Posts

Membuat Pilihan yang Berkenan pada Tuhan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Setiap hari dalam hidup kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan. Dimulai saat bangun tidur, kita punya pilihan mau tetap di kasur atau lanjut beraktivitas. Dari pilihan yang sederhana sampai rumit, hidup selalu dipenuhi dengan pilihan.

Jika pilihannya tampak sederhana, kita mungkin menanggapinya dengan santai. Tapi, ketika pilihan yang diambil berhubungan dengan masa depan, kita pun gusar. Bingung menentukan mana yang paling tepat. Salah satu pilihan yang menurutku sulit diambil adalah ketika aku melewati masa-masa pasca kuliah. Di mana aku akan tinggal setelah lulus? Lanjut studi apa kerja? Apakah aku harus pindah ke kota yang sama dengan pacarku? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kita, yang berpengaruh cukup besar adalah aspek emosi. Kalau terasa benar, lakukan saja. Kalau rasanya tidak enak, pasti tidak benar. Pikiran kita menyederhanakan demikian. Tapi, kita lupa, bahwa terkadang emosi dan keinginan hati kita seringkali menipu kita sebagaimana Alkitab berkata dalam Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Ketika emosi dan keinginan hati jadi faktor penggerak utama, bisa jadi keputusan yang kita ambil jauh dari apa yang Allah inginkan. Ada satu buku yang pernah kubaca, judulnya Gumulan Hidup Pascakuliah. Buku ini ditulis oleh Erica Young Reitz, pemimpin senior EXIT, sebuah program setahun yang bertujuan mempersiapkan alumni baru masuk ke fase hidup berikutnya. Dalam bukunya, sang penulis mengajak kita mengevaluasi bahwasanya ada pertimbangan dalam kita membuat keputusan.

Menyelaraskan diri dengan Allah

Keputusan yang bijak dan menghormati Allah hanya bisa diambil jika kita punya jalinan hubungan yang dekat dengan-Nya. Relasi yang dekat dengan-Nya akan menolong kita untuk mendengar dan melihat-Nya dalam keputusan yang akan kita ambil. Bagaimana caranya?

1. Carilah informasi yang detail

Sebelum membuat keputusan yang besar, penting bagi kita untuk memahami sebanyak mungkin hal yang ingin kita putuskan. Semisal, jika kita ingin mengambil pekerjaan di tempat yang baru atau di luar kampung halaman kita, maka kita bisa mencari informasi besarnya biaya hidup, pilihan transportasi dan pasar kerjanya. Allah mengaruniakan diri kita kemampuan otak yang dapat mengumpulkan informasi sehingga ketika kita diperhadapkan dengan dua pilihan yang tampaknya baik, pengumpulan informasi bisa menjadi langkah kunci dalam membantu kita memutuskan mana yang akan dipilih.

2. Carilah nasihat kepada orang yang kompeten

Amsal 15:22 berkata, “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak” (Amsal 15:22).

Minggu lalu, aku bergumul mau membeli HP atau laptop. Sebenarnya aku ingin membeli HP saja karena HPku sudah jadul dan susah digunakan. Tapi, aku juga butuh laptop, apalagi sekarang pekerjaan harus dilakukan dari rumah, dan kalau ada laptop, aku bisa lebih mudah menulis. Dua benda ini terlihat sama-sama penting, tapi kalau harus beli keduanya, aku tidak punya cukup uang.

Aku bergumul. Aku bertanya pada Tuhan benda manakah yang paling tepat kubeli. Lalu aku berdiskusi dengan pacarku karena dia adalah salah satu orang terdekatku yang mampu mengatur keuangan pribadinya dengan baik. Dia pun mengerti kesulitanku, sehingga dia menyarankanku untuk membeli laptop saja. Mungkin bagi beberapa orang perkara seperti ini adalah hal biasa yang tak perlu ditanggapi serius, tapi bagiku menggumuli ini sangatlah penting. Uang yang Tuhan percayakan kepadaku harus kugunakan dengan penuh tanggung jawab.

Dalam mengambil keputusan, kita perlu nasihat atau masukan dari orang lain yang kita anggap kompeten, yang punya pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menolong kita. Orang itu bisa berupa orang tua, kakak rohani, senior kita, atau pun teman kita. Namun perlu kita perhatikan: meminta nasihat bukan berarti menjadikan merekalah yang mengambil keputusan bagi kita. Bayangkan jika kita meminta nasihat dari dua atau tiga orang yang masing-masing punya nasihat berbeda. Jika harus menjadikan nasihat mereka mentah-mentah sebagai keputusan kita, pastinya kita akan bingung. Olahlah segala masukan yang telah kita terima, doakanlah, hingga akhirnya kita mengambil keputusan.

Setelah keputusan diambil, serahkanlah kembali keputusan itu kepada Allah. Kalaupun keputusan yang kita ambil tak berjalan seperti yang kita rencanakan, ingatlah bahwa segala sesuatu terjadi dalam kendali Tuhan.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Kegagalan mendengar suara-Nya saat kita menginginkannya adalah karena kita sebenarnya tidak ingin mendengarkan Dia. Kita menginginkannya hanya bila kita berpikir kita membutuhkannya – Dallas Willard, Hearing God.

Baca Juga:

Perjumpaan dengan-Nya, Mengubah Segalanya

Perjumpaan dengan Kristus sungguh-sungguh dapat mengubahkan siapa saja. Aku tidak berkata, setelah aku mengenalnya, aku lalu menjadi sempurna. Sama sekali tidak. Rasul Paulus pun tidak sempurna, apalagi aku. Aku berulang kali jatuh dan gagal. Tetapi, aku bisa bangkit.

Haruskah Kita Mengikuti Kata Hati?

Oleh: Kezia L.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Follow Your Heart … Really?

Follow-Your-Heart

Ikutilah kata hatimu, lakukanlah apa yang membuatmu merasa bahagia.

Banyak orang memberiku nasihat ini saat remaja. Berulang-ulang. Kata mereka, itu adalah resep untuk menjalani hidup yang menyenangkan, penuh sukacita. Dorongan untuk mengejar kebahagiaan ini kujumpai di mana-mana—dalam apa yang aku baca, aku tonton, aku dengarkan. Jelas saja pesan itu segera memenuhi pikiranku yang masih labil.

Jadi, aku pun mengikuti kata hatiku—dan terjun bebas ke dalam pusaran pilihan-pilihan yang negatif. Aku gonta-ganti pacar, tak peduli dengan berbagai nasihat dan peringatan yang ada karena aku selalu ingin punya seseorang di sampingku. Hasrat hati dan harga diriku menjadi lebih penting dari orang lain, sehingga aku banyak menyakiti teman-temanku pada masa itu.

Lingkungan tempat aku dibesarkan tidak banyak menolong, malah cenderung mendukung perasaanku. Saat emosiku tersentuh oleh film, lagu, atau perkataan seseorang, dengan sangat mudah aku luluh dan berkompromi. Aku membiarkan perasaanku menentukan penilaian dan tindakan-tindakanku. Emosiku naik turun seperti orang di atas rollercoaster. Aku mengejar orang saat aku merasa butuh, lalu meninggalkan mereka setelah mendapatkan apa yang aku mau. Aku mengejar pencapaian, materi, dan pujian dunia. Sebuah petualangan gila yang membekaskan sebuah lubang besar dalam jiwaku. Aku tidak tahu tujuan hidupku. Aku menghancurkan diriku sendiri, sedikit demi sedikit.

Aku merasa terperangkap, kehilangan arah, dan kebingungan. Ironisnya, rasa sakit itu membawaku kepada keputusan-keputusan yang makin keliru dan bahkan lebih banyak penderitaan. Kata hatiku membawaku kepada kehancuran. Saat itu aku tidak menyadari bahwa hatiku ternyata tidak bisa diandalkan untuk menentukan apa yang baik dan benar. Aku beranggapan bahwa kata hatiku akan menuntunku kepada kebahagiaan.

Setelah sekian lama menderita akibat ulahku sendiri, aku akhirnya menyadari: hatiku tidak bisa diandalkan.

Siapa yang Mengenal Hati Kita?
Yeremia 17:9 berkata: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Pengalaman masa lalu yang buruk membuat jiwaku yang lesu tersentak saat pertama kali membaca ayat ini. Jika hati kita licik dan jahat, mengikuti kata hati bukanlah resep yang bijak untuk menjalani hidup yang berarti dan bahagia. Namun, bila aku tidak bisa mempercayai kata hatiku sendiri, apa yang bisa kupercayai? Siapa yang bisa menyediakan arahan bagiku?

Mazmur 37:4 dan Lukas 10:27 menawarkan jawabannya: “Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Ada sesuatu yang hilang dalam keyakinan yang kupegang selama ini. Aku kemudian menyadari bahwa hanya Allah yang dapat sungguh-sungguh mengenal hatiku. Ketika aku belajar untuk mengasihi-Nya dengan segenap diriku dan menikmati-Nya (yang aku pelajari dengan menyediakan waktu bersama-Nya secara konsisten), hati-Nya menjadi hatiku, dan kerinduan-kerinduan-Nya menjadi kerinduan-kerinduanku. Aku mulai mendambakan hal-hal yang benar dan ingin menghormati Allah dalam segala sesuatu yang kulakukan.

Sebelumnya aku telah bertindak bodoh. Aku telah membiarkan hatiku yang mudah berubah, membawaku membuat berbagai keputusan dan pilihan yang mengerikan. Memang ada saat-saat aku merasa bahagia bisa mengejar keinginan dagingku dan melakukan apa yang aku mau, namun kebahagiaan itu tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya, aku selalu merasa sangat kosong. Ada sebuah ruang kosong yang besar dalam jiwaku, aku sendiri tidak tahu bagaimana mengisinya.

Tetapi sekarang, dalam perjalanan belajar menikmati Allah lebih dan lebih lagi, aku menemukan bahwa hadirat Allah memuaskanku lebih dari segala hal yang lain. Kini, aku tidak hanya menemukan kehidupan itu jauh lebih menyenangkan, kekosongan yang pernah aku rasakan telah menguap. Sebagai gantinya, aku menemukan limpahan kasih, sukacita, dan kebahagiaan, karena sumber kepuasanku kini ada di dalam Tuhan

Agungkanlah Tuhan sebagai yang pertama dan utama dalam hidupmu. Biarkan Dia memerintah dalam hatimu. Biarkan kepuasanmu ditemukan di dalam Dia saja. Biarkan kemuliaan-Nya menjadi tujuan hidupmu yang utama. Mengikuti kata hati dapat membuatmu benar-benar bahagia, hanya ketika Allah menjadi yang terutama dalamnya.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut:
Bagaimana caramu membuat berbagai keputusan dan pilihan dalam hidup? Apakah kamu cenderung dipengaruhi kata hati atau prinsip-prinsip firman Tuhan?