Posts

Apa Yang Salah dengan Keinginanku?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

11:59:50.

Ah…sebentar lagi.

Suaraku bergairah menandakan semangatku yang sedang naik.

Tiga..Dua..Satu…Akhirnya.
Selamat ulang tahun.

Tuhan yang baik.
Terima kasih untuk hari ini ya.
Aku sudah berumur 22 tahun.
Tuhan, Kau tahu hanya satu keinginanku.
Berharap banget Tuhan mau kabulkan di tahun ini.
Punya pacar yang sayang padaku.
Terima kasih, Tuhan.
Amin.

Aku membuka mataku, merasa puas sudah menaikkan doa kepada Tuhan. Seperti biasa, selama lima tahun terakhir ini, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 12:00:01
aku selalu memanjatkan doa yang sama kepada Tuhan. Aku menjadikan hal ini seperti suatu tradisi, bagi diriku sendiri.

Tradisi ini berawal ketika aku berusia 17 tahun.

Hari itu tepat sebelum hari ulang tahunku, Emily menarik tanganku dengan tergesa-gesa begitu melihatku masuk melewati gerbang sekolah.

“Melody. Ayo, ikut aku. Ada yang ingin aku ceritakan,” katanya penuh teka-teki. Aku mengikutinya ke ruang aula yang kosong pada pagi itu.

“Ada apa?” tanyaku.

Emily tidak langsung menjawab. Kuperhatikan wajahnya bersemu merah. Binar matanya yang indah berkejap-kejap menandakan berita yang disampaikan pastilah berita gembira. Emily meraih tanganku dan dengan suara berbisik tetapi terdengar jelas di telingaku, berkata,”Aku sudah punya pacar. Baru saja kemarin. Iwan menembakku dan aku langsung bilang iya.”

Selama beberapa detik, aku termangu tidak menyangka. Emily menatapku menunggu reaksiku. “Wah… Selamat ya. Itu berita gembira.”

Emily memelukku. “Kamu tahu, aku sudah mendoakan ini selama satu tahun sejak aku suka sama Iwan. Dan Tuhan mengabulkannya.”

Saat itulah aku memutuskan untuk berdoa hal yang sama. Meminta agar Tuhan memberikan seorang pacar untukku, seperti yang sudah Dia berikan kepada sahabatku. Dan untuk menjadikannya lebih bermakna, aku memintanya tepat ketika aku berulang tahun.

Namun, tahun itu berlalu tanpa ada kejadian yang dapat dijadikan sebagai jawaban atas doaku. Maka aku kembali memanjatkan doa yang sama di ulang tahun berikutnya. Awalnya aku tidak merasa keberatan menunggu. Bukankah Tuhan baru memberi pacar kepada Emily setelah satu tahun berdoa? Begitu pikirku. Mungkin terhadapku, Tuhan akan memberikan sedikit lebih lama. Aku berusaha berpikir optimis.

Setahun berganti menjadi dua dan tidak terasa sudah memasuki lima tahun. Dan doa yang sama itu pun akhirnya menjadi seperti tradisi di hari ulang tahunku.

Aku tersentak dari lamunanku. Tiba-tiba, beberapa notifikasi pesan terdengar dari ponsel yang kuletakkan di tempat tidur. Aku tahu itu pasti berasal dari teman-teman yang mengucapkan selamat ulang tahun. Aku tidak menggubrisnya. Sebaliknya, aku malah memandang cermin di meja riasku, seakan-akan di sana ada tertulis alasan mengapa doaku tidak kunjung dijawab oleh Tuhan.

Wajah di cermin balas menatapku. Bentuk wajah yang oval, alis mata yang cukup tebal, bentuk bibir yang penuh dan merah, aku tahu aku tidak begitu cantik, namun aku cukup manis. Apalagi dengan tinggi badan yang memadai dan porsi tubuh yang cukup ideal, aku dapat dikatakan menarik. Bukannya aku memuji diriku, tapi itulah yang dikatakan beberapa teman dekatku. Tentu itu dapat menjadi alasan aku bisa mendapat pacar, bukan? Aku berkata pada diriku sendiri.

Dengan kepribadianku yang ceria dan mudah bergaul, aku memiliki banyak teman, dan di antaranya ada teman-teman pria yang pernah dekat juga denganku. Beberapa malah sempat kupikir sebagai jawaban atas doaku. Namun ternyata, tidak ada satu pun yang benar-benar dapat disebut sebagai pacar.

Misalnya Bram. Aku kenal dia ketika kami sama-sama melayani di persekutuan kampus. Dia adalah koodinator kelompok kecil dan aku adalah sekretaris. Kerja sama kami dapat dikatakan baik sehingga sepanjang tahun kami melayani, buah pelayanan kami terlihat. Beberapa kelompok kecil terbentuk dan berjalan dengan baik. Kami pun cukup dekat, akan tetapi tidak ada perasaan suka di antara kami. Aku tidak, Bram juga tidak. Ketika Bram kemudian membawa teman wanitanya yang berasal dari kampus lain untuk dikenalkan kepadaku, aku ikut senang untuk dia.

Ada juga Hendri. Pacar Emily yang mengenalkannya kepadaku. Hubunganku dengan Hendri dapat dikatakan sangat dekat. Selain karena dia teman baik dari pacar Emily, kami memiliki banyak kesamaan sehingga tidak pernah habis bahan obrolan. Ada saja yang diobrolkan dan mengasyikkan. Kami pun suka makan, apalagi jika ada kuliner baru yang lagi viral, kami akan langsung ke sana dan mencobanya. Ditambah dengan pergi bersama Emily dan pacarnya, orang lain mungkin melihatnya sebagai kencan ganda. Tetapi aku terpaksa menolaknya, karena dia bukan orang Kristen. Di balik semua kesamaan kami, hanya ada satu yang tidak sama, yaitu iman kami. Maka meski sedih dan berat hati, kami memutuskan hanya menjadi teman.

Lalu ada juga beberapa pria lain yang cukup dekat denganku. Namun ada saja hal-hal yang tidak dapat menjadikan mereka sebagai pacar. Ada yang baru berkenalan selama beberapa bulan, sudah suka menyuruhku melakukan ini dan itu untuk dia. Tentu aku tidak mau punya pacar seperti itu. Ada juga yang sangat suka bicara, dan tidak mau mendengarkan. Meski aku juga suka bicara, tetapi jika dua-duanya bicara, siapa yang akan mendengarkan?

Aku menghela nafas. Kembali berpikir, apa yang salah dengan diriku? Atau lebih tepatnya, apa yang salah dengan keinginanku? Hampir semua teman-temanku punya pacar. Mereka terlihat sangat bahagia dengan hidupnya. Jika mereka bisa dan boleh punya, mengapa aku tidak?

Mataku melirik sebuah buku di atas meja riasku. Buku itu kuberi nama Quote Diary. Beberapa temanku suka menulis buku harian, tetapi aku tidak begitu suka menulis keseharianku. Selain karena hal itu bersifat rahasia, dunia tulis menulis bukan duniaku. Namun aku suka mengumpulkan kutipan-kutipan yang menarik. Ada yang kudapat ketika aku sedang berselancar dalam dunia maya. Aku simpan dan mencetaknya. Ada juga yang mengirimkan dalam obrolan grup lalu aku akan tulis ulang. Aku cukup bangga dengan bukuku karena indah dilihat dan cukup menarik.

Aku membolak-balik buku ini. Tertawa saat membaca beberapa kutipan yang kadang lucu. “Udah bikin kopi tapi tetep ngantuk. Eh, ternyata lupa, belum minum”. Atau coba yang ini: “Manusia itu emang susah nyalahin diri sendiri. Leher pegal dibilang salah bantal.”

Mataku lalu berhenti pada satu kutipan.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Aku baca sekali lagi. Aku melihat tanggal di atas kutipan itu. Tanggal ulang tahunku dua tahun yang lalu. Seorang teman yang sedang kuliah di luar negeri, yang mengirimkannya. Katanya sebagai hadiah ulang tahun.

Aku tidak pernah memikirkan kalimat ini sebelumnya secara serius. Waktu itu hanya sekilas membacanya dan berpikir bagus maka kutuliskan dalam buku.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Tuhan tidak selalu memberi apa yang kamu inginkan, tetapi selalu memberikan apa yang kamu perlukan. Aku lalu teringat akan doaku. Kalau begitu, keinginan untuk mendapatkan pacar, apakah keinginan atau kebutuhan? Aku meletakkan buku itu lalu duduk di atas tempat tidur.

Pacar itu adalah keinginanmu atau kebutuhanmu? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Jangan-jangan selama ini bukannya Tuhan tidak menjawab doaku, hanya akunya yang tidak mau mendengar Dia karena jawaban-Nya adalah tunggu. Tuhan tidak memberikan pacar kepadaku sekarang karena aku belum membutuhkannya. Kalau aku ingat-ingat lagi, ada benarnya juga. Jika dulu semasa sekolah dan kuliah Tuhan memberikan kepadaku pacar, mungkin pendidikanku bisa berantakan. Karena aku orang yang mudah terdistraksi maka mungkin sekali konsentrasi belajarku buyar akibat asyik pacaran. Atau juga karena aku belum bisa bertanggung jawab akan hidupku, maka Tuhan menundanya dulu.

Aku tidak tahu alasan pasti mengapa Tuhan belum memberikannya. Tetapi satu hal yang pasti, hal itu untuk kebaikanku. Aku memejamkan mataku, kembali berdoa.

Tuhan.
Terima kasih untuk jawaban-Mu.
Ampuni aku yang selama ini tidak menyadari jawaban atas doaku.
Tolong aku ya Tuhan.
Aku masih menginginkan seorang pacar, namun biarlah itu terjadi jika Kau mau memberikannya kepadaku. Pada waktu-Mu yang Engkau anggap paling baik.
Berilah kepadaku kesabaran untuk menunggu.
Terima kasih Tuhan.
Amin.

Aku tersenyum setelah membuka mataku. Aku akan menikmati hari-hariku bersama dengan Tuhan, dengan atau tidak punya pacar.

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

1 Hal yang Tak Boleh Terlupakan Saat Kamu Berbuat Baik

Oleh Meili Ainun

Kita tidak asing dengan konsep “berbuat baik”. Budaya hingga agama mengajar agar sesama manusia saling berbuat kebaikan. Kita pun pasti setuju bahwa kebaikan adalah “bahasa universal” yang bisa diterima oleh semua manusia.

Namun, kebaikan seperti apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen? Apakah dengan memberi sebanyak mungkin? Atau, apakah dengan merelakan diri untuk selalu berkorban? Untuk menemukan jawaban spesifiknya, aku mengajakmu untuk menilik kembali suatu kisah dari Alkitab yang tentu tak asing kita dengar.

Yohanes 13:1-20 mencatat kisah tentang Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya. Pada masa itu, membasuh kaki adalah kebiasaan umum di wilayah tempat Yesus tinggal. Orang-orang berjalan kaki dengan memakai kasut yang bentuknya tidak seperti sepatu modern sehingga debu dan kotoran bisa dengan mudah menempel di kaki. Agar debu dan kotoran itu tidak terbawa masuk, maka setiap orang harus membasuh kakinya dulu. Tuan rumah pun menyediakan wadah yang bisa terbuat dari emas, perak, besi, ataupun tanah liat berisi air di muka rumah.

Seseorang tidak membasuh kakinya sendiri. Umumnya seorang budak atau pelayan dari tuan rumah yang melakukannya. Namun, Injil Yohanes menyajikan cerita yang berbeda. “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yohanes 13:4-5).

Momen pembasuhan kaki ini terjadi saat Yesus dan para murid sedang melakukan perjamuan Paskah, tetapi pada saat itu tidak ada pelayan di ruangan itu, dan tak ada pula satu pun di antara para murid yang berinisiatif melakukannya. Ada banyak alasasan di balik tindakan para murid itu, tetapi kita dapat melihat sikap Yesus yang luar biasa. Renungan Reforming Heart menuliskan analisis mendetail tentang sikap Yesus ini: “Kasihlah yang menggerakkan Kristus untuk menebus murid-murid-Nya. Kasih bukanlah konsep abstrak yang bisa dipisahkan dengan relasi. Kasih berarti yang mengasihi menginginkan pihak lain untuk menjadi satu di dalam relasi dengan yang mengasihi… sedangkan kasih yang palsu menginginkan kebaikan orang lain, tetapi tidak terlalu menginginkan berada di dalam relasi dengan orang lain.”

Kasih Yesus kepada murid-murid-Nya mewujud melalui tindakan kerendahan hati-Nya. Yesus yang adalah Raja, merendahkan diri-Nya dengan menjadi sosok pelayan yang membasuh kaki para murid. Kebaikan Yesus tak akan ada artinya apabila Dia tidak melakukannya dengan rendah hati. Sehingga, jelaslah bagi kita bahwa prinsip utama dari kebaikan yang kita lakukan adalah: kita melakukannya dengan rendah hati… bukan agar kita dibalas dengan kebaikan yang sama, tetapi kita ingin agar melalui kebaikan itu orang melihat kasih Bapa terpancar melalui kita.

Namun pertanyaannya, bagaimanakah kita bisa melatih diri untuk rendah hati dalam setiap perbuatan baik yang kita lakukan?

1. Latihlah diri untuk tidak bersungut-sungut

Dalam bahasa Indonesia, bersungut-sungut dapat diartikan sebagai mengomel atau menggerutu. Namun, dalam bahasa Yunani kata yang digunakan adalah “gonggusomos” yang artinya tidak sekadar menggerutu, tetapi menjurus pada tindakan memberontak.

Wow. Pengertian ini mungkin membuat kita terkejut. Bersungut-sungut agak berbeda dengan mengeluh yang kadang memang kita lakukan sebagai luapan perasaan. Bersungut-sungut itu sama dengan mengomel tetapi secara terus-menerus sembari tidak mengerjakan tanggung jawab dengan maksimal, sehingga ini dapat pula diasosiasikan sebagai sebuah pemberontakan. Bangsa Israel pun pernah bersungut-sungut dan memberontak terhadap tuntunan Allah dalam perjalanan mereka keluar dari Mesir.

Apa yang menyebabkan kita bersungut-sungut? Tentu tiap orang punya alasan masing-masing, tetapi secara umum mungkin karena kita merasa melakukan pelayanan itu sendirian, lalu merasa berat memikulnya. Lalu, bisa jadi juga karena kita mengandalkan kekuatan sendiri dan merasa mampu melakukannya sendirian. Atau, secara tidak sadar kita memelihara kesombongan. Kita merasa pekerjaan yang kita lakukan terlalu rendah nilainya dan tidak memberi manfaat apa pun. Tetapi, hendaklah kita ingat bahwa Yesus yang adalah Tuhan dan Raja telah melakukan pekerjaan yang hina dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.

2. Latihlah diri untuk tidak mengharapkan balasan

Naluri kita seringkali menganggap kebaikan sebagai tindakan timbal balik. Jika aku memberi kebaikan pada si A, maka dia seharusnya membalasku dengan kebaikan yang sama.

Namun, marilah kita mengingat kembali bahwa pada kita telah diberi pemberian terbesar yakni Kristus yang menebus dosa-dosa kita (Yohanes 3:16), sehingga saat kita melayani-Nya dengan memberikan kebaikan bagi orang lain, lakukanlah itu dengan tulus. Dia sudah memberikan segalanya dan yang Dia mau dari kita adalah kita hidup di dalam-Nya.

3. Latihlah diri untuk tidak hitung-hitungan

Perbuatan baik yang didasari kerendahan hati tidak bicara tentang seberapa banyak dan besar kita sudah melakukan kebaikan. Kadang kita merasa sudah berbuat banyak untuk melayani-Nya. Kita aktif di gereja bertahun-tahun, mengorbankan waktu dan uang, berdoa dan baca Alkitab tiap hari. Tapi, apakah balasan Tuhan atas semua kesetiaan kita? Lantas kita pun hitung-hitungan akan hal apa saja yang telah kita lakukan untuk-Nya dan membandingkannya dengan apa yang kita dapatkan.

Bagaimana kalau dibalik? Apa yang dapat kita lakukan jika Tuhan yang hitung-hitungan dengan kita?

Alangkah malunya karena kita akan mendapati begitu sedikit yang telah kita lakukan kepada Tuhan dan begitu banyak berkat yang tidak terhitung yang telah Tuhan berikan sepanjang hidup kita. Bahkan, nyawa-Nya yang telah menyelamatkan kita tidak dapat kita balas sampai kapan pun.

Efesus 6:5-8 mengingatkan kita untuk tulus dan segenap hati dalam melayani, rela menjalankan pelayanan seperti untuk Tuhan, serta senantiasa berbuat baik. Kalau kita telah berbuat baik, kita akan menerima balasannya dari Tuhan. Namun, jangan sampai kita salah pemahaman, mengartikannya dengan berbuat baik agar mendapatkan balasan setimpal dari-Nya. Bukan itu. Perbuatan baik haruslah lahir dari rasa syukur atas hidup kita yang dipelihara oleh Tuhan. Jikalau kita mendapat balasan dari Tuhan, bersyukurlah. Karena telah dan akan selalu ada hal yang dapat kita syukuri dari-Nya. Bersyukur pun merupakan salah satu wujud sikap rendah hati.

Sesungguhnya, bersikap rendah hati ketika melayani bukanlah tugas yang mudah. Ketika kita semakin melayani Tuhan, tantangan pun akan semakin banyak dan sulit.

Maka, inilah pertanyaan untuk kita renungkan bersama: Jika melayani Tuhan adalah untuk memuliakan-Nya dan menjadi berkat bagi sesama, maukah kita merendahkan diri seperti seorang hamba ketika melayani?

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).

Cerpen: Ira dan Nathan

Oleh Meili Ainun

“Maaf, kami tidak bisa menerima anak ibu. Persyaratan untuk masuk kelas 1 adalah anak sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar. Anak ibu tidak memenuhi persyaratan kami.”

“Tentu. Tentu saja kami menerima anak ibu dengan senang hati. Biaya sekolah per bulan tiga juta rupiah. Ditambah biaya makan, buku, kegiatan sekitar dua juta rupiah. Total biaya per bulan adalah lima juta rupiah.”

“Hasil tes anak ibu tidak memenuhi syarat untuk masuk kelas 1. Kami mohon maaf. Demi kebaikan anak ibu, kami menyarankan agar dia masuk ke sekolah khusus yang lebih sesuai dengan kemampuannya.”

***

Berbagai pesan yang disampaikan oleh beberapa sekolah kembali terngiang dalam pikiran Ira.

“Lagi-lagi penolakan.. Dan biayanya.. Oh, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus mama lakukan, Nathan?”

Nathan yang sedang bermain Lego langsung menoleh dan tersenyum mendengar namanya dipanggil.

Ira tersenyum kembali pada Nathan. “Yuk, kita tidur.”

Di tepi tempat tidur, Ira berlutut bersama Nathan. Dengan wajah serius, Nathan memejamkan matanya menunggu Ira berdoa.

“Tuhan yang baik, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih Tuhan menjaga Nathan. Terima kasih untuk makanan yang kami makan. Terima kasih untuk tubuh yang sehat. Tuhan, tolong kami menemukan sekolah untuk Nathan. Sekarang kami mau tidur, tolong jaga kami ya Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Nathan menyahut dengan bersemangat. “Amin. Sekarang cerita.”

“Nathan mau dengar cerita apa?”

“Daud.”

Ira duduk di atas tempat tidur, mengambil Alkitab anak-anak, membuka halaman tertentu, dan membiarkan Nathan memegang Alkitab itu. Lalu Ira mulai membacakan cerita Daud melawan Goliat. Mata Nathan terlihat antusias melihat gambar-gambar yang ada.

“Tuhan hebat!” begitu komentar yang biasanya Nathan ucapkan tiap kali Ira selesai membaca cerita.

“Ya, Tuhan hebat. Mama sayang kamu,” sahut Ira memeluk Nathan.

“Nathan sayang mama,” kata Nathan.

Setelah memastikan Nathan tertidur, Ira duduk di ruang tamu dengan perasaan sedih.. Ira menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Apa yang harus kulakukan? Hanya sekolah ini yang mau menerima Nathan. Tetapi lima juta sebulan? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

Sejak kematian Hendri, suaminya akibat kecelakaan lalu lintas pada awal tahun, tidak banyak pilihan kerja yang bisa diambil Ira karena Nathan harus selalu dijaga dan tidak dapat ditinggal tanpa pengawasan. Maka, Ira memilih bekerja sebagai agen asuransi karena jam kerja yang fleksibel. Bila Ira harus bertemu dengan klien di luar, Nathan dititipkan sebentar kepada tetangga sebelah yang bersedia menjaganya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan bantuan karena Ira anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal sedangkan orang tua Hendri sudah lanjut usia dan tinggal di kota yang berbeda.

Namun penghasilan sebagai agen asuransi tidak menentu, dan tabungan yang dimilikinya tidak banyak, hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ira bersyukur dia dapat tinggal di rumah yang cukup layak tanpa harus dibebani dengan cicilan rumah. Tetapi biaya pendidikan Nathan yang tidak sedikit membuat Ira resah. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Setiap hari diawali dengan rutinitas yang sama. Ira akan membangunkan Nathan pada jam yang sama, mengawasinya saat mandi karena Nathan sedang belajar mandi sendiri, lalu mereka makan pagi bersama-sama. Ira bersyukur Nathan mau makan apa saja yang disajikannya sekalipun sangat sederhana seperti bubur.

Kemudian waktu belajar pun dimulai. Bagi Ira, waktu belajar adalah waktu yang penuh tantangan. Ira tahu Nathan tidak begitu suka belajar. Ira berusaha mencari cara agar waktu belajar menjadi waktu yang menyenangkan bagi Nathan, namun Ira tahu dirinya bukan seorang yang sabar dan kreatif. Dan Nathan mudah sekali bosan.

“Nathan, ini huruf apa?” Ira menunjuk huruf A pada poster abjad yang ditaruhnya di meja.

Nathan menjawab dengan bangga. “A.”

Ira tersenyum dan memuji Nathan. “Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

“B”, sahut Nathan dengan cepat.

“Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

Nathan diam dan menoleh memperhatikan mainan Lego yang terletak di pojok.

“Nathan. Ini huruf apa?” tanya Ira kembali dengan penekanan pada suaranya.

Nathan menatap Ira dan menjawab, “A.”

“Tidak, ini bukan A. Yang ini huruf A. Ini bukan A. Ini huruf apa?” tanya Ira dengan panik.

“A,” jawab Nathan dengan keras.

“Bukan. Ini bukan huruf A. Ini huruf C. Ayo ingat, ini apa? C,” jelas Ira dengan nada suara kesal.

Nathan diam dan kembali memperhatikan mainan Lego.

“Nathan. Anak pintar. Ayo, belajar. Ingat ya, ini huruf A. Yang ini B, yang ini C. Sekarang coba ulangi lagi,” kata Ira sambil berusaha sabar.

“A. A. A. A. A,” teriak Nathan sambil berlari mengambil mainan Lego kesayangannya.

“Nathan, kembali ke sini. Kita belum selesai belajar,” Ira membentak dengan suara keras.

Nathan diam saja dan sibuk memainkan Lego di lantai.

“Mama bilang kita belum selesai belajar. Kalau kamu seperti ini terus, kamu tidak bisa pergi ke sekolah. Nathan, kamu dengar mama?” Ira menatap Nathan dengan marah.

Suara terisak-isak Nathan segera terdengar. Tubuh kecilnya tergoncang sedikit.

“Maaf…maafkan mama, Nathan. Mama tidak bermaksud marah padamu. Tetapi Nathan harus belajar. Oh…apa yang harus kita lakukan, Nathan?” Ira memeluk Nathan sambil menangis.

Ira menyadari dirinya kadang keras pada Nathan. Dia ingin memastikan agar Narhan dapat tumbuh sama seperti anak-anak lain. Ira tahu Nathan lahir dalam kondisi yang khusus. Nathan telah dibawa bertemu dengan beberapa psikolog dan mereka mengatakan hal yang sama. Nathan adalah penyandang Disabilitas Intelektual ringan dengan tingkat IQ 70. Hal itu membuat Nathan mengalami kesulitan kognitif. Meskipun umurnya sudah menginjak usia 7 tahun, Nathan baru mengenal beberapa huruf dan angka. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nathan untuk mengingat sebuah huruf maupun angka. Ira tahu Nathan mampu hanya dia butuh waktu yang lebih lama dibanding anak-anak lain.

Ira sempat menyalahkan dirinya karena kondisi Nathan. Dia berpikir apakah dirinya penyebab Nathan lahir dalam kondisi itu. Para psikolog menyakinkan Ira bahwa tidak ada suatu penyebab pasti dalam kasus ini. Ada banyak faktor penyebab dan berbagai kemungkinan yang terjadi, sehingga tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri.

Meskipun Nathan kadang menyulitkan, namun Ira tahu dia tidak dapat hidup tanpa Nathan. Melihat Nathan tersenyum mampu membuat hati Ira merasa lebih baik. Mendengar Nathan bernyanyi lagu-lagu Sekolah Minggu kadang membuat Ira berpikir Nathan sama seperti anak-anak lain. Nathan memang suka bernyanyi dan paling senang bila hari Minggu tiba. Karena hari itu Nathan akan ikut Sekolah Minggu. Nathan bahkan memiliki pakaian khusus yang dia hanya pakai di hari Minggu.

Di Sekolah Minggu, Nathan akan duduk bersama anak-anak lain. Bernyanyi dengan suaranya yang enak didengar. Bertepuk tangan dengan gembira. Tersenyum lebar setiap waktu. Ira yang mengintip di pintu akan tersenyum juga. “Nathan yang manis,” begitu Ira menyebut Nathan.

Namun, hati Ira menjadi miris melihat Nathan yang duduk dengan tatapan mata kosong karena tidak mengerti apa yang sedang diceritakan guru Sekolah Minggu. Dan selesai Sekolah Minggu dimana anak-anak lain berlari dan bermain bersama, Nathan akan duduk sendirian bermain Lego. Kadang ada guru Sekolah Minggu yang menemaninnya, tetapi lebih sering dia sendirian. Ira sampai pernah meminta seorang anak untuk mau menemani Nathan setiap kali Sekolah Minggu selesai. Anak itu bersedia melakukannya tetapi hanya beberapa kali karena Nathan tidak bisa diajak ngobrol, dia tidak mengerti percakapan yang berlangsung. Pembicaraan mereka tidak nyambung. Maka Nathan akan kembali sendirian.

Adakalanya Ira ingin menyerah dengan keadaan Nathan apalagi jika Ira memikirkan apa yang harus Nathan hadapi bila sudah dewasa nanti. Namun di saat-saat Ira merasa dirinya tidak akan sanggup lagi bertahan, ada Firman Tuhan yang selalu menguatkannya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. (1 Petrus 5:7). Ira tahu dirinya dapat bergantung kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan yang setia dan pemelihara hidup. Meski Ira tidak selalu dapat mengerti rencana Tuhan terhadap dirinya dan Nathan, namun Ira percaya Tuhan tidak pernah salah. Nathan hadir dalam hidupnya bukanlah kesalahan. Seperti nama Nathan (Nathaniel) yang berarti anugerah Tuhan, bagi Ira, Nathan adalah anugerah Tuhan yang diberikan dalam hidupnya..

Aku Suka Kamu, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Aini melirik ponselnya untuk kesekian kali. Tidak ada notifikasi. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul 23.12, dan rasa kantuk mulai menyerangnya.

“Ku tunggu sebentar lagi,” ucapnya dalam hati.

Aini mengambil salah satu novel, membolak-baliknya tanpa niat. Sekali lagi melirik ponselnya, memastikan baterainya masih ada.

Tit…tit… Terdengar bunyi notifikasi pesan.

Lagi ngapain?

Aini tersenyum lebar.

Siap-siap mau tidur.
Aku ganggu kamu ya?
Ah…nggak kok. Kamu ngapain aja hari ini?
Biasa. Sibuk kerja. Kamu?
Sibuk kerja juga.
Sudah malam. Kamu tidur dulu deh. Besok kita sambung lagi.
Okay. Sampai besok ya.

Aini meletakkan ponselnya di atas meja. Setelah mengucapkan doa singkat, dia berbaring, memejamkan mata sambil membayangkan sosok yang menghiasi hidupnya belakangan ini.

Beberapa minggu yang lalu…

Aini sedang membaca novel ketika ponselnya berdering. Dia melirik dan merasa heran melihat nama yang tertera di sana. “Tumben, tante Mona menelepon. Tidak biasanya.” Aini mengangkat ponselnya sambil membayangkan wajah kakak kandung papa yang tinggal di Medan itu.

Halo, tante. Apa kabar?
Halo, Aini. Bagaimana kabarmu?
Baik, tante. Tante gimana? Sehat kan ya?
Iya. Sehat. Kamu sendiri gimana? Sibuk kerja ya?
Iya. Lumayan, tante.
Begini…Aini. Tante rencananya mau kenalin kamu dengan seseorang.
Hmm…siapa ya, tante?
Dia itu anak dari sahabat baik tante. Orangnya baik. Jujur dan rajin kayak kamu. Usia kalian juga hampir sama. Kamu sudah hampir 30 tahun kan, ya?
Iya, tante. 29 tahun.
Nah…usia dia 30 tahun. Cocoklah sama kamu. Kamu mau kenalan ama dia?
Yah…untuk teman, boleh, tante.
Iya, kenalan dulu saja. Siapa tahu nanti cocok.
Iya, tante. Dia orang Kristen, bukan?
Bukan sepertinya. Ah…agama nggak pentinglah. Usia yang paling penting. Kamu sudah nggak muda lagi, lho. Jadi tante kasih nomor kamu ke dia ya. Oh ya, nama dia Albert. Nanti tante kirimkan foto dia.
Hm…iya, Ok, tante. Terima kasih banyak.
Semoga kalian cocok ya. Bye…Aini.
Bye…Tante.

Tidak lama kemudian, ada pesan masuk dari Tante Mona disertai foto seseorang.

Aini, ini Albert.

Aini memperhatikan foto itu, sesosok pria ramping, tinggi, sedang tersenyum lebar.

“Kelihatannya dia lebih tinggi dariku,” pikir Aini.

Aini tidak lagi terlalu mengingat pembicaraan itu sampai seminggu kemudian, ada bunyi notifikasi pesan di ponselnya. Aini membaca pesan yang muncul.

Hai, aku Albert. Salam kenal ya. Aku dapat nomor kamu dari tante Mona.

“Oh, iya. Dia yang mau dikenalin tante waktu itu.”

Hai juga. Aku Aini. Salam kenal juga.
Apa aku lagi ganggu kamu?
Oh…nggak kok. Aku lagi santai saja.
Kamu kerja apa?
Aku guru. Ngajar anak-anak TK. Kalau kamu apa?
Aku kerja di IT. Programmer. Kamu senang anak-anak ya? Pasti kamu orangnya sabar deh.
Hahahahaha…nggak juga. Kadang aku bisa marah juga kok.
Sudah lama ya kerja jadi guru?
Iya. Sejak lulus sampai sekarang. Kamu gimana?
Iya. Aku juga, sejak lulus kuliah, sudah kerja di sini. Kita banyak kesamaan ya?
Iya, sepertinya.

Aini tidak menyangka percakapan pertama itu menjadi awal dari percakapan rutin yang mengisi hari-harinya. Albert akan mengirimkan pesan setiap hari kepada Aini. Biasanya menanyakan apa yang Aini lakukan, mengirim foto makanan, atau tempat-tempat yang sedang dikunjunginya. Aini merasa hidupnya menjadi berbeda. Kebosanan akibat pandemi yang membatasi ruang gerak, rutinitas pekerjaan dan kesepian yang kadang dia rasakan, menjadi tidak lagi mengganggunya karena kehadiran Albert. Meski hanya lewat chat, atau kadang video-call, perhatian Albert terasa sangat menyenangkan. Albert menanyakan kabarnya, memintanya menceritakan kegiatannya bersama anak-anak, memberikan semangat bila Aini merasa sedang putus asa, bahkan mengirimkan hadiah ulang tahun.

Memang mereka belum pernah bertemu karena Albert tinggal di Medan sedangkan Aini di Jakarta, dan juga karena larangan bepergian akibat pandemi, namun tiada hari terlewati tanpa obrolan lewat ponsel. Suara Albert yang menentramkan sanggup membuat rasa lelah Aini karena bekerja sepanjang hari, menjadi hilang.

Meski Aini merasa hidupnya sekarang menyenangkan, namun, dia juga merasakan kegelisahan. Beberapa kali ayat Alkitab 2 Korintus 6:14 tergiang di kepalanya. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya…” Aini berusaha menyakinkan dirinya bahwa dia dan Albert hanya berteman saja. Tetapi perasaan suka yang dia rasakan dari hari ke hari semakin kuat. Aini selalu menunggu Albert mengirimkan pesan atau meneleponnya. Pernah Albert tidak memberi kabar sepanjang hari, Aini merasa cemas berpikir hal buruk mungkin sudah terjadi. Ternyata kesibukan kerja membuat Albert tidak bisa memberi kabar. Aini baru merasa lega setelah Albert mengirimkan pesan keesokan harinya.

Aini menyadari perasaan suka yang mengetuk pintu hatinya, namun terselip juga perasaan bersalah karena Albert bukan orang Kristen. Karena itu Aini memutuskan untuk mendoakan Albert agar dapat percaya kepada Tuhan Yesus. Aini menyakinkan dirinya bahwa dia sedang menginjili. Bukankah penginjilan itu perintah Tuhan?

Maka suatu kali Aini menanyakan kepada Albert mengenai Tuhan.

Bert, kamu percaya ada Tuhan?
Iya…aku percaya ada Tuhan. Kalau tidak, bumi tidak mungkin tercipta seperti ini.
Kamu pernah dengar Tuhan Yesus?
Iya, pernah. Aku pernah diajak teman ke gereja beberapa kali.
Menurutmu, gimana?
Yah…menurutku. Setiap orang boleh saja memilih agamanya. Dan semua agama sama kan? Masing-masing mengajarkan yang baik. Mungkin selera saja, masing-masing pilih agamanya.
Tidak sama. Tuhan Yesus berbeda. Dia satu-satunya Juruselamat.
Aini, kita jangan bicarakan ini ya. Aku nggak suka dengar kamu bicara soal Tuhan Yesus. Aku tahu siapa itu Tuhan Yesus. Aku sudah sering dengar tentang Dia. Kita bicarakan yang lain saja deh.

Setiap kali Aini mencoba bercerita mengenai Tuhan Yesus, tanggapan Albert menjadi dingin. Beberapa kali Aini pun sempat mengirim ayat-ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 dengan harapan agar Albert mau membacanya. Tetapi pesan-pesan itu tidak digubris. Akhirnya Aini tidak pernah lagi membicarakan tentang Tuhan Yesus, tetapi dia masih terus mendoakan agar suatu hari nanti Albert dapat menjadi orang percaya.

Suatu kali, tanpa sengaja, Aini menemukan video khotbah dengan judul Putus Atau Terus. Pembicaraan yang berkisar sekitar 30 menit itu membekas di hati Aini. Dia teringat pembicara itu menanyakan “Are you dating the right person?” Sudahkah kamu bertanya kepada Tuhan, apakah dia orang yang cocok untukku? Apakah dia seiman dan sepadan untukku?” Aini memikirkan pertanyaan itu selama berhari-hari. Dia memikirkan relasinya dengan Albert selama ini, percakapan mereka, hal-hal yang disukainya dari diri Albert, termasuk tanggapan Albert jika diajak berdiskusi mengenai iman. Aini bergumul di hadapan Tuhan, sungguhkah dia menginginkan Albert menjadi pasangan hidupnya? Aini kembali teringat akan 2 Korintus 6:14, perintah Tuhan yang dengan jelas melarangnya berpasangan dengan orang yang tidak seiman. Pada akhirnya, Aini pun mengambil keputusan.

Beberapa hari kemudian ponsel Aini berdering ketika dia sedang mengerjakan materi ajar.

Hai.
Hai.
Sedang apa?
Lagi persiapan ngajar untuk minggu depan.
Oh….
Ada apa? Kamu kedengarannya serius sekali.
Gini…Aini. Aku sedang berpikir tentang kita. Sepertinya kita sudah berteman cukup lama ya. Sudah 4 bulan ya kalau ngak salah. Aku ingin kita lebih dari teman. Aku suka kamu, Aini. Dan kita juga cocok. Aku senang ngobrol sama kamu, kita punya banyak kesamaan juga. Gimana menurut kamu?
Aku juga suka berteman denganmu, tetapi….aku nggak bisa lebih dari teman.
Kenapa nggak?
Karena kamu bukan orang Kristen. Aku tidak bisa pacaran dengan orang yang tidak seiman. Itu melanggar perintah Tuhan. Maaf ya, aku nggak bisa.
Yah…aku ngerti sih. Aku tahu juga soal itu. Yah…aku sedih, tetapi aku ngerti alasan itu.
Kita berteman saja ya. Bye..Albert.
Bye…Aini.

Aini meletakkan ponselnya. Dia merasakan matanya basah. Aini tahu mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan orang seperti Albert. Bahwa dia telah melewati kesempatan yang mungkin dia tidak akan pernah dapatkan lagi. Usianya yang hampir menginjak 30 tahun membuat peluang bertemu dengan pria baik seperti Albert semakin kecil. Aini juga berpikir tentang reaksi Tante Mona bila dia tahu keputusan yang telah diambilnya. Mungkin Tante Mona akan menganggapnya bodoh dengan melepaskan Albert. Aini tahu dia perlu menyesuaikan diri lagi dengan kehidupannya tanpa Albert sekarang. Mungkin rasa kesepian akan datang kembali seperti yang dia rasakan dulu sebelum bertemu Albert. Namun, semua itu tidak lagi menjadi penting karena Tuhan sudah menunggunya untuk kembali. Damai sejahtera kembali mengisi hatinya. Bukankah menyenangkan Tuhan adalah hal yang paling penting?

Aini tahu dia sudah membuat keputusan yang benar. “Terima kasih, Tuhan telah menolongku. Maafkan aku yang butuh waktu lama untuk menyadarinya. Tolong aku untuk tidak terlalu bersedih. Tuhan akan sediakan seseorang untukku bila Tuhan ingin aku menikah nanti.”

Aku dan Seisi Rumahku Beribadah Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

“Cuma 3,65? Kamu nggak bisa lebih dari itu? Kenapa harus ada nilai B?” Suara papi terdengar dingin.

Yosua menjawab papinya dengan menunduk diam.

“Bagaimana kalau ada yang tahu? Apa yang akan mereka pikirkan? Papi selalu membanggakan kamu itu akan lulus dengan nilai sempurna. Apa susahnya dapat IP 4.00?” Suara papi semakin meninggi.

Yosua semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya pucat.

“Kamu selalu saja mengecewakan. Sudah sana, siap-siap untuk kelas Pemahaman Alkitab. Jangan sampai terlambat. Dan berpakaianlah rapi sedikit,” rasa kecewa pun tertuang dalam nada bicara papi.

Yosua melangkah perlahan menuju ke kamarnya.

“Apa salahku? Begitu pentingkah nilai itu? Kuliah kedokteran kan susah. Lagipula aku tidak ingin jadi dokter. Aku ingin jadi guru. Tetapi papi beranggapan tidak ada gunanya menjadi guru. Menjadi dokter menjaga nama baiknya,” gumam Yosua dalam hati. Dia membatin mengapa papinya begitu memaksa dia untuk meraih prestasi sempurna di bidang yang sejatinya bukanlah pilihan hatinya.

Meski begitu, Yosua tetap belajar untuk menghormati papinya. Dengan hati yang sendu, dia menyiapkan diri untuk ikut kelas PA.

“Mengapa baru datang sekarang? Sudah papi bilang jangan terlambat,” tegur papi sambil melihat jam tangannya. “Kamu tahu, untuk menjadi orang yang berhasil, kamu harus selalu tampil sempurna. Dulu orang tua papi juga mendidik papi dengan disiplin keras, sehingga papi bisa berhasil seperti sekarang. Kamu juga harus seperti itu,” lanjut papi dengan tegas.

“Maaf, papi,” jawab Yosua pelan. “Padahal masih ada 15 menit sebelum kelas dimulai,” gumamnya dalam hati.

“Konsentrasilah mendengar kelas hari ini. Minggu lalu, kamu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan yang mudah itu. Memalukan sekali!” Suara papi terdengar kesal.

“Baik, papi. Akan kucoba,” jawab Yosua sambil melirik pada mami yang duduk di sebelahnya.

Mami tidak memperhatikan Yosua. Matanya fokus pada Alkitab yang sedang dia pegangi. Dia tampak tenggelam dalam bacaannya.

Percuma berharap pada mami. Dia tidak akan menolongku. Dia hanya sibuk dengan dirinya.

Setelah beberapa waktu setelah kelas PA pun dimulai, tiba-tiba Yosua mendengar namanya dipanggil.

“Yosua, senang melihatmu hari ini. Bagaimana pendapatmu tentang perikop yang kita baca hari ini?” tanya hamba Tuhan itu dengan antusias. Dia memajukan wajahnya ke depan layar menunggu jawaban Yosua.

Melalui pandangan matanya, papi memperingatkan Yosua untuk menjawab dengan benar.

“Tuhan telah menolak Saul menjadi raja karena ketidaktaatannya kepada Tuhan. Dan Tuhan telah memilih orang lain yaitu Daud, menjadi raja menggantikan Saul,” jawab Yosua dengan ragu. Semoga jawabanku tidak salah.

“Bagus sekali, Yosua. Pak Hartono, tentu senang sekali memiliki anak sepintar Yosua. Saya dengar dia kuliah kedokteran. Bapaknya dokter, anaknya juga. Luar biasa sekali, pak,” puji hamba Tuhan itu dengan tersenyum lebar.

Papi Yosua mengangguk-angguk dan tersenyum bangga.

Yosua hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu. Andaikata hamba Tuhan itu tahu yang sebenarnya.

Malam itu, ketika Yosua berbaring di atas tempat tidurnya, dia membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah. Dia tahu dia lelah, tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya. Selama beberapa bulan terakhir ini, Yosua hanya tidur selama 3-4 jam saja. Badannya terasa lelah dan sakit. Tetapi dia tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Paling-paling mereka hanya akan menganggap aku mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab. Mereka tidak mengerti. Mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Tiba-tiba Yosua teringat akan sebuah botol obat yang dia temukan di lemari beberapa hari lalu. Dia mengeluarkan botol itu dari laci mejanya, dan dengan cepat dia menenggak 2 pil tidur sekaligus.

Yosua terlihat menjalani hari-harinya seperti biasa. Sibuk dengan kuliah dan kegiatan gereja. Orang tuanya selalu menekankan pentingnya untuk beribadah bersama-sama. Bahkan di ruang tamu, ada lukisan dinding yang bertuliskan ayat yang diambil dari Yosua 24:15b: Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan. Orang tuanya bahkan memberikan nama Yosua kepadanya karena terinspirasi oleh ayat itu.

Sepanjang ingatan Yosua, tiada hari yang dilewati tanpa kegiatan gereja meskipun masih dilakukan daring selama pandemi. Tanpa perlu jadwal, Yosua sudah menghafal semua kegiatan yang harus diikutinya. Kelas Pemahaman Alkitab, komsel keluarga, Persekutuan Doa, komsel remaja dimana Yosua adalah ketua remajanya, dan kelas Pemahaman Alkitab remaja. Setiap hari Sabtu, Yosua ikut kegiatan bakti sosial yang diketuai oleh maminya.Pada hari Minggu, karena gereja sudah mulai dapat dikunjungi, maka Yosua akan pergi beribadah bersama-sama kedua orang tuanya.

Pernah Yosua meminta izin untuk tidak ikut kelas Pemahaman Alkitab karena harus menyelesaikan tugas kuliah yang banyak. Papinya menjawab dengan ketus,”Salah kamu sendiri yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Papi juga sibuk. Tetapi bisa mengatur waktu untuk kerja dan gereja. Kamu juga seharusnya bisa. Kamu kan tidak lebih sibuk daripada papi. Apa kata orang kalau kamu tidak ikut? Jangan pernah coba merusak image baik keluarga kita!” Sejak itu, Yosua tidak pernah lagi meminta izin sekalipun dia merasa lelah atau tidak enak badan.

Yosua sering mendengar orang-orang memuji keluarganya. “Wah…hebat sekali. Tentu membanggakan memiliki anak yang kuliah kedokteran seperti Yosua. Satu-satunya keluarga dokter di gereja kita.”

“Keluarga teladan. Selalu ada di setiap kegiatan gereja. Tidak pernah absen sekalipun.”

“Sungguh keluarga harmonis. Tidak pernah bertengkar. Selalu akur setiap waktu. Mengagumkan sekali.”

Bahkan para hamba Tuhan di gereja juga ikut berkomentar. “Luar biasa keluarga Yosua itu. Itu baru namanya keluarga yang menyembah Tuhan. Setiap keluarga harus belajar dari keluarga Yosua.”

“Nama gereja kita mulai dikenal masyarakat sejak istrimu aktif dalam kegiatan bakti sosial. Banyak orang tertolong. Apalagi pak Hartono ikut memberikan pelayanan kesehatan gratis. Tanpa keluarga bapak, gereja kita tidak bisa seperti sekarang.”

Pujian-pujian itu tidak hanya dikatakan orang-orang di gereja, tetapi juga oleh teman-teman maupun kerabat orang tuanya. Bahkan sosial media mereka pun dibanjiri pujian seperti itu.

Apakah pentingnya pujian itu? Andai mereka tahu yang sebenarnya. Yosua tertawa sinis. Papi sendiri tidak pernah terlihat berdoa atau membaca Alkitab. Mami membaca Alkitab tetapi tidak mengerti apa-apa. Papi menyuruhnya maka dia harus ikuti. Segala sesuatu di rumah ini harus ikut perkataan papi. Tidak boleh ada yang membantah. Untuk apa hidup seperti ini? Semua orang mengatakan kami adalah keluarga Kristen yang menyembah Tuhan. Apakah orang yang hidupnya menyembah Tuhan itu seperti papi? Munafik. Apakah Tuhan juga seperti papi? Apakah Dia sungguh ada? Kalau Dia ada, mengapa Dia tidak menolongku? Kegelisahan itu kembali menghampiri Yosua. Dia meraih botol obat yang ada di mejanya, dan kali ini dia menelan lebih banyak pil lebih dari seharusnya.

***

Ruangan tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Papi dan mami Yosua duduk di salah satu pojok. Bahu mereka merosot turun. Rasa tidak percaya terpancar di wajah keduanya. Kenyataan bahwa Yosua mencoba membunuh dirinya tidak pernah terbayang dalam benak keduanya.

“Selamat malam, pak dan bu Hartono.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa keduanya.

Orang tersebut mengulurkan tangannya. “Saya mendengar apa yang terjadi. Saya ikut prihatin dengan kondisi Yosua.”

“Oh…pak Kristanto. Selamat malam,” jawab papi dengan kikuk. “Iya…kami…tidak menyangka sama sekali. Kami berpikir selama ini Yosua dalam keadaan baik. Dia mengikuti semua kegiatan dengan baik. Tidak pernah terpikir oleh kami. Kami…kami…tidak mengerti. Apa salah kami? Kami mengikuti kegiatan gereja setiap hari. Tidak pernah kami absen sekalipun. Kami bahkan tidak pergi berlibur. Kami memberikan persembahan. Kami sekeluarga beribadah kepada Tuhan. Mengapa ini terjadi pada kami?” keluh papi.

Penatua gereja yang dipanggil pak Kristanto itu menepuk-nepuk pundak papi. “Iya, semua ini terjadi di luar dugaan kita ya. Kita berpikir kita sudah melakukan yang terbaik bagi keluarga kita, bahkan juga telah menjadi contoh buat mereka. Tapi ternyata…apa yang kita pikir belum tentu seperti yang terlihat ya, pak.”

Papi terdiam sejenak. Wajahnya tampak serius. “Saya…saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya berpikir selama ini kami sudah setia beribadah kepada Tuhan. Tetapi…ya benar. Kalau dipikir-pikir, saya rasa saya belum contoh yang baik bagi Yosua. Saya…saya…bahkan jarang sekali berdoa dan membaca Alkitab. Mungkin yang saya lakukan selama ini hanyalah kegiatan saja. Saya…saya… tidak punya relasi dengan Tuhan.”

Pak Kristanto tersenyum hangat. “Selalu ada kesempatan untuk berubah. Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat.”

Papi menganggukkan kepalanya dengan perlahan. “Terima kasih, pak. Saya akan berbicara kepada Yosua. Saya perlu meminta maaf kepadanya. Saya sadar selama ini kami belum sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan. Kami akan mencoba mulai dari awal lagi.”

Terserah Pada-Mu, Tuhan

Oleh Meili Ainun, Jakarta

Kalau seseorang bertanya, “Mau makan apa hari ini?” apa jawabanmu? 

Mungkin kamu akan menjawab dengan spesifik, tapi mungkin pula kamu menjawab dengan tersenyum lalu bilang, “Ya, terserahlah…” Jawaban ‘terserah’ itu berarti kita membiarkan orang lain yang memikirkan dan memutuskan pilihan. Tapi, kadang pilihan yang dibuat malah tidak sesuai dengan yang kita inginkan, lalu kita pun mengomel. Kita lupa kalau sebelumnya kita sudah menjawab “terserah”.

Ketika merenungkan fenomena “terserah” yang sering terjadi dalam obrolan-obrolan kita, aku lantas berpikir tentang Tuhan. Bagaimana dengan Tuhan? Bukankah kita juga dengan mudahnya berkata “terserah” pada-Nya ketika kita minta Dia menyatakan kehendak-Nya buat kita? Bila mau jujur, kurasa sulit untuk menjawab Tuhan dengan kata “terserah” karena dalam diri kita sendiri masih ada keinginan agar kehendak kita sendiri yang terjadi. 

Alkitab memberi kita teladan tentang “terserah” dari Maria, ibu Yesus. Alkitab memang tidak mencatat Maria menjawab Tuhan dengan kata “terserah” secara langsung, tapi sikap Maria selanjutnya menunjukkan apa arti menyerahkan pilihan dan keputusan yang sebenarnya pada Tuhan.

Dalam Matius 1:18-25 dan Lukas 1:26-38, Maria dikisahkan sebagai seorang gadis yang tinggal di desa kecil bernama Nazaret di Galilea. Maria telah bertunangan dengan Yusuf. Baik Maria dan Yusuf, keduanya berasal dari garis keturunan keluarga Daud. Maria kemudian mendapatkan pesan dari malaikat Gabriel. 

Kedatangan Gabriel terjadi tiba-tiba. Setelah mengucapkan salam, Malaikat Gabriel menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Maria yaitu dia akan mengandung, melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan dinamai Yesus. Maria terkejut, karena sekalipun dia telah bertunangan namun dia belum menikah, maka dia mengatakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34) Maka malaikat itu menjawab, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang MahaTinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35).

Yang menarik adalah respon Maria terhadap perkataan Malaikat Gabriel. Dia menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Maria menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan, suatu kesadaran bahwa dirinya adalah hamba yang harus tunduk kepada otoritas (dalam hal ini terlebih lagi ada otoritas ilahi yaitu Allah). Dan ketika dia mengatakan “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu”, ada unsur iman dan ketaatan di dalamnya. 

Apakah iman Maria adalah iman yang buta? Apakah Maria tidak tahu risiko apa yang harus dihadapinya saat dia harus hamil di luar nikah? 

Maria dengan jelas tahu risiko apa yang harus dihadapinya bila dirinya ketahuan telah hamil sebelum menikah. Beberapa risiko yang dapat terjadi adalah Maria bisa dibuang atau diasingkan dari masyarakat, bahkan dapat dikeluarkan dari ikatan keluarga, kesalahpahaman masyarakat Yahudi yang mungkin mempertanyakan kesucian keluarganya, risiko putus tunangan dengan Yusuf, bahkan mungkin juga ancaman hukuman mati (kehamilan di luar nikah adalah pelanggaran berat bagi orang Yahudi, seperti tercatat pada Ulangan 22:23-24). 

Kita dapat melihat iman Maria bukan iman buta. Terlepas dari semua risiko yang mungkin dia hadapi, Maria tunduk pada kehendak Tuhan. Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Dia rela untuk mempercayakan perjalanan hidupnya kepada rencana Allah sekalipun rencana itu akan mengubah seluruh hidupnya.

Maria tidak hanya menunjukkan imannya, dia juga menampilkan ketaatan. Tidak ada bantahan, perdebatan, atau mencoba mengelak, Maria memilih untuk patuh pada kehendak Allah. Dia melakukan apa yang Allah minta dengan sepenuh hatinya.

Ketika kita memilih berserah di dalam melakukan kehendak Tuhan, hal itu tentu menyenangkan hati-Nya. Tuhan senang kepada orang-orang yang melakukan kehendak-Nya. Bukan hanya itu, saat kita memilih berserah, ketakutan dan kekhawatiran kita mungkin akan tetap ada, tetapi itu tidak lagi menguasai kita karena kita tahu kepada Siapa kita percaya, yakni pada Dia yang telah menyatakan kehendak-Nya. Hidup dapat menjadi jauh lebih damai dan tenang untuk dijalani. Dan tanpa kita sadari, sikap berserah yang kita jalankan dapat menjadi berkat bagi sesama kita. Hidup kita menjadi kesaksian bagi orang-orang di sekeliling kita. 

Meskipun berserah kepada kehendak Tuhan bukan hal yang mudah dilakukan, marilah kita berusaha untuk terus mencobanya. Mengatakan “Terserah pada-Mu, Tuhan” tidak lagi sekadar ucapan, tetapi dengan iman dan ketaatan.