebuah Surat Tilang

Ketika seorang polisi menghentikan seorang pengendara wanita karena putrinya yang masih kecil ikut di dalam mobil tanpa duduk di kursi khusus anak-anak, ia dapat saja menuliskan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas tersebut. Namun, ia justru meminta ibu dan putrinya itu untuk menemuinya di toko terdekat. Kemudian, dengan uangnya sendiri, polisi itu membelikan kursi khusus yang dibutuhkan. Wanita itu sedang mengalami masa-masa yang sulit dan tidak mempunyai cukup uang untuk membeli kursi khusus tersebut.

Alih-alih didenda karena kesalahannya, wanita itu bebas dan menerima sebuah hadiah sebagai gantinya. Setiap orang yang mengenal Kristus telah mengalami hal serupa. Setiap dari kita layak mendapatkan hukuman karena telah melanggar hukum Allah (Pkh. 7:20). Namun karena Yesus, kita menerima karunia yang tidak sepantasnya kita terima dari Allah. Karunia ini membebaskan kita dari akibat dosa yang terbesar, yaitu kematian dan keterpisahan dengan Allah selamanya (Rm. 6:23). “Di dalam [Yesus] . . . kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya” (Ef. 1:7).

Kasih karunia sering disebut sebagai “kasih yang diwujudkan dalam tindakan”. Ketika ibu muda tadi mendapat pemberian itu, ia pun menyatakan, “Saya akan selalu berterima kasih! . . . Segera setelah saya mampu mencukupinya, saya akan membalasnya dengan terus berbuat baik kepada orang lain.” Respons yang penuh syukur dan besar hati dari sang ibu terhadap pemberian polisi itu merupakan contoh yang sungguh menginspirasi setiap dari kita yang telah menerima pemberian Allah berupa kasih karunia-Nya! —Jennifer Benson Schuldt

Allah Bapa, terima kasih karena Engkau memberikan kepada kami apa yang tidak layak kami terima. Engkau telah mengampuni dosa kami dan menyediakan jalan untuk berdamai dengan-Mu melalui karunia Anak-Mu. Tolong kami untuk selalu bersyukur atas anugerah-Mu.

Kasih karunia merupakan pemberian dari Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Daniel 11-12; Yudas

GitaKaMu: Terima Kasih Tuhan (remix)

Tak terasa tahun 2015 akan segera berakhir. Apakah kita menjalani sepanjang tahun ini dengan penuh ucapan syukur? Ataukah kita mendapati perjalanan kita di tahun ini sarat dengan berbagai macam keluhan dan sungut-sungut?

Melalui sebuah lagu lawas yang diaransemen ulang dengan cantik, teman-teman dari Bamnana Yeah mengajak kita untuk merenungkan kembali hari-hari yang telah dan masih terus kita lalui sebagai anugerah yang diberikan Tuhan semata.

“Kami adalah sekumpulan pemuda yang berasal dari gereja kecil namun memiliki hati yang besar untuk melayani Tuhan melalui musik. Remix lagu ‘Terimakasih Tuhan’ ini adalah salah satu karya kami yang kami harap dapat menjadi berkat bagi semua yang mendengarkannya,” kata Zefanya Putra, pemrakarsa grup musik ini, mewakili teman-temannya yang mayoritas adalah pemuda Gereja Keluarga Tabernakel.

So, bagaimana kalau sambil menikmati musiknya, kita memakai momen jelang akhir tahun ini untuk saling membagikan kebaikan Tuhan yang telah kita alami? =)

Terima Kasih Tuhan
Ciptaan: Ir.Djohan E. Handojo
Aransemen Musik: Zefanya Putra (7 Steps Music Production) – zefanya_putra@live.com
Vokal: Bamnana Yeah (Ezra Aldi W, Mikha Hartani, Tirza Aristanadya, William E.)

T’rima kasih Tuhan untuk kasih setia-Mu
yang ku alami dalam hidupku
T’rima kasih Yesus untuk kebaikan-Mu
sepanjang hidupku

Reff:
T’rima kasih Yesusku
buat anug’rah yang Kau b’ri
S’bab hari ini Tuhan adakan
Syukur bagi-Mu