Posts

Perjalanan Memahami Integritas Melalui Sebuah Penyesalan

Oleh Mary Anita, Surabaya

“Sebenarnya, kenapa sih kalian semua itu benci sama aku?” gumam seorang teman laki-laki sekelasku sewaktu kami ditugaskan mengambil arsip di ruang guru. Ada sepersekian detik ingin kujawab “Aku pun sebenarnya ngga tau kenapa, lho.” Tapi yang terjadi adalah dengan entengnya aku malah menceplos, “Ya soalnya, kamu tuh emang nyebelin tau!”

Raut wajah temanku berubah menjadi kesal dan dia pun segera pergi. Ada sisi dalam diriku yang merasa itu perbuatan yang salah, namun egoku masih tinggi untuk meminta maaf hingga kami pun lulus tanpa bertegur sapa lagi dan hilang kontak. Siapa kira, momen kecil semasa SMP ini berujung menjadi penyesalan karena aku tidak menjaga ucapan. Tapi, penyesalan ini  sekaligus jadi pelajaran berhargaku untuk memahami apa itu sikap integritas.

Semua bermula dari sosok teman sekelasku ini yang tidak kukenal secara dekat namun kerap dianggap sebagai ‘musuh kelas’ dan diberi julukan nama negatif lainnya. Sebenarnya, ia hanya sosok ekstrover yang suka mencari perhatian dengan tingkah onar dan lelucon jayusnya di kelas. Dipikir-pikir, di usia labil remaja kala itu memang wajar untuk seorang anak memiliki tingkah demikian sebagai bentuk upaya mencari jati diri. Namun, diriku yang tidak bijak waktu itu malah membuat kesalahan fatal dengan respons jawaban yang menyakitkan. Padahal yang ia minta mungkin hanyalah penjelasan netral dariku atas perlakuan buruk anak sekelas terhadap dirinya selama ini. Jika aku menilik isi hatiku, sejujurnya aku tidak menaruh kebencian kepadanya secara personal. Aku cuma sekadar ikut-ikutan sebagaimana biasanya respon anak lain terhadapnya. Dengan demikian, kupikir  aku  akan merasa ‘diterima’ oleh kubu mayoritas anak-anak kelas yang sepakat untuk melabelinya sebagai sosok menyebalkan.

Waktu berlalu hingga usiaku menginjak 15 tahun dan barulah aku mengalami lahir baru di dalam Tuhan. Suatu buku renungan bulanan yang kubaca tiba-tiba hadir dalam booklet spesial yang bertemakan integritas. Melalui buku itu, aku pertama kalinya disadarkan bahwa sebagai anak Tuhan, penting bagi kita memiliki sikap yang berintegritas, yaitu menyelaraskan isi hati dengan ucapan dan tindakan sesuai dengan firman Tuhan walaupun tak ada seorang pun yang melihat, ataupun jika kita harus berbeda dengan pendapat kebanyakan orang.

Saat itu, aku pun teringat peristiwa beberapa tahun lalu itu dan tersadar, lalu memantapkan hatiku untuk memohon ampun pada Tuhan atas kesalahanku. Aku seharusnya menggunakan momen tersebut untuk menasehatinya dengan tutur kata lembut dan menghiburnya. Siapa tahu, ia bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik, bukannya malah ikut mengiyakan opini publik secara gamblang yang bisa saja menjadi kepahitan baginya dalam jangka waktu yang panjang.

Memang, ada kalanya seseorang bisa membuat kita kesal, dan sangat manusiawi jika kita tidak bisa menyukai semua orang sama rata adanya. Namun kita bisa meminta Tuhan untuk menilik isi hati kita, dan memilih untuk merespons dengan benar dalam kasih Tuhan melalui tindakan dan ucapan kita tanpa menjatuhkan mereka. 

Efesus 4:29 mengingatkan Janganlah ada perkataan  kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”.

Dalam hal ini, tidak hanya berlaku dalam perkataan lisan saja, namun juga segala bentuk tulisan, misalnya sindiran/umpatan digital yang kita unggah di medsos maupun second account anonim secara diam-diam. Karena bagaimanapun, Tuhan tetaplah tahu dan melihat. Lagipula, itu tetap bukanlah standar integritas yang Tuhan kehendaki bagi kita. 

Seorang penulis di Proverbs 31 Ministries, Karen Ehman dalam bukunya Keep It Shut, mengajarkan beberapa pertanyaan yang penting untuk kita ajukan pada diri sendiri sebelum berucap kepada orang lain dalam melatih integritas kita di dalam Tuhan.

1. Is this comment wise (apakah perkataanku ini bijak?)

2. Will I writing this comment to help me display God’s love to outsider? (apakah perkataan ini membantuku untuk menunjukkan kasih Tuhan pada orang lain?)

3. Is this comment full of grace? (apakah perkataan ini dipenuhi kasih karunia?)

4. Is this comment full of salt? (apakah perkataan ini dipenuhi garam—sesuai dengan kebenaran, namun tetap lemah lembut, penuh kasih yang membangun?)

5. Have I asked God this is the best response? (Sudahkah kita bertanya pada Tuhan, apakah ini tanggapan terbaik untuk diberikan pada sesama?)

Kawan, menjadi sosok yang berintegritas tidaklah mudah, pasti melalui perjalanan proses jatuh bangun yang panjang. Tetapi yakinlah, selama kita mempunyai kerelaan hati untuk dibentuk, kita bisa meminta tuntunan Roh Kudus, untuk meneladani sikap Yesus, seseorang yang berhasil teguh memegang integritas hidupnya dengan sempurna. Sebuah ayat dalam Mazmur 139: 23-24 kiranya dapat menguatkan kita semua, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”

Teruntuk teman SMP-ku, jika kamu membaca tulisan ini di manapun kamu berada, aku mohon maaf dari hatiku yang paling dalam karena tidak merespons baik pertanyaanmu waktu itu dengan menyakitkan hatimu. Semoga kamu bisa mengampuni kesalahanku dan Tuhan memulihkan luka-luka batinmu dengan kasih-Nya.

Berdoa dan Mengasihi

Rabu, 28 Agustus 2019

Berdoa dan Mengasihi

Baca: Roma 12:9-21

12:9 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.

12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.

12:11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.

12:12 Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!

12:13 Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!

12:14 Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!

12:15 Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!

12:16 Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!

12:17 Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!

12:18 Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!

12:19 Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.

12:20 Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.

12:21 Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!

Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan! —Roma 12:21

Berdoa dan Mengasihi

Jesse Owens, atlet atletik ternama, dibesarkan oleh orangtua yang beriman teguh kepada Yesus. Ia pun menjalani hidupnya dengan penuh iman dan keberanian. Owens pernah berlaga dalam Olimpiade tahun 1936 di Berlin sebagai satu dari segelintir orang Amerika berkulit hitam dalam kontingen AS. Di sana ia berhasil menyabet empat medali emas di depan Adolf Hitler dan para pendukung Nazi yang penuh dengan kebencian terhadap ras yang berbeda. Owens sempat berteman dengan seorang atlet asal Jerman bernama Luz Long. Dalam lingkungan yang dipenuhi propaganda Nazi, sikap Owens yang sederhana dalam menghidupi imannya ternyata berdampak besar pada Luz. Di kemudian hari, Long menulis kepada Owens: “Waktu di Berlin, saat pertama kalinya aku bicara denganmu, kau sedang berlutut, dan aku tahu kau pasti sedang berdoa . . . aku terpikir untuk percaya juga kepada Allah.”

Owens mencontohkan bagaimana orang percaya bisa menjawab perintah Rasul Paulus untuk “[menjauhi] yang jahat” dan “saling mengasihi sebagai saudara” (RM. 12:9-10). Ia bisa saja membalas kejahatan di sekelilingnya dengan kebencian, tetapi Owens memilih hidup dengan iman dan menunjukkan kasih kepada seseorang yang kemudian menjadi temannya dan yang akhirnya terpikir untuk percaya kepada Allah.

Ketika umat Allah dengan setia “[bertekun] dalam doa” (ay.12), Dia akan memampukan kita untuk “sehati sepikir dalam hidup [kita] bersama” (ay.16).

Ketika kita mengandalkan doa, kita dapat berkomitmen untuk menghidupi iman kita dan mengasihi semua orang yang juga diciptakan menurut gambar Allah. Saat kita berseru kepada Allah, Dia akan menolong kita meruntuhkan tembok-tembok pembatas dan membangun jembatan kedamaian dengan orang-orang di sekitar kita. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Roma 12:9-21 adalah sebuah perikop yang sulit diuraikan—seperti kumpulan perkataan yang acak dalam kitab Amsal. Namun, di sini Paulus masih melanjutkan tentang pembaruan budi dan hidup yang diubahkan (12:1-2). Fokus utamanya adalah kasih—keutamaan kasih dalam hidup pengikut Yesus (ay.9). Bukti paling jelas dari hidup yang menyerupai Kristus adalah mengasihi seperti Kristus. Hidup yang diubahkan adalah hidup yang mengasihi dengan sepenuh hati dan memberi dengan penuh pengorbanan. Paulus menasihatkan bagaimana menjalin hubungan dengan orang-orang percaya (ay.9-16) dan yang belum percaya (ay.17-21) di dunia yang jahat ini. Kasih kepada orang lain—terutama kepada musuh—adalah ujian yang nyata atas akal budi yang sudah diperbarui dan hidup yang sudah diubahkan (ay.21). —K.T.Sim

Bagaimana cara kamu membangun jembatan kedamaian antara kamu dan sesama? Pernahkah kamu melihat bagaimana kesetiaanmu berdoa membuahkan hasil?

Bapa di surga, kuatkanlah kami agar dapat bersatu dalam doa, berkomitmen penuh untuk saling mengasihi dan hidup bersama dalam damai.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 123-125; 1 Korintus 10:1-18

Handlettering oleh Tora Tobing

Roti dan Ikan

Senin, 5 Agustus 2019

Roti dan Ikan

Baca: Matius 14:13-21

14:13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.

14:14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.

14:15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.”

14:17 Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”

14:18 Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”

14:19 Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.

14:20 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh.

14:21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” —Matius 14:16

Roti dan Ikan

Seorang bocah lelaki pulang dari gereja dan bercerita dengan penuh semangat bahwa ia baru belajar tentang seorang anak laki-laki yang “bagi-bagi makanan.” Tentu saja yang ia maksud adalah seorang anak kecil yang memberikan roti dan ikannya kepada Yesus.

Yesus baru selesai mengajar orang banyak sepanjang hari dan murid-murid menyarankan agar Dia menyuruh orang-orang pergi ke desa untuk membeli roti. Jawab Yesus, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan” (mat. 14:16). Para murid kebingungan karena ada lebih dari 5.000 orang yang harus diberi makan!

Kamu mungkin sudah tahu kelanjutan ceritanya: seorang anak menyerahkan makan siangnya (yoh. 6:9)—lima potong kecil roti dan dua ikan—dan dengan itu Yesus memberi makan orang banyak (mat. 14:13-21). Ada yang berpendapat bahwa kebaikan hati anak itu menggerakkan orang-orang yang berkumpul saat itu untuk membagi juga makan siang mereka, tetapi Matius jelas ingin kita memahami bahwa peristiwa itu merupakan mukjizat, dan kisah tersebut muncul dalam keempat kitab Injil.

Apa yang dapat kita pelajari dari kisah itu? Keluarga, tetangga, teman, kolega, dan orang-orang yang ada di sekitar kita memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Haruskah kita mengirim mereka kepada orang-orang yang lebih mampu menolong daripada kita? Memang, kebutuhan beberapa orang melampaui kemampuan kita untuk menolong mereka, tetapi tidak selalu. Apa pun yang kamu miliki— pelukan hangat, perkataan yang lembut, telinga yang mau mendengarkan, doa singkat, atau sekadar nasihat—berikanlah itu kepada Yesus dan lihatlah apa yang sanggup Dia lakukan dengan pemberianmu. —David H. Roper

WAWASAN
Kristus yang memberi makan orang banyak dengan roti dan ikan adalah karya mukjizat sang Pencipta yang melampaui ciptaan-Nya. Inilah satu-satunya mukjizat Yesus (di samping kebangkitan-Nya) yang dicatat dalam semua kitab Injil (Matius 14:13-21; Markus 6:33-44; Lukas 9:12-17; Yohanes 6:10-14). Setiap penulis Injil mencantumkan detail yang berbeda. Catatan Yohanes menyoroti dua murid Yesus—Andreas dan Filipus—yang jarang diceritakan dalam Matius, Markus, dan Lukas. Pada versi Yohanes, Yesus menguji Filipus dengan memintanya menyediakan makanan bagi orang banyak itu (ay.5). Andreas diceritakan sebagai orang yang menawarkan jawaban—walaupun sebenarnya tidak cukup—dengan membawa seorang anak dengan makan siangnya kepada Yesus (ay.8-9). Keempat kitab Injil mengajarkan bahwa jumlah sekecil apapun sudah lebih dari cukup ketika diserahkan ke dalam tangan Kristus. —Bill Crowder

Adakah satu kebutuhan orang lain yang mungkin dapat kamu penuhi? Apa yang dapat kamu berikan kepada Yesus untuk dipakai-Nya memberkati orang lain?

Ya Yesus, berilah kami mata untuk melihat bagaimana kami dapat mengasihi dan mempedulikan orang lain. Bimbing dan pakailah kami.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 68-69; Roma 8:1-21

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertolongan yang Bijaksana

Kamis, 18 Juli 2019

Pertolongan yang Bijaksana

Baca: 1 Tesalonika 5:12-15

5:12 Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu;

5:13 dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka. Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain.

5:14 Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang.

5:15 Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.

Tabahkan hati orang yang takut; tolonglah orang yang perlu ditolong dan sabarlah terhadap semua orang. —1Tesalonika 5:14 BIS

Pertolongan yang Bijaksana

Saat mobil saya berhenti di lampu merah, saya melihat lagi orang yang sama berdiri di pinggir jalan. Ia memegang papan dari kardus bertuliskan: Butuh uang untuk makan. Pemberian apa pun sangat membantu. Saya berpaling dan menghela nafas. Apakah saya tipe orang yang tidak peduli kepada orang miskin?

Banyak orang berpura-pura membutuhkan sesuatu padahal mereka sebenarnya penipu. Ada yang memang benar-benar membutuhkan bantuan tetapi menghadapi kesulitan dalam mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk. Para pekerja sosial mengatakan bahwa lebih baik menyumbang melalui yayasan-yayasan sosial di kota kami. Dengan berat hati, saya pun beranjak dari tempat itu. Saya merasa bersalah, tetapi mungkin itu langkah yang bijaksana.

Allah memerintahkan kepada kita, “Tegurlah dengan rukun orang yang tidak mau bekerja; tabahkan hati orang yang takut; tolonglah orang yang perlu ditolong” (1Tes. 5:14 bis). Untuk melakukannya dengan benar, kita perlu tahu siapa yang termasuk dalam kategori-kategori di atas. Bila kita menegur mereka yang takut, bisa jadi kita sedang mematahkan semangatnya; bila kita menolong orang yang tidak mau bekerja, kita bisa membuatnya semakin malas. Oleh karena itu, yang terbaik adalah kita membantu seseorang yang cukup kita kenal agar kita mengetahui kebutuhan yang sebenarnya.

Apakah Allah menggerakkan hatimu untuk menolong seseorang? Luar biasa! Kamu dapat mulai melangkah. Namun, jangan mengira kamu sudah tahu kebutuhannya. Mintalah kepadanya untuk menceritakan kisahnya, dan dengarkanlah. Setelah itu, berikanlah bantuan dengan bijaksana dan sungguh-sungguh, bukan sekadar untuk membuatmu merasa lebih baik. Bila kita benar-benar bermaksud untuk “berbuat baik, seorang kepada yang lain”, kita bisa lebih sabar “terhadap semua orang,” bahkan di saat mereka jatuh (ay.14-15 bis). —Mike Wittmer

WAWASAN
Sebagian besar pakar Alkitab sependapat bahwa Paulus menulis surat 1 Tesalonika pada masa delapan belas bulan pertamanya saat tinggal di Korintus (sekitar tahun 49-51 SM) selama perjalanan misinya yang kedua (lihat Kisah Para Rasul 18:1-18). Paulus, Timotius, dan Silas mengajar di rumah ibadat di Tesalonika selama tiga hari Sabat berturut-turut. Selama waktu itu, beberapa orang Yahudi maupun non-Yahudi yang takut akan Allah yang menjadi percaya kepada Yesus (Kisah Para Rasul 17:4). Namun, sejumlah pihak yang membuat keributan memaksa mereka untuk meninggalkan kota (ay. 9-10). Tak lama setelah itu, Paulus mengirim Timotius ke sana untuk melihat keadaan jemaat baru itu. Ketika Timotius bertemu dengan Paulus di Korintus, ia menyampaikan laporan yang akhirnya mendorong Paulus untuk menulis surat ini. Tema utama surat Tesalonika adalah kedatangan Kristus kali kedua. Bacaan hari ini mengajarkan bagaimana kita harus menjalani hidup saat ini hingga kelak Dia kembali. —Alyson Kieda

Kapan kamu merasa paling dibantu oleh orang lain? Apa yang kamu pelajari tentang cara terbaik untuk membantu sesama?

Bapa, ajarlah aku untuk bijaksana dan tekun dalam menolong sesamaku.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 20-22; Kisah Para Rasul 21:1-17

Handlettering oleh Priska Sitepu

Dibuat Khusus dengan Tangan

Kamis, 21 Maret 2019

Dibuat Khusus dengan Tangan

Baca: Efesus 2:4-10

2:4 Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita,

2:5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan—

2:6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga,

2:7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.

2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,

2:9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. —Efesus 2:10

Daily Quotes ODB

Nenek saya sangat pintar menjahit. Ia selalu merayakan peristiwa penting dalam hidup saya dengan memberi hadiah sebuah hasil jahitannya sendiri. Sweter rajut berwarna merah anggur sebagai hadiah saya lulus SMA. Sehelai selimut warna pirus sebagai hadiah pernikahan kami. Saya suka membuka lipatan pada ujung setiap hasil jahitannya, karena saya akan menemukan sebaris tulisan khasnya yang berbunyi, “Dibuat khusus dengan tangan untukmu.” Lewat setiap kata yang tersulam, saya bisa merasakan kasih nenek saya dan keyakinannya pada masa depan saya.

Paulus menulis kepada jemaat di Efesus mengenai tujuan keberadaan mereka di dunia ini, dengan menggambarkan mereka sebagai “buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik” (2:10). Kata “buatan Allah” merujuk kepada karya seni atau mahakarya. Kemudian Paulus menyatakan bahwa karya tangan Allah yang menciptakan kita akan membuat kita melakukan pekerjaan baik dengan tangan kita—atau untuk mengungkapkan hubungan kita yang sudah dipulihkan dengan Yesus—demi kemuliaan-Nya di dunia ini. Kita tidak diselamatkan oleh perbuatan baik kita, tetapi ketika tangan Allah membentuk kita demi tujuan-Nya, Dia dapat memakai kita untuk membawa orang lain kepada kasih-Nya yang besar.

Hasil jahitan tangan nenek saya mengungkapkan kasih sayangnya kepada saya dan kerinduannya agar saya menemukan tujuan hidup saya di bumi ini. Dengan tangan-Nya, Allah membentuk hari-hari kita dengan sangat mendetail. Dia merajut kasih dan tujuan-Nya dalam hati kita agar kita bisa mengalami Dia dalam hidup kita dan memperlihatkan karya tangan-Nya kepada sesama kita. —Elisa Morgan

Menurutmu, apa yang Allah mau kamu lakukan sebagai tujuan penciptaan-Nya? Kepada siapa kamu bisa menunjukkan kasih-Nya hari ini?

Bapa, terima kasih Engkau telah membentuk diriku; tolonglah aku menyatakan diri-Mu kepada dunia.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 7-9; Lukas 1:21-38

Lebih dari Sekadar Simbol

Sabtu, 16 Maret 2019

Lebih dari Sekadar Simbol

Baca: 2 Samuel 23:13-17

23:13 Sekali datanglah tiga orang dari ketiga puluh kepala mendapatkan Daud, menjelang musim menuai, dekat gua Adulam, sedang sepasukan orang Filistin berkemah di lembah Refaim.

23:14 Pada waktu itu Daud ada di dalam kubu gunung dan pasukan pendudukan orang Filistin pada waktu itu ada di Betlehem.

23:15 Lalu timbullah keinginan pada Daud, dan ia berkata: “Sekiranya ada orang yang memberi aku minum air dari perigi Betlehem yang ada dekat pintu gerbang!”

23:16 Lalu ketiga pahlawan itu menerobos perkemahan orang Filistin, mereka menimba air dari perigi Betlehem yang ada dekat pintu gerbang, mengangkatnya dan membawanya kepada Daud. Tetapi Daud tidak mau meminumnya, melainkan mempersembahkannya sebagai korban curahan kepada TUHAN,

23:17 katanya: “Jauhlah dari padaku, ya TUHAN, untuk berbuat demikian! Bukankah ini darah orang-orang yang telah pergi dengan mempertaruhkan nyawanya?” Dan tidak mau ia meminumnya. Itulah yang dilakukan ketiga pahlawan itu.

Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. —Filipi 2:3

Daily Quotes ODB

Dengan sengaja, bintang bola basket Jordan Bohannon dari Universitas Iowa memelesetkan tembakan bebas yang jika masuk dapat memecahkan rekor kampus yang sudah bertahan selama dua puluh lima tahun. Mengapa ia melakukannya? Pada tahun 1993, Chris Street, bintang bola basket dari kampus yang sama, berhasil mencetak rekor dengan tiga puluh empat kali tembakan bebasnya masuk berturut-turut. Namun, beberapa hari kemudian ia tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Bohannon memilih menghormati kenangan terhadap Street dengan menolak memecahkan rekornya.

Lewat sikapnya, Bohannon menunjukkan kepekaan terhadap hal-hal yang lebih penting daripada prestasinya sendiri. Kita melihat nilai-nilai yang sama dalam diri seorang pejuang muda bernama Daud. Saat bersembunyi dalam gua bersama pasukannya, Daud ingin sekali minum air dari perigi di kampung halamannya Betlehem, tetapi pasukan Filistin sedang menduduki wilayah itu (2Sam. 23:14-15).

Dengan penuh keberanian, tiga perwira bawahan Daud “menerobos perkemahan orang Filistin”, mengambil air, lalu membawanya kepada Daud. Melihat hal itu, Daud pun tidak tega meminumnya. Ia justru “mempersembahkannya sebagai korban curahan kepada Tuhan”, dengan berkata, “Bukankah ini darah orang-orang yang telah pergi dengan mempertaruhkan nyawanya?” (ay.16-17).

Di dunia yang sering kali lebih menghargai mereka yang berhasil merebut apa saja yang bisa diraih, alangkah dahsyatnya tindakan yang didasari oleh kasih dan pengorbanan! Tindakan mulia seperti itu mempunyai arti lebih daripada sekadar simbol. —Tim Gustafson

Alih-alih menggolkan agenda sendiri, bagaimana caranya kamu dapat menghargai keberhasilan orang lain dan usaha mereka? Bagaimana tindakan kasih kita merefleksikan kasih Tuhan?

Bapa, bimbing hatiku hari ini. Tolong aku mengatur ulang prioritasku agar aku bisa memperhatikan kebutuhan sesamaku seperti kebutuhanku sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 28-29; Markus 14:54-72

Menyambut Orang Asing

Sabtu, 9 Maret 2019

Menyambut Orang Asing

Baca: Ulangan 10:12-19

10:12 “Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan dari padamu oleh TUHAN, Allahmu, selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu,

10:13 berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu.

10:14 Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya;

10:15 tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari segala bangsa, seperti sekarang ini.

10:16 Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk.

10:17 Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap;

10:18 yang membela hak anak yatim dan janda dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian.

10:19 Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.

Haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. —Ulangan 10:19

Daily Quotes ODB

Ketika teman-teman saya tinggal di Moldova, salah satu negara termiskin di Eropa, mereka dibuat terharu oleh sambutan hangat yang mereka terima, terutama dari saudara seiman di sana. Suatu kali, mereka membawa sumbangan pakaian dan sembako untuk sepasang suami-istri di gereja mereka. Pasangan itu sangat miskin tetapi masih bersedia menjadi orangtua asuh bagi beberapa anak. Mereka menghidangkan teh manis dan makanan dan memperlakukan teman-teman saya layaknya tamu kehormatan. Teman-teman saya pulang membawa buah tangan berupa buah-buahan dan sayur-mayur. Mereka sangat kagum pada kebaikan hati dan keramahan pasangan itu.

Orang-orang Kristen itu menunjukkan keramahtamahan sebagaimana yang Allah perintahkan kepada umat-Nya, orang-orang Israel. Dia memerintahkan mereka untuk “hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Ul. 10:12). Bagaimana orang Israel dapat menjalankannya? Jawabannya ada di beberapa ayat kemudian, “Haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (ay.19). Menyambut orang asing sama dengan melayani dan memuliakan Allah; menunjukkan kasih dan kepedulian berarti memperlihatkan iman mereka kepada Allah.

Kondisi kita mungkin berbeda dengan kondisi orang Moldova atau orang Israel, tetapi kita juga dapat menunjukkan kasih kita kepada Allah lewat sikap kita yang terbuka menyambut orang lain. Baik dengan membuka rumah kita atau tersenyum ramah kepada orang yang kita temui, kita dapat meneruskan kasih dan perhatian Allah di dunia yang penuh dengan jiwa-jiwa yang terluka dan kesepian. —Amy Boucher Pye

Ketika kamu disambut baik oleh orang lain, pengaruh apa yang kamu alami? Adakah orang tertentu yang teringat oleh kamu ketika berpikir tentang keramahtamahan?

Orang percaya menunjukkan kasih Allah lewat keramahtamahan mereka.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 8-10; Markus 11:19-33

Pengaruh Sentuhan

Sabtu, 17 November 2018

Pengaruh Sentuhan

Baca: Markus 1:40-45

1:40 Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”

1:41 Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”

1:42 Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir.

1:43 Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras:

1:44 “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.”

1:45 Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.

Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. —Markus 1:41

Pengaruh Sentuhan

Dokter Paul Brand, perintis misionaris medis abad ke-20 di India, telah melihat langsung stigma yang dikaitkan dengan kusta. Saat bertemu dengan seorang pasien, Dr. Brand menyentuhnya untuk meyakinkan pasien itu bahwa ia bisa sembuh. Air mata pun membasahi wajah pria itu. Asisten Dr. Brand menjelaskan kepadanya, “kamu menyentuhnya dan sudah bertahun-tahun tak seorang pun pernah melakukannya. Air mata itu tanda sukacitanya.”

Di awal pelayanan-Nya, Yesus ditemui seorang yang sakit kusta, nama yang digunakan pada zaman kuno untuk seluruh jenis penyakit kulit yang menular. Menurut hukum Perjanjian Lama, karena penyakit itu, si penderita harus tinggal di luar komunitasnya. Jika penderita itu tanpa sengaja berada di dekat orang-orang sehat, ia harus berseru, “Najis! Najis!” agar mereka dapat menjauhinya (Im. 13:45-46). Akibatnya, penderita itu mungkin tak lagi bersentuhan dengan orang lain selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Dengan hati yang berbelas kasihan, Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu. Dia sanggup menyembuhkan orang dengan satu kata saja (Mrk. 2:11-12). Namun, saat Yesus bertemu seseorang yang dikucilkan dan ditolak karena penyakit fisiknya, sentuhan Yesus meyakinkan orang itu bahwa ia tidak lagi sendirian dan telah diterima.

Saat Allah memberi kita kesempatan, kita dapat meneruskan anugerah dan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain dengan sentuhan lembut yang menyatakan bahwa kita menjunjung martabat dan keberadaan mereka. Sentuhan kita yang sederhana, tetapi membawa penghiburan, akan mengingatkan orang-orang yang terluka bahwa kita mempedulikan dan mengasihi mereka. —Lisa Samra

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau secara personal mengulurkan tangan-Mu untuk menolong mereka yang terluka. Tolonglah aku untuk mengikuti teladan-Mu dan meneruskan belas kasihan-Mu lewat tindakanku.

Sentuhan yang penuh kasih merupakan salah satu bentuk perhatian kita kepada sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 5-7; Ibrani 12

Gangguan Berbahaya

Kamis, 15 November 2018

Gangguan Berbahaya

Baca: Yohanes 13:31-35

13:31 Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.

13:32 Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.

13:33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.

13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

13:35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. —Yohanes 13:35

Gangguan Berbahaya

Seniman Sigismund Goetze mengejutkan masyarakat Inggris pada zaman kekuasaan Ratu Victoria dengan lukisannya “Despised and Rejected of Men” (Dihina dan Dihindari Orang). Di lukisan itu, ia menggambarkan Yesus yang dihukum dan menderita sambil dikelilingi oleh orang dari generasi Goetze sendiri. Orang-orang itu tampak sibuk dengan urusan pribadi mereka—bisnis, percintaan, politik—hingga mereka sama sekali tak menyadari pengorbanan Sang Juruselamat. Kerumunan orang yang tak acuh terhadap Kristus itu, sama seperti kerumunan orang di bawah salib Yesus, tak memahami apa—atau siapa—yang telah mereka abaikan.

Demikian pula pada masa kini, orang yang percaya dan yang tidak percaya sama-sama mudah teralihkan dari hal-hal yang bersifat kekal. Bagaimana pengikut Yesus bisa menembus kabut ketidakpedulian itu dengan kebenaran tentang kasih Allah yang ajaib? Kita dapat memulai dengan saling mengasihi sebagai sesama anak-anak Allah. Yesus berkata, “Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).

Namun, kasih yang sejati tidak berhenti sampai di situ. Kita memperluas jangkauan kasih tersebut dengan membagikan Injil agar orang lain tertarik untuk mengenal Sang Juruselamat. Itulah yang disebutkan Paulus, “Kami ini adalah utusan-utusan Kristus” (2Kor. 5:20).

Dengan cara itulah, kita sebagai tubuh Kristus dapat mencerminkan sekaligus memancarkan kasih Allah, kasih yang sungguh-sungguh kita butuhkan, kepada satu sama lain di dalam umat Tuhan maupun kepada dunia kita. Kiranya dengan kesanggupan dari Roh-Nya, kedua upaya itu dapat menembus kabut ketidakpedulian yang menghalangi kita melihat keajaiban kasih Allah dalam diri Yesus. —Bill Crowder

Kita membawa terang kabar baik tentang Yesus ke dalam dunia yang diselimuti oleh kabut ketidakpedulian.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 1-2; Ibrani 11:1-19