Posts

Lebih Baik Jadi Tikus Saja

Diceritakan ulang oleh: Sari Marlia

jadi-tikus-saja

Alkisah hiduplah seekor tikus berbulu abu-abu. Tikus itu tinggal di sebuah lubang kecil yang berada di samping gedung pertokoan. Suatu hari, tikus itu berjalan-jalan keluar sarangnya, hendak berjalan-jalan keliling kota. Tiba-tiba datanglah seekor kucing yang hendak memangsanya. Terbirit-birit, tikus abu-abu itu pun lari secepat yang ia bisa supaya tidak tertangkap. Beruntunglah, ia selamat. Terengah-engah, sambil bersembunyi di balik peti kayu di sebuah pasar yang letaknya tak jauh dari sarangnya, si tikus pun berdoa,

Tuhan, aku ini sungguh lemah. Kumohon ubahlah aku menjadi seekor kucing yang kuat supaya aku tidak dikejar-kejar lagi.

Tuhan yang Mahabaik mendengar permohonan si tikus dan kemudian mengubahnya menjadi seekor kucing yang kuat. Dengan gembira, tikus yang telah berubah menjadi kucing itu keluar dari persembunyiannya untuk melanjutkan niatnya semula berkeliling kota. Beberapa hari kemudian, ketika ia sedang asyik bermain di taman, datanglah seekor anjing bertubuh agak besar dan mengejar si tikus yang telah berubah menjadi kucing itu. Ia pun lari pontang-panting dan memanjat sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi untuk menyelamatkan diri. Di atas pohon ia kembali berdoa kepada Tuhan,

Tuhan, kali ini aku kembali lagi memohon kepadamu, ubahlah aku menjadi seekor anjing yang kuat supaya aku tidak dikejar-kejar lagi.

Tuhan mendengar permohonannya dan mengubah si tikus menjadi seekor anjing yang gagah. Ahh, betapa senang hati si tikus. Ia yakin kini tidak ada lagi yang akan berani memangsanya. Dua minggu kemudian, tikus yang telah menjadi anjing itu berjalan-jalan ke sebuah hutan. Entah mengapa ia merasa ada yang sedang memperhatikannya. Tak lama, seekor singa mengaum dan mengejarnya dengan beringas. Si tikus berlari secepat mungkin, berlari dan berlari tanpa henti, dan beruntunglah ia selamat lagi. Dengan terengah-engah, ia kembali berdoa kepada Tuhan,

Tuhaaaan.. aku lelah dan sungguh ketakutan. Sekali lagi aku mohon, ubahlah aku menjadi seekor singa yang kuat, seekor raja hutan supaya mereka takut kepadaku dan tidak berani macam-macam kepadaku.

Tuhan yang sungguh baik mendengarkan kembali doa si tikus dan kembali mengubahnya menjadi seekor singa. Namun, belum ada sehari menjadi seekor singa, seorang pemburu datang ke hutan itu dan membidiknya. Dorr!! Terdengarlah suara dentuman senapan yang untungnya meleset. Si tikus yang telah menjadi singa, kembali harus berlari menyelamatkan diri. Dengan sangat ketakutan, ia kembali memohon kepada Tuhan,

Tuhan, ternyata aku ini sungguh lemah. Maafkan jika aku kembali meminta. Biarkan kali ini aku menjadi seorang pemburu yang ditakuti oleh raja hutan sekalipun.

Tuhan mendengarkan doanya dan mengubahnya menjadi seorang pemburu. Tikus yang sudah berkali-kali berubah itu merasa senang. Ia pun pulang ke rumah sang pemburu untuk makan malam. Namun, begitu ia sampai, istri dari sang pemburu muncul sambil marah-marah. Hatinya kembali ciut. Ia pun kemudian kembali lagi berdoa,

Tuhaaaan…ternyata aku ini masih lemah… tolong ubahlah aku menjadi istri dari pemburu yang galak ini.

Lagi-lagi Tuhan mendengar permohonannya dan berubahlah tikus itu menjadi istri dari pemburu tadi. Si tikus merasa senang dengan keadaannya. Tapi sayang, kelegaannya hanya sementara. Suatu sore ketika istri sang pemburu ingin memasak makan malam, terperanjatlah ia dan buru-buru naik ke atas meja menghindari sesuatu yang bergerak di dekat bak cuci piring. Ternyata, istri sang pemburu itu ketakutan setengah mati karena melihat seekor tikus!

Si tikus pun segera berteriak, “Tuhaaaaaaaaaan, lebih baik aku kembali menjadi tikus saja…

 

Catatan penulis:

Kisah si tikus yang tak pernah merasa puas ini adalah sebuah ilustrasi yang pernah saya dengar dari pendeta di gereja. Kisah sederhana yang mengundang senyum sekaligus mengingatkan saya untuk mensyukuri apa yang sudah Tuhan karuniakan dalam hidup ini. Jujur saja, bukankah sering kita tergoda melihat “rumput tetangga yang lebih hijau”? Kita merasa selalu kurang, dan ingin menggapai apa yang dimiliki orang lain. Tanpa sadar kita ingin mendikte Sang Pencipta, seolah kita tahu apa yang lebih baik.

Kisah ini juga mengingatkan saya bahwa Tuhan memberikan tiap orang bagian yang berbeda-beda. Di balik “hijaunya” rumput tetangga, ada hal-hal yang kita tidak tahu. Mungkin itu sebuah perjuangan dan pergumulan yang berat. Adakalanya kita mau bagian yang kelihatannya “enak” tapi tidak mau bagian yang “tidak enak”. Kita perlu bersyukur atas bagian yang Tuhan percayakan bagi kita, tidak berusaha menjadi orang lain dan akhirnya menanggung hal-hal yang sebenarnya melampaui kapasitas kita.

Terakhir, kisah ini juga mengingatkan saya bahwa tiap pilihan ada konsekuensinya. Ketika Tuhan mengizinkan kita menghadapi sesuatu yang tidak mengenakkan, kita mungkin tergoda untuk menghindar atau memilih jalan yang mudah. Daripada bertahan dan berusaha menyelesaikan masalah, kita lebih suka memulai sesuatu yang baru. Padahal sesuatu yang baru itu pun tidaklah bebas dari masalah. Namun, ketika kita memilih untuk menghadapi masalah bersama Tuhan menurut cara-Nya, kita akan bertumbuh makin dewasa di dalam-Nya.