Posts

Rahasia untuk Tidak Mengeluh

Hari ke-11 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:14-18

2:14 Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan,

2:15 supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,

2:16 sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.

2:17 Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian.

2:18 Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.

Tidaklah sulit untuk mengingat kapan terakhir kali aku menggerutu tentang sesuatu atau seseorang—kemarin, lebih tepatnya. Aku sedang melewati masa-masa sulit di kantorku dan aku pun mengeluh. Semakin aku menggerutu, semakin aku merasa tidak bahagia; semakin aku merasa tidak bahagia, semakin banyak aku menggerutu.

Itu bukanlah hidup dan sikap yang Tuhan ingin kita jalani, baik itu di rumah, di gereja, di sekolah, atau di kantor. Tuhan, melalui Paulus, mendorong kita untuk “berperilaku yang layak bagi Injil Kristus” (Filipi 1:27). Kita dapat membuktikan kesetiaan kita kepada Kristus dengan cara menaati Tuhan dengan hormat. Dan satu cara untuk menghidupi ketaatan kita adalah melakukan semuanya “tanpa mengeluh atau membantah” (2:14).

Ya, ketika Paulus mengatakan semuanya, ia serius: bahkan ketika kita diminta melakukan hal yang tidak kita mengerti atau tidak kita suka, ketika doa-doa kita tidak dijawab, dan ketika kita sedang melewati kesulitan dan penganiayaan. Semuanya.

Ketika aku membaca ayat-ayat ini, aku teringat bagaimana orang Israel dulu menggerutu dan mempertanyakan pemimpin mereka saat berada di tengah padang gurun (Keluaran 15:24, 16:8). Sikap orang-orang Israel yang sering mengeluh dan mempertanyakan Tuhan akan situasi mereka merupakan suatu bentuk ketidaktaatan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Tuhan. Begitu juga segala keluh kesah dan gerutuan kita. Ketika kita melakukannya, semuanya itu tidak hanya diarahkan kepada sesuatu atau seseorang saja, tetapi kita juga melakukannya kepada Tuhan sendiri.

Gerutuan kita bukan hanya merupakan sebuah bentuk ketidaktaatan, itu juga adalah sebuah kesaksian yang buruk bagi orang-orang sekitar kita. Sebagai orang-orang Kristen yang adalah bagian—tapi terpisah dari—dunia ini, kita seharusnya bersinar layaknya terang, mengikuti teladan Kristus (Yohanes 8:12). Tapi, seringkali kita gagal hidup seperti itu. Ketika aku mengeluh kepada teman sekerjaku, aku bertanya-tanya, siapakah yang mereka lihat: Kristus hidup di dalamku, atau aku yang berlaku layaknya salah satu dari mereka?

Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menemukan kekuatan untuk melakukan semuanya tanpa mengeluh?

Dengan berpegang kepada firman Tuhan (ayat 16), kata Paulus. Bukan hanya itu, kita sudah dijanjikan bahwa Tuhan akan memungkinkan dan melengkapi kita untuk melakukan kehendak-Nya melalui Roh Kudus (Filipi 2:13).

Ketika kita bisa menahan diri dari menggerutu, mungkin kakak rohani atau pemimpin rohani kita pun turut berbangga atas kita. Paulus mendorong para jemaat Filipi untuk hidup taat dalam Tuhan, agar ia punya alasan untuk berbangga ketika Kristus kembali. Buah yang dihasilkan para jemaat Filipi sangat membahagiakan Paulus (ayat 17), dan merupakan bukti bahwa pengorbanannya untuk mereka tidaklah sia-sia.

Tidaklah mudah untuk menghentikan diri kita sendiri dari mengeluh tentang hal-hal yang tidak kita sukai. Bagiku, masih sulit sekali untuk mengendalikan ucapanku ketika aku mengalami hari yang buruk di kantor, terutama ketika semua orang sekitarku sedang mengeluh karena frustrasi. Tapi ketika aku mengingat identitasku dalam Kristus—bahwa aku telah dikuatkan untuk hidup berbeda dari yang lain—aku sedang belajar untuk mengendalikan kata-kataku setiap hari. Alih-alih marah dan melontarkan kata-kata kasar, aku memilih untuk diam sejenak. Alih-alih mengomel kepada orang-orang di sekitarku, aku menenangkan diri dan berdoa. Aku pun mengalami kebahagiaan dan ketenangan yang didapat dari mengikuti-Nya dengan taat dan beristirahat dalam kekuasaan-Nya.

Memang tidak mudah. Tapi, ketika kita berdoa dan merenungkan tentang mengapa dan bagaimana, kita dapat menghindar dari tingkah laku tersebut. Kita akan tahu bahwa kepuasan yang kita dapatkan dari menggerutu dan mengeluh tidak sebanding dengan hidup dalam sikap yang layak di hadapan firman Tuhan, dan kebahagiaan yang dirasakan oleh pemimpin kita, diri kita, dan Kristus sendiri.—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu merasa tergoda untuk mengeluh dan marah-marah? Apa yang terjadi ketika kamu melakukannya?

2. Adakah hal-hal dalam kehidupanmu yang membuatmu susah untuk tidak mengeluh atau marah-marah? Tuliskanlah semuanya itu dan doakanlah.

3. Apakah kita bersinar terang bagaikan bintang di tengah-tengah dunia yang penuh dengan orang yang jahat? Apakah cara kita untuk dapat bersinar di dalam dunia seperti itu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Hari yang sempurna menurut Wendy adalah menyantap peanut buter, hiking, naik sepeda, atau saat teduh bersama Tuhan. Sebagai seoang penulis, Wendy berharap tiap tulisannya jadi alat untuk memuliakan Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Penyertaan Allah dalam Tantangan Kehidupan

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Bulan April lalu aku sedikit menyampaikan keluhan hidupku lewat artikel yang berjudul “Jangan Sekadar Mengeluh!”. Dalam artikel tersebut, nampaknya manusia relatif sukar untuk berhenti mengeluh karena hidup manusia diiringi oleh penderitaan. Wait, jangan berpikir ke arah negatif dulu ya. Kata ‘derita’, yang bisa dibaca pada artikel sebelumnya, dapat dipahami sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal. Maka menurutku, wajar jika sesekali hidup manusia kerap diselingi oleh keluhan.

Keluhan yang kerap disampaikan oleh sebagian kita adalah tentang naiknya jenjang kehidupan. Aku mengingat jelas, ketika masuk ke bangku Sekolah Dasar, aku sering ngomel ke orang tuaku karena jam bermain tidak sebanyak masih di Taman Kanak-kanak. Lepas dari Sekolah Dasar menuju Sekolah Menengah Pertama, aku pun rindu masa Sekolah Dasar, di mana pe-er dan tes-tes tidak menumpuk banyak. Naik lagi ke tingkat Sekolah Menengah tingkat Atas, kesumpekan pun meningkat dengan beragam laporan laboratorium, riset-riset, les mata pelajaran ini dan itu. Memasuki dunia perkuliahan, aku mengira akan lebih lega dengan kebebasan mengatur jadwal, namun tuntutan perkuliahan justru lebih tinggi disertai juga kesibukan organisasi mahasiswa.

Selain naiknya jenjang kehidupan sebagai pilihan diri kita, tekananan kehidupan juga berasal dari lingkungan masyarakat di sekitar kita. Bagi kita yang sudah bekerja, baik sebagai pegawai atau wiraswasta, tentu merasakan persaingan dunia kerja. Bisnis fotografi dan videografi yang digeluti oleh kakakku pun mengalami persaingan dengan semakin merebaknya anak-anak muda yang baru sekian bulan memegang kamera lalu memasang tarif dokumentasi acara dengan harga yang miring. Begitu pun usaha event organizer yang pernah digeluti aku dan teman-temanku, dimana kini muncul banyak event organizer baru yang dipelopori anak-anak yang jauh lebih muda dari kami. Aku pun belum bisa membayangkan secara utuh dampak industri 4.0 dan era desrupsi pada tekanan hidup masyakat negara berkembang seperti di Indonesia.

Harus kita akui bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Namun apa yang harus kita pahami sebagai orang Kristen dalam menjani hidup penuh tekanan?

Sebuah penguatan dinyatakan juga oleh Allah ketika bangsa Yehuda berada di tanah pembuangan Babel. Dalam Yesaya 43:2 dikatakan bahwa:

“Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.”

Terdapat tiga hal yang bisa kita pahami dari ayat ini, terlebih menguatkan kita menjalani hidup penuh tekanan.

1. Allah menyertai kita dalam kesulitan hidup kita.

Penulis kitab Yesaya dengan jelas menyatakan janji Allah, di kala mereka menyeberang melalui air, melalui sungai-sungai, melalui api, Ia beserta. Dalam kondisi bangsa Yehuda kala mereka berada pada masa pembuangan ke Babel, jauh dari tempat asal mereka dan di bawah pemerintahan Raja Babel, Allah tidak mengabaikan mereka. Allah tetap beserta umat-Nya dalam tekanan kehidupan. Begitu pun ketika kita berada dalam tekanan hidup di pendidikan, dunia kerja, relasi dengan sesama maupun berbagai tekanan lainnya, Allah tetap menyertai umat-Nya.

2. Allah tidak menghilangkan tantangan kehidupan, tantangan masih ada.

Ketika Allah beserta umat-Nya, penulis kitab Yesaya tidak menyatakan bahwa bangsa Yehuda bisa kembali dengan mudah ke tanah mereka; masih ada air, sungai-sungai dan api yang menghadang mereka. Sama seperti kondisi hidup kita saat ini, Allah tidak pernah menjanjikan hidup kita bahagia, aman sentosa setiap saat, tetapi tantangan kehidupan tersebut masih ada. Tugas-tugas, ujian beragam mata pelajaran dan perkuliahan tetap ada, tuntutan dan persaingan kerja tetap ada karena Allah yang mengizinkan hal tersebut terjadi dalam hidup kita.

3. Allah meminta kita melalui tantangan tersebut, bukan menghindari.

Ketika kita melalui air, terlebih sungai-sungai, Allah berjanji kita tidak akan hanyut, tetapi kita tentu tetap basah dan merasakan derasnya arus sungai tersebut. Begitu pula ketika kita melalui api, Allah berjanji kita tidak akan hangus terbakar, tetapi kita tetap merasakan panas dari api tersebut. Hal yang sama terjadi dalam tantangan kehidupan kita, Allah berharap kita melalui tugas dan ujian dalam pendidikan kita maupun tuntutan dan persaingan kerja, bukan terus menerus menghindar.

* * *

Memang benar bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Segala yang aku dan teman-teman sekalian temui dalam hidup akan semakin berat. Akan selalu ada sungai maupun api yang harus kita lalui. Ketika melalui sungai dan api, yaitu tantangan kehidupan, kita akan makin disadarkan bahwa Tuhan selalu beserta kita. Maka kini, ketika kita berada dalam tekanan hidup, janganlah berdoa agar tekanan tersebut dijauhkan dari kita. Sampaikan kepada-Nya, “Tuhan, terima kasih atas tantangan dalam hidup kami. Sertai kami dan mampukan kami melalui tantangan tersebut. Amin.”

Ada satu pujian yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah. Lagu yang berjudul “Ku Tau Bapa Peliharaku” ini mungkin tidak asing di telinga kita. Liriknya berkata:

“Ku tau Bapa p’liharaku,
Dia baik, Dia baik.
Ku yakin Dia s’lalu sertaku, Dia baik bagiku.

Lewat badai cobaan, semuanya mendatangkan kebaikan.
Ku tahu Bapa p’liharaku, Dia baik bagiku.”

Kiranya pujian di atas akan semakin menolong kita menghayati penyertaan Tuhan dalam segala tekanan hidup kita.

Baca Juga:

Sulit Membuat Keputusan? Libatkanlah Tuhan dalam Hidupmu

Ketika kita bingung akan langkah yang harus kita ambil, izinkan Tuhan mengambil alih kemudi hidup kita. Ia akan mengantarkan kita pada rencana indah-Nya.

Jangan Sekadar Mengeluh!

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat. Baik yang pelajar maupun pekerja, mungkin pernah mengeluh saat Minggu malam untuk menyambut hari esok, hari Senin.

Aku pun juga pernah mengeluh, baik ketika menjadi pelajar S1, maupun ketika menjadi pekerja dan bahkan kini kembali menjadi pelajar S2. Saat menjadi pekerja, Senin pagi adalah waktu mengeluhku, “Hadeuh, kerja lagi, cari uang lagi, meeting lagi.” Ketika kini aktif pelayanan di hari Sabtu dan Minggu yang menyita waktu relatif banyak, lalu hari Senin kembali kuliah, aku pun mengeluh lagi, “Aduh, kapan badan ini istirahat? Senin sampai Jumat kuliah kerja tugas, akhir pekan capek pelayanan.”

Kurasa tak hanya aku, sebagian besar dari kita pun pernah mengeluh. Sebuah alasan yang mendasari kita mengeluh adalah karena ada sebuah penderitaan yang akan atau sedang kita hadapi. Banyak hal yang bisa menjadi penderitaan bagi kita, entah itu sekolah, kuliah, pekerjaan, relasi dengan siapapun, bahkan pelayanan kita sekalipun. Penderitaan itu terlihat dari keluhan yang keluar dari bibir kita.

Tetapi, sebelum kita lanjut mengeluhkan berbagai penderitaan yang kita hadapi dalam hidup ini, ada hal-hal yang perlu kita pahami nih. Yuk kita cek.

Kita tidak sendirian dalam menghadapi penderitaan

Kita, segenap manusia yang ada di bumi, bahkan Yesus semasa hidup-Nya di dunia pun pernah melontarkan keluhan. Dalam Injil Lukas 13:34 misalnya, ketika Yesus berada di Perea, wilayah Galilea, Ia hendak memasuki Kota Yerusalem. Yesus pun mengeluh dengan kenyataan tentang kota tersebut:

“Yerusalem, Yerusalem, engkau membunuh nabi-nabi dan melempari denga batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”

Ketika Yesus berdoa di Taman Getsemani di malam sebelum Dia ditangkap, Yesus pun sempat mengatakan:

“Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku…” (Matius 26:39a).

Dua ayat di atas merupakan ucapan keluhan Yesus ketika diri-Nya diperhadapkan pada penderitaan, yaitu penderitaan di mana Dia akan diangkap, disiksa, disalibkan, dan mati. Penderitaan Yesus tentu jauh lebih besar daripada derita yang kita hadapi. So, jangan pernah merasa diri kita sendirian dalam menghadapi penderitaan. Yesus juga turut menderita, bahkan lebih menderita daripada kita.

Yesus memilih menderita sebagai tanggung jawabnya

Jika Yesus sudah tahu akan menderita, dan Dia mengeluh, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: mengapa Dia tetap memilih menderita? Di sinilah kita perlu memaknai ulang kata “derita”. Kita mungkin memahami “menderita” sebagai kondisi sengsara, susah, dan mengenaskan. Tetapi, kata derita memiliki makna lebih daripada itu secara etimologi.

Kata “derita” dalam bahasa Inggris yaitu “suffer”, yang merupakan sebuah serapan dari bahasa Latin, “sufferire”. Kata “sufferire” ini berarti menanggung, menjalani, membawa sebuah tugas tanggung jawab. Maka kita bisa memahami bahwa penderitaan merupakan sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal.

Maka, yang jadi pertanyaan, tanggung jawab apakah yang dilakukan Yesus sehingga Dia harus menderita? Tanggung jawab Yesus ialah menyatakan kasih Allah kepada ciptaan-Nya dengan hidup di dunia, mengajar dan menyatakan mukjizat serta melakukan penebusan di kayu salib. Yohanes 15:13 menyatakan:

“Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Yesus memilih melaksanakan tanggung jawab untuk mengasihi manusia secara total dan Dia memahami konsekuensinya atau derita yang Dia jalani, yaitu disiksa dan mati disalibkan.

Dari penjelasan logis tentang Yesus yang menderita ini, kita juga bisa melihat penderitaan dalam hidup kita. Kita menderita dalam sekolah dan kuliah, dengan harus giat belajar dan mengerjakan tugas, karena itulah konsekuensi dari kita yang ingin menjadi lebih cerdas. Begitupun ketika kita bekerja, kadang lembur dan pulang malam karena itulah konsekuensi untuk mendapatkan penghasilan. Juga dalam pelayanan, kita merasa lelah secara pikiran, meluangkan waktu, mengeluarkan biaya dan tenaga, itulah konsekuensi ketika kita melayani Tuhan dan sesama kita.

Ubahlah keluhan menjadi berkat

Setiap tokoh-tokoh Alkitab juga tidak lepas dari mengeluh. Contohnya ketika harta dan anak-anak Ayub diambil oleh Tuhan, Ayub mengutuki hari kelahirannya. Contohnya lagi seruan Daud dalam Mazmur 22:1-9, dia menyatakan, “Ya Allahku, mengapa Kau tinggalkanku…” Begitu pun Yesus, yang juga turut menderita sebagai manusia seratus persen.

Beruntung, setiap tokoh-tokoh Alkitab tersebut belajar untuk berproses melihat rencana Allah dalam hidup mereka. Begitu pula dengan Yesus, ketika Dia mengeluhkan Yerusalem dalam Lukas 13:34, Dia tetap melanjutkan perjalanan-Nya. Ataupun dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Dia berseru kepada Allah dalam Matius 26:39b,

“…melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Yesus mengubah keluhan yang terucap oleh-Nya sebagai bentuk berserah kepada maksud Allah, yaitu agar Yesus bisa menyatakan kasih Allah bagi ciptan. Yesus pun melaksanakan tanggung jawab-Nya sehingga menjadi berkat bagi kita semua, yaitu berkat keselamatan.

Kita pun pasti juga tidak bisa lepas sepenuhnya dari mengeluh, tetapi apakah kita hanya melihat penderitaan yang akan atau sedang kita jalani dari sisi negatif melulu?

Mari kita belajar, bahwa Yesus juga turut menderita bersama kita. Yesus ingin mengajarkan bahwa ada sebuah tanggung jawab yang perlu kita laksanakan walaupun memiliki konsekuensi derita, dan jadilah berkat dengan menyatakan kasih Allah lewat melaksanakan tanggung jawab kita sebaik mungkin.

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Berpacu Melawan Kuda

Penulis: Jeffrey Siauw

berpacu-melawan-kuda

Pendeta Eugene Peterson pernah menulis sebuah buku yang sangat menginspirasi saya, berjudul Run with the Horses, yang mengupas berbagai pelajaran dari kehidupan nabi Yeremia.

Sejak membaca buku itu, beberapa kali saya pernah merenungkan dan membagikan ayat berikut:

“Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda? Dan jika di negeri yang damai engkau tidak merasa tenteram, apakah yang akan engkau perbuat di hutan belukar sungai Yordan?” (Yeremia 12:5)

Ayat ini bahkan menghiasi dinding ruang kerja saya di perpustakaan.

Pesannya sederhana. Hidupmu yang sekarang mungkin hanya seperti berlari dengan orang berjalan kaki. Kalau begini saja engkau telah lelah, bagaimana engkau hendak berpacu melawan kuda? Apa yang kau hadapi sekarang mungkin bisa dibandingkan seperti “hidup di negeri yang damai”. Kalau begini saja engkau sudah tidak merasa tenteram, lalu apa yang akan engkau perbuat jika hidup di hutan belukar?

Ini adalah tanggapan Tuhan terhadap keluhan nabi Yeremia. Tanggapan yang juga relevan untuk keluhan-keluhan saya. Seolah-olah saya mendengar: “baru segini kesulitan yang engkau hadapi”, “baru segini pencobaan yang kau alami”, “baru segini tantanganmu melawan dosa”, “baru segini sakit yang harus kau tanggung”, “baru segini….” Tetapi nadanya mendorong dan bukan mengejek.

Hidup ini sulit. Betul. Hidup ini seperti berada di hutan belukar! Hidup ini seperti berpacu melawan kuda!

Tetapi, apakah kemudian kita mau menyerah? Kita punya beberapa pilihan:

Pertama, hidup dengan buruk. Artinya kita tidak lagi mau berjalan apalagi berlari melawan kehidupan. Kita menyerah. Kita ikut arus saja. Kita sia-siakan hidup kita dengan menyerah kepada berbagai macam hawa nafsu.

Kedua, hidup “ala kadar”nya. Artinya tidak usah terlalu susah-susah dan berjuang mati-matian. Nikmati saja hidup. Berjalan seperlunya tapi tidak usah berlari. Ke gereja, ya boleh. Hidup suci, ya sebisanya. Melayani, ya selama saya mau. Semua “ala kadar”nya saja.

Ketiga, hidup sebaik-baiknya. Memberi usaha terbaik yang kita bisa, sebagaimana yang diinginkan Tuhan. Berapa pun harganya. Berapa pun sulitnya. Tetapi, ini sama sekali tidak mudah, karena itu berarti kita siap hidup “di hutan belukar” dan “berpacu melawan kuda”.

Saya memilih yang ketiga. Walaupun seringkali saya juga sudah lelah dan merasa tidak tenteram… saya tetap mau memilih yang ketiga dan itu berarti juga mau untuk “berpacu melawan kuda”.

Bila kita mau menjalani kehidupan yang terbaik, bukan sekadar kehidupan yang mudah, kita tidak akan membiarkan hambatan-hambatan yang ada dalam hidup ini menghentikan langkah kita. Dalam anugerah Tuhan, mari terus melangkah maju, bahkan siap “berpacu melawan kuda”!

Selamat Tinggal

Rabu, 19 November 2014

Selamat Tinggal

Baca: Bilangan 11:1-10

11:1 Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan.

11:2 Lalu berteriaklah bangsa itu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada TUHAN; maka padamlah api itu.

11:3 Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka.

11:4 Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: "Siapakah yang akan memberi kita makan daging?

11:5 Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih.

11:6 Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat."

11:7 Adapun manna itu seperti ketumbar dan kelihatannya seperti damar bedolah.

11:8 Bangsa itu berlari kian ke mari untuk memungutnya, lalu menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang. Mereka memasaknya dalam periuk dan membuatnya menjadi roti bundar; rasanya seperti rasa panganan yang digoreng.

11:9 Dan apabila embun turun di tempat perkemahan pada waktu malam, maka turunlah juga manna di situ.

11:10 Ketika Musa mendengar bangsa itu, yaitu orang-orang dari setiap kaum, menangis di depan pintu kemahnya, bangkitlah murka TUHAN dengan sangat, dan hal itu dipandang jahat oleh Musa.

Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya. —Bilangan 11:1

Selamat Tinggal

Ketika Max Lucado berpartisipasi dalam suatu perlombaan separuh triatlon, ia mengalami pengaruh negatif dari keluh-kesah. Ia berkisah, “Setelah berenang sekitar 2 KM dan bersepeda sejauh 90 km, aku tak punya banyak tenaga lagi untuk berlari sejauh 21 km. Demikian juga halnya dengan orang yang berlari di sampingku. Orang itu berkata, ‘Ini sangat memuakkan. Mengikuti lomba ini adalah keputusan terbodoh yang pernah kulakukan.’ Aku berkata kepadanya, ‘Selamat tinggal.’” Max tahu, jika ia terlalu lama mendengarkan keluh-kesah itu, tidak lama kemudian ia akan menyetujui orang tersebut.

Oleh karena itu, ia mengucapkan selamat tinggal dan terus berlari.

Di antara umat Israel, terlalu banyak orang yang sudah terlalu lama mendengarkan keluh-kesah yang beredar dan mulai menyetujui orang-orang yang mengeluh tersebut. Sikap itu tidak berkenan kepada Allah, dan pantaslah Allah marah. Allah telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, dan berkenan untuk tinggal di tengah-tengah mereka, tetapi mereka tetap saja mengeluh. Selain kehidupan yang berat di tengah padang gurun, mereka juga tidak puas dengan manna yang disediakan Allah. Dengan berkeluh-kesah, orang Israel lupa bahwa manna itu adalah pemberian untuk mereka dari tangan Allah yang penuh kasih (Bil. 11:6). Karena berkeluh-kesah itu akan meracuni hati dengan sikap tidak tahu berterima kasih dan dapat menular, Allah harus menghakiminya.

Inilah cara yang pasti untuk mengucapkan “selamat tinggal” pada sikap keluh-kesah dan tidak tahu berterima kasih: Setiap hari, marilah mengingat kembali kesetiaan dan kebaikan Allah bagi diri kita. —MLW

Ya Tuhan, Engkau telah memberi kami begitu banyak. Ampunilah
lemahnya ingatan kami dan buruknya perilaku kami. Tolong kami
untuk mengingat dan bersyukur atas semua yang Engkau berikan.
Tolong kami menceritakan kebaikan-Mu bagi kami kepada sesama.

Menyuarakan kesetiaan Allah akan membungkam ketidakpuasan.