Posts

Belajar Menantikan Allah

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Menunggu seringkali terasa berat untuk dilakukan. Menunggu itu sangat membosankan. Menunggu seakan tidak ada kepastian yang akan terjadi. Tetapi mau tidak mau, menunggu adalah pilihan yang selalu diperhadapkan dalam kehidupan kita setiap hari. Saat ini aku harus menunggu tangan kananku sembuh untuk bisa melanjutkan kompetisi novel yang sedang aku ikuti, pun aku harus menunggu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir sehingga aku bisa pulang ke kampung halaman. Setiap hari kita dituntut untuk belajar menunggu.

Mungkin hal-hal menunggu yang aku sampaikan ini masih terbilang remeh. Lalu bagaimana jika kita harus menunggu hal-hal yang lebih serius? Kita yang masih lajang dan rindu berpasangan menunggu Allah mempersiapkan pernikahan buat kita; pasangan suami istri yang sudah menikah lama rindu membesarkan keturunan; atau mungkin juga ada di antara kita yang sedang menanti pekerjaan, namun tidak kunjung memperolehnya. Tiap-tiap kita, dalam setiap kehidupan yang kita jalani, harus belajar untuk menunggu.

Selama liburan ini, aku sedang menikmati buku “Jika Anda Ingin Berjalan Di Atas Air Keluarlah Dari Perahu” yang ditulis oleh John Ortberg. Dalam bagian buku yang dia tuliskan, ada satu bagian yang membahas tentang MENUNGGU.

John menulis, menunggu bisa jadi merupakan hal paling sulit yang harus kita lakukan. Sungguh mengecewakan ketika kita berpaling kepada Alkitab dan mendapati bahwa Allah sendiri, yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, terus berkata kepada umat-Nya: Tunggu!

Berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. (Mazmur 37:7)

Nantikanlah Tuhan dan tetap ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri, dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan (Mazmur 37:34)

Allah mendatangi Abraham ketika ia berumur 75 tahun dan mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang ayah, leluhur dari suatu bangsa yang besar. Berapa lama sebelum janji itu digenapi? 24 tahun Abraham harus menunggu.

Allah memberi tahu bangsa Israel bahwa mereka akan meninggalkan perbudakan di Mesir dan menjadi suatu bangsa. Namun bangsa itu harus menunggu 400 tahun.

Allah memberi tahu Musa bahwa Dia akan menuntun umat-Nya ke Tanah Perjanjian. Namun mereka harus menunggu selama 40 tahun di padang gurun.

Sebanyak 43 kali dalam Perjanjian lama, orang diperintahkan, “Nantikanlah. Nantikanlah Tuhan.” Lalu pertanyaannya, mengapa Allah membuat kita menunggu? Jika Dia dapat melakukan sesuatu, mengapa Dia tidak memberikan kelegaan dan jawaban sekarang? Salah satu alasannya—meminjam penjelasan dari Bet Patterson—apa yang Allah kerjakan di dalam diri kita saat menunggu itu sama pentingnya dengan apa yang kita tunggu.

Menantikan Tuhan bukan berarti menanti dengan pasif, artinya bukan tidak melakukan apa-apa. Kadang kita mengatakan kalau kita sedang menantikan Tuhan sebagai dalih untuk tidak memikul tanggung jawab atau mengambil tindakan yang diperlukan. Menantikan Tuhan itu berarti terus melekat kepada Allah dengan penuh keyakinan, berdisiplin, penuh pengharapan, aktif dan kadang-kadang menyakitkan. Paulus mengatakan bahwa selama kita menunggu Allah memulihkan segala sesuatu, kita mengalami penderitaan. “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita dan oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5:3-5). Menunggu itu bukan hanya sesuatu yang kita lakukan sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Menunggu adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang sesuai dengan rancangan Allah.

John Ortberg menjelaskan ada tiga sikap yang harus kita lakukan ketika menantikan Tuhan:

  1. Kepercayaan yang sabar
  2. Petrus menulis dalam 2 Petrus 3:8-9, “Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

    Terlalu sering kita menginginkan berkat-berkat dari Allah, namun kita tidak menginginkan penentuan waktu-Nya. Kita lupa bahwa pekerjaan-Nya di dalam diri kita saat kita menunggu itu sama pentingnya dengan apa yang kita pikir sedang kita nanti-nantikan. Mungkin saat ini kita memiliki impian tentang pencapaian tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan. Apa yang kita harapkan tidak terjadi. Kita tidak tahu penyebabnya, tetapi kegagalan itu menyakitkan diri kita. Kita menjadi tergoda untuk berusaha memaksakannya, kita mendesak, memanipulasi atau menyusun siasat untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu.

    Saat menunggu, tugas kita adalah bukan meraih dengan penuh kecemasan. Menunggu memerlukan kepercayaan yang sabar.

  3. Kerendahan hati yang penuh keyakinan
  4. Dalam Yesaya 32:17, “Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketentraman untuk selama-lamanya.”

    Dari ayat ini buah dari kebenaran menghasilkan dua kualitas karakter. Pertama adalah keyakinan. Bukan keyakinan terhadap diri sendiri, melainkan terhadap Dia yang menopang kita. Yang kedua adalah ketenangan, dengan rendah hati kita mengakui keterbatasan kita.

    Menunggu itu perlu dilakukan dengan rendah hati, kita membutuhkan anugerah Tuhan untuk melakukannya. Sembari menunggu, kita dapat berdoa, sebab doa dapat menolong kita mengatasi perasaan khawatir.

  5. Menantikan Tuhan memerlukan pengharapan yang tidak terpadamkan
  6. Dalam Roma 8:24-25, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.”

    Pengharapan itu sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk penantian. Bila saat ini kita sedang menantikan Allah, jika kita menaati Allah tetapi belum melihat hasil yang kita harapkan, kita perlu tahu di Alkitab ada janji indah yang berkaitan dengan penantian ini:

    “Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:30-31).

    Teman-teman, aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan kalian saat ini. Tetapi kita dituntut untuk belajar menantikan Allah. Belajar menantikan Allah yang akan menjawab seturut dengan cara dan waktu-Nya. Mari menikmati pembentukan dari Allah dalam masa-masa penantian kita masing-masing.

    “Penundaan kepuasan adalah proses menjadwalkan penderitaan dan kegembiraan hidup sedemikian rupa guna meningkatkan kegembiraan” (M. Scott Peck).

Baca Juga:

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku.

Tapi, sungguhkah solusi dari bosan dan lelah hanyalah menyerah?

Tidak Pernah Terlambat

Minggu, 21 Juli 2019

Tidak Pernah Terlambat

Baca: Markus 5:35-43

5:35 Ketika Yesus masih berbicara datanglah orang dari keluarga kepala rumah ibadat itu dan berkata: “Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru?”

5:36 Tetapi Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat: “Jangan takut, percaya saja!”

5:37 Lalu Yesus tidak memperbolehkan seorangpun ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes, saudara Yakobus.

5:38 Mereka tiba di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana dilihat-Nya orang-orang ribut, menangis dan meratap dengan suara nyaring.

5:39 Sesudah Ia masuk Ia berkata kepada orang-orang itu: “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur!”

5:40 Tetapi mereka menertawakan Dia. Maka diusir-Nya semua orang itu, lalu dibawa-Nya ayah dan ibu anak itu dan mereka yang bersama-sama dengan Dia masuk ke kamar anak itu.

5:41 Lalu dipegang-Nya tangan anak itu, kata-Nya: “Talita kum,”* yang berarti: /”Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!”

5:42 Seketika itu juga anak itu bangkit berdiri dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun. Semua orang yang hadir sangat takjub.

5:43 Dengan sangat Ia berpesan kepada mereka, supaya jangan seorangpun mengetahui hal itu, lalu Ia menyuruh mereka memberi anak itu makan.

Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat: “Jangan takut, percaya saja!” —Markus 5:36

Tidak Pernah Terlambat

Ketika ibu mertua saya terkena serangan jantung, beliau beruntung dapat segera menerima pertolongan medis yang tepat. Dokter mengatakan bahwa pasien kritis yang mendapat pertolongan dalam lima belas menit pertama setelah serangan memiliki peluang selamat hingga 33 persen. Namun, hanya 5 persen yang selamat apabila ditangani lewat dari rentang waktu itu.

Dalam perjalanan menyembuhkan anak Yairus yang sakit parah (dan jelas membutuhkan pertolongan segera), Yesus justru melakukan hal yang tidak lazim: Dia berhenti sejenak (Mrk. 5:30). Dia berhenti untuk mengetahui siapa yang telah menjamah jubah-Nya, lalu berbicara dengan wanita itu. Bisa dibayangkan pikiran Yairus saat itu: Sungguh waktu yang tidak tepat, anak perempuanku hampir mati! Ketakutannya pun menjadi kenyataan—tampaknya Yesus menunda terlalu lama dan anak perempuannya meninggal dunia (ay.35).

Namun, Yesus berpaling kepada Yairus dan mengucapkan kata-kata yang menguatkan: “Jangan takut, percaya saja” (ay.36). Kemudian, dengan tidak menghiraukan ejekan orang-orang, Yesus berbicara kepada anak perempuan Yairus dan anak itu pun hidup kembali! Melalui peristiwa itu, Yesus menunjukkan bahwa Dia tidak pernah terlambat. Waktu tidak dapat membatasi apa yang sanggup Dia lakukan dan kapan Dia memilih untuk melakukannya.

Berapa sering kita merasa Allah terlambat bertindak dalam menjawab kerinduan kita? Namun, sesungguhnya itu tidak benar. Allah tidak pernah terlambat untuk menyelesaikan pekerjaan kasih-Nya yang baik dalam hidup kita. —Peter Chin

WAWASAN
Markus memakai cerita Yesus yang membangkitkan anak perempuan Yairus dari kematian sebagai ilustrasi tentang iman. Tak seperti murid-murid yang kurang beriman (Markus 4:40), dalam Markus 5, seorang perempuan disembuhkan karena imannya (ay. 34). Tidak lama setelah peristiwa kesembuhan ini, Yairus diberitahu bahwa anak perempuannya telah mati (ay. 35). Yesus mengatakan pada Yairus untuk “percaya” (ay. 36). Dalam bahasa Yunani, kata “percaya” ini ditulis dalam bentuk kata kerja yang memiliki makna “terus menerus” atau “selalu”, sehingga dapat diterjemahkan, “Tetaplah percaya.” Kelihatannya, sudah tak ada alasan bagi Yairus untuk mengharapkan kesembuhan anaknya, tetapi Yesus mendorongnya untuk tetap berharap. Dengan demikian, Markus memberi gambaran tentang iman yang terus berharap walaupun tidak ada alasan lagi. Meski tak semua dukacita bisa dipulihkan dalam hidup ini, kebangkitan Kristus berarti selalu ada alasan bagi orang percaya untuk tetap percaya (lihat 2 Korintus 4:13-14). —Monica Brands

Pernahkah kamu mengalami bagaimana Tuhan bekerja menurut waktu-Nya sendiri? Mengapa penting bagimu untuk berserah kepada kedaulatan Allah—dengan mengakui bahwa rencana-Nya adalah yang terbaik bagi hidupmu?

Tuhan Yesus, tolonglah aku mengingat bahwa Engkau berdaulat atas segalanya, termasuk waktu, dan Engkau tidak pernah terlambat untuk mewujudkan rencana-rencana-Mu yang sempurna.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 29-30; Kisah Para Rasul 23:1-15

Handlettering oleh Marcella Liem

Lepas dari Kebisingan

Kamis, 7 Maret 2019

Lepas dari Kebisingan

Baca: 1 Raja-Raja 19:9-13

19:9 Di sana masuklah ia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

19:10 Jawabnya: “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.”

19:11 Lalu firman-Nya: “Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!” Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu.

19:12 Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.

19:13 Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. —1 Raja-Raja 19:12

Daily Quotes ODB

Beberapa tahun lalu, pimpinan sebuah kampus mengajak para mahasiswa untuk bergabung dalam kegiatan “mematikan gawai” pada suatu malam. Awalnya para mahasiswa merasa berat meninggalkan telepon genggam dan masuk ke kapel. Namun, mereka akhirnya bersedia dan selama satu jam, duduk diam dalam kebaktian yang diisi dengan musik dan doa. Sesudahnya, salah seorang mahasiswa menggambarkan pengalamannya itu sebagai “suatu kesempatan indah untuk menenangkan diri . . . untuk lepas dari segala kebisingan yang tidak perlu.”

Kadang kala memang sulit melepaskan diri dari “kebisingan yang tidak perlu.” Kebisingan dari luar maupun dari dalam diri kita bisa memekakkan telinga. Namun, ketika kita bersedia “mematikannya”, kita akan mulai memahami maksud sang pemazmur yang mengingatkan bahwa kita perlu berdiam diri untuk dapat mengenal Allah (Mzm. 46:11). Dalam 1 Raja-Raja 19, kita melihat bagaimana ketika Nabi Elia mencari Tuhan, ia tidak menemukan-Nya dalam keriuhan angin, gempa bumi, atau api (ay.9-13). Namun kemudian, Elia mendengar bisikan lembut Allah (ay.12).

Dalam suatu keramaian sudah pasti terjadi kebisingan. Saat keluarga dan teman-teman berkumpul bersama, di sanalah terjadi obrolan seru, makan-makan, senda gurau, dan kehangatan. Namun, saat kita membuka hati dalam keteduhan, kita mendapati bahwa waktu-waktu yang dilalui bersama Allah ternyata lebih indah dari semua itu. Seperti Elia, kita lebih mungkin bertemu Allah dalam keheningan. Adakalanya, jika kita memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kita juga bisa mendengar bisikan lembut dari-Nya. —Cindy Hess Kasper

Apa yang dapat menolong kamu mendekat kepada Allah dalam ketenangan dan kesendirian? Bagaimana kamu dapat secara teratur menyisihkan gawai maupun meneduhkan pikiranmu?

Dalam keheninganlah kita lebih mungkin mendengar bisikan lembut Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 3-4; Markus 10:32-52

Tak Bisa Dilepaskan

Kamis, 17 Januari 2019

Tak Bisa Dilepaskan

Baca: Hosea 11:8-11

11:8 Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak.

11:9 Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.

11:10 Mereka akan mengikuti TUHAN, Ia akan mengaum seperti singa. Sungguh, Ia akan mengaum, maka anak-anak akan datang dengan gemetar dari barat,

11:11 seperti burung dengan gemetar datang dari Mesir, dan seperti merpati dari tanah Asyur, lalu Aku akan menempatkan mereka lagi di rumah-rumah mereka, demikianlah firman TUHAN.

[Tiada yang] dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. —Roma 8:39

Tak Bisa Dilepaskan

“Satu hal apa yang tak bisa kamu lepaskan?” tanya seorang penyiar radio. Para penelepon memberi sejumlah jawaban menarik. Ada yang menyebutkan keluarga mereka, termasuk seseorang yang menceritakan kenangan tentang istrinya yang sudah wafat. Yang lain menyebutkan impian mereka, seperti menjadi seorang ibu atau berkarir di dunia musik. Kita semua memiliki sesuatu yang sangat berharga—seseorang, impian, harta milik—sesuatu yang tak bisa dilepaskan.

Dalam kitab Hosea, Allah berfirman bahwa Dia takkan melepaskan Israel, umat pilihan-Nya yang sangat berharga. Seperti seorang suami yang penuh kasih terhadap Israel, Allah menyediakan semua kebutuhannya: tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian, dan rasa aman. Namun, seperti seorang istri yang berzina, Israel menolak Allah lalu mencari kesenangan dan rasa aman dari sumber yang lain. Semakin Allah memanggil mereka, semakin mereka menjauh dari hadapan-Nya (Hos. 11:2). Meski Israel sangat menyakiti hati-Nya, Allah takkan menyerah atas mereka (ay.8). Dia akan menghukum Israel untuk kemudian menebus mereka; Dia rindu membangun kembali hubungan dengan mereka (ay.11).

Semua anak Allah dapat memiliki kepastian yang sama saat ini: kasih-Nya kepada kita membuat-Nya takkan pernah melepaskan kita (Rm. 8:37-39). Ketika kita menjauh dari Allah, Dia mendambakan agar kita kembali kepada-Nya. Ketika Allah menghukum kita, itulah tanda pengejaran-Nya, bukan penolakan-Nya. Kita ini milik-Nya yang berharga; Dia takkan pernah melepaskan kita. —Poh Fang Chia

Bapa Surgawi, terima kasih atas kasih-Mu yang tak pernah melepaskanku. Tolong aku untuk mengasihi-Mu dengan segenap hati.

Allah selalu menerima anak-Nya yang kembali kepada-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 41-42; Matius12:1-23

Nasib Buruk Lobster

Minggu, 13 Januari 2019

Nasib Buruk Lobster

Baca: 1 Tesalonika 5:11-18

5:11 Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.

5:12 Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu;

5:13 dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka. Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain.

5:14 Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang.

5:15 Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.

5:16 Bersukacitalah senantiasa.

5:17 Tetaplah berdoa.

5:18 Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang. —1 Tesalonika 5:15

Nasib Buruk Lobster

Ketika seorang sepupu mengajak saya memancing lobster air tawar, saya sangat bersemangat. Namun, saya menyeringai ketika ia memberikan ember plastik. “Tak ada tutupnya?”

“Tidak perlu,” katanya sembari mengambil tongkat pancing dan sebungkus kecil umpan dari irisan daging ayam.

Saat mengamati lobster-lobster kecil saling memanjat agar bisa keluar dari ember yang hampir penuh, saya sadar mengapa embernya tak perlu ditutup. Tiap kali seekor lobster berhasil sampai ke mulut ember, lobster-lobster lain di dalam akan menariknya jatuh lagi.

Nasib buruk lobster itu mengingatkan saya pada bahaya dari keegoisan, yaitu ketika kita hanya memikirkan pencapaian pribadi daripada mengejar kebaikan seluruh komunitas. Dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika, Rasul Paulus memahami pentingnya relasi yang saling mendukung dan mengandalkan. Nasihatnya, “Tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang” (1Tes. 5:14).

Setelah memuji jemaat Tesalonika yang telah saling membangun (ay.11), Paulus mendorong mereka agar memperdalam kasih dan kedamaian di antara mereka (ay.13-15). Dengan berusaha menciptakan gaya hidup yang saling mengampuni, berbuat baik, dan berbelaskasihan, hubungan mereka dengan Allah dan sesama akan makin dikuatkan (ay.15,23).

Gereja dapat bertumbuh dan menjadi saksi Kristus lewat kesatuan umat yang saling mengasihi. Ketika umat percaya menghormati Allah, dengan berkomitmen untuk saling membangun daripada menjatuhkan lewat perkataan maupun perbuatan, kita sebagai pribadi maupun komunitas akan terus mengalami pertumbuhan. —Xochitl Dixon

Apa yang akan kamu lakukan untuk membangun orang lain? Perhatian dan perbuatan kasih apa yang pernah kamu terima dari saudara seiman?

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 31-32; Matius 9:18-38

Dari Aib Menjadi Mulia

Senin, 17 Desember 2018

Dari Aib Menjadi Mulia

Baca: Lukas 1:18-25

1:18 Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya.”

1:19 Jawab malaikat itu kepadanya: “Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu.

1:20 Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.”

1:21 Sementara itu orang banyak menanti-nantikan Zakharia. Mereka menjadi heran, bahwa ia begitu lama berada dalam Bait Suci.

1:22 Ketika ia keluar, ia tidak dapat berkata-kata kepada mereka dan mengertilah mereka, bahwa ia telah melihat suatu penglihatan di dalam Bait Suci. Lalu ia memberi isyarat kepada mereka, sebab ia tetap bisu.

1:23 Ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya, ia pulang ke rumah.

1:24 Beberapa lama kemudian Elisabet, isterinya, mengandung dan selama lima bulan ia tidak menampakkan diri, katanya:

1:25 “Inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku, dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang.”

Sekarang [Tuhan] berkenan menghapuskan aibku di depan orang. —Lukas 1:25

Dari Aib Menjadi Mulia

Natal adalah momen tahunan bagi keluarga untuk berkumpul merayakan kebahagiaan bersama. Namun, ada pula yang merasa segan bertemu dengan sanak dan kerabat tertentu yang suka menanyakan hal-hal ‘sensitif’ seperti “Kapan menikah?” atau “Kapan punya anak?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan mengindikasikan ada yang tidak beres dengan orang yang ditanyai.

Bayangkan kesusahan Elisabet yang tidak mempunyai anak setelah lama menikah. Dalam budayanya, hal itu dipandang sebagai tanda bahwa Allah tak berkenan (lihat 1Sam. 1:5-6), bahkan dianggap sebagai aib. Jadi, meski Elisabet hidup benar di hadapan Allah (Luk. 1:6), tetangga dan kerabatnya mungkin menganggap ia hidup dalam dosa.

Kendati demikian, Elisabet dan suaminya terus melayani Tuhan dengan setia. Lalu, ketika keduanya telah sangat lanjut usia, terjadilah mukjizat. Allah mendengar doa mereka (ay.13). Allah suka menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita (ay.25). Walau tampaknya Allah menunda-nunda, waktu-Nya selalu tepat dan hikmat-Nya selalu sempurna. Bagi Elisabet dan Zakharia, Allah memberikan karunia khusus: seorang anak yang akan mendahului Sang Mesias (Yes. 40:3-5).

Apakah kamu merasa tidak mampu karena tidak punya sesuatu, misalnya gelar sarjana, pasangan, anak, pekerjaan, atau rumah? Tetaplah hidup bagi Allah dengan setia dan sabarlah menanti Dia serta penggenapan rencana-Nya, seperti yang dilakukan Elisabet. Bagaimana pun keadaan kita, Allah terus bekerja di dalam dan melalui diri kita. Dia mengenal hatimu. Dia mendengar doamu. —Poh Fang Chia

Tuhan, Engkau selalu setia dan baik. Tolong kami untuk terus percaya kepada-Mu, sekalipun hati kami telah dilukai.

Tetaplah hidup bagi Allah dengan setia dan sabarlah menanti penggenapan rencana-Nya atas hidupmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Amos 7-9; Wahyu 8

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Kamis, 13 Desember 2018

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Baca: Ratapan 3:1-3,13-24

3:1 Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya.

3:2 Ia menghalau dan membawa aku ke dalam kegelapan yang tidak ada terangnya.

3:3 Sesungguhnya, aku dipukul-Nya berulang-ulang dengan tangan-Nya sepanjang hari.

3:13 Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah dari tabung-Nya.

3:14 Aku menjadi tertawaan bagi segenap bangsaku, menjadi lagu ejekan mereka sepanjang hari.

3:15 Ia mengenyangkan aku dengan kepahitan, memberi aku minum ipuh.

3:16 Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku makan kerikil; Ia menekan aku ke dalam debu.

3:17 Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan, aku lupa akan kebahagiaan.

3:18 Sangkaku: hilang lenyaplah kemasyhuranku dan harapanku kepada TUHAN.

3:19 “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”

3:20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.

3:21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

3:22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,

3:23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!

3:24 “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! —Ratapan 3:22-23

Pohon “Menanti Sang Bayi”

Setelah menghias pohon Natal dengan lampu kerlap-kerlip, saya ikatkan pita merah muda dan biru pada dahan-dahannya. Kami menamainya pohon “Menanti Sang Bayi”. Telah lebih dari empat tahun, saya dan suami menunggu kehadiran seorang bayi melalui proses adopsi. Kali ini kami pasti memperolehnya menjelang Natal!

Setiap pagi, sambil memandang pohon itu, saya berdoa dan mengingatkan diri sendiri akan kesetiaan Allah. Tanggal 21 Desember, kami menerima berita: tak ada bayi yang bisa kami adopsi pada Natal kali ini. Dengan hancur hati, saya berhenti sejenak di depan pohon yang menjadi lambang pemeliharaan Tuhan itu. Saya pun bertanya-tanya, Masihkah Allah setia? Apa salah saya?

Terkadang, Allah menahan jawaban doa untuk mendisiplin kita. Adakalanya, Dia sengaja menunda untuk memperbarui kepercayaan kita. Dalam kitab Ratapan, Nabi Yeremia menggambarkan hukuman Tuhan atas Israel. Rasa sakitnya nyata: “Anak panah-Nya menembus tubuhku sampai menusuk jantungku” (3:13 BIS). Namun, di tengah semua penderitaan itu, Yeremia menyatakan kepercayaan mutlaknya kepada kesetiaan Allah: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (ay. 22-23).

Pohon itu tetap berdiri setelah Natal berlalu dan saya tetap berdoa setiap pagi. Akhirnya, menjelang Paskah, kami menerima seorang bayi perempuan. Allah terbukti selalu setia, meski tidak selalu sesuai dengan waktu atau keinginan kita.

Sekarang, anak-anak saya sudah berusia tiga puluhan, tetapi setiap tahun saya memasang miniatur pohon itu untuk mengingatkan diri dan orang lain untuk tetap berharap pada kesetiaan Allah. —Elisa Morgan

Ya Allah, tolong aku untuk tetap percaya kepada-Mu meski aku tak melihat apa yang sedang Engkau kerjakan, sebab Engkau setia.

Kesetiaan Allah adalah alasan terbaik untuk tetap berharap.

Bacaan Alkitab Setahun: Hosea 12-14; Wahyu 4

Artikel Terkait:

Mimpi Buruk Menjelang Natal

Nasihat Ayah

Senin, 11 Juni 2018

Nasihat Ayah

Baca: Amsal 3:1-7

3:1 Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,

3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.

3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,

3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.

3:5 Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

3:6 Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.

3:7 Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. —Amsal 3:5

Nasihat Ayah

Setelah diberhentikan dari suatu pekerjaan editorial, saya berdoa dan meminta Allah untuk menolong saya mendapatkan pekerjaan baru. Namun, saat minggu demi minggu berlalu dan upaya saya menghubungi kenalan dan mengirim lamaran tidak juga membuahkan hasil, saya mulai bersungut-sungut. “Tuhan, tidakkah Engkau tahu betapa pentingnya bagiku memiliki pekerjaan?” tanya saya dengan sikap protes karena merasa doa saya tidak dijawab-jawab.

Saya lalu membahas keadaan saya tersebut dengan ayah saya. Ayah sering mengingatkan saya untuk mempercayai janji-janji Allah, dan kali itu beliau berkata, “Ayah ingin kamu mengalami sendiri apa artinya tetap mempercayai firman Allah.”

Nasihat ayah itu mengingatkan saya pada Amsal 3 yang berisi nasihat bijak dari orangtua kepada seorang anak yang dikasihinya. Bagian yang sudah sering dikutip ini sangat tepat diterapkan dalam kondisi saya: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Ams. 3:5-6). “Meluruskan jalan” berarti bahwa Allah akan menuntun kita menuju maksud yang dikehendaki-Nya untuk pertumbuhan kita. Maksud utama-Nya adalah agar saya menjadi makin serupa dengan-Nya.

Itu tidak berarti jalan yang dipilih-Nya bagi kita akan mudah. Namun, saya dapat memilih untuk percaya bahwa tuntunan dan waktu-Nya adalah yang terbaik untuk saya.

Apakah kamu sedang menanti-nantikan jawaban Allah? Pilihlah untuk mendekat kepada-Nya dan percaya bahwa Dia akan menuntunmu. —Linda Washington

Tuhan, terima kasih Engkau menuntun dan memperhatikan setiap langkah kami. Tolonglah kami untuk mempercayai-Mu dari hari ke hari.

Bapa Surgawi tahu yang terbaik untuk kamu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 1-2; Yohanes 19:23-42

Menanti dengan Penuh Harap

Selasa, 1 Mei 2018

Menanti dengan Penuh Harap

Baca: Mazmur 130:1-6

130:1 Nyanyian ziarah. Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!

130:2 Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku.

130:3 Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?

130:4 Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang.

130:5 Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya.

130:6 Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi.

Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi. —Mazmur 130:6

Menanti dengan Penuh Harap

Setiap hari May Day (1 Mei) di Oxford, Inggris, orang-orang sudah berkumpul sejak pagi-pagi buta untuk menyambut musim semi. Pada jam 6 pagi, Magdalen College Choir akan menyanyi dari atas Magdalen Tower. Ribuan orang menanti dengan penuh harap ketika kegelapan dihalau oleh fajar yang merekah diiringi lantunan lagu dan dentang lonceng.

Seperti para hadirin di Oxford, saya pun sering menanti. Saya menantikan jawaban atas doa atau petunjuk yang saya mohonkan kepada Allah. Walaupun saya tidak tahu pasti kapan persisnya penantian saya berakhir, saya belajar untuk menanti dengan penuh harap. Dalam Mazmur 130, pemazmur menuliskan kesedihan-nya yang mendalam saat menghadapi situasi yang sepekat malam. Di tengah-tengah masalahnya, ia memilih untuk percaya kepada Allah dan berjaga-jaga seperti pengawal yang bertugas untuk mengumumkan datangnya fajar. “Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi” (ay.6).

Penantian yang penuh harap akan kesetiaan Allah dalam menghalau kegelapan itu telah memberikan pengharapan kepada pemazmur untuk tetap bertahan di tengah-tengah penderitaannya. Berdasarkan janji-janji Allah yang terdapat di sepanjang Kitab Suci, pengharapan itu memampukannya untuk terus menanti meskipun ia belum melihat cahaya matahari yang terbit.

Jika kamu merasa berada di tengah-tengah kegelapan malam, kuatkanlah hatimu. Fajar segera menyingsing, entah dalam kehidupan sekarang atau kelak di surga! Sementara itu, janganlah menyerah, tetapi teruslah berjaga-jaga untuk menantikan pembebasan dari Tuhan. Dia selamanya setia. —Lisa Samra

Ya Bapa, sinarilah kegelapan hidupku. Bukalah mataku untuk melihat karya-Mu dan percaya sepenuhnya kepada-Mu. Aku bersyukur karena Engkau setia.

Allah dapat dipercaya baik dalam terang maupun dalam kegelapan.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Raja-Raja 10-11; Lukas 21:20-38