Posts

Ketika kulihat hidupku penuh cela dan noda…

Benar adanya firman Tuhan ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” ( Yohanes 15:13).

Kasih-Nya pada kita adalah kasih yang besar dan tulus. Dia yang suci telah merelakan nyawanya untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Yuk, bersyukur selalu atas cinta kasih Yesus dengan tetap hidup di dalam-Nya 🤗

Artspace ini ditulis oleh @nonielina, dibuat oleh @meilimu, dan diterjemahkan juga dalam bahasa Inggris @ymi.today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dua Peser Nomor Satu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

“Kita bisa memberi tanpa mengasihi, tapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi.”

Pepatah itu tepat “menembak jantung” si tukang pamer. Ia memang sering memberi banyak hal kepada banyak orang lalu menyebarkan kegiatannya itu ke mana-mana. Sebenarnya dokumentasi tidak selalu buruk, tapi orang ini, si tukang pamer, sengaja mengunggah kegiatan-kegiatan “bantuan sosial” yang ia lakukan agar dilihat orang dan ia menerima pujian. Setidaknya, itulah motivasi utamanya. Ia tidak memberi karena Ia mengasihi. Ia ingin pamer.

Pepatah yang sama juga “menembus dada” si dia yang hanya memberi “barang-barang sisanya” untuk orang lain. Menyisihkan sesuatu untuk orang lain dan membagikannya tidak selalu buruk, tapi orang ini punya ratusan pasang sepatu bagus yang tidak sempat ia pakai sekalipun selama enam tahun terakhir. Namun yang ia lakukan adalah sengaja mengambil sepatu sobek yang bagian depannya menganga bagai mulut buaya lapar, tidak layak pakai, dan itulah yang ia berikan kepada seorang tua miskin yang berjalan tanpa alas kaki.

Dua contoh sosok di atas adalah sebuah ilustrasi, sekaligus kenyataan bahwa memberi ternyata bisa menyakiti hati Tuhan.

Dua ribu tahun lalu ada seorang janda miskin yang tidak mendapat banyak perhatian, berdiri di depan kotak persembahan. Ia kalah mempesona dibanding orang-orang yang sebelumnya ada di sana. Mereka berpenampilan menarik dan memberikan uang dalam jumlah yang besar. Ia lusuh dan hanya memberi dua peser saja (Markus 12:41-44).

Dalam perumpamaan yang dicatat oleh Lewi itu, upah yang disepakati para pekerja adalah 1 dinar untuk sehari. Satu peser sama dengan 1/128 dinar. Dengan kata lain, wanita itu seperti memasukan uang receh di kotak persembahan itu. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan, kecuali Yesus, anak si tukang kayu. Tindakan Yesus menjadi sebuah pengingat, bahwa hal-hal kecil, segala sesuatu yang dianggap sepele oleh dunia bisa menjadi “fokus utama” Tuhan.

Lagipula jangan lupa, menjadi seorang janda pada abad pertama dalam budaya itu bukan sesuatu yang mudah. Lowongan kerja tidak seterbuka hari-hari ini, apalagi untuk seorang perempuan yang telah ditinggal sang suami sepertinya.

Jadi, dapat dipastikan dua peser yang ia berikan itu adalah apa yang ia cari dengan susah payah. Orang akan berpikir, “Jika ia cukup ‘waras’, seharusnya simpan itu untuk kebutuhannya”. Ternyata ia “gila”. Namun itulah yang malah membuatnya memikat hati Sang Juruselamat.

Yesus memanggil Petrus dan yang lainnya. Sangat mungkin Ia mengejutkan mereka pada saat Ia memuji tindakan wanita itu. Bukannya kuantitas tidak penting, tetapi apa yang dapat disanjung dari kuantitas tanpa kualitas?

Jika kita mau mencoba jujur, berapa banyak dari antara kita yang mau menukar 1 buah jam Rolex asli dengan 10 buah yang palsu?

Wanita itu memberi recehan dengan kualitas tinggi. Jika ini adalah kejuaraan balap motor, ia telah meninggalkan para pesaingnya sejauh 4 putaran, padahal mereka telah melempar koin dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Sayangnya, mereka tidak sadar hasil penilaian dari tindakan mereka itu akan ditentukan oleh Juri yang tidak bisa dibohongi. Ia yang melihat jauh ke dalam isi hati manusia, Yesus dari Nazaret.

Suatu hal yang mengagumkan adalah janda ini mengajarkan kepada kita akan apa artinya “berkorban” dan “beriman”.

Ia tahu bahwa Tuhan yang ia sembah jauh lebih penting dari dirinya sendiri, dan ia mau memberi apa yang ada padanya untuk Tuhannya itu. Ini sama sekali tidak berarti Tuhan membutuhkan sesuatu dari manusia, seakan-akan Ia kekuarangan sesuatu. Ia tentu cukup pada diri-Nya sendiri. Meskipun ada begitu banyak orang yang haus akan pengakuan, Yesus secara terus terang malah melontarkan apresiasi-Nya kepada janda ini karena Yesus melihat bagaimana seorang yang dianggap kecil menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Bukankah janda itu telah merisikokan hidupnya dengan persembahan itu? Coba pikirkan, apa yang akan ia makan besok? Dengan apa ia akan bertahan hidup tanpa sepeserpun di kantongnya? Dan yang mengejutkan adalah, baginya itu urusan belakangan, Tuhan nomor satu! Jika Tuhan telah memeliharanya, maka Tuhan akan tetap memeliharanya. Sudah pasti kita tidak boleh menelan kisah ini mentah-mentah dan secara membabi buta membuat oversimplifikasi pada semua keadaan. Kisah ini tidak mendorong kita menjadi bodoh dan menolak kebijaksanaan yang Tuhan karuniakan kepada kita. Maksudku adalah, cerita tentang janda ini sedang mengajak kita untuk menempatkan Tuhan di tempat yang tidak boleh diganggu, tempat tertinggi di hati kita.

Di era modern seperti ini, memang benar kita butuh uang. Di masa yang sangat tidak menentu ini, tidak bisa dipungkiri, tabungan dapat sangat menolong. Namun yang menyedihkan adalah ketika banyak dari kita, atas nama “kebutuhan”, memberikan hal yang “asal-asalan” untuk Tuhan yang telah memberikan “segala-galanya” untuk kita.

Sebenarnya ini bukan hanya melulu tentang uang. Silakan hitung sendiri, berapa banyak waktu yang kita pakai untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan dalam seminggu?

Bukankah begitu sering kita menikmati sepanjang hari dengan terus memuaskan segala keinginan kita, lalu menyisihkan 2 menit terakhir untuk berdoa sebelum tidur? Tidak jarang, dalam dua menit terakhir yang kritis itu, mata kita sudah dalam kondisi setengah tertutup bersama mulut yang menguap-nguap setengah sadar. Beberapa orang bahkan tidak sempat mengakhiri doanya dengan “amin” karena ketiduran saat sedang berdoa, lalu bangun di pagi hari dengan mengucapkan “amin” untuk melunasi utang semalam.

Banyak sekali dari kita yang tidak merasa bersalah jika datang terlambat ke gereja. Namun saat bertemu orang yang kita anggap penting, satu jam sebelum orang itu tiba, kita sudah dengan penampilan paling rapi, seakan-akan orang itu lebih tinggi dari Yang Mahatinggi.

Tidak sedikit dari kita yang menyanyi dengan baik hanya ketika kita mengikuti perlombaan “nyanyi lagu rohani antar gereja”. Namun, saat bernyanyi dalam pertemuan ibadah biasa, tanpa juri, tanpa hadiah, menyanyi dengan moto “asal mulut terbuka saja”.

Kita bisa saja menambah deretan daftar panjang tentang segala bentuk kegagalan kita dalam memperlakukan Tuhan dan menyesali diri. Namun kurasa, tulisan sederhana ini, tindakan luar biasa si janda miskin itu, sedikit banyak telah kembali mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin yang terbaik dari kita. Ia mau milik terbaik kita: baik pemikiran, waktu, tenaga, maupun seluruh hidup kita. Bukankah Dia sudah lebih dulu memberikan apa yang paling kita butuhkan? Diri-Nya sendiri dikorbankan untuk jaminan keselamatan yang tidak akan pernah mampu dibayar dengan seluruh pencapaian yang kita punya. Kasihilah Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (Matius 22:37).

Sekali lagi, berhikmatlah, tetapi Tuhan nomor satu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Digitalkan Kabar Baikmu!

Oleh Cornelius Ferian Ardiano, Jakarta

Halo kawan,

Tahukah kamu tentang penyakit kanker? Kupikir semua orang tahu dengan salah satu penyakit paling mematikan ini. Sampai sekarang pun, belum ada obat kanker yang dapat 100% memulihkan semua orang yang terjangkit olehnya. Aku ingin mengajakmu membayangkan, jika semisal kita terkena penyakit tersebut dan kita sembuh total karena diberi “obat mujarab” oleh kerabat terdekat kita, dan kita sembuh total, menurutmu bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan sangat bersukacita, dan besar kemungkinannya kita akan menceritakan pengalaman yang luar biasa ini ke kerabat-kerabat kita supaya mereka juga mendengar kabar baik tentang obat yang bisa menyembuhkan.

Berangkat dari ilustrasi di atas, aku ingin mengajakmu untuk merenungkan kembali sebuah ayat.

“Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).

Ayat tersebut bukanlah ayat yang asing buat kita.

Perintah Yesus untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya sering kita dengar sebagai Amanat Agung. Seperti yang kita pahami bersama, setelah Yesus terangkat ke surga, murid-murid-Nya pergi ke segala penjuru dunia untuk mengabarkan Injil supaya setiap orang yang bahkan belum mendengar nama Kristus juga boleh menerima keselamatan. Menurutmu, apa sih yang membuat murid-murid Yesus bergairah untuk mewartakan Kabar Baik? Kita yang hidup di masa sekarang ini dapat mengenal Yesus pun karena pekerjaan murid-murid-Nya.

Murid-murid Yesus sangat mengenal pribadi-Nya. Pada zaman Yesus, kata murid yang dimaksud tidaklah seperti murid yang hadir di sekolah masa kini. Seorang murid pada waktu itu harus mengikut dan meniru gurunya. Mereka juga harus mengingat apa yang guru mereka sabdakan. Murid-murid Yesus bukanlah orang yang suci, akan tetapi karena pengenalan mereka kepada Kristus dan pengorbanan-Nya, mereka mengalami perubahan hidup yang signifikan dan hidup mereka pun berdampak. Mereka telah melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang Yesus kerjakan selama di bumi, yang bagi orang lain mustahil untuk dikerjakan. Dan, mereka pun melihat bahwa pengorbanan Yesus memberikan obat yang paling mujarab untuk manusia, yakni pemulihan dari dosa dan jaminan akan kehidupan yang kekal.

Kembali ke ilustrasi yang kutuliskan di atas, ketika kita berada di posisi di mana sakit keras menimpa kita dan kita mendapatkan obat mujarab, tentu kita akan bergairah mewartakan kepada orang-orang akan obat itu. Kita punya tujuan agar orang-orang yang sakit itu pun bisa mengalami kesembuhan seperti kita.

Di masa sekarang ini, ada banyak banget loh cara-cara untuk mewartakan Kabar Baik. Salah satunya adalah lewat menulis di akun media sosial atau blog pribadi.

Aku mengalami lahir baru pada tahun 2014, ketika aku masuk di awal perkuliahan. Dulu, aku merasa hidupku baik-baik saja sampai aku sadar bahwa sebenarnya hidupku sangat jauh dari Kristus. Ketika aku dipulihkan dalam acara retreat, aku diminta untuk menuliskan kesaksianku di blog pelayanan mahasiswa dulu. Pada tahun 2016, Tuhan mengizinkanku untuk melakukan mission trip ke Kendari. Suatu waktu di sana, aku bertemu dengan seorang adik yang orang tuanya berbeda agama dan dia bingung untuk menetapkan ke mana dia mau menambatkan imannya. Saat aku mulai mewartakan Injil, adik ini pun bertanya, apakah benar aku yang menulis kesaksian mengenai lahir baru? Dia pun menunjukkanku website yang di dalamnya terdapat tulisanku. Aku diam seketika, aku sangat bersyukur bahwa yang kukira menulis kesaksian adalah hal percuma, ternyata itu bisa dipakai Tuhan untuk menjamah orang yang tidak pernah kupikirkan sekalipun.

Kawanku, apa yang kualami itu sungguh terjadi. Jika kamu merasa hidupmu sudah dipulihkan, banyak loh teman-teman kita yang mungkin terlihat baik, tetapi sebenarnya mereka sedang mencari-cari kebenaran.

Terlepas dari banyaknya konten negatif di Internet, kita bisa memeranginya dengan mewartakan Kabar Baik. Aku pribadi terus percaya bahwa tulisan-tulisan yang kita posting akan sangat berarti bagi mereka yang haus dan lapar akan pengenalan kepada Tuhan.

“Tetapi, bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” (Roma 10:14).

Ayo kita budayakan menulis untuk tujuan yang kekal. Teruslah berkarya lewat tulisan sebagai salah satu caramu melaksanakan Amanat Agung. Digitalkan Kabar Baikmu!

Baca Juga:

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana?

5 Kesalahan yang (Mungkin) Sering Kita Lakukan dalam Membagikan Iman

Diadaptasi dari tulisan James Bunyan
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Sharing Our Faith – What Not To Do

Sharing-the-Gospel--How-not-to-do-it!

Membagikan iman kita tidak selalu mudah.

Kekristenan adalah iman yang menular. Sayangnya, dalam dunia yang sarat dengan kemudahan komunikasi dan ratusan kepercayaan lain, membagikan Injil kepada keluarga, sahabat, dokter gigi, tukang sampah, rekan kerja, musuh, supir taksi, teman satu tim, atau orang lain seringkali tidak seperti yang kita bayangkan. Kita pun tidak habis mengerti mengapa bisa demikian.

Setidaknya ada 5 kesalahan umum yang menurutku sering kita lakukan sebagai orang Kristen saat berinteraksi dengan orang yang punya paham atau pandangan-dunia berbeda.

Kesalahan 1: Banyak bicara, sedikit mendengarkan.
Kita berpikir:
Lawan bicara kita pasti tidak tahu apa-apa soal iman, jadi kita berusaha mencerahkan pemikiran mereka dengan mendominasi percakapan. Lagipula, bukankah mereka butuh mendengar tentang Yesus? Bagaimana mereka akan mengenal Yesus jika kita hanya duduk manis dan mendengarkan? Mungkin kita bahkan harus mengarahkan mereka kembali jika mereka mulai mengganti topik pembicaraan.
BAYANGKANLAH BEDANYA JIKA kita menjadi orang Kristen yang berani menanyakan pendapat orang lain dan dengan rendah hati bersedia lebih banyak mendengarkan daripada menguliahi mereka; menyadari bahwa ada banyak hal yang dapat dipelajari dan diafirmasi dalam diri orang lain.

Kesalahan 2: Selalu berusaha memenangkan pembicaraan dengan cara apapun.
Kita berpikir
: Ketika kita berbicara tentang iman kepada orang lain, kebenaran Injil sedang dipertaruhkan! Kekristenan sedang diperhadapkan dengan kepercayaan lain yang tidak masuk akal, jadi jangan sampai Yesus kalah! Gunakan semua kemampuan kita dalam meyakinkan orang, menunjukkan bukti-bukti logis, dan memberi nasihat (bila perlu dengan nada yang keras). Facebook bisa dibilang sarana terbaik dalam hal ini, karena kita bisa menulis sebanyak yang kita mau tanpa perlu memperhatikan situasi orang lain atau memahami mereka sebagai sesama manusia biasa.
BAYANGKANLAH BEDANYA JIKA kita menjadi orang Kristen yang tulus menghargai orang lain sebagai pribadi ciptaan Tuhan yang memiliki nilai dan martabat sama dengan kita. Kita mau bersabar dan memenangkan hati orang lebih daripada sekadar memenangkan perdebatan.

Kesalahan 3: Hanya bicara teori atau konsep-konsep yang abstrak.
Kita berpikir:
Ketika berbicara tentang iman, kita tidak perlu sampai membahas tentang penerapannya atau tentang apa yang sedang diajarkan Yesus kepada kita hari ini. Orang mungkin akan menganggap kita aneh. Akan memalukan bila mereka tahu bahwa orang-orang Kristen itu tidak sempurna hidupnya, dan kita bisa kalah bicara dari mereka.
BAYANGKANLAH BEDANYA JIKA kita menjadi orang Kristen yang dapat menceritakan apa kaitannya Yesus dengan hidup kita hari ini. Kita berusaha menjalani hidup sebaik mungkin karena kita tahu pentingnya konsistensi antara iman dan praktik hidup, namun pada saat yang sama kita juga mengakui betapa kita lemah dan membutuhkan pertolongan Yesus.

Kesalahan 4: Menghindari pembicaraan tentang Yesus atau Alkitab
Kita berpikir
: Jika mereka mempunyai pandangan-dunia yang berbeda, mereka tidak mempercayai Yesus, tidak ada gunanya berbicara tentang Yesus. Lagipula, sebagian perkataan Yesus memang aneh dan membuat kita tidak terlihat terlalu baik; Dia juga bicara soal malaikat, kekerasan, dan neraka. Lebih baik kita bicara tentang “mencari identitas sejati” dan “tidak ada yang sempurna”—topik-topik yang dapat diterima semua orang.
BAYANGKANLAH BEDANYA JIKA kita menjadi orang Kristen yang menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk memberitakan tentang Yesus yang kita kasihi—yang kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah—dengan kesadaran penuh bahwa hanya Yesus yang berkuasa menumbuhkan dan menyempurnakan iman melalui apa yang kita beritakan.

Kesalahan 5: Berusaha menjejalkan pemberitaan Injil ke dalam satu percakapan.
Kita berpikir
: Kita adalah harapan terakhir bagi orang lain untuk mengenal Kristus! Jadi, pastikan kita menceritakan semua keyakinan kita tanpa terkecuali, meski kelihatannya lawan bicara kita tidak terlalu tertarik untuk mendengarkan. Jika perlu, ikuti mereka ke mana pun mereka pergi, sampai kita bisa menyelesaikan semua yang harus kita beritakan.
BAYANGKANLAH BEDANYA JIKA kita menjadi orang Kristen yang tidak berusaha menjejalkan seluruh berita Injil dalam setiap percakapan, karena menyadari bahwa tiap orang memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda untuk menerima Injil. Kita mengerjakan bagian kita sebagai bagian dari mata rantai pemberitaan Injil sebaik mungkin dan percaya bahwa Roh Kudus dapat menggunakan berbagai kesempatan untuk membawa orang mendekat kepada-Nya.

Membagikan iman dengan cara-cara yang keliru jelas tidak akan berhasil. Kamu mungkin sudah pernah mengalaminya. Namun, banyak di antara kita masih saja mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan terbesar kita adalah kurang menghargai orang lain sebagai sesama manusia yang diciptakan berharga, serupa dan segambar dengan Allah. Akibatnya, yang ditangkap orang bukanlah berita Injilnya, melainkan kesan bahwa orang-orang Kristen itu tidak suka mendengarkan orang lain, tidak peduli, dan berpikiran tertutup. Parahnya lagi, ada kesan bahwa orang Kristen menganggap mereka yang punya pandangan berbeda sebagai orang bodoh dan tidak layak diajak bicara.

Kontras dengan itu, catatan kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah berbicara kepada dua orang yang berbeda dengan cara yang persis sama. Apakah itu karena Dia memahami bahwa cara pandang tiap orang itu unik dan selayaknya dihargai? Mungkin Dia ingin kita belajar bahwa membagikan iman itu tidak sama dengan sekadar memindahkan informasi kepada orang lain. Membagikan iman justru menunjukkan betapa kita menghargai sesama manusia. Kita memahami pergumulan mereka sebagai sesama manusia yang berdosa. Kita ingin mereka tidak hidup sia-sia, sehingga kita mengundang mereka untuk ikut mengalami kebaikan terbesar dalam hidup yang telah kita terima dalam Kristus. Membagikan iman dengan cara yang relevan bagi orang-orang yang kita temui tidaklah sesederhana mengikuti sebuah resep atau menghafalkan sebuah metode. Kita perlu terus berlatih dengan penuh kesabaran.

Tetapi, bukankah itu membuat perjalanan kita membagikan iman menjadi jauh lebih seru?

Ketika Membagikan Iman Dianggap Sesuatu yang Aneh

Penulis: Daniel Gordon Ang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When It Is Frowned Upon To Share Your Faith

When-it-is-frowned-upon-to-share-your-faith

Salah satu kenangan yang paling kuingat dari masa-masa kuliah di Amerika adalah kebiasaanku setiap Minggu pagi. Jam 7 aku sudah bangun dan siap-siap ke gereja untuk mengikuti gladi resik bersama tim musik (aku bermain cello) sebelum kebaktian pertama dimulai. Gereja kami diberkati dengan sejumlah musisi berbakat dan seorang music director yang sangat rajin. Ia banyak membuat aransemen himne dan musik klasik yang indah untuk mengiringi kebaktian. Musik yang merdu serta khotbah pendeta kami yang tegas menegur sekaligus menginspirasi, selalu membuat hatiku penuh dengan perasaan hangat dan terharu ketika kebaktian selesai. Rasanya aku telah mendapatkan kekristenan yang cukup untuk minggu itu.

Namun, seluruh perasaan dan suasana itu akan berubah secara drastis saat aku kembali ke kampus untuk sarapan. Di ruang makan kampus yang besar, aku akan menjumpai teman-teman kuliah yang kebanyakan baru saja bangun. Sebagian besar masih mengenakan piyama; sebagian lagi masih memakai baju pesta, kelihatan teler sehabis berpesta-pora pada malam sebelummya. Pernah seorang teman bertanya mengapa pagi-pagi aku sudah memakai pakaian yang rapi. Aku menjawab bahwa aku baru saja pulang dari kebaktian di gereja. Ia mengernyitkan dahinya, “Gereja? Kamu pergi ke gereja?”

Ia tampak keheranan—ekspresinya tidak menunjukkan kebencian atau rasa tidak senang; ia hanya tidak habis mengerti. Di kampusku, “hari Minggu” jelas tidak lagi pernah dikaitkan dengan “gereja”. Aku merasa seperti baru saja melangkah keluar dari komunitas orang kudus di gerejaku, memasuki sebuah komunitas duniawi, di mana tidak ada orang yang berbicara mengenai Alkitab, Tuhan, atau kehidupan setelah kematian.

Begitulah suasana tempat aku menjalani studi saat itu, sebuah kampus elit di timur laut Amerika Serikat. Orang tidak terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap agama, tetapi jelas itu adalah topik yang tabu untuk dibicarakan. Pada umumnya, orang akan mengambil sikap “jangan bertanya, jangan memberitahu” (Don’t ask, don’t tell). Suasana ini begitu menggerahkan sampai-sampai seorang temanku menelitinya untuk tugas skripsi. Ia mewawancarai berbagai macam orang tentang pengalaman mereka di kampus terkait iman pribadi mereka. Salah satu orang yang diwawancarai menceritakan bagaimana ia, saat belum mengerti adat istiadat di kampus itu, sempat melakukan kesalahan fatal dengan membagikan kesaksian tentang apa yang ia yakini sebagai seorang Katolik, berikut peran keyakinan itu dalam hidupnya. Semua orang yang mendengarnya diam membisu sembari melempar tatapan jengah.

Mengenang kembali masa-masa tersebut, aku teringat akan kisah Daniel dalam Alkitab. Sebagai seorang pemuda, ia diambil secara paksa dari keluarga dan bangsanya dan dibawa ke Babel. Di sana ia dididik dalam kebudayaan dan kesusasteraan Babel, agar dapat bekerja untuk raja Babel (Daniel 1). Di tengah lingkungan asing ini, Daniel berani mempertahankan iman serta menaati apa telah diperintahkan Allah kepada orang Israel turun-temurun. Ia menolak menyantap makanan-makanan Babel yang haram, dan lebih memilih mengonsumsi sayur-sayuran dan air. Ia terus berdoa kepada Allah tiga kali sehari, walaupun ada aturan resmi kerajaan yang melarangnya (Daniel 6:10). Untuk itu ia dimasukkan ke dalam gua singa, tetapi Allah menyelamatkannya dari kematian.

Pengalamanku sendiri tidak sedramatis apa yang dialami Daniel dalam Alkitab, tetapi mirip dalam beberapa hal. Sebelum pergi bersekolah ke Amerika, aku menghabiskan kebanyakan waktuku dalam lingkungan Kristen: belajar di sekolah Kristen dan memiliki teman-teman yang hampir semuanya berasal dari keluarga Kristen. Dalam lingkungan yang demikian, setiap hari aku diingatkan akan Allah. Tetapi di sisi lain, aku tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Semua orang berbicara dalam “bahasa Kristen”—selalu memuji Tuhan dan berbicara tentang apa yang mereka pikir merupakan kehendak-Nya dalam hidup mereka. Sebagai sesama orang Kristen, aku pun menjadi sangat terbiasa dengan hal itu. Berbicara tentang Tuhan bahkan bisa menjadi cara cepat untuk bisa disenangi oleh orang tua dan guru-guru.

Begitu masuk ke kampus, ceritanya sama sekali berbeda. Mengatakan bahwa tadi kita “pergi ke gereja” adalah sesuatu yang tidak lazim. Memang ada kelas-kelas untuk mempelajari agama, tetapi kita akan dianggap aneh kalau sampai menceritakan pengalaman pribadi kita yang berhubungan dengan agama. Meski ada segelintir orang yang mencela agama secara terbuka, kebanyakan orang sebenarnya tidak peduli dengan hal-hal rohani sama sekali. Mereka hanya berpikir tentang hal-hal yang sifatnya materi—cara pandang mereka bisa dibilang cenderung skeptis (agnostik) dan realistis.

Sebenarnya ada persekutuan Kristen yang kuat di kampus kami. Kadang aku menghadiri pertemuannya, dan terkejut melihat beberapa teman—aku tidak tahu bahwa mereka ternyata orang Kristen juga—hadir di sana. Sekian lama kami berteman, banyak hal yang pastinya sudah kami bicarakan, tetapi kami tidak pernah bicara tentang iman kami masing-masing. Kami semua seperti orang-orang Kristen yang tersembunyi.

Menghadapi situasi semacam ini, aku memperhatikan sebagian orang Kristen akhirnya hanya bergaul dengan sesama orang Kristen saja. Meski bisa dimengerti mengapa mereka bersikap demikian, menurutku itu bukan sikap yang benar. Aku sendiri tetap berusaha berteman dengan siapa saja, apa pun yang menjadi latar belakang kepercayaan mereka. Keterbukaan itu membawaku ke dalam suatu percakapan yang sangat membekas dalam ingatan, sebuah percakapan yang terjadi di ruang makan kampus.

Hari itu aku sedang makan malam bersama sekelompok teman dari jurusan fisika dan matematika. Kami biasanya berbicara tentang soal-soal fisika yang sulit, atau topik-topik dalam sains secara umum. Namun kali ini, entah bagaimana pembicaraan kami menyentuh topik tentang Tuhan. Salah satu teman berkata, “Siapa sih yang masih percaya Tuhan hari-hari begini?” Ia menggelengkan kepala.

Hingga hari itu, aku sangat jarang membicarakan tentang kepercayaanku, tetapi aku berketetapan hati bahwa jika suatu hari ada kesempatan untuk menyatakan imanku, aku tidak akan menyembunyikan fakta bahwa aku orang Kristen. Aku selalu ingat perkataan Yesus dalam Injil Matius: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33)

Jadi aku menjawab, “Aku percaya Tuhan. Aku seorang Kristen.”

Temanku tampak kaget. “Serius? Kok bisa? Bagaimana ceritanya?”

Aku mulai menjelaskan keyakinanku. Sebagai seseorang yang suka membaca tentang apologetika—buku-buku favoritku adalah karangan para filsuf dan teolog Kristen seperti William Lane Craig, Alister McGrath, dan Alvin Plantinga—aku sangat senang mendapatkan kesempatan emas untuk bisa mempraktikkan pengetahuanku, apalagi dalam konteks pembicaraan sains. Aku menjelaskan dan memberikan sejumlah argumen mengapa aku percaya kepada Tuhan. Tujuanku pada saat itu sederhana saja. Aku tidak bermaksud “memberitakan Injil”, tetapi aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa sebenarnya ada mahasiswa-mahasiswa “normal” yang sungguh-sungguh percaya Tuhan.

Aku melihat teman-teman agnostik itu bereaksi tak percaya. Selama ini, mereka mengenalku sebagai sesama mahasiswa fisika dan matematika yang cukup pintar, dan bukan salah satu dari kumpulan “orang religius yang aneh”.

Pembicaraan itu berlangsung lebih dari satu jam. Kami terpaksa harus berhenti karena ruang makan sudah mau tutup. Rasanya seperti mengalami sebuah momen “gua singa” dalam skala kecil. Aku adalah satu-satunya orang Kristen di meja itu, menjawab serangan dari segala arah terhadap argumen yang kuberikan. Meskipun tidak ada yang sepenuhnya setuju dengan jawabanku, tidak ada juga yang dapat membantah perkataanku. Aku merasa senang dapat “siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dariku tentang pengharapan yang ada padaku” (Lihat 1 Petrus 3:15).

Setelah lulus, aku dan teman-temanku pun berpisah mengambil jalan kami masing-masing. Aku masih berharap bahwa mereka pada akhirnya akan menemukan Allah, atau setidaknya tergerak untuk memikirkan lebih jauh apa yang pernah kami bicarakan malam itu. Yang lebih penting, aku harap pembicaraan yang hanya sebentar itu dapat memecah kebekuan rohani di kampusku. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku keberanian untuk teguh dalam iman, dan bahkan menyatakannya di muka umum.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa momen-momen kecil seperti ini sangat berperan dalam menguatkan imanku. Dalam lingkungan yang begitu sekuler, setiap hal sederhana yang kulakukan, bahkan yang sepertinya tidak berhubungan dengan kekristenan, mengingatkan aku kembali akan apa yang kupercayai. Menghadiri kebaktian di gereja setiap hari Minggu bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi telah menjadi tempat kerohanianku diperbarui setiap minggu. Hal-hal kecil seperti tidak malu berdoa sebelum makan di tempat umum, kini menjadi sesuatu yang kuanggap penting.

Pada akhirnya, Daniel ini berhasil bertahan melewati kuliahnya, sama seperti Daniel dalam Alkitab yang berhasil bertahan melewati hari-harinya di Babel. Adakalanya aku merasa aku seharusnya lebih berani lagi menyatakan imanku, namun aku tahu bahwa aku telah mengatasi pengalaman pertamaku hidup di lingkungan yang sekuler dengan baik, dan aku berdoa supaya Tuhan terus memberiku kekuatan untuk meneguhkan imanku di mana pun Dia menempatkanku kelak.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Dari sekian jumlah teman yang kamu miliki, berapa banyak yang kepercayaannya berbeda denganmu? Pernahkah kamu dan temanmu bertukar pikiran tentang iman masing-masing? Hal menarik apa yang kamu ingat dari percakapan kalian?

Warisan Nenek Penjual Pecel

Oleh: Yonatan

nenek-penjual-pecel

Monggo, sami nderek Gusti, Monggo, sami nderek Gusti. Gusti Yesus Juru Wilujeng, Monggo, monggo sami nderek Gusti”. [Mari kita ikut Tuhan. Mari kita ikut Tuhan. Tuhan Yesus Juruselamat, mari mari kita ikut Tuhan…]

Setiap senandung itu terdengar, aku tahu siapa yang lewat di depan rumah. Seorang nenek yang menjajakan pecel untuk menyambung hidup. Ia miskin, sebatang kara, hidup di sebuah rumah kontrakan yang super sederhana, dan menderita rabun senja. Namun, seulas senyum selalu tersungging di wajahnya yang keriput, seolah ia adalah orang paling bahagia sedunia.

Sungguh aku tak pernah menyangka nenek itu akan menjadi seseorang yang memberi warisan terbesar bagi hidupku dan keluargaku.

Ceritanya, suatu hari ayahku ditimpa masalah tak terduga. Ada maling di kampung kami. Dengan semangat heroik sebagai seorang kepala sekolah dan tokoh agama setempat, ayahku pun segera keluar rumah dan mengejar si maling yang sedang dikejar warga. Sayangnya, si maling berlari terlalu cepat. Dalam sekejap sosoknya lenyap dari pandangan mata. Tinggallah ayahku berlari paling depan, hingga banyak orang justru mengira ia adalah si maling yang dikejar. Hari itu, bukan saja ayahku digebuk hingga babak belur. Ia pun harus mendekam di tahanan selama beberapa hari.

Tahukah kamu siapa yang paling rajin membesuk ayahku? Si nenek penjual pecel. Dengan setia ia datang, tidak hanya membawakan beberapa patah kata penghiburan, tetapi juga pecel dagangannya, lengkap dengan beberapa potong gorengan, untuk dimakan ayahku. Setelah lepas dari tahanan, ayahku tidak langsung pulang ke rumah. Ia malu karena sebagian warga sudah menganggapnya sebagai maling yang sebenarnya. Ia lalu diajak tinggal di rumah nenek penjual pecel untuk sementara waktu. Betapa senangnya ayahku! Ia pun bertanya apa ada yang dapat ia lakukan untuk membantu nenek selama ia tinggal di rumahnya. Nenek itu berkata, ayahku bisa membantunya membacakan Alkitab setiap malam, karena matanya kesulitan melihat di malam hari.

Benar bahwa Firman Allah itu “tidak pernah kembali dengan sia-sia” (Yesaya 55:11). Apa yang dibacakan ayahku untuk si nenek penjual pecel itu berbicara juga dengan kuat kepada ayahku. Memang ayahku tak langsung menjadi pengikut Kristus. Ia dibesarkan dalam kepercayaan yang sama sekali berbeda. Butuh waktu sekitar 8 tahun sebelum ia kemudian menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dengan segenap pikiran dan hatinya. Namun, tanpa kesaksian nenek itu, bukan tak mungkin ayahku akan tetap menjadi seorang yang anti dengan kekristenan.

Iman ayahku menjadi warisan yang sangat berharga bagi anak-anaknya, termasuk diriku. Aku diajarnya untuk memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan semata. Semua manusia telah berdosa, dan tak mungkin menyelamatkan dirinya sendiri dengan semua amal baiknya. Sebab itulah Tuhan menyediakan jalan keselamatan bagi umat manusia melalui Kristus yang tak berdosa. Rumah tempat aku tinggal sekarang menjadi saksi yang terus mengingatkanku akan komitmen kami sekeluarga mengikut Kristus. Rumah ini sempat dilempari batu dan aneka kotoran oleh para tetangga, saat mereka tahu keluarga kami menjadi Kristen. Namun, ayah terus mendorong kami untuk teguh dalam iman. Tak hanya kepada istri dan anak-anaknya, ayahku juga memperkenalkan Sang Juruselamat kepada saudara-saudaranya. Dua saudaranya beserta pasangan hidup dan anak-menantunya kini sudah menjadi pengikut Kristus. Demikian juga halnya dengan tujuh saudara ibuku, beserta pasangan hidup dan anak-menantu mereka. Kesaksian ayahku juga membawa ibunya (nenekku) mengenal dan percaya kepada Kristus.

Hingga hari ini kami semua tak pernah tahu siapa nama nenek penjual pecel yang telah menaburkan benih Firman Tuhan kepada ayahku, dan mengubah kehidupan tiga generasi dalam keluarga kami. Ketika ayah kembali berkunjung ke kontrakan nenek itu, ia tidak ada lagi di sana. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Senandungnya tak pernah terdengar lagi. Mungkin ia adalah malaikat yang diutus membuka jalan bagi kami untuk mengenal Sang Juruselamat.

Dalam kondisinya yang serba terbatas, nenek penjual pecel itu telah mewariskan hal terbesar bagiku dan keluargaku, yaitu pengenalan akan anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Darinya aku belajar, bahwa kemiskinan, sakit-penyakit, dan semua keterbatasan manusiawi kita, bukanlah halangan untuk hidup mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan membagikan kasih-Nya kepada sesama. Suatu saat kelak, aku akan memeluknya di surga, mengucapkan terima kasih atas apa yang telah ia wariskan bagi kami sekeluarga. Kiranya Tuhan juga memampukanku (dan kamu) untuk mewariskan hal yang sama kepada generasi ini dan generasi yang akan datang.

Sharing: Bagaimana Caramu Mengenalkan Kristus Kepada Keluargamu?

“Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Roma 10:15)

Apakah kamu mempunyai orangtua atau saudara yang belum mengenal Kristus? Apakah kamu rindu mereka juga menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat? Ayo, sharingkan bagaimana caramu mengenalkan Kristus kepada keluargamu di kolom komentar di bawah ini!