Posts

4 Tipe Pengguna Uang—Kamu Termasuk yang Mana?

Penulis: Ivan Kwananda Pangestu
Adaptasi dalam Bahasa Inggris: What Type of Spender Are You?

What-type-of-spender-are-you

Saya termasuk orang yang sangat irit soal uang. Saya tumbuh besar dalam keluarga yang pas-pasan secara ekonomi. Saya harus sangat disiplin menyimpan uang agar bisa membayar biaya sekolah. Uang menjadi sangat penting untuk memberi saya rasa aman dalam hidup ini.

Namun, melalui berbagai peristiwa, saya belajar bahwa uang bukanlah segala-galanya. Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa yang memelihara hidup saya sesungguhnya bukanlah kemampuan saya menyimpan uang. Tuhanlah yang memelihara hidup saya—saya harus bergantung kepada-Nya, bukan kepada uang! Saya mulai belajar untuk melihat uang bukan sebagai penyelamat hidup saya, tetapi sebagai harta yang dipercayakan Tuhan untuk saya gunakan secara bijaksana. Beberapa tahun terakhir, saya mulai menjalankan “proyek memberi” di hari-hari khusus seperti Imlek, Valentine, dan Natal, untuk melatih diri saya dalam hal memberi. Saya menyiapkan beberapa amplop yang diisi dengan uang untuk saya berikan kepada orang yang membutuhkan.

Setiap kita tentu memiliki cara dan kebiasaan yang berbeda-beda dalam menggunakan uang. Biasanya hal ini dipengaruhi oleh kepribadian kita, nilai-nilai yang kita pegang, juga pola penggunaan uang yang ada dalam keluarga kita.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, termasuk apa yang ada di dompet dan rekening tabungan kita (Mazmur 24:1). Dia menghendaki kita menjadi hamba yang baik dan setia dalam mengelola apa yang dipercayakan-Nya di tangan kita (Matius 25:21). Suatu hari kelak, Tuhan kita, Pemilik dari segala sesuatu, akan datang dan meminta pertanggungjawaban atas penggunaan sumber-sumber daya yang ada pada kita.

Untuk memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9), saya mendorong kita semua untuk mulai dari hal yang sederhana: memperhatikan kebiasaan kita dalam menggunakan uang. Mengenali kekuatan dan kelemahan kita akan sangat menolong kita untuk menjadi pengelola yang baik dari apa yang Tuhan percayakan di tangan kita. Dengan sedikit bekal yang saya dapatkan saat kuliah manajemen keuangan, saya ingin membagikan beberapa saran praktis untuk 4 tipe pengguna uang yang sering saya jumpai.

1. Pemberi yang Murah Hati

Ini tipe orang yang suka menggunakan uang mereka untuk orang lain. Ia bahagia ketika uangnya bisa membuat orang lain tersenyum dan bersukacita. Ia suka mentraktir temannya, membelikan hadiah, serta berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan. Kebahagiaan orang lain membuatnya dua kali lebih bahagia.

Kekuatan: Murah hati adalah kualitas yang indah. Alkitab sendiri mengajar kita untuk murah hati, sama seperti Bapa kita yang murah hati (Lukas 6:36, Amsal 22:9, 2 Korintus 9:6; 1 Timotius 6:18). Pemberi yang murah hati dapat leluasa dipakai Tuhan menjadi jawaban doa bagi sesama yang membutuhkan, menolong orang lain merasa dihargai dan dikasihi di tengah dunia yang makin individualis.

Kelemahan: Karena mudah tergerak dengan kebutuhan orang lain, para pemberi yang murah hati seringkali kurang perhitungan dalam mengelola keuangannya. Mereka kesulitan untuk menabung secara teratur dan konsisten. Pemberi yang murah hati juga cenderung mudah frustrasi bahkan merasa bersalah bila tidak bisa memberi bagi orang lain. Akibatnya mereka bisa saja dimanfaatkan orang lain. Dalam kasus ekstrim, mereka bisa saja mengorbankan kebutuhan pribadi atau keluarga demi membantu orang lain yang membutuhkan.

Saran: Para pemberi yang murah hati perlu belajar membuat perencanaan keuangan yang lebih baik. Buatlah pos-pos pengeluaran yang spesifik, terutama untuk hal-hal yang rutin dan menjadi prioritas (misalnya untuk perpuluhan, persembahan, tabungan), dan latihlah diri untuk disiplin dalam melakukan apa yang sudah direncanakan. Jumlah yang lebih besar bisa dialokasikan untuk pos “pemberian”, namun ingatlah juga mengalokasikan jumlah yang cukup untuk ditabung (tabunglah minimal 10-20% dari total pemasukan). Dengan berdisiplin dalam perencanaan keuangan, para pemberi yang murah hati nantinya akan menemukan keleluasaan memberi yang lebih besar dan lebih membawa dampak bagi orang lain.

Para pemberi yang murah hati juga perlu memiliki kerendahan hati untuk mengakui keterbatasannya dan tidak memaksakan diri membantu orang lain secara finansial ketika situasinya memang tidak memungkinkan. Berdoalah, mohon Roh Kudus memberi kita kepekaan untuk dapat memberi dengan bijaksana, tidak asal memberi setiap kali kita merasa ingin melakukannya (Amsal 19:2-3).

2. Penyimpan yang Andal

Ini tipe orang yang sangat berhati-hati dan penuh perhitungan dalam menggunakan uang, bahkan bisa dibilang cenderung pelit (contohnya saya sendiri). Bagi mereka, setiap rupiah sangat berharga. Dengan cermat ia akan menyediakan uang dalam berbagai pecahan agar selalu bisa membayar dengan uang pas (tidak ada kesempatan bagi kasir untuk memintanya mendonasikan uang kembalian saat belanja).

Kekuatan: Tipe orang ini merencanakan penggunaan uangnya dengan cermat. Mereka bisa menyimpan uang dengan sangat baik. Sangat cocok mengambil peran sebagai bendahara organisasi untuk memastikan uang yang masuk tidak disalahgunakan.

Kelemahan: Penyimpan yang andal biasanya dianggap sebagai orang yang egois dan agak berlebihan dalam mengantisipasi kebutuhan. Jika tidak hati-hati, uang bisa menjadi berhala karena para penyimpan yang andal ini memberi nilai yang terlalu tinggi pada uang. Tipe ini sukar untuk memberi bagi orang lain, meskipun kebutuhan orang itu tampak jelas di depan mata.

Saran: Para penyimpan yang andal perlu melatih diri untuk memberi, karena Tuhan sendiri tidak menghendaki kita menutup mata terhadap mereka yang membutuhkan (Amsal 14:31; 28:27). Bersyukurlah atas apa yang dimiliki dan mulailah belajar memberi dengan tulus kepada orang-orang di sekitar kita (bisa mulai dengan jumlah yang kecil dulu). Ibrani 13:5 adalah bagian firman Tuhan yang perlu selalu diingat para penyimpan yang andal: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

3. Pembelanja yang Impulsif

Tipe berikutnya adalah orang-orang yang menggunakan uangnya secara impulsif. Artinya, cepat mengeluarkan uang sesuai dorongan hati, tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang. Ia sangat gampang berespons terhadap iklan, diskon, dan label bertuliskan “harga khusus”. Pembelian barang atau jasa yang ia lakukan lebih banyak dipicu oleh keinginan bukan kebutuhan.

Kekuatan: Pembelanja yang impulsif adalah orang-orang yang suka menikmati hidup. Mereka teman yang selalu asyik untuk diajak bersenang-senang (belanja, wisata kuliner, dan sebagainya). Mereka tidak menahan-nahan berkat yang mereka terima, berusaha memaksimalkan setiap kesempatan yang ada. Mereka bisa menjadi sumber informasi yang baik tentang tempat-tempat makan atau belanja yang sedang diskon.

Kelemahan: Berapa pun pendapatan yang dimiliki, biasanya di akhir bulan akan habis atau sedikit tersisa. Para pembelanja yang impulsif kurang memiliki proyeksi penggunaan uang jangka panjang. Mereka sangat mudah terjerat utang, apalagi bila memiliki fasilitas yang memudahkan mereka menggunakan uang seperti kartu kredit atau pinjaman lunak.

Saran: Para pembelanja yang impulsif harus melatih diri untuk membedakan yang namanya kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku benar-benar memerlukannya ataukah ini sebuah keinginan saja?” Bila sedang tidak ada kebutuhan penting, sebaiknya tidak jalan-jalan di area perbelanjaan, apalagi yang memajang label “harga khusus”, agar tidak tergoda untuk membeli hal yang tidak perlu. Buatlah daftar belanja yang terperinci sebelum pergi ke toko, dan tahan diri untuk tidak membeli barang-barang di luar daftar tersebut sekalipun harganya sedang murah. Ingatlah peringatan yang diberikan firman Tuhan, “Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang yang bebal memboroskannya” (Amsal 21:20).

4. Pengelola yang Hati-Hati

Ini tipe orang yang berhati-hati, selalu menghitung untung rugi sebelum menggunakan uang sesuai dengan situasi yang mereka hadapi. Biasanya mereka tahu bagaimana menggunakan uang pada waktu yang tepat untuk tujuan yang tepat, memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Kekuatan: Tidak ada uang yang digunakan sia-sia, setiap pengeluaran selalu diatur seefisien mungkin. Pengelola yang hati-hati biasanya akan banyak dihormati orang dan dimintai nasihat dalam hal keuangan.

Kelemahan: Orang yang cakap mengatur uang bisa menjadi manipulatif dan tidak tulus dalam memberi. Mereka ingin agar setiap penggunaan uang terukur hasilnya. Memberi untuk sesuatu yang belum jelas hasilnya (misalnya untuk pekerjaan misi, perintisan jemaat) adalah hal yang sulit mereka lakukan.

Saran: Pengelola yang hati-hati perlu belajar menumbuhkan empati kepada sesama. Latihlah diri memberi kepada orang yang tidak dikenal (misalnya: memberi tip kepada pelayan atau petugas keamanan di pertokoan, membayarkan uang bis untuk lansia yang bepergian sendiri), mereka yang tidak akan punya kesempatan membalas kebaikan itu. Mulailah berdoa dan memberi untuk pekerjaan misi sekalipun kita tidak bisa melihat hasilnya dalam jangka waktu yang pendek. Ingatlah apa yang diajarkan Yesus dalam Lukas 14:13-14, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”

Kiranya setiap penggunaan uang kita dapat memuliakan Tuhan dan menyatakan kasih-Nya kepada orang-orang yang Dia tempatkan dalam hidup kita.

Hutang

Oleh: Bella Nesya

KomikStripKamu-WarungSateKamu-20141001-Hutang

Belajar Memberi = Belajar Taat

Oleh: Radius Siburian

A gift for you

Kertas yang ditempel di mading dekat pintu masuk gereja itu menarik perhatianku. Isinya tentang daftar pemberi perpuluhan. Jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah perpuluhan yang dikumpulkan di gerejaku sendiri. Mmmmm….mungkin bagi banyak orang perpuluhan adalah sebuah beban. Ada semacam kewajiban bagi jemaat untuk memberi ke gereja layaknya membayar uang sekolah. Aku pun dulu berpikir begitu. Dan, jujur saja aku tidak suka dengan aturan demikian. Menurutku, seharusnya pihak gereja memperhatikan pendapatan atau keuangan sebuah keluarga baru menuntut iuran itu. Demikianlah pemikiranku hingga beranjak kuliah. Seingatku, tidak ada yang meluruskan pandanganku saat itu. Aku pun tak pernah terpikir untuk bertanya.

Hingga akhirnya melalui kelompok PA di kampus, aku dibekali dengan kebenaran Firman Tuhan tentang “Harta Benda, Waktu, dan Bakat”. Banyak pemahaman baru sekaligus teguran yang aku dapat, terutama berkaitan dengan cara aku menggunakan uang. Segala yang diberikan Tuhan ternyata adalah milik-Nya. Padahal sering aku merasa berat memberikan persembahan atau perpuluhan bagi pekerjaan-Nya.

Namun, memahami kebenaran itu tidak lantas membuatku mudah memberi. Memang, yang paling sulit adalah menerapkan Firman Tuhan. “Aku ‘kan masih mahasiswa. Uang masih minta orang tua, mana bisa memberi? Nanti kalau sudah punya penghasilan sendiri, baru aku bisa memberi..” alasanku saat itu.

Ketika aku akhirnya belajar memberi, rasanya susah setengah mati. Khawatir uang bulananku yang tak seberapa habis sebelum akhir bulan. Aku pun jadi belajar berhemat. Memangkas biaya hidup sehari-hari. Namun, Tuhan baik. Dia tidak saja mengajarku menjadi lebih bijak dalam mengelola uang, tetapi juga mencukupi segala kebutuhanku. Ketakutan dan kekhawatiran yang tadinya memenuhi pikiranku perlahan sirna. Ketakutan itu ternyata hanya ada di kepalaku, siasat iblis yang hendak meruntuhkan niatku untuk taat memberi. Kini aku sudah bekerja. Memberikan perpuluhan menjadi disiplin rohani yang melatihku untuk mengutamakan Tuhan.

Perpuluhan jelas dicatat dalam Alkitab bukan karena Tuhan kekurangan sesuatu dan memerlukan pemberian kita. Tuhan memiliki segala sesuatu. Terlepas dari nominal pemberian kita, yang lebih penting adalah hati yang mau taat, hati yang mau mengasihi dan mengandalkan Tuhan. Lihat saja kisah janda yang memberi dua keping uang perak dalam 1 Korintus 9:7. Jumlah pemberiannya sangat kecil di mata orang. Namun, Tuhan yang melihat kedalaman hati tahu siapa yang benar-benar mau mencintai dan mengandalkan Tuhan dengan segenap hidup mereka.

Belajar memberi telah menolongku belajar prinsip-prinsip berikut dalam mengelola uang. Semoga menolongmu juga.
1. Bersyukur – Membiasakan diri mengucap syukur menolong kita agar tidak lupa bahwa Pemilik segala sesuatunya adalah Tuhan. Sudah sepatutnya kita mengutamakan Dia dalam hidup kita. Dialah yang akan mencukupkan segala kebutuhan kita.
2. Berhemat – Berhemat bukan berarti menyiksa diri, tetapi melatih diri menggunakan uang secukupnya, bahkan menabung untuk mengantisipasi kebutuhan yang tidak terduga.
3. Berencana – Berencana berarti melatih diri untuk berpikir panjang, tidak gegabah, mendaftarkan mana kebutuhan yang mendasar, dan mana keinginan yang bisa ditunda. Perencanaan menolong kita mengoptimalkan penggunaan uang kita untuk hal-hal yang penting dan memuliakan Tuhan.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk memiliki hati yang sungguh mencintai dan mengandalkan Dia. Kiranya pemberian-pemberian kita mengalir dari hati yang memercayai dan mau menaati Firman-Nya dengan penuh sukacita.

Mengelola Uang dan Mengelola Hati

Oleh: Helen Clays

uang

Siapa tidak butuh uang? Uang adalah alat tukar yang digunakan dalam transaksi untuk mendapatkan barang di dunia ini. Semua orang membutuhkannya, termasuk kita, para pengikut Kristus. Kerap, uang menjadi ukuran status sosial seseorang. Makin besar jumlah uang yang dimiliki, makin seseorang dipandang kaya dan terhormat, demikian pula sebaliknya. Tak heran, banyak orang terjerumus dalam jerat “cinta uang”. Uang menjadi segala-galanya dalam hidup. Uang mengendalikan sikap dan perilaku orang. Uang menjadi penentu apakah seseorang merasa bahagia dan berarti dalam hidup, atau tidak. Padahal, bukankah uang adalah alat tukar semata? Aku pernah mendengar nasihat, “Peralatlah uang, jangan diperalat oleh uang”. Kupikir ini nasihat yang sangat baik. Kita diciptakan Tuhan untuk menjadi pengelola yang baik dari segala sesuatu dalam dunia ciptaan-Nya (Kejadian 1:28). Itu artinya kita pun dipercaya untuk mengelola uang yang sangat penting peranannya dalam hidup di dunia modern ini.

Aku sendiri masih terus belajar untuk mengelola uang dengan baik. Dari apa yang Tuhan izinkan aku punya setiap bulan, aku berusaha mendisiplin diri untuk memberi perpuluhan (10% dari uang yang aku dapatkan), memberi bantuan atau diakonia kepada sesama yang membutuhkan (juga 10%), dan menabung (10%). Aku ingin menaati apa yang dikatakan Firman Tuhan dalam hal:

1. Memberi perpuluhan
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan …” (Maleakhi 3:10)

2. Memberi diakonia
“Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberi tumpangan” (Roma 12:13)
“Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.” (2Kor.8:14)

3. Rajin menabung untuk mencukupi kebutuhan hidup
Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu (Ams.10:5)

Praktiknya memang tidak mudah. Kadang ada saja rasa “kurang”, dan ingin memberi lebih sedikit. Padahal sebenarnya, kalau dihitung-hitung, aku masih punya 70% bagian yang bisa kupakai. Mengapa masih merasa tak cukup? Tenyataaaa…. cara kita mengelola uang bisa menolong kita makin mengenali kecenderungan hati kita, apa yang menurut kita paling penting dalam hidup ini. Sikap kita terhadap uang mencerminkan sikap kita terhadap Tuhan. Ada saatnya kita mungkin berusaha dengan sangat ketat menjaga uang kita, berhemat luar biasa, bahkan tak sudi berbagi dengan sesama yang membutuhkan, karena selalu khawatir akan berkekurangan. Kita mengeluh bahwa orang lain selalu mendapat lebih banyak dan kita selalu mendapat lebih sedikit. Tanpa sadar kita membatasi Tuhan, seolah Dia tak sanggup memberkati kita. Kita lupa bahwa sesungguhnya Dialah Sumber segala sesuatu. Sebaliknya, ada pula saat-saat ketika kita menggunakan uang kita tanpa pikir panjang untuk hal-hal yang tidak penting, lalu mengeluh saat kekurangan uang, memohon Tuhan untuk segera bertindak menolong kita. Tanpa sadar kita memperlakukan Tuhan seperti “mesin atm”, tapi kita lupa bahwa Tuhan-lah Pemilik harta kita sesungguhnya, dan kita harus mempertanggungjawabkan penggunaan uang kita kepada-Nya.

Pastinya peringatan yang diberikan Firman Tuhan bener banget: “akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim.6:10). Untuk belajar mengelola uang, kita pertama-tama perlu belajar mengelola hati. Kita perlu memeriksa bagaimana sikap hati kita sesungguhnya terhadap Tuhan. Kita perlu terus menjaga agar cinta kita kepada Tuhan tidak dikalahkan oleh cinta kita kepada uang. Kita perlu terus dekat dengan Tuhan, giat belajar Firman-Nya, agar kita memiliki kepekaan dan hikmat dalam mengelola uang kita. Ingatlah bahwa uang tidak dapat membeli hidup kekal bagi kita. Tetapi, kita dapat menggunakan uang kita untuk hal-hal yang bernilai bagi kekekalan.

Bijaksana Dengan Uang

Oleh: Abyasat Tandirura

bijak-dengan-uang

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara
tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya,
kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?

Lukas 14:28

Ya ampun, Tuhan Yesus bicara soal bikin rencana anggaran! Yang bener aja! Aku sungguh tertegur membaca ayat yang satu ini. Aku sadar betul bahwa sering aku bersikap kurang bijaksana dalam mengelola uang yang aku terima setiap bulan. Sering aku tergoda membeli sesuatu yang tidak terlalu penting, sementara yang lebih penting malah kuabaikan. Betapa aku perlu belajar yang namanya prioritas dalam menggunakan uang yang diberikan orangtuaku.

Kalau kita baca keseluruhan pasalnya, Tuhan Yesus sebenarnya sedang mengajar orang banyak tentang Kerajaan Allah. Banyak orang salah menempatkan prioritas dalam hidup karena tidak mengerti betapa bernilainya Kerajaan Allah itu. Ibarat undangan untuk menghadiri sebuah jamuan makan, orang bisa punya seribu satu alasan untuk tidak menghadirinya ketika mereka tidak tahu betapa penting dan luar biasanya jamuan tersebut. Mereka merasa sayang untuk meninggalkan urusan-urusan lainnya yang menurut mereka jauh lebih penting dan bernilai (ayat 17-20). Pada kesempatan lain, Tuhan Yesus bahkan memberikan pernyataan ekstrim untuk mengajarkan bahwa Tuhan itu jauh lebih berharga daripada keluarga kita, bahkan nyawa kita sendiri (ayat 26). Kehidupan di dunia ini terlalu kecil dibandingkan dengan kehidupan kekal yang Tuhan sediakan bagi para pengikut-Nya. Namun, karena tidak memahami apa yang telah Tuhan sediakan, banyak orang mengikut Tuhan dengan setengah hati, tidak berani bayar harga, bahkan seringkali hanya sibuk mengeluhkan kondisinya.

Pertanyaan yang diberikan Tuhan Yesus pada ayat 28-30 sangatlah mengena! Ketika hendak mencapai sesuatu, siapa yang tidak akan berhitung dengan cermat? Membangun menara adalah sesuatu yang besar, sesuatu yang serius, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tanpa perhitungan yang matang, proyek itu bisa mudah berhenti di tengah jalan dan menjadi cibiran orang. Menjadi murid Yesus juga adalah sesuatu yang besar, sesuatu yang serius. Kita harus menyerahkan totalitas hidup kita untuk dapat dibentuk sesuai dengan kehendak-Nya (ayat 33). Tanpa menyadari hal ini, bisa saja kita hanya berstatus Kristen, tetapi cara hidup kita “memalukan”, bukan memuliakan Dia.

Bagaimana kita mengikut Tuhan selama ini? Sepenuh hati, atau setengah-setengah? Kembali pada masalah uang, kalau kita berkata Tuhan adalah Tuhan atas segenap hidup kita, bukankah itu berarti Tuhan juga adalah Tuhan atas dompet kita? Jika kita ingin memuliakan Tuhan dengan harta kita, bukankah itu berarti kita perlu bijaksana dalam mengelola uang kita? Cara kita mengelola uang sebagai pengikut Kristus seharusnya membawa orang yang melihatnya makin hormat dan kagum terhadap Tuhan kita, bukan malah bikin malu. Dan untuk itu kita harus berani bayar harga, mau berpikir panjang, mau ambil waktu membuat perencanaan, mau memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu, agar uang kita dapat lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat, yang menghormati Tuhan, yang bernilai kekal. Kita melakukannya dengan sukacita, bukan terpaksa, karena kita tahu bahwa upah yang Tuhan sediakan kelak itu jauh lebih besar dan mulia dibanding semua yang kita lakukan bagi Dia di dunia ini.

Beberapa prinsip berikut menolongku dalam mengelola uang selama ini, semoga bisa menolongmu juga. =)
– Syukurilah setiap berkat Tuhan (dalam hal ini uang) yang kita terima
– Pisahkanlah lebih dulu uang untuk perpuluhan dan persembahan
– Rencanakanlah berapa yang akan kita keluarkan dan yang akan kita tabung
– Prioritaskanlah kebutuhan yang lebih penting dan mendesak
– Pangkaslah daftar belanjaan yang kurang perlu

Mari kita terus mohon hikmat Tuhan agar makin bijaksana dalam mengelola uang yang Dia percayakan. Ketika kita yang mengaku pengikut Kristus malas membuat perencanaan, boros demi memuaskan diri untuk kesenangan sesaat, apalagi kemudian menjadi beban dalam masyarakat, ingatlah bahwa hidup yang demikian dapat menjadi kesaksian yang buruk bagi Kerajaan Allah. Sebaliknya, ketika kita menata keuangan kita dengan teliti dan penuh tanggung jawab, sehingga kita dapat berbagi dengan sesama dan melakukan banyak hal bermanfaat dengan uang kita, bukankah kita sedang menunjukkan kepada dunia kebesaran dan kasih Tuhan yang kita layani?

Berapa pun yang Tuhan percayakan kepada kita saat ini, yuk kita kelola sebaik mungkin. Tidak mudah. Namun, berjuanglah dengan penuh semangat! Ada hal-hal besar dan mulia yang telah disediakan Tuhan bagi setiap kita yang mau setia dalam hal-hal yang kelihatannya kecil dan sederhana. Tuhan Yesus memberkati!

Mencukupkan Diri

Oleh: Rio Susanto

merasa-cukup

Dalam menjalani hidup, setiap orang pasti memiliki yang namanya kebutuhan dan keinginan. Jujur saja sebagai orang muda, aku sendiri seringkali sulit mengontrol keinginan. Banyak hal yang begitu menggoda untuk dimiliki. Pernahkah kamu juga mengalaminya?

Contoh kasus nih. Orangtuamu mempercayakan sejumlah uang saku untuk memenuhi kebutuhan hidupmu tiap bulan. Pada awal bulan kamu melihat gadget yang sudah lama kamu inginkan. Gadget itu mahal tetapi disertai diskon dan terbatas jumlahnya. Kamu jadi tambah ingin membelinya sekarang juga, meski kamu tahu kalau kamu membelinya, uang sakumu akan tersisa sedikit dan pasti tidak cukup sampai akhir bulan. Apakah kamu akan nekat membelinya? Bukan tak mungkin dalam situasi semacam itu kita jadi galau dan akhirnya berkata, “Kapan lagi mendapat gadget idaman dengan harga yang murah, edisinya terbatas lagi. Soal uang bulanan kurang, ya dipikirin nanti-nanti aja.” Kita tidak bisa mengontrol keinginan kita. Sebaliknya, keinginan itulah yang mengontrol kita.

Rasul Yakobus mengingatkan kita, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.(Yakobus 1:14-15)”. Kita perlu menguji keinginan kita, karena bisa jadi keinginan itu membawa kita kepada perbuatan-perbuatan yang berdosa.

Lalu apakah salah bila kita menginginkan sesuatu? Haruskah kita berusaha meniadakan keinginan? Tentu saja tidak. Tuhan sendiri yang menciptakan kita untuk dapat menginginkan Dia dan segala yang baik dari-Nya. Namun, agar tidak dikendalikan oleh berbagai macam keinginan, serta dapat mengelola uang yang dipercayakan kepada kita dengan baik, setidaknya ada dua hal yang aku pelajari dari Alkitab:

1. Kita perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Tuhan.

Termasuk uang kita. Jika kita diberi uang dari orang tua setiap bulan, bukankah Tuhan juga yang telah memberkati usaha mereka sehingga dapat mencukupi kebutuhan kita? Jika kita sudah bekerja dan mendapat uang atas kerja keras kita pun, bukankah Tuhan juga yang mengaruniakan kita kesehatan dan hikmat untuk bisa bekerja?

Raja Daud pun tidak berbangga diri atas semua aset kerajaan-Nya. Ia menulis, “…kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” (1 Tawarikh 12:29).

Ketika menyadari bahwa apa yang kita punya adalah miliki Tuhan, termasuk uang kita, kita tidak akan sembarangan menggunakannya. Kita harus mengelola apa yang Tuhan percayakan sebaik mungkin untuk memuliakan-Nya.

2. Kita perlu belajar mencukupkan diri

Mencukupkan diri adalah rahasia Rasul Paulus untuk tetap bersukacita ketika ia didera banyak kesulitan bahkan harus menghabiskan hari-harinya dalam penjara. Ia menulis dalam Filipi 4:11-13:

Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan … Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Kata “mencukupkan diri” dalam bahasa aslinya berarti memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan. Paulus tidak sedang membanggakan diri, juga tidak sedang menghibur diri. Ia dapat merasa cukup dalam segala keadaan di dalam Tuhan yang memberi kekuatan kepadanya. Mencukupkan diri bukanlah hal yang mudah. Paulus sendiripun perlu sebuah proses “belajar” dalam hal ini.

Seperti Paulus, kita juga bisa belajar mencukupkan diri. Mulailah dengan meminta hikmat Tuhan dalam membedakan manakah kebutuhan yang harus dipenuhi, dan mana keinginan yang harus belajar kita kendalikan. Buatlah perencanaan dalam penggunaan uang kita, mana kebutuhan yang harus diprioritaskan, mana keinginan yang sebaiknya ditunda. Sebelum membeli sesuatu, pertimbangkanlah seberapa besar manfaatnya. Jangan sampai kita membeli sesuatu hanya karena ingin pamer, ingin dianggap gaul dan mengikuti tren yang ada. Penilaian manusia hanya sementara. Namun penilaian Sang Pemilik harta kita, itulah yang jauh lebih berarti. Kelak kita harus mempertanggungjawabkan cara kita menggunakan harta milik kita di hadapan-Nya. Mari kita gunakan dengan bijak!

Pentingnya Mengelola Uang

dari artikel Our Daily Journey: Money Matters
diterjemahkan oleh: Rio Susanto

mengelola-uang

Belum lama ini aku mengecek saldo tabunganku di bank. Jumlahnya tidak menggembirakan. Aku jadi berpikir bagaimana caranya agar uangku dapat bertambah. Di pertengahan usia 30-an, bukankah sudah seharusnya aku memiliki simpanan yang cukup untuk situasi tidak terduga? Pikiran berikutnya yang terlintas adalah: “Hmm… mungkin aku harus memotong jumlah uang persembahanku”.

Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-4), hal yang paling mengejutkan adalah ketika sang tuan, yang hartanya telah dihamburkan oleh si bendahara, justru memuji bendahara itu. Mengapa sang tuan sampai memuji pelayannya yang tidak jujur (ayat 8)? Jelas bukan karena bendahara itu melakukan sesuatu yang menguntungkan tuannya dan bukan karena tindakannya dapat dibenarkan. Bendahara itu dipuji semata-mata karena kecerdikan yang ia tunjukkan.

Dalam bahasa Yunani, kata yang diterjemahkan “cerdik” berarti “bertindak dengan penuh antisipasi”. Dengan kata lain, bendahara itu dipuji karena ia cepat bertindak untuk mengamankan dirinya di masa depan.

Sama seperti bendahara yang cerdik itu, kita juga adalah orang-orang yang dipercaya untuk melayani. Allah memercayakan sejumlah sumber daya untuk kita kelola. Apakah kita menggunakannya dengan bijaksana untuk hal-hal yang kelak akan tetap bernilai dalam masa depan kekal kita? Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah “mengikat persahabatan” dengan orang-orang yang akan berterimakasih saat menjumpai kita di surga (ayat 9). Misalnya saja, kita dapat menggunakan uang kita untuk membelikan orang Alkitab, ikut membiayai penggalian sumur bagi mereka yang kekurangan air, atau mendukung kebutuhan seorang misionaris.

Tuhan Yesus melanjutkan pengajaran-Nya tentang uang dalam ayat 10-14. Bendahara yang tidak jujur itu bukanlah contoh yang patut ditiru. Kita seharusnya menjadi hamba-hamba yang setia (ayat 10-12). Mamon atau uang tidak pernah boleh menggantikan posisi Tuhan. Kita harus mengabdi hanya kepada Tuhan (ayat 13-14).

Kiranya kita menjadi hamba-hamba yang cerdik sekaligus setia dalam mengelola simpanan, pengeluaran, dan investasi kita. Hudson Taylor mengingatkan kita, “Perkara kecil adalah perkara kecil; namun kesetiaan dalam perkara kecil adalah perkara besar.”