Mempercayai Allah
Hari ke-3 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”
Baca: Matius 2:16-18
16 : Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang Majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang Majus itu.
17 : Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia:
18 : “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”
Dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru Indonesia (c) LAI 1974
“Aku sangat membenci tahun 2020, aku pengen tahun ini segera berakhir,” kata seorang teman kepadaku. Aku tidak membalasnya, tetapi pernyataan itu mendorongku untuk mengulas kembali apa yang terjadi selama tahun 2020.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kurasa 2020 terasa lebih getir. 2020 diawali dengan banjir besar yang melumpuhkan sebagian besar area ibu kota. Dan, sejak bulan Maret, pandemi COVID-19 menjangkit di Indonesia yang hingga sekarang pun belum berakhir. Selain dua peristiwa itu yang skalanya luas, di skala yang lebih personal pun kita menghadapi kegetiran. Mungkin ada di antara kita ada yang terluka karena kepergian orang-orang terkasih, sedih karena harus menunda melanjutkan studi, gagal mendapat pekerjaan yang diharapkan, dan kesulitan untuk beradaptasi mengerjakan pekerjaan serta pelayanan di tengah kondisi yang tidak biasa.
Keadaan sulit pun terjadi ketika Yesus dilahirkan di Betlehem. Ketika kabar tentang kelahiran Yesus tersiar dan orang-orang Majus bergegas menemui-Nya, Herodes mengundang para Majus itu ke istananya. Herodes yang merasa terancam dengan kelahiran Sang Raja berdalih menyampaikan kepada orang Majus bahwa dia pun akan datang dan sujud menyembah Yesus bila nanti mereka memberitahukan keberadaan-Nya. Allah memperingatkan para Majus dalam mimpi (Matius 2:12) agar tidak kembali kepada Herodes, mereka pun pulang melalui jalan yang lain.
Ketika Herodes tahu bahwa orang-orang Majus tidak kembali, Herodes pun murka sehingga ia memerintahkan untuk membunuh semua anak yang berusia di bawah dua tahun di Betlehem dan sekitarnya (ayat 16). Pikir Herodes tindakan ini akan melenyapkan juga Yesus. Kekejaman Herodes saat itu bukanlah yang pertama. Menurut beberapa penafsir, Herodes membunuh anak-anaknya karena tidak menyukai mereka dan tidak menghendaki mereka memiliki kedudukan yang penting.
Ketika Herodes memerintahkan pembunuhan kepada setiap anak, Yesus bisa saja ikut terbunuh. Namun, malaikat Tuhan memerintahkan Yusuf untuk pergi mengungsi ke Mesir. Tujuan Allah bagi keselamatan dunia tidak terhenti karena kekejaman Herodes.
Kisah pembunuhan anak-anak di Betlehem, bukanlah bagian kisah Natal yang akrab bagiku. Sejak kecil aku pun belum pernah mendengar khotbah Natal yang diambil dari bagian ini. Tetapi, ketika membacanya, itu mengingatkan aku secara pribadi bahwa di tengah Natal yang biasanya digambarkan dengan sukacita ternyata terselip kisah kengerian karena kekejaman Herodes.
Natal tahun ini tentu sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ditambah dengan pergumulan kita yang terasa berat. Kita pun bertanya, di mana Yesus Sang Juruselamat di tengah pergumulanku saat ini? Di mana Yesus yang tak kunjung menjawab doa-doaku? Di mana Yesus yang berjanji memberikan pengharapan buat masa depanku? Mempercayai Allah di tengah kondisi yang baik tentu sangat mudah. Tapi, bagaimana cara kita dapat mempercayai Allah di tengah kondisi yang sulit kita terima yang membuat kita mulai mempertanyakan keberadaan-Nya? Apakah Allah masih layak terus dipercayai? Jawabannya adalah YA.
Jerry Bridges dalam bukunya yang berjudul “Trusting God” mengatakan, Allah punya tujuan dan rencana bagi setiap kita, dan Dia punya kuasa untuk mewujudkan rencana tersebut. Memang baik untuk tahu bahwa tidak ada orang atau keadaan yang bisa menjamah kita di luar kendali Allah yang berdaulat; namun lebih penting lagi untuk menyadari bahwa tidak ada orang atau keadaan yang bisa menggagalkan tujuan Allah bagi hidup kita. Allah berdaulat di masa “baik” dan masa “buruk” kita. Dia tidak memalingkan wajah-Nya. Dia mengendalikan semuanya, mengarahkan pada kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.
Mempercayai Allah berada dalam area tanpa batasan. Kita tidak tahu sejauh mana, berapa durasinya, atau frekuensi situasi kesukaran yang menyakitkan untuk harus terus percaya kepada-Nya. Kita selalu berhadapan dengan keadaan yang tidak diketahui dengan jelas.
Teman-teman, seberat apa pun pergumulan kita saat ini dan seberapa tidak pahamnya kita akan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, Ia adalah Allah yang selalu dapat kita percayai. Allah yang dengan segala rencana dan tujuan-Nya yang agung rela memberikan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, untuk menebus kita dan dunia yang berdosa ini. Apa lagi alasan-Nya selain karena Allah mengasihi kita.
Kedaulatan Allah adalah batu tak tergoyahkan, yang kepadanya hati manusia yang sengsara harus melekat. Tidak ada kecelakaan dalam situasi di sekeliling kita: mungkin itu adalah perbuatan jahat, namun kejahatan itu berada dalam genggaman tangan kedaulatan Allah yang berkuasa. Segala kejahatan tunduk kepada Dia, dan si jahat tidak bisa menyentuh anak-anak-Nya kecuali Dia mengizinkannya. Tuhan adalah Allah atas sejarah manusia dan atas sejarah pribadi setiap anggota keluarga-Nya yang telah ditebus. (Margaret Clarkson)
Pertanyaan releksi:
1. Coba renungkan hal-hal yang harusnya bisa disyukuri di tengah kondisi hidupmu yang berat saat ini!
2. Apakah bagimu Allah masih terus dapat dipercayai? Berdoalah, minta Roh Kudus menguatkanmu untuk senantiasa percaya kepada Allah di tengah kondisi sulit dan tidak dimengerti sekalipun.
Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.
Tentang Penulis:
Novita Sari Hutasoit. Tangerang | Menerima dan mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak tahun 2012. Saat ini bekerja sebagai staf Human Resources Department di Universitas Pelita Harapan dan sedang melanjutkan studi di Magister Manajemen Universitas Pelita Harapan. Penulis buku “Pulang, artinya bukan tidak ada harapan.” Sampai hari ini masih mengerjakan pemuridan di pelayanan mahasiswa dan alumni.