Tidak Menuntut, tetapi Memberi yang Terbaik
Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan
Deru mesin sepeda motor tetiba berhenti di teras rumah. Aku hafal betul ini pertanda mama sudah pulang dari tempat kerjanya, dan seperti sore sebelumnya, dia masuk sambil membawa plastik besar berisi bakal kain untuk dijahit, tapi mulutnya pun ikut mengomel.
Apa yang diomelkannya berbeda dari biasanya. Bukan karena rumah yang belum selesai dibersihkan atau ember di kamar mandi yang belum terisi penuh, melainkan tentang pelanggan jahitnya. Sebenarnya aku sudah sering mendengar omelannya tentang para pelanggannya, namun yang satu ini adalah yang paling sering kudengar. Si pelanggan menuntut bajunya dipayet dengan sangat bagus sementara bayarannya jauh lebih sedikit dari bayaran semestinya. Fyi, payetan adalah bentuk hiasan yang diberikan pada baju agar hasil jahitan lebih berkilau dan cantik. Dengan kesabaran yang diusahakan mencapai 100%, mama menerbitkan senyuman kepada pelanggan tersebut dan mencoba menjelaskan bahwa untuk mendapatkan payetan yang bagus maka bayarannya juga harus sesuai. Yah sesuai istilah, “Ada barang ada harga”. Namun, pada akhirnya proses tawar menawar ini berakhir dengan mama yang setuju dengan harga yang ditawarkan si pelanggan. Pelanggannya pulang dengan hati bahagia, sementara mama pulang dengan penuh omelan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain mencoba menyemangati mama.
Sekilas kejadian yang mama alami mengingatkanku pada cerita tentang janda miskin yang memberikan dua peser persembahannya (Markus 12: 41-44). Janda itu mampu memberikan semua kepunyaannya kepada Tuhan. Aku sedikit meringis ketika mengingat bahwa aku, atau juga banyak orang Kristen yang memperhitungkan berapa persembahan yang akan diberinya, kemudian meminta banyak hal dari Tuhan.
Kadang ketika memberi persembahan kepada Tuhan, kita seringkali bersikap seperti pelanggan jahit mamaku yang meminta yang terbaik untuk bajunya tetapi enggan membayar harga yang sepadan. Kerap kali kita menuntut yang terbaik dari Tuhan, tetapi kita sendiri tidak mengerjakan bagian kita dengan bertanggung jawab. Kita mampu meluangkan waktu setiap hari untuk bekerja atau bersekolah, tetapi masih mikir-mikir untuk pergi ke gereja di hari Minggu. Kita terlalu sibuk dengan segala urusan kita hingga lupa meluangkan waktu untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, ketika kondisi kita berubah dan kita mengalami kesulitan, barulah kita datang kepada Tuhan.
Sesungguhnya, Tuhan tidak melihat seberapa banyak yang kita bisa berikan buat Dia, yang dilihat-Nya adalah kesungguhan hati kita. Sama seperti cerita janda miskin yang memberi dua peser—jumlah yang sangat sedikit bagi orang lain, namun begitu berharga di hadapan Tuhan karena itulah segalanya yang dia miliki. Dua peser menjadi bermakna besar bukan karena nominalnya, tetapi karena sikap hati yang mendasarinya.
Aku ingat ketika mama mengatakan, “Persembahan itu bukan dari besarnya jumlah yang kita berikan, melainkan dari hati yang bersukacita ketika memberi persembahan kepada Tuhan”. Persembahan juga tidak selalu tentang uang, tetapi kita juga bisa memberikan talenta kita sebagai persembahan yang terbaik bagi Tuhan. Apapun yang terbaik yang kita miliki, berilah itu kepada Tuhan. Karena ketika kita mampu memberi yang terbaik bagi Tuhan, maka Tuhan pun akan memberkati kita dengan berkat-berkat yang melimpah.
Omelan mama sore ini cukup menyadarkanku untuk tidak cuma tahu “menuntut”, tetapi belajar untuk “memberi yang terbaik”, terutama kepada Tuhan.