Posts

Menjatuhkan Pin Boling

Sabtu, 8 Juni 2019

Menjatuhkan Pin Boling

Baca: Pengkhotbah 1:3-11

1:3 Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?

1:4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.

1:5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.

1:6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali.

1:7 Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu.

1:8 Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.

1:9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

1:10 Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru!”? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada.

1:11 Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.

Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. —Pengkhotbah 1:9

Menjatuhkan Pin Boling

Saya tergelitik melihat tato di pergelangan kaki Erin, teman saya, yang bergambar bola boling yang sedang menjatuhkan pin. Erin terinspirasi dari lagu Sara Groves, “Setting Up the Pins.” Liriknya yang cerdas mendorong pendengar untuk menemukan sukacita dalam rutinitas berulang-ulang yang kadang terasa tidak berarti, seperti bolak-balik menyusun pin-pin boling yang kemudian dijatuhkan oleh orang lain.

Mencuci baju. Memasak. Memotong rumput di halaman. Hidup rasanya penuh dengan pekerjaan yang sudah selesai tetapi harus dikerjakan berulang kali—lagi dan lagi. Pergumulan itu bukanlah hal baru melainkan sudah sejak zaman lampau, seperti terungkap dalam kitab Pengkhotbah di Perjanjian Lama. Di bagian awal, penulisnya mengeluhkan siklus kehidupan manusia dari hari ke hari yang tiada habisnya sebagai kesia-siaan belaka (pkh. 1:2-3). Semua terasa tidak berarti sebab “apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi” (ay.9).

Namun, seperti teman saya tadi, penulis kitab Pengkhotbah dapat memperoleh kembali sukacita dan makna dengan mengingat bahwa kepuasan sejati dialami saat kita takut (hormat) akan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya (12:13). Kita pun terhibur saat mengetahui bahwa Allah menghargai setiap aspek kehidupan manusia, bahkan yang tampaknya paling remeh dan menjemukan sekalipun, dan Dia akan memberi kita upah atas kesetiaan kita (ay.14).

“Pin-pin” apa yang harus kamu susun terus-menerus dalam hidup ini? Saat tugas-tugas rutin mulai terasa melelahkan, baiklah kita mengambil waktu sejenak untuk mempersembahkan setiap pekerjaan itu sebagai persembahan kasih kita kepada Allah. —Lisa Samra

WAWASAN
Salah satu tema kunci dalam Pengkhotbah terdapat dalam frasa “di bawah matahari.” Kata-kata itu ada pada bacaan hari ini dalam ayat 3 dan 9, juga 27 ayat lainnya dalam kitab ini. Apakah artinya? “Di bawah matahari” merujuk pada apa yang dilakukan di bumi ini berdasarkan cara, nilai, dan pola pikir dunia, sehingga yang terjadi “di bawah matahari” berlawanan dengan nilai-nilai surgawi. Sebagai kitab keputusasaan, inti pesan Pengkhotbah adalah bahwa kita tidak dapat menemukan makna dan tujuan sejati kecuali dengan hidup menurut isi hati Bapa di surga, yang berlawanan dengan cara-cara dunia yang telah rusak. —Bill Crowder

Saat mengetahui bahwa pekerjaan kamu dihargai oleh Allah, adakah pengaruhnya pada cara kamu bekerja hari ini? Bagaimana pengetahuan tersebut mendorongmu memaknai kegiatan dan rutinitasmu sehari-hari?

Terima kasih, Bapa, karena Engkau menghargai kegiatan kami sehari-hari. Tolong kami menemukan sukacita dalam pekerjaan kami hari ini.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30-31; Yohanes 18:1-18

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Banyak Perbuatan yang Baik

Selasa, 25 September 2018

Banyak Perbuatan yang Baik

Baca: Markus 14:1-9

14:1 Hari raya Paskah dan hari raya Roti Tidak Beragi akan mulai dua hari lagi. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mencari jalan untuk menangkap dan membunuh Yesus dengan tipu muslihat,

14:2 sebab mereka berkata: “Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat.”

14:3 Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus.

14:4 Ada orang yang menjadi gusar dan berkata seorang kepada yang lain: “Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini?

14:5 Sebab minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin.” Lalu mereka memarahi perempuan itu.

14:6 Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku.

14:7 Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, dan kamu dapat menolong mereka, bilamana kamu menghendakinya, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.

14:8 Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya. Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku.

14:9 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.”

Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik kepada-Ku. —Markus 14:6

Banyak Perbuatan yang Baik

Sesaat sebelum kematiannya, seniman dan misionaris Lilias Trotter memandang keluar jendela dan mendapat penglihatan tentang sebuah kereta surgawi. Menurut penulis biografinya, seorang teman bertanya kepada Lilias, “Apakah kamu melihat banyak hal yang baik?” dan Lilias menjawab, “Ya, sangat banyak hal yang baik.”

Kata-kata terakhir Lilias Trotter itu mencerminkan karya Allah dalam hidupnya. Allah telah menunjukkan begitu banyak kebaikan kepada dan melalui Lilias, tidak hanya menjelang kematiannya, tetapi juga di sepanjang hidupnya. Walaupun Lilias sangat berbakat dalam bidang seni, ia memilih untuk melayani Yesus sebagai misionaris di Aljazair. Ketika Lilias memilih ladang misi daripada karier di bidang seni, John Ruskin, seorang pelukis terkenal yang mengajar Lilias, konon pernah berkomentar, “Bakat yang disia-siakan.”

Demikian pula di Perjanjian Baru, ketika seorang perempuan datang ke rumah Simon si kusta, membawa buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni dan mencurahkan minyak itu ke atas kepala Yesus, orang-orang di situ menganggapnya sebagai pemborosan. Minyak mahal itu setara dengan upah rata-rata orang selama satu tahun, sehingga orang-orang berpikir bahwa minyak itu bisa digunakan untuk menolong orang miskin. Namun, sambil memuji pengabdian perempuan itu yang begitu mendalam kepada-Nya, Yesus berkata, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik kepada-Ku” (Mrk. 14:6).

Setiap hari kita dapat memilih untuk memancarkan hidup Kristus dalam diri kita dan menunjukkan kebaikan-Nya pada dunia. Bagi sebagian orang, mungkin perbuatan kita terlihat sia-sia, tetapi biarlah kita memiliki hati yang selalu rela melayani-Nya. Kiranya Tuhan Yesus akan mengatakan bahwa kita telah melakukan banyak perbuatan yang baik bagi-Nya. —Keila Ochoa

Ya Bapa, mampukanlah aku untuk menunjukkan kasihku kepada-Mu dengan melakukan banyak perbuatan yang baik.

Kiranya hidup kita menunjukkan kebaikan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 6-8; Galatia 4

Karena Aku Mengasihi-Nya

Senin, 8 Agustus 2016

Karena Aku Mengasihi-Nya

Baca: Wahyu 22:12-21

22:12 “Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya.

22:13 Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.”

22:14 Berbahagialah mereka yang membasuh jubahnya. Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam kota itu.

22:15 Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar.

22:16 “Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.”

22:17 Roh dan pengantin perempuan itu berkata: “Marilah!” Dan barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: “Marilah!” Dan barangsiapa yang haus, hendaklah ia datang, dan barangsiapa yang mau, hendaklah ia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma!

22:18 Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.

22:19 Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

22:20 Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: “Ya, Aku datang segera!” Amin, datanglah, Tuhan Yesus!

22:21 Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin.

“Ya, Aku datang segera!” Amin, datanglah, Tuhan Yesus! —Wahyu 22:20

Karena Aku Mengasihi-Nya

Sehari sebelum suami saya pulang dari perjalanan bisnisnya, putra saya berkata, “Ma! Aku mau Papa cepat pulang.” Saya menanyakan alasannya dan mengira ia akan mengatakan sesuatu tentang hadiah yang biasanya dibawa pulang ayahnya atau karena ia kangen bermain bola dengannya. Namun dengan sikap serius, ia menjawab, “Aku mau Papa pulang karena aku sayang Papa!”

Jawabannya membuat saya berpikir tentang Tuhan kita dan janji-Nya untuk datang kembali. “Aku datang segera,” kata Yesus (Why. 22:20). Saya merindukan kedatangan-Nya, tetapi mengapa saya ingin Dia datang kembali? Apakah karena saya akan berada dalam hadiratNya, terbebas dari penyakit dan kematian? Apakah karena saya sudah lelah menjalani hidup di dunia yang sulit ini? Ataukah karena saya begitu mengasihi-Nya sepanjang hidup saya, di mana Dia telah menyertai saya dalam suka maupun duka, dan kehadiran-Nya begitu nyata melebihi siapa pun yang pernah ada, maka saya ingin bersama Dia selamanya?

Saya senang putra saya merindukan ayahnya yang sedang bepergian. Akan menjadi masalah jika ia sama sekali tidak peduli kapan ayahnya pulang atau jika ia berpikir bahwa kepulangan ayahnya akan mengganggu rencananya. Bagaimana perasaan kita tentang kedatangan kembali Tuhan kita? Marilah kita merindukan hari kedatangan-Nya itu dengan penuh semangat, dan sungguh-sungguh berkata, “Datanglah segera, ya Tuhan! Kami mengasihi-Mu.” —Keila Ochoa

Tuhan, segeralah datang kembali!

Nantikanlah kedatangan Tuhan dengan sungguh-sungguh.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 74-76; Roma 9:16-33

Artikel Terkait:

Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Film “Finding Dory”?

Apakah kamu pernah mendengar atau menonton film “Finding Dory”? Apa yang dapat kamu pelajari dari film tersebut? Yuk baca refleksi Joanna tentang film “Finding Dory” di dalam artikel berikut.

Air Mata dan Tawa

Minggu, 12 Juni 2016

Air Mata dan Tawa

Baca: Ezra 3:7-13

3:7 Lalu mereka memberikan uang kepada tukang batu dan tukang kayu, sedang kepada orang Sidon dan Tirus makanan dan minuman dan minyak, supaya orang-orang itu membawa kayu aras dari Libanon sampai ke laut dekat Yafo, seperti yang telah diizinkan kepada mereka oleh Koresh, raja negeri Persia.

3:8 Pada tahun yang kedua sesudah mereka sampai ke rumah Allah di Yerusalem, dalam bulan yang kedua, maka Zerubabel bin Sealtiel dan Yesua bin Yozadak beserta saudara-saudara mereka yang lain, yakni para imam dan orang-orang Lewi, dan semua orang yang pulang ke Yerusalem dari tempat tawanan memulai pekerjaan itu. Mereka menugaskan orang-orang Lewi yang berumur dua puluh tahun ke atas untuk mengawasi pekerjaan membangun rumah TUHAN.

3:9 Lalu Yesua serta anak-anak dan saudara-saudaranya dan Kadmiel serta anak-anaknya, orang-orang Yehuda bersama-sama bertindak mengawasi orang-orang yang melakukan pekerjaan membangun rumah Allah. Demikian juga bani Henadad, anak-anak dan saudara-saudara mereka, orang-orang Lewi itu.

3:10 Pada waktu dasar bait suci TUHAN diletakkan oleh tukang-tukang bangunan, maka tampillah para imam dengan memakai pakaian jabatan dan membawa nafiri, dan orang-orang Lewi, bani Asaf, dengan membawa ceracap, untuk memuji-muji TUHAN, menurut petunjuk Daud, raja Israel.

3:11 Secara berbalas-balasan mereka menyanyikan bagi TUHAN nyanyian pujian dan syukur: “Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya kepada Israel!” Dan seluruh umat bersorak-sorai dengan nyaring sambil memuji-muji TUHAN, oleh karena dasar rumah TUHAN telah diletakkan.

3:12 Tetapi banyak di antara para imam, orang-orang Lewi dan kepala-kepala kaum keluarga, orang tua-tua yang pernah melihat rumah yang dahulu, menangis dengan suara nyaring, ketika perletakan dasar rumah ini dilakukan di depan mata mereka, sedang banyak orang bersorak-sorai dengan suara nyaring karena kegirangan.

3:13 Orang tidak dapat lagi membedakan mana bunyi sorak-sorai kegirangan dan mana bunyi tangis rakyat, karena rakyat bersorak-sorai dengan suara yang nyaring, sehingga bunyinya kedengaran sampai jauh.

Orang tidak dapat lagi membedakan mana bunyi sorak-sorai kegirangan dan mana bunyi tangis rakyat. —Ezra 3:13

Air Mata dan Tawa

Tahun lalu di sebuah acara retret, saya bertemu dengan beberapa teman yang sudah lama tidak berjumpa. Kami tertawa bersama karena dapat bertemu kembali, tetapi saya juga menangis karena menyadari bahwa saya begitu merindukan mereka.

Pada hari terakhir kebersamaan kami, kami merayakan Perjamuan Kudus. Kembali kami bergembira sekaligus berurai air mata! Saya bersukacita atas anugerah Allah yang telah memberi saya hidup kekal dan juga hari-hari indah yang baru saya lalui bersama para sahabat. Namun saya kembali menangis karena menyadari besarnya harga yang telah Yesus bayar untuk menebus saya dari dosa.

Saya teringat akan Ezra dan suatu hari yang indah di Yerusalem. Orang Israel baru kembali dari pembuangan dan mereka baru saja menyelesaikan pembangunan kembali dasar Bait Suci bagi Tuhan. Mereka bernyanyi dengan gembira, tetapi sejumlah imam yang berusia lanjut menangis (Ezr. 3:10-12). Agaknya mereka teringat pada bait Allah yang pernah didirikan Salomo dan Kejayaannya di masa lampau. Mungkinkah sebenarnya mereka berduka atas dosa-dosa mereka yang telah menyebabkan mereka dibuang?

Terkadang ketika melihat Allah berkarya, kita merasakan beragam perasaan, seperti sukacita saat melihat keajaiban Allah dan dukacita saat teringat pada dosa-dosa kita dan kebutuhan kita akan penebusan-Nya.

Bangsa Israel bersorak-sorai dan menangis, hingga suara mereka terdengar sampai jauh (ay.13). Kiranya perasaan kita menjadi ungkapan dari kasih dan penyembahan kita kepada Tuhan, dan kiranya ungkapan perasaan itu juga menyentuh jiwa-jiwa di sekitar kita. —Keila Ochoa

Tuhan, Engkau menerima dukacita dan sukacita kami, setiap air mata dan tawa kami. Kami membawa seluruh perasaan kami seutuhnya kepada-Mu. Kami rindu memuji-Mu dengan segenap keberadaan kami.

Baik air mata maupun senyum sama-sama memberikan pujian bagi Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 3-5; Yohanes 20

Artikel Terkait:

CerpenKaMu: Penyembahan Puja

“…menyembah Tuhan itu bukanlah sesuatu yang bisa direka-reka dari luar … Penyembahan adalah respons yang keluar dari hati.” Begitulah yang diceritakan Yohana Utami dalam cerita pendek ini. Sebuah cerpen yang menceritakan kehadiran Tuhan melalui setiap penyembahan yang dilakukan.
Bagaimana dia dikuatkan Tuhan melalui setiap penyembahan yang dia lakukan? Yuk baca cerita lengkapnya didalam artikel ini.

Haruskah Kita Mengikuti Kata Hati?

Oleh: Kezia L.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Follow Your Heart … Really?

Follow-Your-Heart

Ikutilah kata hatimu, lakukanlah apa yang membuatmu merasa bahagia.

Banyak orang memberiku nasihat ini saat remaja. Berulang-ulang. Kata mereka, itu adalah resep untuk menjalani hidup yang menyenangkan, penuh sukacita. Dorongan untuk mengejar kebahagiaan ini kujumpai di mana-mana—dalam apa yang aku baca, aku tonton, aku dengarkan. Jelas saja pesan itu segera memenuhi pikiranku yang masih labil.

Jadi, aku pun mengikuti kata hatiku—dan terjun bebas ke dalam pusaran pilihan-pilihan yang negatif. Aku gonta-ganti pacar, tak peduli dengan berbagai nasihat dan peringatan yang ada karena aku selalu ingin punya seseorang di sampingku. Hasrat hati dan harga diriku menjadi lebih penting dari orang lain, sehingga aku banyak menyakiti teman-temanku pada masa itu.

Lingkungan tempat aku dibesarkan tidak banyak menolong, malah cenderung mendukung perasaanku. Saat emosiku tersentuh oleh film, lagu, atau perkataan seseorang, dengan sangat mudah aku luluh dan berkompromi. Aku membiarkan perasaanku menentukan penilaian dan tindakan-tindakanku. Emosiku naik turun seperti orang di atas rollercoaster. Aku mengejar orang saat aku merasa butuh, lalu meninggalkan mereka setelah mendapatkan apa yang aku mau. Aku mengejar pencapaian, materi, dan pujian dunia. Sebuah petualangan gila yang membekaskan sebuah lubang besar dalam jiwaku. Aku tidak tahu tujuan hidupku. Aku menghancurkan diriku sendiri, sedikit demi sedikit.

Aku merasa terperangkap, kehilangan arah, dan kebingungan. Ironisnya, rasa sakit itu membawaku kepada keputusan-keputusan yang makin keliru dan bahkan lebih banyak penderitaan. Kata hatiku membawaku kepada kehancuran. Saat itu aku tidak menyadari bahwa hatiku ternyata tidak bisa diandalkan untuk menentukan apa yang baik dan benar. Aku beranggapan bahwa kata hatiku akan menuntunku kepada kebahagiaan.

Setelah sekian lama menderita akibat ulahku sendiri, aku akhirnya menyadari: hatiku tidak bisa diandalkan.

Siapa yang Mengenal Hati Kita?
Yeremia 17:9 berkata: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Pengalaman masa lalu yang buruk membuat jiwaku yang lesu tersentak saat pertama kali membaca ayat ini. Jika hati kita licik dan jahat, mengikuti kata hati bukanlah resep yang bijak untuk menjalani hidup yang berarti dan bahagia. Namun, bila aku tidak bisa mempercayai kata hatiku sendiri, apa yang bisa kupercayai? Siapa yang bisa menyediakan arahan bagiku?

Mazmur 37:4 dan Lukas 10:27 menawarkan jawabannya: “Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Ada sesuatu yang hilang dalam keyakinan yang kupegang selama ini. Aku kemudian menyadari bahwa hanya Allah yang dapat sungguh-sungguh mengenal hatiku. Ketika aku belajar untuk mengasihi-Nya dengan segenap diriku dan menikmati-Nya (yang aku pelajari dengan menyediakan waktu bersama-Nya secara konsisten), hati-Nya menjadi hatiku, dan kerinduan-kerinduan-Nya menjadi kerinduan-kerinduanku. Aku mulai mendambakan hal-hal yang benar dan ingin menghormati Allah dalam segala sesuatu yang kulakukan.

Sebelumnya aku telah bertindak bodoh. Aku telah membiarkan hatiku yang mudah berubah, membawaku membuat berbagai keputusan dan pilihan yang mengerikan. Memang ada saat-saat aku merasa bahagia bisa mengejar keinginan dagingku dan melakukan apa yang aku mau, namun kebahagiaan itu tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya, aku selalu merasa sangat kosong. Ada sebuah ruang kosong yang besar dalam jiwaku, aku sendiri tidak tahu bagaimana mengisinya.

Tetapi sekarang, dalam perjalanan belajar menikmati Allah lebih dan lebih lagi, aku menemukan bahwa hadirat Allah memuaskanku lebih dari segala hal yang lain. Kini, aku tidak hanya menemukan kehidupan itu jauh lebih menyenangkan, kekosongan yang pernah aku rasakan telah menguap. Sebagai gantinya, aku menemukan limpahan kasih, sukacita, dan kebahagiaan, karena sumber kepuasanku kini ada di dalam Tuhan

Agungkanlah Tuhan sebagai yang pertama dan utama dalam hidupmu. Biarkan Dia memerintah dalam hatimu. Biarkan kepuasanmu ditemukan di dalam Dia saja. Biarkan kemuliaan-Nya menjadi tujuan hidupmu yang utama. Mengikuti kata hati dapat membuatmu benar-benar bahagia, hanya ketika Allah menjadi yang terutama dalamnya.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut:
Bagaimana caramu membuat berbagai keputusan dan pilihan dalam hidup? Apakah kamu cenderung dipengaruhi kata hati atau prinsip-prinsip firman Tuhan?

Lagi-Lagi Tentang Kasih …

Oleh: Sari Marlia

tentang-kasih

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Markus 12:30-31). Dua ayat yang pastinya tidak asing di telinga kita. Kupasan bagian Firman Tuhan ini kembali aku dengar dalam sebuah Kebaktian Remaja di bulan Juni 2014.

Hari itu aku diingatkan bahwa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia adalah dua hal yang tidak bisa dipilih dan ditawar (sederhananya, mengasihi Allah dan sesama adalah satu paket komplit). Kita tidak dapat berkata, “Tuhan aku mengasihi-Mu” ketika pada saat yang sama kita sedang membenci orang lain, dendam kepada orang lain, sakit hati, dan kecewa kepada orang lain. Kita pun tidak dapat berkata, “Kawan, aku mengasihimu”, ketika pada saat yang sama kita sedang merasa kecewa karena Tuhan belum menjawab doa-doa kita.

Mengasihi tidak lepas dari melakukan sesuatu. Maksudku, kedua hal tersebut saling berhubungan. Ketika kita mengasihi Allah, kasih itu tentu akan mendorong kita melakukan sesuatu untuk Allah. Demikian pula sering melakukan sesuatu untuk teman yang sedang dalam kesulitan dapat memperdalam kasih kita terhadap teman tersebut. Kita dapat saja melakukan sesuatu tanpa kasih, tapi kita tak dapat mengasihi tanpa melakukan sesuatu.

Mengasihi tidak hanya bicara soal hati. Firman Tuhan dengan jelas meminta kita mengasihi dengan segenap jiwa, segenap akal budi, dan segenap kekuatan kita. Kalau kita berkata bahwa kita mengasihi keluarga kita, sewajarnyalah kita berpikir keras (menggunakan akal budi kita sebaik mungkin) bagaimana caranya memelihara keharmonisan dan keutuhan keluarga, bagaimana caranya menafkahi keluarga kita, dan seterusnya. Tidak hanya itu. Kita juga akan menggunakan segenap kekuatan kita untuk mewujudkannya.

Sebagaimana khotbah kebaktian remaja pada umumnya, pembicara hari itu menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana, agar mudah dimengerti para remaja. Tetapi, khotbah yang sederhana itu sungguh menggugahku untuk memeriksa diri sendiri. Sudahkah aku mengasihi Allah dan sesamaku manusia? Apakah aku mengaku mengasihi Allah, tetapi masih menyimpan rasa sakit hati dengan rekan sepelayananku? Apakah aku mengasihi mereka yang pernah atau sedang menyakitiku? Sudahkah aku mengasihi dan memelihara diri sendiri? Sudahkah aku mengupayakan kasih itu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan segenap kekuatanku?

Kiranya dapat menjadi perenungan kita bersama. Tuhan Yesus memberkati.