Posts

Tuhan Tidak Sedang Naif, Ketika Memberimu Kesempatan Kedua

Dihakimi, dinilai buruk, dan dimusuhi adalah bentuk cancel culture yang dialami seseorang dianggap berperilaku tidak menyenangkan.

Apakah kamu pernah mengalaminya? Atau justru menjadi salah satu orang yang tanpa kamu sadari “mengenyahkan” hidup orang lain?

Yuk, simak art space berikut.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dua Peser Nomor Satu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

“Kita bisa memberi tanpa mengasihi, tapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi.”

Pepatah itu tepat “menembak jantung” si tukang pamer. Ia memang sering memberi banyak hal kepada banyak orang lalu menyebarkan kegiatannya itu ke mana-mana. Sebenarnya dokumentasi tidak selalu buruk, tapi orang ini, si tukang pamer, sengaja mengunggah kegiatan-kegiatan “bantuan sosial” yang ia lakukan agar dilihat orang dan ia menerima pujian. Setidaknya, itulah motivasi utamanya. Ia tidak memberi karena Ia mengasihi. Ia ingin pamer.

Pepatah yang sama juga “menembus dada” si dia yang hanya memberi “barang-barang sisanya” untuk orang lain. Menyisihkan sesuatu untuk orang lain dan membagikannya tidak selalu buruk, tapi orang ini punya ratusan pasang sepatu bagus yang tidak sempat ia pakai sekalipun selama enam tahun terakhir. Namun yang ia lakukan adalah sengaja mengambil sepatu sobek yang bagian depannya menganga bagai mulut buaya lapar, tidak layak pakai, dan itulah yang ia berikan kepada seorang tua miskin yang berjalan tanpa alas kaki.

Dua contoh sosok di atas adalah sebuah ilustrasi, sekaligus kenyataan bahwa memberi ternyata bisa menyakiti hati Tuhan.

Dua ribu tahun lalu ada seorang janda miskin yang tidak mendapat banyak perhatian, berdiri di depan kotak persembahan. Ia kalah mempesona dibanding orang-orang yang sebelumnya ada di sana. Mereka berpenampilan menarik dan memberikan uang dalam jumlah yang besar. Ia lusuh dan hanya memberi dua peser saja (Markus 12:41-44).

Dalam perumpamaan yang dicatat oleh Lewi itu, upah yang disepakati para pekerja adalah 1 dinar untuk sehari. Satu peser sama dengan 1/128 dinar. Dengan kata lain, wanita itu seperti memasukan uang receh di kotak persembahan itu. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan, kecuali Yesus, anak si tukang kayu. Tindakan Yesus menjadi sebuah pengingat, bahwa hal-hal kecil, segala sesuatu yang dianggap sepele oleh dunia bisa menjadi “fokus utama” Tuhan.

Lagipula jangan lupa, menjadi seorang janda pada abad pertama dalam budaya itu bukan sesuatu yang mudah. Lowongan kerja tidak seterbuka hari-hari ini, apalagi untuk seorang perempuan yang telah ditinggal sang suami sepertinya.

Jadi, dapat dipastikan dua peser yang ia berikan itu adalah apa yang ia cari dengan susah payah. Orang akan berpikir, “Jika ia cukup ‘waras’, seharusnya simpan itu untuk kebutuhannya”. Ternyata ia “gila”. Namun itulah yang malah membuatnya memikat hati Sang Juruselamat.

Yesus memanggil Petrus dan yang lainnya. Sangat mungkin Ia mengejutkan mereka pada saat Ia memuji tindakan wanita itu. Bukannya kuantitas tidak penting, tetapi apa yang dapat disanjung dari kuantitas tanpa kualitas?

Jika kita mau mencoba jujur, berapa banyak dari antara kita yang mau menukar 1 buah jam Rolex asli dengan 10 buah yang palsu?

Wanita itu memberi recehan dengan kualitas tinggi. Jika ini adalah kejuaraan balap motor, ia telah meninggalkan para pesaingnya sejauh 4 putaran, padahal mereka telah melempar koin dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Sayangnya, mereka tidak sadar hasil penilaian dari tindakan mereka itu akan ditentukan oleh Juri yang tidak bisa dibohongi. Ia yang melihat jauh ke dalam isi hati manusia, Yesus dari Nazaret.

Suatu hal yang mengagumkan adalah janda ini mengajarkan kepada kita akan apa artinya “berkorban” dan “beriman”.

Ia tahu bahwa Tuhan yang ia sembah jauh lebih penting dari dirinya sendiri, dan ia mau memberi apa yang ada padanya untuk Tuhannya itu. Ini sama sekali tidak berarti Tuhan membutuhkan sesuatu dari manusia, seakan-akan Ia kekuarangan sesuatu. Ia tentu cukup pada diri-Nya sendiri. Meskipun ada begitu banyak orang yang haus akan pengakuan, Yesus secara terus terang malah melontarkan apresiasi-Nya kepada janda ini karena Yesus melihat bagaimana seorang yang dianggap kecil menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Bukankah janda itu telah merisikokan hidupnya dengan persembahan itu? Coba pikirkan, apa yang akan ia makan besok? Dengan apa ia akan bertahan hidup tanpa sepeserpun di kantongnya? Dan yang mengejutkan adalah, baginya itu urusan belakangan, Tuhan nomor satu! Jika Tuhan telah memeliharanya, maka Tuhan akan tetap memeliharanya. Sudah pasti kita tidak boleh menelan kisah ini mentah-mentah dan secara membabi buta membuat oversimplifikasi pada semua keadaan. Kisah ini tidak mendorong kita menjadi bodoh dan menolak kebijaksanaan yang Tuhan karuniakan kepada kita. Maksudku adalah, cerita tentang janda ini sedang mengajak kita untuk menempatkan Tuhan di tempat yang tidak boleh diganggu, tempat tertinggi di hati kita.

Di era modern seperti ini, memang benar kita butuh uang. Di masa yang sangat tidak menentu ini, tidak bisa dipungkiri, tabungan dapat sangat menolong. Namun yang menyedihkan adalah ketika banyak dari kita, atas nama “kebutuhan”, memberikan hal yang “asal-asalan” untuk Tuhan yang telah memberikan “segala-galanya” untuk kita.

Sebenarnya ini bukan hanya melulu tentang uang. Silakan hitung sendiri, berapa banyak waktu yang kita pakai untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan dalam seminggu?

Bukankah begitu sering kita menikmati sepanjang hari dengan terus memuaskan segala keinginan kita, lalu menyisihkan 2 menit terakhir untuk berdoa sebelum tidur? Tidak jarang, dalam dua menit terakhir yang kritis itu, mata kita sudah dalam kondisi setengah tertutup bersama mulut yang menguap-nguap setengah sadar. Beberapa orang bahkan tidak sempat mengakhiri doanya dengan “amin” karena ketiduran saat sedang berdoa, lalu bangun di pagi hari dengan mengucapkan “amin” untuk melunasi utang semalam.

Banyak sekali dari kita yang tidak merasa bersalah jika datang terlambat ke gereja. Namun saat bertemu orang yang kita anggap penting, satu jam sebelum orang itu tiba, kita sudah dengan penampilan paling rapi, seakan-akan orang itu lebih tinggi dari Yang Mahatinggi.

Tidak sedikit dari kita yang menyanyi dengan baik hanya ketika kita mengikuti perlombaan “nyanyi lagu rohani antar gereja”. Namun, saat bernyanyi dalam pertemuan ibadah biasa, tanpa juri, tanpa hadiah, menyanyi dengan moto “asal mulut terbuka saja”.

Kita bisa saja menambah deretan daftar panjang tentang segala bentuk kegagalan kita dalam memperlakukan Tuhan dan menyesali diri. Namun kurasa, tulisan sederhana ini, tindakan luar biasa si janda miskin itu, sedikit banyak telah kembali mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin yang terbaik dari kita. Ia mau milik terbaik kita: baik pemikiran, waktu, tenaga, maupun seluruh hidup kita. Bukankah Dia sudah lebih dulu memberikan apa yang paling kita butuhkan? Diri-Nya sendiri dikorbankan untuk jaminan keselamatan yang tidak akan pernah mampu dibayar dengan seluruh pencapaian yang kita punya. Kasihilah Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (Matius 22:37).

Sekali lagi, berhikmatlah, tetapi Tuhan nomor satu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya. 

Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.

Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini. 

Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya. 

Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya

1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang

Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 

Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian. 

Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. 

Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.

2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya

Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).

Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total. 

Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.

Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari. 

Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.

Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.

Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi. 

Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merespons “Tamparan” Orang Pada Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kejahatan. Kriminalitas terjadi di mana-mana. Hubungan yang hancur ada di berbagai tempat. Kita melihat berbagai berita yang membuat mata kita terbelalak dan kepala kita bergeleng terheran-heran. Ada seorang ayah yang begitu tega memerkosa anak kandungnya sendiri yang masih kecil. Ada seorang ibu yang dibunuh oleh anaknya karena tidak membelikannya gawai yang diinginkan. Dunia benar-benar telah dirusak oleh dosa.

Namun, di dalam dunia yang semengerikan ini, di mana kecurangan dan ketidakadilan seakan-akan berkuasa, kita diperintahkan Kristus untuk tetap hidup dengan penuh kasih—sesuatu yang terdengar menggelikan dan mungkin agak menjengkelkan bagi banyak orang. “Kenapa aku harus baik pada orang yang telah merusak hidupku?” Gumamku ketika difitnah oleh orang yang sering aku tolong. “Pembalasan harus lebih kejam dari perbuatan yang telah dia lakukan” adalah semboyan yang terdengar lebih masuk akal untuk mereka yang sudah dilukai berkali-kali.

Itu sebabnya pernyataan Yesus yang sangat terkenal, “Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Matius 5:39), telah membingungkan banyak orang, khususnya para pembaca masa kini. Seorang teman dari keyakinan lain bahkan menantangku untuk mempraktikannya. Apakah orang Kristen benar-benar mampu melakukannya? Jika iya, berapa kali?

Kita harus tahu bahwa bagian ini hanyalah salah satu bagian dari panjangnya khotbah Yesus di atas bukit, sehingga untuk memahaminya secara lebih komprehensif, membutuhkan ruang cukup besar karena kita harus mempertimbangkan konteks budaya pada saat itu. Oleh karena itu, aku akan mengajak kita untuk melihat beberapa titik penting yang akan membawa kita pada pengertian yang benar terhadap perkataan kontroversial Yesus yang sedang kita bahas.

Secara umum sejak pasal 5 ayat 17, Yesus mulai berbicara tentang hukum kasih. Pada momen itu, Sang Juruselamat juga mengoreksi pemahaman-pemahaman yang keliru dari orang-orang Yahudi terhadap Hukum Musa. Sebenarnya Hukum itu sengaja diberikan agar mereka dapat hidup dengan teratur dan tidak saling merugikan. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika mereka mengeksploitasi hukum-hukum yang ada itu untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Mungkin, Imamat 19:18 menjadi salah satu contoh yang paling nyata: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”. Berdasarkan ayat ini, para pengajar saat itu malah memelintirnya dengan mengajarkan “bencilah musuhmu” (Matius 5:43).

Mengatasnamakan hukum-hukum itu mereka lantas meluapkan kebencian mereka pada orang lain. Itu sebabnya, di dalam ayat 44 pada pasal yang sama, Yesus memberikan satu kalimat yang semakin membuat mereka mengernyitkan dahi, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, karena bagian ini berbicara tentang kasih, maka kita harus memberikan definisi yang benar terhadap istilah kasih sendiri. Meskipun kata “kasih” memiliki makna yang amat luas, aku tetap yakin kita akan setuju jika kasih itu tidak egois. Dengan kata lain, kasih membuat kita mengupayakan kebaikan terjadi kepada orang lain.

Tetapi yang harus dicatat, kasih sama sekali tidak mengizinkan orang lain melakukan segala sesuatu yang dia inginkan. Mengasihi bukan berarti kita membiarkan orang lain melakukan apapun yang dia mau lakukan terhadap kita bahkan jika itu melukai kita dan orang yang kita sayangi.

Jadi, kasih juga bisa terwujud dalam rupa menghukum. Semua yang sudah punya anak pasti memahaminya. Namun, kasih menghukum bukan didasari karena benci, melainkan dengan harapan agar orang yang dihukum itu menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri menjadi lebih baik, sehingga apa yang sedang dikatakan Yesus Kristus tentang memberi pipi yang lain pada saat pipi yang satu ditampar orang, bukan dimaksudkan secara hurufiah, melainkan dalam arti simbolik untuk mengajak kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ia sedang mendorong kita menjadi pribadi yang tidak suka mendendam. Malahan Dia ingin kita memberi respon berkelas pada saat kita dilukai, yaitu mengasihi!

Namun, di sisi yang lain Yesus tidak berharap kita semua menjadi bodoh. Kita tidak boleh membiarkan diri kita dan mereka yang kita cintai diperlakukan semena-mena. Melindungi diri dan orang sekitar kita adalah tanggung jawab kita. Kita juga harus tahu bahwa pada saat kita membiarkan seseorang berlaku semaunya sendiri pada kita, sama dengan membiarkannya menuju pada kecelakaan, dan itu bukan kasih. Jangan lupa, kasih juga bisa diwujudkan dalam rupa menghukum, bahkan dalam kondisi tertentu hukumannya harus keras. Tetapi sekali lagi, kita menghukum karena kita mau dia menjadi lebih baik.

Jadi, jika kita ditempatkan pada kondisi di mana kita terpaksa harus melaporkan oknum-oknum tertentu kepada pihak berwajib demi melindungi diri dan orang lain, maka lakukanlah tanpa kebencian. Berdoalah juga untuk melepaskan pengampunan.

Lagipula ada satu peristiwa dalam Injil Yohanes yang tidak boleh lolos dari pengamatan kita, yaitu respon Yesus ketika Dia ditampar oleh seorang bawahan si Imam Besar (Yoh. 18:23). Alkitab sama sekali tidak memberikan keterangan bahwa setelah Yesus ditampar, Ia menawarkan pipi-Nya yang lain. Ia memang mengajukan beberapa pertanyaan, tetapi Ia tidak membenci. Ia tidak mendendam. Dan Ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.

Yang aku tidak habis pikir mengapa Sang Penguasa jagad raya, Allah yang berkuasa atas semua nyawa, membiarkan diri-Nya ditampar oleh ciptaan-Nya, bahkan dibunuh, untuk aku. Aku tidak habis pikir, tetapi itulah keagungan kasih-Nya yang melampaui segala akal dan pengertianku

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

4 Cara Menghadapi Seseorang yang Berbeda Pendapat Denganmu

Tahun ini sudah semakin mendekati ujungnya, dan sepanjang masa ini tentunya kamu bertemu dengan beragam orang yang pendapat, cara pikir, atau opininya berbeda darimu.

Bagaimana caranya supaya kita tetap menghormati mereka yang berbeda pendapat? Yuk kita simak beberapa tips sederhana yang diilustrasikan dalam wujud dua hewan nan lucu ini.

Karya seni ini dibuat oleh YMI.

Dari Danny, Aku Belajar Mengasihi Tanpa Syarat

Oleh Nerissa Archangely, Tangerang

Adikku bernama Danny, usianya 25 tahun. Dia anak yang istimewa dengan retardasi mental, tapi satu yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat bicara, pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, atau kadang dipukul, dia tetap saja bisa tertawa. Rumah kami pun selalu ramai kalau ada Danny.

Namun, perubahan besar terjadi saat mamaku mendapat serangan stroke. Beliau lumpuh separuh badan dan sulit bicara. Kejadian itu terjadi di Februari 2020, beberapa hari sebelum Imlek. Papaku yang sangat syok dan depresi juga jadi sulit melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Danny yang biasanya mendapatkan perhatian dan asuhan penuh dari kedua orang tua pun jadi terlantar. Akhirnya, kami sekeluarga berembuk dan dengan berat hati kami menitipkan Danny di sebuah panti rehabilitasi Bethesda yang dikelola oleh Ps. Irwan Silaban, MARS (Manajemen RS) di Bogor. Namun belum genap satu bulan, kami dihubungi panti untuk menjemput Danny di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi (RSMM). Alasannya, Danny sudah empat hari lebih tidak makan. Dia mengalami perburukan gizi, badannya lemas. Saat itu dia diinfus dan dipasangi selang untuk mensuplai makanan ke dalam tubuhnya.

Berbekal info tersebut, aku dan suamiku pergi ke sana untuk melihat Danny secara langsung. Keadaan Danny rupanya lebih buruk dari gambaran kami. Danny terbaring lemas sulit bergerak, tidak bisa bicara. Tawanya kini berganti dengan erangan tertahan, terlebih ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Bahkan, didapati ada kerusakan fungsi liver. Kami putuskan untuk merawat Danny sementara di sini sampai fisiknya pulih. Saat itu, virus Covid-19 sudah menyebar di Indonesia dan RSMM pun sempat menerima pasien suspect corona. Hingga tanggal 10 April 2020, Danny diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena intake (kebutuhan gizi) dan fungsi organ vital lainnya sudah stabil.

Karena kondisi orang tua yang tidak memungkinkan lagi untuk merawat Danny, maka aku dan suamiku sepakat untuk merawat Danny di rumah kami. Sangat tidak mudah awalnya, karena kami memang bukan tenaga ahli seperti perawat khusus orang sakit atau homecare. Di tahun ketiga pernikahan kami, di saat kami mengharapkan adanya bayi di tengah keluarga kecil kami, kami seolah-olah mendapatkan ‘bayi besar’ yang setiap hari harus diberi susu, diganti popoknya, dimandikan, dijemur, dan sebagainya. Tapi, anugerah Tuhan tak pernah habis. Aku belajar banyak dari perawat di rumah sakit hingga aku bisa memasang selang NGT sendiri, memandikan di tempat tidur, membersihkan mulut dengan kasa, mengganti popok dengan benar, dan lainnya. Aku juga bersyukur suamiku siap sedia untuk membantu, walau memang awalnya kami jadi sering bertengkar karena selain kesulitan merawat Danny, kami juga khawatir terhadap kedua orang tua kami yang rapuh di tengah masa pandemi. Orangtuaku dirawat oleh adik lelakiku di Tangerang. Bukan hanya kami lelah secara fisik, namun kami juga dirundung oleh beban mental yang besar: khawatir akan kesehatan orang tua dan apakah adikku sanggup merawat mereka seorang diri. Bahkan ada masa-masa di mana aku merasa sangat tertekan hingga tak bisa melihat Allah dan rasanya ingin mati saja. Tapi, dengan segala cara yang ajaib, Tuhan tetap merengkuhku kembali.

Saat dirawat di RSMM itu memang ada indikasi pendarahan di otak Danny serta cedera lainnya, namun kami tak pernah menyangka bahwa bahu kanan Danny ternyata mengalami dislokasi dan open fracture. Hingga sekitar akhir April, kami perhatikan ada memar di bahu kanannya yang berujung pada pembengkakan dan sepsis (nanah yang sudah menginfeksi seluruh tubuh) pada 2 Mei 2020. Kami segera membawa Danny ke RS Medika BSD untuk mendapat penanganan pertama. Diperlukan ICU untuk operasi, tapi tak ada tempat tersedia di sana. Terpaksa kami harus menunggu 3 hari untuk mendapat rujukan. Tak hanya itu, kami juga dihadapkan dengan fakta lain. Danny sempat melalui rapid test Covid-19 dan CT-Scan paru-paru. Hasil CT-Scan menunjukan ground-glass opacification/opacity (GGO), sebuah indikasi kuat dari infeksi Covid-19. Kami menghubungi seluruh rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya, namun semuanya menolak karena alasan suspect infeksi Covid-19 dan kompleksnya kondisi Danny (ada open fracture bahu, sepsis, dan anak kebutuhan khusus). Pihak RS Medika menyarankan kami untuk membawa Danny langsung ke RSUP Fatmawati yang punya fasilitas lebih lengkap.

Tanggal 5 Mei 2020, akhirnya Danny dibawa ke IGD RSUP Fatmawati sendiri—tanpa ambulans—dan sungguh karena anugerah Tuhan, dia bisa mendapatkan ruang ICU besoknya. Sebelumnya, Danny membutuhkan darah karena sel darah putihnya semakin meningkat akibat infeksi. Ini membuat sel darah merahnya sangat kurang, sehingga sangat berisiko jika dia dioperasi tanpa ada transfusi darah. Awalnya kami ragu akan dapat donor dengan cepat, terlebih karena stok di PMI pusat pun kosong. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang enggan mendonorkan darah. Tetapi jalan Tuhan tidak pernah buntu. Lewat pesan broadcast di Twitter, Instagram dan WhatsApp grup serta dibantu oleh rekan-rekanku sewaktu di PMK POMITI dulu, akhirnya kami bisa mendapatkan donor yang diperlukan. Pihak RS membutuhkan minimal 3 orang sebagai pendonor tapi Tuhan yang Maha Pemurah menyediakan sampai 4 orang. Tuhan seolah ingin menyampaikan bahwa rencana-Nya untuk Danny masih belum usai.

Tuhan terlebih-lebih menyayangi Danny. Tuhan memanggil Danny pulang pada 8 Mei 2020 jam 7 pagi. Sekarang Danny tidak lagi merasakan sakit dan sesak. Danny bisa tertawa lagi bersama Bapa di Surga.

Pemakaman Danny sungguh sepi. Tiada musik, tiada karangan bunga, tiada arak-arakan, bahkan kami pun tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Tapi kami yakin Allah Bapa telah menyiapkan pesta meriah untuk kepulangannya. Mungkin dunia menolak Danny, tapi tangan Bapa terbuka lebar menyambut Danny.

Awalnya aku bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menjadikan Danny hadir di dunia ini? Mengapa Tuhan izinkan Danny ‘berbeda’?

Kini aku mengerti. Lewat Danny, Tuhan mengajariku untuk bisa mengasihi tanpa syarat, kepada siapa pun, sesulit apa pun situasinya. Hidup Danny walau singkat, memberiku kesan mendalam. Aku tak akan pernah lupa pelajaran hidup dari adikku yang istimewa ini.

Aku pribadi amat bersyukur atas setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Bahkan sampai saat ini pun aku merasa aku orang yang amat beruntung. Di tengah situasi yang luar biasa sulit, Tuhan yang penuh kuasa memberikan orang-orang yang luar biasa pula, yang dipakai-Nya untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya.

Suamiku, Indra, dia sosok yang sabar mendampingiku. Dia mendukungku di masa-masa terkelamku, tetap mengasihiku dalam kondisi apa pun. Sungguh aku amat beruntung dikasihi dan memilikinya sebagai teman hidupku.

Mertuaku sekeluarga, juga sangat luar biasa mendukung kami secara fisik maupun mental. Aku tahu dari mana kebaikan suamiku berasal. Papa dan mama mertuaku sungguh istimewa, betapa aku beruntung dan bersyukur bisa memanggil mereka ‘papa’ dan ‘mama’.

Keluarga kecilku di guru-guru sekolah Minggu GKY BSD, Laoshi Wiwi sebagai pembina dan secara khusus partner-ku di kelas 2 siang, kalian sungguh luar biasa. Sungguh ucapan terima kasihku rasanya tak cukup membalas setiap chat, telepon, dukungan dana, dan bahan pangan sehari-hari, serta setiap bentuk perhatian yang dicurahkan. Kehadiran mereka ibarat lilin-lilin kecil yang menerangi hatiku yang gelap dan lembab di tengah keterpurukan.

Juga kelompok kecilku sejak di PMK kampus. Meskipun kami hanya berlima, tapi berdampak besar. Meski kami berjauhan, tapi Tuhan selalu mendekatkan hati kami.

Bahkan, Tuhan juga memakai mereka yang belum percaya, dan juga orang-orang yang baru kukenal via media sosial, yang bermurah hati untuk membantu dari segi dana dan siap menjadi pendonor bagi Danny. Betapa Tuhan juga bermurah padaku dengan mengaruniakan seorang atasan yang peduli, penuh pengertian serta suportif terhadap kondisi yang aku alami, sehingga tanggung jawab pekerjaanku dilonggarkan ketika sedang merawat Danny.

Aku tahu kondisi Covid-19 tidak bisa dianggap remeh, tapi aku tahu Tuhan kita Yesus Kristus jauh lebih hebat daripada virus itu. Di atas segala-galanya, Dialah tabib segala tabib yang mampu menyelamatkan bukan hanya fisik, namun jiwa kita pun sanggup Dia selamatkan.

Ayub 1:21 berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Arti Sesungguhnya Mengasihi Seseorang

Hari ke-2 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:9-11

1:9 Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian,

1:10 sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus,

1:11 penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.

Beberapa waktu lalu, seorang temanku mengirimiku chat yang panjang, ia sedang merasa frustrasi. Aku tidak nyaman dengan konflik—terutama ketika kondisinya tidak melibatkanku. Maka meskipun aku tahu aku harus menolong temanku itu, aku tidak tahu bagaimana caranya.

Suamiku mendorongku untuk meneleponnya, namun aku tidak menyukai pembicaraan melalui telepon. Aku tergoda untuk membiarkan perasaanku mengalahkan kepedulianku terhadap temanku, dan mengabaikannya begitu saja.

Namun, jika aku benar-benar mengasihi saudariku dalam Kristus, aku seharusnya memilih untuk berada di sampingnya. Aku pun memberanikan diri untuk meneleponnya, ternyata itu berdampak positif bagi kami berdua.

Menyatakan kasih dalam puji-pujian di hari Minggu atau melalui hashtag di Instagram memang mudah. Tetapi, cara tersebut bisa menjadi cara yang dangkal jika tidak disertai dengan tindakan nyata dari kasih tersebut. Terkadang kita memiliki niat yang baik, tapi kita tidak tahu bagaimana cara menyatakannya itu melalui tindakan.

Untungnya, Paulus meneladankan aplikasi praktis dari kasih ini. Dalam suratnya, ia mengekspresikan rasa syukurnya atas jemaat Filipi, dan menjelaskan bagaimana ia seringkali berdoa untuk mereka. Paulus membagikan detail doanya dalam ayat 9-11.

Dua frasa yang sangat menonjol bagiku adalah “pengetahuan” dan “segala macam pengertian”. Kata pengetahuan yang digunakan disini bukan hanya sekadar kumpulan fakta-fakta. Bahasa Yunaninya, “epignosis”, memiliki arti jenis pengetahuan yang berdampak pada pikiran dan hati, yang menuntun pada aplikasi yang personal dan relasional. Paulus menggunakan kata ini setiap kali ia mendorong para pembacanya untuk mengetahui/mengenal Tuhan (Efesus 1:17; Kolose 1:9-10; Filemon 6).

Istilah yang kedua, segala macam pengertian, dapat diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan. Itu adalah kemampuan untuk melihat hal-hal yang benar-benar penting, dan mengetahui hal terbaik untuk dilakukan di setiap situasi.

Paulus mengatakan bahwa seiring kita mengenal Allah dengan lebih baik, kasih kita pada-Nya dan orang-orang lain akan semakin mendalam dengan sendirinya dan terwujudnyatakan dalam kehidupan. Kasih tersebut adalah kasih yang tanggap, dan sangat penting bagi perjalanan spiritual kita, hingga Paulus juga menyinggung perlunya bertumbuh dalam kasih ini dalam surat-suratnya yang lain (1 Tesalonika 3:12).

Kasih yang bijak tidak berhenti dalam pikiran. Kasih itu akan membentuk sikap dan perilaku kita. Kecenderungan alamiku adalah menjauh dari situasi yang sulit. Namun pengetahuanku akan perintah Kristus untuk mengasihi sebagaimana Ia mengasihi kita—dan mengetahui dengan jelas apa yang akan Kristus lakukan di dalam situasi tersebut—meyakinkanku untuk menelepon temanku.

Ketika kita mampu mengenali apa yang benar, kita akan mampu membuat keputusan yang “kudus dan tidak bercacat” yang sejalan dengan firman Tuhan dan sifat-Nya. Hidup seperti inilah yang akan menghasilkan buah-buah yang baik dan memuliakan Tuhan.

Aku lega karena mengetahui kitab Filipi menunjukkan pada kita bahwa ada cara untuk menumbuhkan kasih. Jika tidak, aku hanya akan mengandalkan pemahamanku sendiri tentang cara mengasihi—pemahaman yang aku tahu tidak cukup baik. Sebagai permulaan, kita dapat membudayakan kasih seperti yang Paulus tuliskan—kasih yang dibentuk melalui pengetahuan dan segala macam pengertian—dengan cara membaca dan merenungkan firman Tuhan, mengambil waktu untuk berdoa, belajar dari para mentor dan pemimpin, dan dengan menjadi pendengar dan pemerhati yang lebih baik bagi orang-orang di sekitar kita.

Mari izinkan diri kita untuk mengambil langkah untuk menumbuhkan kasih yang bijaksana. Mari kita berkomitmen untuk mengenal Tuhan lebih lagi, dan mengizinkan-Nya untuk mengubah kasih kita menjadi kasih yang tidak mudah digoyahkan oleh keadaan ataupun perasaan. Mari kita bertumbuh hari demi hari, bagi kemuliaan Allah.—Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikirkan sesorang yang kamu kenal yang bijak dan penuh kasih. Pernahkah kamu mendapat nasihat yang didasari oleh “kasih” dan “pengetahuan”?

2. Hal-hal apa yang biasanya kamu doakan? Apakah kamu berdoa untuk nilai, kondisi finansial, dan relasi yang baik—atau kamu berdoa agar bertumbuh dalam kasih, kearifan, dan sifat-sifat yang benar?

3. Bagaimana doa Paulus dalam surat ini menantang caramu melihat hal yang penting dalam hidupmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain menyuikai coklat, kue-kue, dan cerita-cerita luar biasa dari orang biasa. Charmain juga menyukai kejutan-kejutan kecil namun berarti yang Tuhan berikan untuknya setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Tetap Mengasihi Sahabat, Meskipun Dia Berlaku Buruk Padaku

Oleh Maxentia Septrierly, Semarang

Sewaktu SMA dulu aku berteman dekat dengan seorang laki-laki, sebut saja namanya Marvin. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama, mulai dari ekstrakurikuler sampai persekutuan bersama. Aku senang berteman dengannya. Dia seorang yang humoris, pintar, dan penampilannya menarik. Persahabatan kami diisi dengan tawa dan canda. Kadang kami bertengkar, tapi selalu baik kembali. Hingga suatu ketika ada hal yang membuat persahabatan ini kandas.

Meski relasi kami erat, aku menganggapnya sebagai sahabatku. Dalam ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja yang kami ikuti bersama, aku ingin kami bisa mengikuti lomba dan meraih juara bersama. Namun, kedekatan kami berdua sebagai sahabat rupanya disalahartikan oleh teman-temanku. Mereka pikir kami berpacaran. Desas-desus tersebut membuat Marvin tidak nyaman dekat denganku.

Suatu hari, aku mendengar teman sekelasku berbisik. Mereka memberi saran pada Marvin untuk menghapus fotoku dengannya saat hari Hartini di akun Instagramnya. Setelah itu, aku melihat sikap Marvin yang berubah. Aku pun bertanya padanya, apakah ada yang salah denganku? Pertanyaan itu dijawabnya dengan bentakan. Pikiranku kacau dan aku pun menangis, padahal hari itu aku ingin memfokuskan diriku untuk mengikuti persekutuan. Beberapa temanku kemudian menghiburku.

Semenjak hari itu, relasi persahabatan kami yang semula erat jadi renggang. Aku sering menangis. Namun, puji Tuhan. Dalam kesedihanku itu, ada penghiburan yang kudapatkan ketika aku mengikuti retret. Aku diingatkan bahwa kedekatanku dengan sahabatku dulu pernah membuatku jadi menjauh dari Tuhan. Aku memang sering ikut persekutuan bersama, tapi aku jarang berdoa. Sepulang retret, aku mengambil komitmen untuk memperbaiki relasiku dengan Tuhan, mengampuni perlakuan buruk sahabatku, dan belajar mengasihinya dalam kondisi apapun.

Aku pun menjalani hari-hariku seperti biasa. Jika bertemu Marvin, aku menyapanya. Aku meminta maaf padanya apabila ada kesalahan-kesalahan yang telah kubuat. Meski sampai saat ini sikapnya tidak berubah, tapi di sinilah aku benar-benar belajar untuk mengasihinya. Aku menemukan dua ayat yang menolongku untuk tetap mengasihi orang yang telah menyakitiku.

Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).

Tuhan telah mengasihaniku dan mengampuniku dari kesalahan-kesalahanku, maka aku pun belajar untuk mengasihi orang lain dan mengampuni sahabatku atas sikap buruknya kepadaku. Kasih itu tidak hanya diungkapkan lewat kata-kata saja, namun juga lewat sikap hati kita kepada saudara-saudari kita. Aku bersyukur, dari persahabatanku dengan Marvin, aku belajar untuk mempraktikkan kasih tersebut. Aku belajar untuk mengampuni dan mendoakannya.

Aku percaya bahwa di dalam doaku Tuhan bekerja untuk melembutkan hati sahabatku. Bukan aku yang dapat mengubah seseorang, tetapi Tuhan saja yang mampu menyentuh hati dan mengubahkannya.

Baca Juga:

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Meski keluargaku penuh kasih sayang, aku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Aku selalu ingin diprioritaskan oleh mereka, hingga akhirnya tak jarang aku pun jatuh dalam kekecewaan.