Posts

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tersesat di Dunia yang Kosong

Oleh Rosi L. Simamora

“Aku… tersesat di dunia yang kosong.” Malam itu ucapan Lara tersebut terngiang di telingaku.

Kedatanganku di rumahnya siang tadi disambut potret hitam-putih yang membuat jantungku tergeragap. Selama satu-dua detik aku seolah lumpuh, terlalu syok untuk dapat mengalihkan pandangan.

Lara, si tuan rumah, menoleh dan langsung mengerti. “Itulah harga yang kubayar. Pengingat yang pahit, aku tahu,” ucapnya.

Kutatap potret itu: wajah Lara sengaja dibiarkan kabur, sepasang tangannya yang terulur ke kamera dihiasi garis melintang panjang bekas irisan. Tipis, namun tetap terlihat. Seperti jeritan tanpa suara yang memekakkan. Kerongkonganku tersekat. Aku… sama sekali tidak tahu. Dunia tidak tahu. Bahwa di balik Lara yang selalu tampil sempurna dan bahagia di medsos-nya, ada Lara yang ini.

“Apa yang terjadi?” bisikku.

“Aku… tersesat di dunia yang kosong,” jawab Lara.

Pelan, sesekali berhenti di tengah ucapannya, Lara mengisahkan perjalanannya hingga menjadi seleb medsos tersohor. “Awalnya sederhana. Aku hanya ingin didengar. Dilihat. Diakui. Aku ingin orang tahu siapa aku,” ucapnya. “Aku kepingin membuktikan, dengan menjadi diri sendiri, kita bakal bahagia.”

Dunia maya langsung menyambut Lara. Apa pun yang ia pasang di akun medsosnya, dunia langsung menyambarnya. Mengapa tidak? Lara tampil unik. Percaya diri. Bahagia. Cerdas. Sukses. Pokoknya sempurna, khas figur idaman dunia.

“Hanya butuh beberapa ratus hari, angka-angka, dan barisan kotak komentar, maka moto ‘jadilah diri sendiri’ yang kujunjung pun rontok,” ucapnya tersenyum kecut.

“Angka-angka?” tanyaku, tapi langsung mengerti. “Ah, angka-angka subscriber, follower, like, maksudmu?” Lara mengangguk. “Tapi kenapa harus begitu? Bukannya dunia memujamu?”

Lara menggeleng muram. “Tidak juga. Dunia rupanya tidak pernah puas sampai dia berhasil mengubahmu,” bisiknya. “Walaupun postinganku menuai puja-puji, selalu saja ada yang berkomentar miring. Mengkritik ini. Membahas itu. Mengomentari hal-hal remeh.” Lara menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Tapi aku terobsesi dengan angka-angka itu. Dan aku membutuhkan restu dunia untuk menaikkan jumlahnya. Jadi ya… begitulah. Aku tak lagi bebas memasang konten yang ‘gue banget’. Karena salah konten sedikit saja, angka-angka itu langsung berkurang drastis. Dan kalau angka itu berkurang, aku cemas.”

Tanpa benar-benar menyadarinya, Lara pun mengunci kebahagiaannya pada angka-angka tersebut. “Akhirnya… angka-angka itulah yang menentukan citra diriku,” ujarnya.

“Kepuasan dan kebahagiaanku jadi semakin singkat dan dangkal, hanya dari satu konten ke konten.” Ia memandang ke dinding di belakangku, tempat potretnya tergantung. “Dan tidak berbeda dengan dunia, egoku juga tak kenal puas. Haus popularitas, haus perhatian, haus pengakuan…,” bisiknya pelan.

Lara ganti menatapku, dan salah satu ayat dalam Amsal 27 muncul begitu saja di benakku. “Di dunia orang mati, selalu ada tempat; begitu pula keinginan manusia tidak ada batasnya”(Amsal 27:20, BIS).

“Bayangkan, aku sampai rela tidak lagi menjadi diriku sendiri, dan ganti menjadi versi Lara yang dicintai dunia,” akunya. “Dengan penuh perhitungan, kususun ulang citra diriku. Kuatur sedemikian rupa, supaya cocok dengan kotak medsos tempat aku memasang potongan kehidupanku. Aku mulai memilah dan memoles sisi mana saja dari diriku yang ingin kutampilkan, menyesuaikannya dengan selera dan minat dunia.

“Tapi tahu tidak? Meski aku berhasil memperoleh semua yang kuinginkan, aku tidak bahagia.

Aku sudah mencoba menjadi diriku sendiri, tapi kepuasan yang kudapatkan hanya sebentar. Aku juga sudah mencoba menjadi versi yang dunia inginkan, tapi itu pun tidak mendatangkan sukacita. Semua yang kulakukan… seperti sia-sia,” bisiknya.

Hari lepas hari ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan menggerogoti Lara, menciptakan lubang besar yang semakin mengisapnya. Dunia masih gaduh dengan pendapatnya yang berubah-ubah dan cetek, tapi di tengah semua kebisingan itu, Lara merasa… Kosong. Tersesat.

Kosong. Tersesat.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang pernah kubaca di buletin gereja. Ingin rasanya aku berkata ke Lara, “Kalau saja kamu tahu, Ra, tidak ada satu pun pencapaian maupun harta kita yang bisa benar-benar mengisi kekosongan dalam hati kita. Kalau saja kamu tahu, bahwa kepuasan hati kita, nilai diri kita, dan makna hidup kita harus datang dari Allah. Kenapa? Karena sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan kita yang tahu apa yang sejatinya kita butuhkan .” Tapi aku menahan diri dan tidak melontarkannya, aku ingin ia melanjutkan ceritanya.

“Dan malam itu aku merasa sangat sendirian. Kosong. Tersesat. Aku hanya melihat satu jalan keluar untuk mengakhiri penderitaanku…” bisik Lara, ujung jemarinya menyusuri garis di pergelangan tangannya. Sekujur tubuhku bergidik.

“Apa… persisnya yang terjadi malam itu, Ra? Apa yang akhirnya menyelamatkanmu?” tanyaku.

“Tuhan,” jawab Lara, matanya berlinang. “Tepat setelah aku melukai diriku dan terbaring di lantai, mataku menangkap poster berbingkai yang kamu kirim tahun lalu. Tulisan di poster itu membuatku marah waktu itu, karena berasa kamu menghakimiku.”

Tentu saja aku ingat. Poster itulah yang membuat Lara memutuskan persahabatan kami.

“Aku merasa aneh saat itu, karena seingatku poster itu sudah kusingkirkan di celah antara lemari dan dinding kamar. Namun pagi itu rupanya ART kami membersihkan celah itu dan lupa mengembalikannya ke tempat semula. Jadi di sanalah poster itu menatapku, seolah Tuhan memakainya untuk menyadarkanku.”

“Kamu tahu kan momen ketika kita mengalami Tuhan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Nah, itulah yang terjadi padaku malam itu. Aku tiba-tiba sadar apa yang menjadi sumber ketidakbahagiaanku: aku mencoba mengandalkan diriku sendiri, padahal aku takkan mampu. Aku mengira dengan ‘jadilah diri sendiri’, semua akan beres dan aku bisa mengubah dunia. Padahal itu tidak benar. Dan malam itu, tulisan di poster itu memberiku harapan.

Ia tersenyum lebar sekarang. “Tuhan sungguh baik. Waktu kupikir aku sangat sendirian malam itu, aku keliru. Karena meski aku telah meninggalkan Tuhan, Tuhan tidak pernah meninggalkan aku. Dan meski aku telah berpaling dari-Nya untuk mencari kesukaan manusia dan bukan kesukaan-Nya, Dia tetaplah Allah yang maha pengasih.” Ia memelukku erat-erat sambil membisikkan terima kasih dan meminta maaf karena pernah menolak persahabatanku. “Kamu mau terus menolongku dengan jadi temanku, kan?” ia bertanya.

Aku mengangguk sepenuh hati, mataku menangkap poster yang terpajang jauh di dinding di belakangnya. Walaupun tulisan pada poster itu terlalu kecil untuk dapat kubaca, aku hafal setiap katanya, yang dikutip dari tulisan Greg Morse: “Don’t ‘ just be yourself’. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create”—“Jangan ‘jadilah dirimu sendiri’, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya.

Malam ini, di kamarku yang senyap, akhirnya air mataku luruh. Sepotong tulisan C.S. Lewis di Mere Christianity terbit dalam ingatanku. “Cari dirimu sendiri, maka ujung-ujungnya kamu hanya akan menemukan kebencian, kesepian, keputusasaan, kemarahan, kehancuran, dan kebusukan. Namun, carilah Kristus, maka kamu akan menemukan Dia, dan bersama Kristus akan engkau temukan segalanya.”

Untuk pertama kali, aku bersyukur pernah mengirimkan poster itu kepada Lara. Meski persahabatan kami sempat terputus, kini aku tahu, Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Perjalanan Lara selanjutnya pastinya bukan hal mudah. Namun, aku akan menemaninya. Dan aku akan memulainya dengan berdoa agar Lara terus mengizinkan Roh Kudus melepaskan dirinya dari pengaruh dunia. Dan agar Roh Kudus terus mengubahnya hingga menjadi versi dirinya yang ingin diciptakan Kristus melalui kematian-Nya.

Terjatuh di Tempat Aku Membangun

Oleh Agustinus Ryanto 

Di suatu pelatihan yang pernah kuikuti, pembicaranya bilang begini, “Jangan bandingkan diri kita dengan orang lain, bandingkanlah dengan diri kita sendiri versi kemarin.”

Wow. Kutipan itu segera kucatat di HP, juga di pikiran. Benar, gumamku. Memang kalau membandingkan diri dengan orang lain ya nggak akan ada habisnya toh.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, kutipan yang kupupuk di otak ini bekerja efektif. Ia membuat hari-hari kerjaku yang monoton terasa berwarna. Aku merasa diriku versi hari ini sudah mengalami banyak kemajuan dibanding yang dulu.

Sampai tibalah di bulan Agustus, pada momen ketika orang tuaku sakit. Mau tak mau, aku harus pulang untuk merawat mereka. Kupulanglah ke rumah dengan naik motor, supaya sampai di kota asalku, aku bisa mudah wira-wiri.

Aku telah bekerja lima tahun pada sebuah lembaga nirlaba yang aku cintai. Meskipun aku tak terlalu suka dengan rutinitas kerjaanku yang monoton—kebanyakan duduk di depan laptop, kesepian hampir di sepanjang hari, tapi aku tahu apa yang kulakukan memberi dampak bagi orang lain, kendati dampaknya memang tak kasat mata dan tak langsung. Oleh karena itulah, aku memutuskan bertahan dan mengembangkan diri di tempat ini saban tahun berganti. Singkat kata, aku percaya bahwa inilah jalan yang memang saat ini perlu aku tempuh.

Seminggu setelah urusan mengurus orang tuaku rampung, datanglah sebuah pesan yang ditujukan buatku.

Pesan ini kubaca pelan-pelan. Narasinya lembut, tetapi aku bingung akan intensinya. Apakah itu bertujuan untuk memotivasiku atau menggugat apa yang sedang kukerjakan sekarang. 

Konotasi yang kutangkap dari teks-teks itu adalah bahwa aku seorang yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri. Usiaku tahun ini 27 tahun, tidakkah aku terpikir untuk memiliki karir yang lebih menghasilkan secara finansial? Tidakkah aku ingin berbakti lebih pada orang tuaku? Aku tahu pesan itu muncul sebagai respons atas caraku menangani orang tuaku yang sakit. Karena tak punya mobil, aku membawa ayahku ke rumah sakit dengan menaiki taksi daring, sementara ibuku pergi ke laboratorium rontgen dengan naik motor. Cara ini dianggapnya tak elok bagiku yang sudah lulus sarjana, yang seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih bonafide. Tetapi, dalam hati aku membela diri, aku tak sanggup melakukan itu semua. Terlalu banyak faktor yang saling berkelindan yang membuatku sendiri kadang bertanya-tanya mengapa aku terlahir di keluarga ini—terpecah oleh perceraian yang diteruskan turun-temurun sejak buyut, utang dari bank, kepahitan, kekerasan rumah tangga, dan lainnya, yang memikirkannya membuatku semaput. 

Dadaku seperti tertikam. Jari-jemariku kelu. 

Aku tak ingin memantik keributan, tapi ingin sekali membalas pesan itu dengan membela diri. Lagipula, kepada sang pengirim pesan, aku tak pernah dibiayai hidup olehnya, sehingga apa gerangan dia mengomentari jalan karirku. Tapi, kutenangkan diriku. HP kumatikan dan aku berdiam. Setelah tenang, kubalaslah pesan itu dengan sopan. Kuucapkan terima kasih atas intensi baiknya memikirkanku, sembari kuluruskan keadaannya mengapa setelah lima tahun bekerja aku belum mampu membeli kendaraan roda empat ataupun rumah. 

Namun, hari-hariku setelahnya tak lagi sama. Pesan yang dikirim sore itu menghancurkan kepercayaan diriku. 

Setiap hari, aku dihantui imaji akan kegagalan. Aku menghukum diriku dengan merasa aku seorang yang melarat, bodoh, tak mampu membayar bakti pada orang tua dengan memberi mereka kenyamanan ragawi. Perasaan gagal itu semakin menjadi-jadi ketika Instagram yang sedianya kujadikan wadah untuk mengekspresikan jiwa petualanganku seolah berubah jadi arena pamer dari teman-temanku, yang menumpukkan bara panas ke atas kepalaku. Lihat tuh, si dia udah tinggi jabatannya. Aduh, keren banget ya dia udah bisa beli rumah, beli mobil. Duh, dia ajak orang tuanya liburan ke sana sini. Lalu aku membandingkannya dengan diriku sendiri. Kubandingkan yang telah punya mobil denganku yang cuma ada motor. Kubandingkan yang telah menikah dan punya rumah enak denganku yang masih LDR beda kota dengan baik bus malam. 

Bak diberondong peluru, akhirnya aku tumbang. Pahitlah hatiku, patahlah semangatku, sakitlah badanku. Menatap layar laptop yang biasanya kulakukan dengan tatapan tajam kini menjadi sayu. Langkahku gontai. Agar kepahitan ini tak semakin menjadi, kuputuskan untuk memutus kontakku dengan dunia maya sejenak. Aku keluar dari Instagram, dan selama tiga minggu hanya berkomunikasi menggunakan WhatsApp saja. 

Menolong? Agak. Menyembuhkan? Tidak. 

Perasaan gagal itu muncul sejatinya bukan karena aku secara de facto telah gagal dalam pertempuran hidup. Tetapi, karena aku membangun harga diriku pada tempat yang tidak teguh, pada tempat yang value-nya berubah-ubah seiring waktu: yakni apa kata orang. Aku tidak menampik bahwa kita ingin selalu tampil berhasil di depan orang, dan cenderung menutupi kerapuhan kita. Tetapi, keberhasilan seperti apakah yang sebenarnya patut disebut berhasil? Indikatornya tentu berbeda-beda. Bagi seorang yang hidup dalam kepahitan sejak kecil, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membuka pintu maaf dan mengizinkan damai dari pengampunan mengisi hari-harinya. Bagi seorang yang telah gagal dalam hubungan asmara, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membangun relasi yang teguh dan utuh di tengah segala kendala yang merintanginya. 

Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan, dengan kebutuhan fisiologis ada di dasar dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak piramida. Teori ini bilang kalau setelah satu tingkatan kebutuhan dipenuhi, manusia akan mulai memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan aktualisasi diri letaknya ada di puncak, tidak ada lagi kebutuhan di atasnya yang perlu dipenuhi. Ini berarti, menurutku, apabila kebutuhan ini dipenuhi dengan sumber atau cara yang tak tepat, itu akan menjadikan kita terjebak dalam upaya pemenuhan yang tiada berakhir. Kesadaran ini menghantamku. Jika kebutuhan untuk membuktikan diriku pada orang lain didasarkan pada apa kata orang, bukankah itu akan jadi proses yang tak akan berujung? Bukankah omongan orang selalu berubah dari hari ke hari? Bukankah omongan orang itu sifatnya dangkal karena mereka tak melihat seluruh realitas hidup kita? 

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan keadaan fisik yang sangat lelah. Dari subuh sampai siang aku memotret upacara pernikahan. Ini adalah kerja sambilanku yang puji syukur, diberkati Tuhan dengan pesanan dari banyak klien. Melihatku kelelahan dan meringkuk di kasur seperti orang meninggal, ibuku bilang, “Jangan terlalu capek!”

Kubilang lagi, “Nggak kok, biasa ini mah.” 

“Tapi itu kemaren Senen bisa sampe diare, ke wc sampe belasan kali terus lemes?”

“Ah, itu kan gara-gara salah makan,” sanggahku. “Ya udah, hayu kita pergi deh cari makan dulu,” kuajak ibuku pergi motoran keliling kota. Aku mau traktir dia makan enak. 

Ibuku di usianya yang hampir enam dekade masih sangat aktif. Dia terbiasa motoran sendirian ke luar kota. Siang itu dia mengajak aku makan ikan bakar di tepi waduk, yang jaraknya nyaris dua jam naik motor. Perjalanan kami lalui dengan sensasi panas dingin—panas saat matahari tak tertutup awan, dan dingin karena basah saat diterpa hujan. 

“Mama nggak menuntut anak harus gimana-gimana, kalian yang jalanin hidup, kalian yang atur sendiri,” tuturnya. 

“Maksud?” tanyaku mengernyit. 

Karena bulan sebelumnya aku pernah bertutur soal perasaan gagalku ini, dia menjawab dengan lebih lugas. “Kamu nggak perlu pusing-pusing harus bayar utang atau beliin harta ini itu. Itu kesalahan bukan kesalahan kamu, bukan kamu yang harus pusingin. Yang penting kamu bisa hidup, nggak utang sama orang lain, dan cukup…” 

Kupandangi muka air waduk yang tak berombak. Ikan nila aneka warna tampak di permukaannya. Seperti itulah kurasa tenangnya hatiku. 

Aku tahu betul masa lalu ibuku tidak baik. Ia lahir dalam keluarga yang dikoyak perceraian. Dia tak diasuh oleh ibu bapak kandungnya sejak balita. Luka itu membuatnya kembali terluka dengan perceraian di usia dewasa mudanya. Tapi, dia tahu bahwa aku, sebagai anaknya yang paling bontot, ingin berusaha membahagiakannya dengan beragam benda yang kupikir akan membuatnya senang. 

“Kamu begini aja udah seneng kok mama…” 

Pelan-pelan bangkitlah kesadaran dalam diriku bahwa matematikaku dengan matematika Tuhan terkadang berbeda cara. Dalam rumusku, untuk menjadi bahagia dan sukses harus meraih prestasi lahiriah yang dipandang oleh banyak orang sehingga namaku harum. Tetapi, rumus Tuhan lain cerita. Mungkin Dia memang belum memberiku limpahan harta lahiriah, tapi Dia selalu memberikan apa yang aku dan ibuku butuhkan, sebagaimana Dia memelihara burung-burung di udara (Matius 6:26). Ibuku bilang kalau meski dia tidak punya mobil, tapi Tuhan memberinya kesehatan dan kekuatan untuk punya fisik yang prima, yang masih awas dan kuat untuk naik motor tiap hari. 

“Bayangin kalau kena stroke, mau punya mobil mahal sekalipun juga, memang kepake?” guyonnya. 

Kesadaran ini membawaku kembali pada soal panggilan. Kuyakini lagi bahwa panggilan hidup setiap orang itu unik. Tuhan, Sang Ilahi yang memanggil setiap kita, tentu punya maksud dan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Tidak semua pekerjaan memberikan kelimpahan materi, tetapi jika pekerjaan itu berasal dari-Nya dan kita melakukannya bersama-Nya, selalu ada kecukupan dan damai sejahtera setiap hari bagi kita. 

Untuk saat ini, inilah panggilanku. Untuk besok hari, aku tak tahu, dan aku perlu mencari tahunya. Dengan apa? Dengan mengerjakan apa yang diberikan padaku sekarang dengan sebaik mungkin, agar ketika nanti Dia memanggilku untuk satu tanggung jawab yang lebih besar, aku telah siap laksana seorang prajurit yang diutus ke palagan dengan gagah berani. 

Hari ini aku belajar kembali untuk membangun diriku pada tempat yang lebih teguh. 

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Oleh Vika Vernanda

Hampir setiap platform media sosial mempunyai kolom komentar. Baik yang fungsinya untuk mengirim pesan, menuliskan cerita, atau mengunggah gambar, kolom komentar memberi kesempatan bagi pengguna media sosial untuk beropini terhadap suatu unggahan.

Aku mengamati komentar-komentar di media sosial. Pada unggahan seseorang terkait momen bahagia, banyak yang berkomentar “selamat ya”, pada unggahan sharing Firman Tuhan, banyak yang berkomentar “terima kasih atas sharingnya”, “sangat memberkati”, “God bless you”. Tidak jarang juga ada yang membuat komentar berisi promosi di setiap unggahan yang viral.

Nah, selain ketiga jenis komentar itu, ada satu lagi yang cukup menarik perhatianku, yaitu hate comment.

Berbeda dari komentar pada umumnya yang bernada positif, hate comment bertujuan menjatuhkan seseorang. Si pengunggah hate comment ingin agar penerima komentar maupun orang-orang yang membacanya jadi tersulut marah atau sedih.

Aku sering merasa kesal dan marah ketika melihat hate comment, baik pada unggahanku sendiri atau orang lain. Dalam hati aku mengumpat, “kok bodoh banget sih”. Mereka yang melontarkan komentar-komentar itu seolah tidak berpikir dengan benar sehingga dengan sadarnya menulis komentar-komentar jahat. Langkah berikutnya yang kulakukan adalah melakukan blokir pada akun sosial medianya, atau yang menurutku paling ekstrim adalah mengkonfrontasi langsung lewat DM. Intinya, aku marah, dan tidak ingin berinteraksi lagi dengan akun sosial media tersebut.

Namun hal tersebut bertentangan dengan apa yang kupelajari dari kisah Yunus.

Yunus adalah seorang nabi yang melarikan diri dari perintah Allah untuk memberitakan firman Tuhan ke Niniwe. Yunus lalu ditelan dalam perut ikan, setelah tiga hari dikeluarkan, dan melakukan perintah Allah. Masyarakat Niniwe menyadari kesalahannya dan mulai bertobat, namun Yunus malah marah.

Kitab Yunus pasal 4 menuliskan kemarahan Yunus; bahkan Yunus meminta Allah mencabut nyawanya (4:3). Pada kondisi Yunus yang seperti itu,

Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk menaunginya, agar ia terhibur. Yunus sangat bersukacita karenanya. Tetapi keesokan pagi ketika fajar menyingsing, Tuhan membuat seekor ulat menggerek pohon jarak itu sehingga layu. Sesudah matahari terbit, Allah membuat angin timur yang panas terik bertiup, sehingga menyakiti kepala Yunus, lalu ia rebah dan berharap supaya mati.
(Yunus 4 : 6-8 diparafrasekan)

Tuhan menjawab dengan

Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?
(Yunus 4 : 10 – 11)

Pada bagian firman itu, Allah bicara tentang orang Niniwe yang kafir dan kejam itu sebagai “manusia yang tak tahu membedakan tangan kanan dan kiri”.

Timothy Keller dalam bukunya The Prodigal Prophet menuliskan bahwa ini merupakan cara melihat Niniwe yang sangat murah hati! Pernyataan Allah itu merupakan bahasa kiasan yang berarti mereka [orang-orang Niniwe] buta secara rohani, telah tersesat, dan tidak tahu sumber masalah mereka atau apa yang harus diperbuat.

Dalam kondisi ini, bukannya menghukum mereka, Allah menunjukkan simpati dan sikap memahami yang luar biasa.

Media menjadi tempat banyak orang berekspresi secara bebas. Di antara “setiap orang” ini, terdapat juga orang-orang yang tersesat, tidak memiliki tuntunan untuk membedakan benar dan salah. Dalam benak “setiap orang” ini mungkin memang tidak terpikirkan dampak dari hate comment yang mereka sampaikan.

Pada kisah Yunus, Allah menunjukkan sikap simpati dan sikap memahami terhadap orang Niniwe. Bukannya marah karena hujatan mereka kepada-Nya, Ia malah menegur dengan belas kasih yang besar. Allah juga menunjukkan sikap yang sama pada Yunus; bukannya pergi atau memblokir relasinya dengan Yunus atau orang Niniwe, Ia malah hadir merengkuh mereka.

Aku tahu, hate comment seringkali memicu amarah dan bahkan menyakiti. Meski sulit, tapi mari kita belajar merengkuh mereka. Belajar seperti Allah dalam kisah ini, menyadari bahwa mereka tersesat dan tidak memiliki tuntunan.

Mari ambil waktu untuk berdoa. Berdoa meminta Allah menolong kita untuk mengampuni perbuatan mereka, serta juga secara pribadi mendoakan mereka agar mereka menyadari perbuatan tidak terpuji yang mereka lakukan dan bersedia untuk berubah.

Sulit memang. Tapi, yuk berjuang meneladani kasih Allah kepada orang yang sulit kita kasihi.

Baca Juga:

Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan

Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya.

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Oleh Melissa Koh, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Truths To Guard Your Mind Against Destructive Thoughts

Hanya dengan scrolling di media sosial kepercayaan diri yang kita bangun bisa runtuh dalam sekejap. Kita memang tahu kalau media sosial tidak menampilkan realitas sesungguhnya, tapi terkadang kita pun terjatuh ke dalam perangkap ini.

Izinkan aku menggambarkan isi pikiranku ketika aku tidak melindunginya dari dampak destruktif media sosial:

Aku jadi sebal ketika ada orang lain yang kariernya lebih sukses dariku, dan yang mampu membeli banyak barang sementara aku cuma bisa melihat-lihat saja.

Aku iri atas jalan hidup yang dipilih orang lain, yang tampaknya lebih berbuah dan menjanjikan daripada hidupku. Dulu dan sekarang, aku takut kalau penghasilanku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan keinginanku. Jadi, aku mulai mendengarkan diskusi seputar investasi dan aku berpikir, “Ini bisa jadi terobosan di hidupku!”

Tapi, sekarang pun aku tetap jadi orang yang khawatir. Aku menenangkan saraf-sarafku dengan melihat-lihat Instagram…tapi cara ini malahan membuatku merasakan kekosongan yang semakin besar dalam hidupku. Aku terus berpikir, ‘seandainya saja…’, dan lingkaran setan pun terus berlanjut.

Selesai bermain Instagram, rasa kecewa dan tidak puas menghantui. Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?

Bertentangan dengan apa yang dunia tawarkan, inilah empat kebenaran dari Alkitab yang meneguhkan kita di tengah tekanan dunia.

1. Kita diberkati melebihi harta-harta duniawi

Kapan pun aku merasa hidupku tidak berdampak, aku dihibur oleh kebenaran bahwa ketika kita memilih untuk percaya pada Yesus kita menjadi ahli waris yang berhak menerima janji-janji Allah (Roma 8:17).

Marshall Segal, penulis dari Amerika dalam artikelnya, “Live Like Sons and Daughters of the King” menuliskan demikian:

Pertama, ketika Allah menebus kita, Dia menjamin kita. Dia tidak pernah melupakan ataupun meninggalkan anak-anak-Nya. Bersama Kristus, kita punya jaminan yang kekal. Kedua, kita memiliki keintiman—relasi yang dalam dan memuaskan dengan Bapa Surgawi, yang mengasihi kita tanpa syarat, dan yang janji-Nya melindungi dan memelihara kita. Ketiga, bersama Kristus, kita menjadi ahli waris dari segalanya—perlindungan, keintiman, dan yang kekayaan yang sejati.

Apa yang Allah berikan pada kita tidaklah sama dengan apa yang dunia tawarkan. Di saat kita diminta untuk mendapat pengakuan dari orang-orang, Kristus menyerahkan hidup-Nya agar kita mendapatkan tempat dalam kerajaan-Nya.

Ketika aku berjalan dekat dengan-Nya dan mengikuti panduan Roh Kudus, aku tahu aku jauh diberkati melampaui apa yang dunia sanggup berikan. Daripada mengizinkan diriku habis digerogoti oleh rasa iri hati dan kepahitan, aku dapat bersandar pada Bapa Surgawi dan mengetahui bahwa Dia menyediakan segala yang kubutuhkan.

2. Kita dapat menyerahkan kekhawatiran kita pada Allah

Pilihan kita untuk mengikut Allah berarti mempercayai Dia sepenuhnya. Ketika ketakutan dan kekhawatiran muncul dalam hati kita, segeralah datang ke hadirat-Nya, seperti Filipi 4:6-7 mengingatkan kita:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Menjaga diri untuk tidak khawatir adalah suatu tantangan, terlebih ketika kita merasa terjebak dalam pekerjaan kita sekarang, atau ketika teman-teman kita tampaknya lebih sukses dalam karier mereka. Tapi, ketika kita mengingat bahwa Allah Sang Pencipta ada bersama kita dan kita memilih untuk tetap berada di dekat-Nya, kita dapat menyerahkan segala yang kita rasakan pada-Nya dalam doa.

3. Fokuslah kepada kasih Allah yang tidak terbatas

Setelah lulus dengan gelar sarjana hukum, aku menantang diriku untuk kerja ke kota besar. Aku melamar dengan semangat dan mendapat kerja di sebuah firma kecil yang mengurus registrasi properti intelektual, sebuah pekerjaan yang memang aku inginkan. Tapi, setelah dua bulan aku kewalahan, dan aku merasa kurang diapresiasi.

Aku keluar dari pekerjaan itu dan kembali lagi jadi job-seeker. Masa-masa ini kugunakan untuk merenung dan mencari tujuan Allah bagi hidupku. Memang berat kembali jadi pengangguran di saat teman-temanku lainnya telah bekerja di tempat yang membuat mereka bertumbuh, tapi aku yakin keputusanku untuk keluar itu tepat. Aku butuh pekerjaan yang memberikanku keseimbangan hidup.

Setelah beberapa waktu, aku diterima di tempat kerja yang lebih dekat dengan rumah dan memungkinkanku untuk pulang setiap hari tanpa merasa kewalahan. Aku juga bisa tetap melayani di gereja. Ketika teman-teman sebayaku pergi merantau dan meninggalkan gereja, tetap berada di kota asalku itu rasanya sangat berarti buatku.

Ketika aku mengingat kembali momen-momen itu, aku diteguhkan bahwa sekalipun kita tidak mengerti apa maksud Tuhan atas apa yang kita alami, kita dapat dengan setia menanti Dia (Mazmur 37:7).

Ketika kita terlalu fokus pada apa yang dunia tawarkan atau kepada apa yang tak kita punya, kita akan sulit melihat kasih Allah dan tujuan-Nya bagi hidup kita. Visi Allah bagi kita mungkin bukanlah tentang mewujudkan keinginan atau gaya hidup yang kita dambakan, tapi ketika kita mengikuti arahan-Nya, hidup kita akan berbuah kebenaran.

4. Berinvestasi pada kerajaan yang kekal

Akhirnya, sebagai pengikut Kristus, kita perlu menginvestasikan hidup kita lebih banyak dalam membangun kerajaan Allah. Matius 6:19-21,33 mengingatkan kita bahwa harta di bumi bisa hancur oleh ngengat dan karat atau raib oleh pencuri, tetapi harta di surga akan ada untuk selamanya.

Bagiku, menginvestasikan hidup dalam membangun kerajaan Allah salah satunya ialah menggunakan gaji yang Tuhan telah berikan dan berkati untukku, untuk mendukung rekan-rekan mahasiswa seminari, atau menggunakannya kepada lembaga yang menolong orang-orang yang berkekurangan, terkhusus yang terdampak karena pandemi.

Aku juga mengambil kesempatan untuk memberkati orang lain melalui hal-hal yang bersifat non-material, seperti memimpin kebaktian daring. Meskipun menyisihkan sedikit gajiku berarti aku tidak bisa membeli tas-tas baru atau peralatan kosmetik yang mahal, menggunakan uang itu untuk hal-hal yang lebih bernilai memberiku kepuasan lebih daripada kesenangan duniawi.

Meskipun kita merasa keadaan sedang mendorong kita melampaui batasan kita, sungguh suatu penghiburan untuk mengingat bahwa tidak ada satu hal pun yang terlalu sulit bagi Allah, dan kita bisa bersandar pada anugerah-Nya yang menguatkan kita setiap hari. Di dalam dunia yang terus memikat kita untuk hidup sesuka hati, marilah berdoa dan mencari hikmat-Nya dalam segala musim hidup kita, agar pondasi iman kita tertancap teguh.

Baca Juga:

Teruntuk Kamu yang Sedang Berbeban Berat

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Di Kala Aku Mundur Sejenak dari Media Sosial

Oleh Marcella Liem, Bekasi

Sejak tahun 2010 aku memiliki akun media sosial. Saat itu akun medsos pertama yang kumiliki adalah Friendster. Sebagai pribadi introver, hadirnya media sosial membantuku dalam berhubungan dengan orang lain karena tidak harus bertemu langsung.

Selain itu, media sosial juga memberiku manfaat lain. Perjalananku membuat hand-lettering diawali dengan melihat unggahan karya orang lain. Aku menyukainya lalu belajar meniru goresan-goresannya sampai aku bisa menghasilkan karya hand-letteringku sendiri. Setelah aku mengunggah karya-karyaku, aku berkenalan dengan para seniman hand-letterer yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri. Selain lettering, aku juga senang mengunggah foto-foto pribadiku saat berkegiatan, foto liburan, atau pun foto diri dengan baju yang fashionable. Ada rasa bahagia ketika unggahanku dibagikan kepada orang lain.

Namun, di balik manfaat itu, aku juga merasakan sisi negatifnya. Karena melihat unggahan teman-temanku yang berseliweran di linimasa, aku overthinking dan insecure. Unggahan tentang keberhasilan materi, bentuk tubuh yang ideal, traveling ke tempat-tempat tertentu, membuatku jadi membandingkan diri. Aku merasa rendah diri menghadapi dunia ini, yang berujung pada aku membenci diriku dan merasa aku adalah sebuah kegagalan di dunia.

Rasa insecure-ku bertambah parah karena aku semakin ingin terlihat ideal menurut standar medsos. Aku khawatir ketika jumlah likes dan followers kecil, sehingga aku pun impulsif mengunggah sesuatu demi impresi yang baik di medsos. Kecemasan kalau-kalau aku tidak punya teman juga mengusikku, sampai berbagai cara kulakukan supaya aku tetap bisa punya teman.

Efek jangka panjangnya adalah hidupku menjadi tidak tenang dari hari ke hari. Aku merasa sendirian dan tidak tahu harus berjalan ke mana. Bagiku saat itu medsos adalah cerminan hidup yang sesungguhnya.

Sampai suatu ketika, aku menonton film dokumenter yang berjudul “The Social Dilemma”. Film ini menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya di balik medsos, dan bagaimana dampaknya. Selama ini kita menggunakan medsos semudah membuka aplikasi dan melihat unggahan teman-teman kita. Namun, di balik proses yang tampaknya sederhana itu terdapat sistem artificial intelligence (AI) yang menghasilkan sebuah algoritma. Sistem AI merekam aktivitas kita untuk kemudian menyajikan kita konten-konten yang sesuai dengan preferensi kita. Tapi, sistem ini punya kelemahan. Ia tidak dirancang untuk mengetahui mana yang benar dan salah. Kita akan terus disuguhi oleh konten yang relevan dan sama dengan preferensi kita.

Media sosial yang sejatinya punya manfaat baik menjadi destruktif ketika aku membiarkan pikiranku dikuasai olehnya. Bermain medsos dengan tidak bijak membuatku lupa cara menilai diriku dengan benar. Citra diriku rusak oleh algoritma yang menyajikan konten-konten yang membuat hatiku menjadi iri, Sehingga secara tidak sadar aku menuntut diriku untuk menjadi sama seperti yang dilihat di medsos. Mengetahui bahwa aku telah salah dalam memaknai medsos, aku pun memutuskan untuk undur diri sejenak, atau istilah lainnya adalah social media detox. Inilah yang kudapatkan dari proses itu:

1. Kita semua berharga di mata Allah (Yesaya 43:4)

Kembali kepada masa penciptaan, Allah menciptakan kita seturut dan serupa gambar-Nya (Kejadian 1:27).

Mungkin kita terlahir berkulit sawo matang, mata sipit, rambut keriting, atau bertubuh kerdil. Apa pun keadaan fisik kita, kita tetaplah ciptaan-Nya yang berharga. Tuhan tidak menyayangi kita karena rupa kita, tetapi karena Dialah sumber kasih sayang itu. Dia mengasihi kita dalam segala keadaan, baik susah maupun senang, bahkan jika kita terpuruk sekalipun.

Di mata-Nya kita sangat berharga bahkan lebih dari ciptaan-Nya yang lain (Lukas 12:24). Kita pun ditebus dengan darah Kristus karena kasih-Nya kepada kita.

2. Kita diciptakan dengan tujuan

Tuhan sudah merencanakan penciptaan kita. Perencanaan-Nya tidak asal-asalan, melainkan rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11). Katekismus Westminster menambahkan pula bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan bersukacita di dalam Dia untuk selama-lamanya.

Tuhan memberkati kita sejak kita lahir (Yeremia 1:5) untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi dunia ini. Meskipun dosa membuat kita tidak sempurna, tetapi dalam kekurangan kita sekalipun, Allah dapat menggunakan kita agar pekerjaan-Nya dapat dinyatakan (Yohanes 9:3), dan melalui kekurangan kita jugalah kuasa-Nya dapat menjadi sempurna (2 Korintus 12:9).

3. Tuhanlah sumber penghiburan

It’s okay not to be okay. Ada kalanya kita harus mengakui bahwa tidak selamanya semua hal baik-baik saja. Insecure dan overthinking adalah hal wajar, tetapi harus dapat kita atasi. Namun di balik semuanya itu, kita memiliki Tuhan yang selalu ada untuk kita. Melalui datang kepada-Nyalah kita dihibur seperti yang dikatakan-Nya demikian:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Matius 11 : 28-30).

Mungkin beberapa dari kita sedang lelah akan beban pikiran kita terkait dengan overthinking dan insecure, namun datanglah kepada Tuhan ceritakanlah semua apa yang kamu alami kepadaNya maka ia akan memberikan hiburan berupa kelegaan untuk kita.

Media sosial memudahkan kita untuk berhubungan dengan orang lain, tetapi janganlah sampai membuat kita lupa akan citra diri kita yang sejati. Juga jangan sampai membuat kita menjauhi hubungan dengan Tuhan. Kitalah tuan atas media sosial, bukan sebaliknya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menangislah Dengan Orang yang Menangis

Kita takut untuk terlihat rapuh dan lemah, padahal Allah membuka ruang bagi kita ketika kita sedang lemah dan bersedih. Ia membuka diri-Nya untuk mendengar keluh kesah dan ratapan kita.

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?

Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.

Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”

Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.

Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.

Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.

Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.

Menikmati media sosial dengan perspektif baru

Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.

Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).

We are so precious, kita sungguh berharga.

Baca Juga:

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.

Penginjilan lewat Media Sosial, Bagaimana Caranya?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, TikTok, Podcast di Spotify, ada banyak aplikasi dan media sosial yang saat ini digandrungi bukan hanya oleh kalangan remaja tetapi juga oleh orang dewasa. Aku juga merupakan pengguna media sosial yang cukup aktif, meskipun aku tidak punya akun di semua medsos tersebut. Di zaman post-modern ini, segala lini di media sosial dapat menjadi ladang yang subur untuk kita menuai benih firman Tuhan. Ada jutaan pengguna media sosial di Indonesia dan mereka selalu berpetualang di dunia maya. Bayangkan jika konten yang ada di media sosial kita dapat mengenalkan mereka tentang kasih Tuhan.

Perintah untuk memberitakan Injil bukan hanya untuk rohaniawan seperti misionaris atau pun pendeta, tetapi adalah tugas semua orang percaya (Matius 28:18-20). Sebagai seseorang yang belajar untuk memberitakan Injil melalui media sosial, aku ingin membagikan 5 tips untuk melakukannya:

1. Sebelum memulai menginjili orang lain, milikilah hubungan pribadi dengan Tuhan melalui merenungkan firman-Nya

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Alkitab adalah sumber dari segala hikmat dalam kita melakukan sesuatu. Ya, buku yang ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu itu masih sangat relevan untuk membimbing bagaimana cara kita hidup seharusnya. Alkitab mungkin tidak secara spesifik memberi arahan bermedia sosial, toh pada saat Alkitab ditulis, media sosial belum eksis. Tapi, Alkitab dengan jelas memberi arahan apa saja yang bisa kita bagi dan pelajari di sosial media.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Kita tidak bisa membagikan sesuatu yang tidak kita miliki, bukan? Ketika kita ingin memberitakan Injil, kita perlu melekat dan memiliki hubungan dengan Sang Sumber pemberi hikmat, yaitu Tuhan sendiri. Dengan setia membaca, merenungkan, dan melakukan firman Tuhan, kita akan memiliki hikmat untuk memberitakan kasih Allah kepada dunia melalui media sosial kita.

2. Jadi dirimu sendiri

Menjadi diri sendiri adalah cara terbaik bagi kita untuk melayani orang lain. David G. Benner dalam bukunya, The Gift of Being Yourself, mengatakan: “Saat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, maka kita akan menjadi semakin unik sebagai diri kita yang sejati.” Benner mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang otentik di hadapan Allah dan dunia.

Menjadi diri sendiri akan mempengaruhi apa yang akan kita bagikan di media sosial kita. Mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat kita, memaksimalkannya dan menunjukkannya kepada dunia adalah kombinasi yang sempurna untuk menyatakan kebaikan Allah. Misalnya, ketika kita hobi menulis maka kita akan menciptakan sebuah tulisan yang memuliakan Allah. Jika dirimu menyukai fashion, otomotif, menyanyi, menggambar, atau memiliki kepedulian di bidang kesehatan, semua hal itu dapat kita pakai untuk menyatakan kemuliaan Tuhan jika dibagikan.

Jadi mari mengenal diri kita sendiri di dalam Tuhan, melayani orang lain dengan bakat kita dapat kita lakukan dengan memberitakannya melalui media sosial.

3. Membaca lebih banyak, belajar lebih banyak

Mengetahui apa yang menjadi bakat kita saja tidaklah cukup, kita perlu terus berlatih dan belajar untuk memaksimalkannya menjadi lebih baik. Bisa dengan membaca buku, menonton video tutorial, dengan rendah hati mau belajar dari orang yang lebih berpengalaman, mengikuti kursus dan berbagai macam cara lainnya yang berkaitan dengan bakat dan minat kita itu.

Terkhusus jika kita ingin bersaksi di sosial media kita perlu belajar seperti bagaimana cara mengambil gambar dengan baik, mengedit foto, video, audio atau membuat desain tulisan menggunakan aplikasi di gawai kita masing-masing. Saat ini sudah ada banyak aplikasi di playstore yang dapat mendukung tampilan konten supaya lebih menarik.

Namun, tidak perlu menunggu menjadi profesional yang sempurna dalam membuat konten untuk memulai memberitakan kabar baik di sosial media. Langkah pertama perlu dilakukan, meski seringkali sulit. Kita akan diperhadapkan dengan rasa malu, kurang percaya diri, takut menerima kesan negatif dari orang lain, tapi jangan berkecil hati. Niat baik kita untuk memberitakan Injil akan senantiasa didukung oleh Allah. Mulailah saat ini dengan apa yang kita miliki sembari terus memperbaiki diri.

4. Tidak lupa menjadi berkat di dunia nyata

Craig Groeschel dalam bukunya #Struggles mengatakan bahwa “Hidup bukanlah tentang berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Melainkan tentang seberapa banyak kasih yang kamu perlihatkan.” Dia juga menambahkan demikian “Mereka (followers kita di sosial media) takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak followers-mu. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari seberapa cepat kamu membalas email. Percaya atau tidak, mereka bahkan takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak ayat Alkitab yang kamu posting. Tidak, mereka akan tahu kamu murid Yesus ketika mereka melihat kasih-Nya di dalammu lewat tindakan-tindakanmu.”

Jangan sampai keinginan kita untuk menjadi berkat di media sosial menghalangi hubungan kita dengan manusia di dunia nyata. Kita perlu hadir di tengah-tengah mereka sama seperti yang Yesus teladankan kepada kita. Dia Allah yang mau duduk dan makan bersama dengan orang-orang berdosa yang dipandang sebelah mata oleh dunia, yaitu kita. Menjalin hubungan dengan orang lain dan hadir dalam hidup mereka merupakan cara yang tidak akan pernah gagal untuk membangun Gereja.

Yang terpenting dari menjadi pemberita Injil di media sosial bukan seberapa banyak jumlah likes dan followers kita, tetapi apakah yang kita tuliskan di dunia maya juga kita lakukan di dunia nyata? Apa yang kita bagikan di dunia maya seharusnya selaras dengan sikap dan tindakan kita di kehidupan nyata, supaya kesaksian kita bukan kesaksian bohong atau munafik.

5. Memiliki fokus dan sikap hati yang benar

Ketika kita mulai menggunakan media sosial akan ada kemungkinan kita akan kecanduan. Memiliki hasrat untuk semakin terkenal, berpikir keras untuk memiliki banyak likes di setiap postingan, mendapatkan semakin banyak followers dan mungkin juga membandingkan diri dengan pengguna media sosial lainnya. Kita perlu berhati-hati karena manusia tidak ada yang kebal dengan dosa kesombongan dan iri hati.

Aku pun pernah mengalami kecanduan media sosial dan membandingkan diriku dengan orang lain. Tuhan menegurku dengan firman-Nya yang aku baca di Alkitab dan buku rohani. Ternyata untuk terus memiliki motivasi hati yang murni, kita perlu terus memelihara hubungan pribadi kita dengan Tuhan.

“Allah yang menciptakan segala sesuatu. Semuanya berasal dari Allah dan adalah untuk Allah. Terpujilah Allah untuk selama-lamanya! Amin.” Roma 11:36 (BIMK).

Dia terus bekerja membentuk karakter dan bakat kita hingga saat ini. Terkadang, Tuhan juga memakai orang lain untuk menegur kita. Diperlukan kerendahan hati untuk mau mengakui kesombongan dan motivasi kita yang salah. Tak mengapa kita sedang berproses bersama-sama, ketika menyadari kesalahan kita bisa segera bangkit dan bertobat. Akhir dari semuanya: kiranya hanya nama Tuhan saja yang dipermuliakan ketika kita menggunakan media sosial.

Baca Juga:

3 To-Do-List Saat Kita Melakukan Penginjilan

Memberitakan Injil adalah tugas semua orang percaya. Tapi, untuk melakukannya ada tiga hal yang harus kita siapkan lebih dulu.

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Oleh Michelle Lai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Would Jesus Like Your Post On Social Media?

Kalau Tuhan memiliki akun di media sosial, apakah Dia akan menyukai postingan yang kamu buat?

Dulu aku adalah orang yang selalu memposting foto ke Instagram setiap hari. Di bawah foto itu aku menuliskan caption untuk memberitahu para followers-ku tentang apa yang kurasakan saat itu. Aku memposting cerita refleksi diri yang sedih, cerita lucu, dan bahkan kemarahan. Itulah caraku untuk mengekspresikan diriku, juga mengatasi kebosanan dan kesepianku. Aku bisa “bicara” kepada para followers-ku tanpa harus benar-benar berdiskusi atau bertemu langsung dengan mereka.

Namun, kemudian aku belajar satu kenyataan yang keras, bahwa meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik.

Aku telah belajar bagaimana seharusnya aku bertindak di media sosial dengan cara yang sehat, dan inilah tiga pertanyaan yang seringkali kuajukan kepada diri sendiri sebelum aku memposting sesuatu:

1. Apakah postinganku bermanfaat buat temanku?

Aku suka mendengarkan lagu-lagu bernuansa sedih, dan sering memposting liriknya dengan atau tanpa maksud pribadi. Karena postingan itu bersifat emosional, temanku sering bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku tidak mau menjelaskan apapun kepada mereka, sebab aku cuma ingin mendapatkan respons dari mereka. Tapi, seringkali respons yang kudapat tidak seperti itu. Mereka yang bukan teman terdekatku malah mengomentari seputar hidup dan aktivitasku. Sedangkan teman-teman yang kuanggap paling dekat malahan menjadi orang yang paling akhir mengetahui masalah-masalah yang kualami karena mereka tidak melihat postinganku di Instagram.

Semuanya ini membuatku merasa rentan tapi aku ingin dikenal oleh dunia. Ini adalah dilema yang lucu. Di satu sisi aku merasa lega ketika mengungkapkan perasaanku di media sosial, tapi aku juga merasa kosong kalau tidak ada orang yang menanggapiku. Dan, di sisi lainnya, aku pun merasa kewalahan kalau semisal teman-temanku menanggapiku.

Aku tidak sedang memuliakan Tuhan dengan perkataan mulutku dan perenungan di hatiku (Mazmur 19:15). Kebiasaanku di media sosial itu tidak hanya menghadirkan masalah dalam relasiku dengan teman-temanku, itu juga membuatku menjadi seorang yang haus akan penerimaan, menjelaskan diriku, dan mencari kepuasan yang instan.

Jika dahulu aku memperlakukan media sosial seperti buku harianku, sekarang aku menggunakannya sebagai alat untukku terhubung dengan teman-teman dekatku. Sebagai contoh, aku memposting puisi-puisi Kristen untuk menguatkan teman-temanku, atau membagikan sedikit pencapaianku untuk merayakannya bersama teman-temanku dan menyemangati mereka. Aku juga berusaha untuk mengurangi intensitasku mengunggah sesuatu tentang kehidupan sehari-hariku, dan hanya memposting gambar bersama orang yang kukasihi. Aku mengingatkan diriku untuk tidak terus mengecek media sosialku setelah aku mengunggah sesuatu, menanti like demi like yang diberikan oleh followers-ku. Ketika aku melihat sesuatu yang menarik yang dibagikan temanku di media sosial, seperti foto-foto dari perjalanan mereka, aku coba untuk bertemu mereka secara langsung dan mengobrol lebih banyak tentang apa yang sudah mereka unggah.

2. Sudahkah aku mengambil waktu sejenak untuk memikirkan kembali apa yang mau kuposting?

Sekarang, aku tidak segera menuliskan status ketika aku merasa ingin melakukannya. Aku memberi waktu sejenak kepada diriku untuk berpikir apakah postingan ini diperlukan, apakah itu baik, dan apakah itu membuatku memanjakan diri

Aku belajar bahwa menceritakan perasaanku kepada seseorang—daripada mempostingnya di media sosial—memberikanku privasi untuk menjaga isu itu tetap pribadi dan profesional dalam situasi tertentu. Ketika aku membagikan pergumulanku kepada temanku atau pembimbingku, aku seringkali bisa mendapatkan perspektif yang lain. Ini memberikanku waktu untuk memproses pemikiranku. Aku menyadari ketika aku memberikan jeda beberapa saat untuk memikirkan apakah aku akan mengunggah sesuatu atau tidak, seringkali keinginan itu pudar dan kuanggap tidak lagi mendesak. Aku perlu berhati-hati dengan emosiku untuk tidak gegabah mengunggah sesuatu.

3. Apakah aku memuliakan Tuhan atau menjadi batu sandungan buat orang lain?

Aku pernah bekerja kelompok dengan seorang rekan sekelas. Ketika aku berselisih pendapat dengan salah satu dari mereka, aku mengirimkan emoji marah di grup chat kami. Akibatnya relasiku dengan seluruh kelompok jadi terganggu.

Media sosial memang diciptakan bukan untuk sekadar berbagi hal-hal yang membahagiakan, tapi sebagai pengikut Kristus kita tidak seharusnya mengunggah sesuatu yang dapat menjadi batu sandungan buat orang lain. Aku tidak seharusnya beraktivitas di media sosial tanpa mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang kutulis nanti akan berdampak kepada orang lain.

Pemazmur dalam Alkitab tidak takut untuk menuliskan mazmur yang sedih dan marah, tetapi yang paling utama adalah segala tulisannya, pemazmur selalu berfokus kepada Tuhan. Meski aku tidak berpikir bahwa kita harus menahan diri dari memposting sesuatu tentang isu-isu seperti depresi, atau bahkan membagikan cerita pengalaman kita bahwa kita lelah atau merasa sedih pada suatu hari, aku belajar dari pemazmur bahwa postinganku harus selalu mengarahkan orang lain kembali pada Tuhan. Contohnya, ketika aku menuliskan puisi-puisi terkait depresi, aku menyertakan Tuhan di dalamnya. Aku juga menyertakan link yang ketika diklik akan mengarahkan pembacaku kepada lembaga yang mampu menolong mereka secara profesional. Aku memastikan untuk mengakhiri puisi-puisiku dengan harapan.

Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebiasaanku bermedia sosial, aku belajar bahwa kita semua dipanggil untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, dan menjaga kata-kata yang keluar dari mulut atau ketikan jari kita adalah permulaan yang baik.

Baca Juga:

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Aku pernah menolak panggilan untuk melayani sebagai pemimpin kelompok kecil. Aku merasa tidak layak dan dak mampu. Namun, Tuhan menggerakkan hatiku hingga akhirnya aku menjadi pemimpin dari kelompok kecil beranggotakan 8 orang, dan melalui inilah Tuhan mengubahkanku.