Posts

GitaKaMu: Walau Ku Tak Dapat Melihat

Mungkin beberapa dari kita sudah sering mendengar lagu yang dilantunkan Grezia Epiphania ini. Tetapi jujur, baru awal tahun 2015 aku mengetahui keberadaannya (kudet nih.. hehehe). Kalimat demi kalimat dalam lagu ini membuatku terpana saat pertama mendengarnya karena begitu sesuai dengan pergumulan yang sedang kuhadapi.

Hari itu aku sedang dilanda kecewa. Harapan dan impianku untuk melanjutkan studi di sekolah musik harus kandas. Padahal, semua usaha telah kulakukan. Mulai dari berlatih keras, kursus ke sana-sini, berdoa, sampai akhirnya berhasil lulus ujian penerimaan mahasiswa baru. Namun, tanpa disangka-sangka keluarga kami dilanda masalah ekonomi, dan mau tidak mau aku harus melepaskan kesempatan emas itu. Aku merasa sangat terpuruk. Entah sudah berapa banyak air mata mengalir dan pertanyaan yang kuserukan kepada Tuhan. Jelas aku sangat berharap mendapatkan mukjizat. Namun, situasiku tidak berubah sama sekali.

Melalui lagu ini, Tuhan memberi jawaban sekaligus penghiburan bagiku. Tidak hanya karena melodi dan iringan musiknya yang indah, tetapi juga karena kesaksian penyanyinya. Pelantun lagu ini, Grezia, adalah gadis kecil yang terlahir dengan selaput di matanya sehingga ia tidak bisa melihat, namun ia menjalani hidup dengan penuh syukur dan pujian. Aku diingatkan bahwa Tuhan dapat berkarya melampaui segala keterbatasan manusia. Sebab itu, kita perlu mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan yang Mahabesar dan Mahakreatif, bukan kepada masalah demi masalah yang menyurutkan semangat kita. Walau kita tidak bisa melihat dan memahami semua rencana Tuhan, tetapi kita memilih untuk memercayakan segenap hidup kita kepada-Nya, karena kita tahu bahwa masa depan kita ada di tangan-Nya, rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera dan penuh harapan (Yeremia 29:11).

Lagu ini juga menolongku untuk memeriksa hatiku di hadapan Tuhan. Apakah aku mengasihi Tuhan dengan segenap hatiku, apapun situasi yang Dia izinkan aku alami? Ataukah aku hanya mengasihi-Nya bila semua keinginanku dipenuhi-Nya? Apakah aku memandang Tuhan sebagai Raja yang berdaulat atas hidupku, ataukah sebagai “pelayan” yang harus menuruti mauku? Seperti sebuah kutipan bijak yang pernah kubaca: ”Ketulusan hati kita akan terbukti, ketika kita tidak memperoleh apa yang kita kehendaki”.

 
Lirik:
Ku sadar tak semua dapat aku miliki di dalam hidupku
Hatiku percaya rancangan-Mu bagiku adalah yang terbaik
Walau ku tak dapat melihat semua rencana-Mu Tuhan
Namun hatiku tetap memandang pada-Mu
Kau tuntun langkahku
Walau ku tak dapat berharap atas kenyataan hidupku
Namun hatiku tetap memandang pada-Mu
Kau ada untukku

5 Hal Baru yang Kupelajari dari Kisah Orang Samaria yang Murah Hati

Oleh: Tri Setia Kristiyani

5-pelajaran-dari-orang-samaria

Apa yang kamu pelajari dari “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati” yang terkenal itu? Biasanya aku mendengar nasihat untuk berbuat baik tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong. Namun, ketika aku membaca sendiri catatan Alkitab tentang kisah tersebut (Lukas 10:25-37), ternyata ada banyak hal menarik yang bisa kupelajari.

1. Berbicara tentang kebenaran tidak menjamin seseorang memiliki hati yang benar.
Menarik untuk memperhatikan bahwa kisah ini ternyata merupakan sebuah perumpamaan yang diceritakan Yesus sebagai jawaban atas “pertanyaan tidak tulus” dari seorang ahli Taurat (Lukas 10:25). Pakar Kitab Suci itu sengaja hendak mencobai Yesus! Ia tidak benar-benar ingin tahu tentang kebenaran, ia hanya ingin menguji Yesus di depan banyak orang. Dalam catatan Lukas sebelumnya, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memang bermaksud mencari-cari kesalahan Yesus (Lukas 6:7,11). Hari ini, kita pun bisa berdiskusi tentang kebenaran dengan motivasi keliru. Kita tidak sungguh-sungguh ingin tahu tentang kebenaran, tetapi hanya ingin memuaskan hasrat intelektual kita, menjebak lawan bicara kita, atau bahkan mempermalukannya di depan orang.

2. Khatam Kitab Suci tidak menjamin perubahan karakter
Dari percakapan yang dicatat Lukas, kita tahu bahwa sang ahli Taurat sangat menguasai isi Kitab Suci-nya. Ia bisa mengutip dengan benar hukum yang utama, yang merangkum semua hukum lainnya (lihat Matius 22:37-40). Namun, ketika ia diminta menerapkan apa yang diketahuinya, ia malah berkelit. “Siapakah sesamaku manusia?” katanya “untuk membenarkan diri” (ayat 29). Bisa jadi kita pun sudah mendengar kebenaran berkali-kali, namun terus mencari pembenaran diri untuk tidak melakukannya.

3. Aktif melayani tidak sama dengan menaati Firman Tuhan
Sang ahli Taurat mungkin terperangah dengan jawaban yang diberikan Yesus. Dua tokoh dalam perumpamaan Yesus adalah orang-orang terkemuka dalam komunitas Yahudi. Seorang imam, dan seorang Lewi, suku yang dikhususkan untuk melayani Bait Allah. Mereka tahu betul tentang hukum-hukum Allah, bahkan selalu memperkatakan kebenaran di depan umat Allah. Sayangnya, keterlibatan aktif dalam pelayanan tidak berarti seseorang menaati Firman Tuhan. Ketika diperhadapkan pada kebutuhan sesamanya, baik sang imam maupun orang Lewi, sama-sama tidak mau mempraktikkan kebenaran yang mereka ketahui dan beritakan. Mungkin mereka takut mengambil risiko menolong orang yang belum mereka kenal. Lagipula, mungkin mereka sangat sibuk dan sedang terburu-buru. Bukankah kita pun kerap demikian? Keaktifan kita melayani bukan jaminan bahwa kita selalu menaati Firman Tuhan.

4. Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama manusia, bukan manusia yang sama dengan kita.
Perumpamaan ini adalah jawaban Yesus atas pertanyaan sang ahli Taurat: “Siapakah sesamaku manusia?” Ia mungkin berharap Yesus akan menyebutkan kriteria tertentu, yang kemudian bisa disanggahnya. Tetapi, Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Orang Samaria adalah keturunan Yahudi yang sudah berdarah campuran, sehingga dihindari oleh orang Yahudi asli. Namun, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang memberikan pertolongan. Sungguh sebuah contoh yang dramatis! Orang yang ditolongnya bukan hanya berasal dari kaum yang berbeda, tetapi yang selama ini juga menghina dan mengasingkan kaumnya! Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Mengasihi sesama manusia bukan karena mereka sama dengan kita, atau berbuat baik kepada kita, tetapi karena Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih-Nya kepada sesama kita. Dan, itu berarti termasuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.

5. Kita membutuhkan kasih karunia Tuhan untuk memampukan kita mengasihi orang lain.
Yesus meminta sang ahli Taurat meneladani perbuatan orang Samaria yang murah hati (ayat 37). Sebuah perintah yang tidak mudah. Jangankan mengasihi orang yang memandang kita sebelah mata, orang dari kelompok yang sama pun belum tentu mudah untuk dikasihi. Betapa kita semua butuh kasih karunia Tuhan untuk dapat menaati perintah-Nya. Kupikir, sulit untuk benar-benar mengasihi jika kita sendiri belum mengalami kasih Allah. Kita hanya akan baik kepada orang yang juga baik terhadap kita, atau karena kita punya kepentingan tertentu. Namun, ketika kita mengingat kasih Allah kepada kita yang berdosa—Kristus mati ganti kita yang seharusnya mendapat hukuman kekal—kita pun digerakkan dan dimampukan untuk mengasihi sesama dengan tidak tanggung-tanggung, termasuk mereka yang dalam pandangan dunia tidak layak untuk dikasihi.

Kisah “Orang Samaria yang Murah Hati” bukan sekadar kisah teladan menolong orang lain tanpa pamrih. Kisah ini seperti cermin yang menunjukkan tembok-tembok keangkuhan diri yang membuat kita cenderung mencari pembenaran diri, tidak menjalankan kebenaran yang sudah berkali-kali kita dengar, menutupi ketidaktaatan kita dengan berbagai aktivitas pelayanan, atau mendefinisikan perintah Tuhan sesuai dengan standar penilaian kita sendiri. Betapa perlu Tuhan menghancurkan tembok-tembok keangkuhan itu agar kita dapat benar-benar mengasihi sesama seperti diri sendiri, sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

Sampah dan Sakumi

Oleh: Melody Tjan

sakumi-dan-sampah

“Eitt, jangan dibuang dulu!” Sakumi meraih kotak jus yang sudah siap kulempar ke tempat sampah. Aku tersipu malu. Tinggal di asrama sekolah bersama para pelajar dari berbagai negara mengajarku tentang banyak hal. Salah satunya tentang betapa kurangnya aku memikirkan urusan membuang sampah. Sudah beberapa bulan satu asrama dengan Sakumi yang super rapi dan bersih pun belum membuatku otomatis memilah sampah menurut jenisnya. Padahal, bagi Sakumi dan teman-teman lain yang berasal dari Jepang, memilah sampah itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Kotak bekas jus itu dicuci bersih agar tidak mengundang semut datang, lalu dikeringkan dan dilipat, dikumpulkan bersama sampah sejenis dalam satu tas. Saat ada waktu keluar, Sakumi akan membawa semua itu ke tong sampah khusus yang memang sudah disediakan pihak sekolah untuk sampah plastik dan kertas. Lumayan repot menurutku. Di Indonesia kebanyakan kita membuang segala jenis sampah di satu tempat yang sama. Mudah dan praktis. Tugas memilah sampah biarlah menjadi urusan para petugas sampah. Lagipula, kan tidak ada larangan untuk membuang segala jenis sampah di tempat yang sama, baik oleh negara atau agama. Beda dengan negeri asal Sakumi.

Namun, rupanya bukan aturan hukum di Jepang yang membuat Sakumi dan teman-temannya disiplin memilah dan membuang sampah pada tempatnya. “Kita harus memikirkan orang lain,” Sakumi menjelaskan alasan di balik kedisiplinannya. Tak seharusnya kita menciptakan sumber bau busuk dan penyakit bagi orang lain. Sebagian sampah juga mengandung bahan kimia, yang bisa saja kemudian dikonsumsi hewan, dan kemudian meracuni manusia yang memakannya. Jepang sendiri memang pernah mengalami masalah besar di tahun 1970-an, ketika sampah industrinya mencemari perairan dan menyebabkan ribuan orang keracunan saat mengkonsumsi ikan. Menanggapi hal itu, sejumlah orang lalu memulai gerakan masyarakat peduli lingkungan. Melalui “choinakai” (semacam asosiasi pengurus wilayah yang dibentuk oleh masyarakat sendiri) di tiap-tiap daerah, mereka menggalang kesadaran orang untuk mengurangi sampah (reduce), menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai (reuse), dan mendaur ulang (recycle), demi kebaikan bersama. Dua puluh tahun setelahnya, setelah makin banyak masyarakat yang peduli, barulah pemerintah mengeluarkan undang-undang sebagai payung hukumnya. Tak heran bila warga Jepang seperti Sakumi tetap disiplin dalam mengelola sampah meski tidak sedang berada di wilayah negaranya. Di Jakarta, aku bahkan membaca sejumlah tulisan tentang komunitas orang Jepang yang berinisiatif membersihkan sampah di beberapa tempat umum secara berkala. Sikap mereka muncul dari hati yang mau peduli dengan orang lain, jauh sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Orang Jepang malu bila sampai melakukan hal-hal yang bisa merugikan sesama.

Jujur saja saat membuang sampah aku jarang memikirkan orang lain. Apakah caraku membuang sampah bisa membuat orang lain terganggu atau tidak, kena dampak yang merugikan atau tidak, aku hampir tidak pernah ambil pusing. Apakah kemudian kebiasaan buang sampahku akan membuat rantai pengolahan sampah menjadi lebih panjang atau memakan biaya yang lebih besar, itu ya bukan urusanku, tapi pemerintah dan para petugas kebersihan. Urusanku sendiri sudah terlalu banyak. Masak disuruh mikirin orang lain lagi? Sakumi dan kepeduliannya yang tinggi pada sesama membuatku banyak berpikir ulang tentang hal ini. Sebagai seorang perawat yang telah melayani di sejumlah negara melalui lembaga-lembaga kemanusiaan, Sakumi kerap menyaksikan orang-orang yang menderita gara-gara sampah yang tidak dikelola dengan baik. Sebagai seorang Kristen, Sakumi tahu, ia tidak bisa menutup mata melihat sesama yang menderita. Ya, kita yang mengaku pengikut Kristus, diminta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Bagaimana mungkin kita mengasihi jika kita tak mau ambil peduli?

Seorang pendeta pernah ditanyai, mengapa orang Kristen harus repot-repot memelihara lingkungan jika Alkitab sendiri berkata bahwa dunia ini nantinya akan “hangus dalam nyala api” (2 Petrus 3:10)? Pendeta itu balik bertanya. Bila kamu tahu bahwa dalam 30 tahun lagi rumahmu akan hancur, apakah kamu lantas tidak akan merawat rumah itu selama kamu tinggal di situ? Bila kamu tidak merawatnya dengan baik, tentu saja kamu tidak sedang mengasihi dirimu dan orang-orang yang tinggal bersamamu. Kupikir ini jawaban yang sederhana dan bijak. Benar bahwa bumi kita akan berlalu. Namun, selama kita tinggal di atasnya, kita diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk mengelolanya dengan baik, untuk kebaikan kita dan sesama kita! Sungguh sebuah alasan yang jauh lebih kuat daripada sekadar rasa takut pada aturan atau rasa malu pada komunitas!

Mungkin kebanyakan kita tidak akan menjadi seorang tokoh lingkungan hidup yang mengubah wajah seluruh negeri. Tapi kita bisa memulai dari hal yang sederhana. Mengurangi sampah plastik yang katanya sukar diuraikan itu misalnya bisa dimulai dengan membiasakan diri membawa kantong sendiri saat berbelanja, atau wadah makan dan minum sendiri untuk kebutuhan yang rutin. Ikut mendukung gerakan daur ulang bisa dimulai dengan memilah sampah menurut jenisnya agar mudah diproses lebih lanjut. Bagi yang punya energi dan kreativitas lebih, bisa memikirkan cara-cara mengolah sampah menjadi bahan-bahan yang bernilai guna. Tak perlu menunggu aturan pemerintah ditegakkan. Kita bisa memulainya dari lingkungan tempat kita tinggal dan beraktivitas. Apapun bentuknya, kepedulian kita terhadap lingkungan dapat menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tidak hanya bagi generasi ini, tetapi juga bagi generasi mendatang. Akankah aku dan kamu mau peduli?

Sharing Lagu: Dengan Seg’nap Hatiku

Lagu pembuka di salah satu ibadah doa malam yang aku ikuti beberapa waktu yang lalu berjudul With All My Heart, ciptaan Babbie Y.Mason. Sebenarnya ini bukan lagu asing buatku, aku pernah mempelajarinya ketika mengikuti paduan suara beberapa tahun yang lalu. Tapi saat belajar, aku lebih berfokus pada not-not yang ada di kertas partitur daripada memperhatikan liriknya.

Malam itu, ketika singers mulai menyanyikannya, entah kenapa aku mulai memperhatikan kalimat demi kalimat yang dinyanyikan.

In this quiet place with You
I bow before Your throne
I bare the deepest part of me
To You and You alone

terjemahan:
Teduh di sini bersama-Mu
sujud depan takhta-Mu
kucurahkan isi hati
hanya kepada-Mu

Bagian ini tidak terlalu sulit untuk dinyanyikan. Berdiam diri di hadapan Tuhan bukan sesuatu yang asing buatku, menceritakan apa yang menjadi isi hatiku terdalam kepada Tuhan.

I keep no secrets for there is
No thought You have not known
I bring my best and all the rest
To You and lay them down

terjemahan:
Tak ada yang kusembunyikan
Kau kenal pikiranku
yang terbaik, dan s’mua yang kupunya
kus’rahkan di mezbah-Mu

Ya, aku tak bisa menyimpan rahasia apapun dari Tuhan. Karena Tuhan jelas tahu hidupku, bagian terdalam dari hatiku. Aku bawa yang terbaik dan seluruh hidupku kepada Tuhan dan meletakkannya di mezbah Tuhan.

With all my heart I want to love You Lord
And live my life each day to know You more
All that is in me is Yours completely
I’ll serve You only with all my heart

terjemahan:
D’ngan s’g’nap hati ku mau cinta-Mu, Tuhan
setiap hari makin mengenal-Mu
Hidupku sep’nuhnya hanya milik-Mu
Ku ‘kan m’layani-Mu s’g’nap hatiku

Sampai pada bagian refrain ini, aku mulai kesulitan untuk ikut bernyanyi. Pertanyaan demi pertanyaan menghujani pikiranku: Benarkah aku mau mengasihi Tuhan dengan SEGENAP hati, dan menghidupi hidupku SETIAP HARI untuk LEBIH MENGENAL Tuhan? Benarkah aku mau menyerahkan apa yang aku miliki sambil berkata kalau SEMUA yang ada di dalam diriku SEPENUHNYA milik-Mu, Tuhan? Akankah aku melayani-Mu dengan SEGENAP hati?

You faithfully supply my needs
According to Your plan
So help me Lord to seek Your face
Before I seek Your hand

terjemahan:
Engkau p’lihara hidupku
sesuai rencana-Mu
Tolong ku ‘tuk merindu-Mu
lebih dari berkat-Mu

Bagian ini membawaku untuk memohon agar Tuhan menolongku untuk dapat terus mengimani betapa Dia terus menerus menyediakan apa yang aku perlukan sesuai dengan rencana-Nya. Juga agar aku dapat belajar mencari Tuhan terlebih dahulu sebelum mencari “tangan”-Nya.

And trust, You know what’s best for me
When I don’t understand
Then follow in obedience
In every circumstance

terjemahan:
Percaya Kau tahu yang terbaik
saat ku tak mengerti
tolong ku menaati-Mu
dalam setiap jalanku

Bait terakhir ini menjadi pengakuan imanku, sekaligus doa pengharapanku:
Ya, aku percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik untuk aku. Ketika aku tidak mengerti apa rencana-Mu, tolong aku untuk tetap taat dalam segala keadaan.

Makin aku mencoba memahami arti dari setiap kata dalam lirik lagu ini, jujur saja makin aku tak berani menyanyikannya. Bukankah setiap lagu merupakan doa kita juga? Pernahkah membayangkan apa yang Tuhan rasakan ketika melihat kita menyanyi dengan mulut kita, tetapi tidak dengan hati kita?

Kesadaran ini membawa aku kini bernyanyi sambil berkata dalam hati,”Tuhan, tolong aku supaya aku dapat melakukan apa yang aku ucapkan dalam pujian ini. Tolong aku mengasihi-Mu lebih daripada apapun.”

Semoga lirik lagu ini dapat menjadi berkat juga bagimu. Aku sungguh berharap, ketika kamu menyanyikan lagu ini, kamu akan menyanyikannya dengan hati. Ini merupakan lagu yang menyatakan janji kita kepada Tuhan. Marilah kita belajar untuk mengasihi Dia dengan segenap hati.