Posts

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

Lockscreen Mazmur 103:13

“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:13).

Lockscreen ini dibuat oleh Julia Rosalind.

Yuk download dan gunakan lockscreen ini di HP kamu.

Lockscreen Mazmur 43:5b – Versi Wanita

“Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku” (Mazmur 43:5b).

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu.
Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

Lockscreen Mazmur 43:5b – Versi Pria

“Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku” (Mazmur 43:5b).

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu.
Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Kala Menghadapi Penderitaan

Oleh Dwi Maria Handayani, Bandung

Dunia saat ini sedang menderita. Kita tidak hanya diperhadapkan dengan bahaya pandemi, tetapi juga kelaparan, kemiskinan, dan kematian. Dalam situasi seperti ini, aku pun bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi? Apa maksud Tuhan? Lalu aku teringat akan nabi Habakuk, yang pada saat itu hidup dalam situasi yang sulit. Apa yang harus kita lakukan sekarang?

1. Inilah waktunya untuk meratap (time to lament)

Seperti pemazmur dan Habakuk, kita dapat datang kepada Tuhan dengan semua pertanyaan yang ada dalam hati kita. “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi” (Habakuk 1:2-3).

Habakuk saat itu mencurahkan keberatan hatinya pada Tuhan: mengapa Tuhan membiarkan raja Yoyakim yang lalim dan jahat berkuasa? Yoyakim hanya memikirkan kesenangannya sendiri dan membuat rakyatnya menderita. Dia raja yang menindas dan memeras, membiarkan ketidakadilan terjadi, menumpahkan darah orang yang tidak bersalah. Tapi, Tuhan seakan berdiam diri, sehingga Habakuk bertanya, “berapa lama lagi, ya Tuhan?” (Yeremia 22).

Kita pun mungkin punya pertanyaan yang tidak terjawab. Tuhan ingin kita datang kepada-Nya membawa semua pertanyaan itu. Mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit pada Tuhan bukan berarti kita tidak beriman, tetapi sebaliknya kita berani bertanya karena kita punya relasi yang dekat dengan Tuhan sehingga kita menghampiri-Nya dengan segala pertanyaan dan perasaan yang melingkupi kita.

2. Inilah waktunya untuk mendengar (time to listen)

Ketika Habakuk meratap, berteriak, dan bertanya kepada Tuhan, jawaban yang diterimanya bukanlah jawaban yang mungkin diharapkan Habakuk. Tuhan akan membangkitkan Babel, sang musuh Yehuda, untuk menyerang mereka. Jawaban itu mengejutkan, tidak terbayangkan oleh Habakuk, maka dia pun kembali bertanya, “Bukankah Engkau, ya Tuhan, dari dahulu Allahku, yang maha kudus?… mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman…?” (ayat 12-13).

Dengan kata lain, Habakuk berkata, Tuhan bukan jawaban itu yang aku harapkan. Mengapa Tuhan mengirimkan bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan untuk menghukum Israel? Di pasal 2, akhirnya Habakuk memutuskan untuk mengisolasi diri, berdiam, dan menunggu Tuhan. Bisa jadi, jawaban yang kita terima dari Tuhan berbeda dengan apa yang kita harapkan. Atau bahkan, jawaban itu malah makin membuat kita bingung. Tapi, tidak apa-apa. Itu adalah bagian dari perjalanan iman. Seperti Habakuk, marilah jadikan masa-masa berdiam diri di rumah ini sebagai momen untuk menantikan Tuhan.

3. Inilah waktunya untuk berharap (time to hope)

Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan. Bahkan ketika Tuhan menjawab pun, Habakuk malah makin tidak mengerti. Akan tetapi, di tengah situasi demikian, Habakuk memutukan untuk tetap menantikan Tuhan dengan penuh pengharapan. Di tengah segala ketidakmengertiannya, Habakuk mampu berkata, “sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. Allah Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-18).

Masa-masa yang sulit ini Tuhan izinkan terjadi agar kita beroleh iman yang murni. Ada banyak orang menjadi marah, kecewa, dan meninggalkan Tuhan ketika Dia tidak menjawab doa mereka seturut yang mereka ingingkan. Marilah kita meneladani Habakuk, sekalipun kita tidak mengerti, sekalipun situasi belum berubah, tetapi iman dan pengharapan kita tetap teguh kepada Allah.

Baca Juga:

Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal

Bagaimana jika kita telah berusaha hidup benar tetapi masih tetap dihantam oleh gelombang penderitaan? Kita lantas bertanya, mengapa Tuhan mengizinkan kita terluka?

Pertanyaan ini sulit, namun aku ingin mengajakmu menemukan sebuah kebenaran yang dapat meneguhkan hatimu.

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Mazmur di Tengah Masa-masa Jenuhku

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Suatu malam, aku merasa tak mampu lagi membaca referensi untuk menyelesaikan tesisku. Aku merasa jenuh. Tuntutan dari profesorku membuatku stres dan tidak tahu harus berbuat apa. Teman sekamarku sedang pergi ke lab, dan aku tinggal sendirian di kamar padahal aku merasa kalau saat itu aku sangat butuh kehadiran seorang teman. Namun, di tengah perasaan jenuh dan stres itu, aku teringat akan kitab Mazmur.

Aku lalu teringat suatu nama, Kak Fenov. Beliau adalah pemimpin kelompok kecilku. Aku mencoba meneleponnya, tapi tak diangkat. Beberapa waktu berselang, dia meneleponku kembali. Aku sharing dan bercanda dengannya hingga sukacitaku pun mulai muncul kembali. Dan, di akhir obrolan itu, beliau memberikanku ucapan firman Tuhan dari Mazmur 121.

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;
dari manakah akan datang pertolonganku?

Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

Ia takkan membiarkan kakimu goyah,
Penjagamu tidak akan terlelap.

Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

TUHANlah Penjagamu, TUHANlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

Matahari tidak akan menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Jika kita membuka Alkitab kita dan membaca kitab Mazmur, kita akan mengetahui bahwa kitab itu berisi puji-pujian dari para pemazmur kepada Tuhan. Tak cuma sebagai pujian, tiap untaian katanya juga adalah doa yang mengungkapkan perasaan mendalam hati manusia kepada Sang Pencipta. Pun bait demi baitnya merupakan ekspresi dari pemeliharaan Tuhan yang dialami oleh sang pemazmur.

“Nikmati setiap kata demi katanya,” ucap Kak Fenov. Aku pun mencoba menikmati mazmur tersebut dari berbagai versi Alkitab. Hingga akhirnya, beliau mengatakan, “Tugasmu saat ini buat mazmurmu dan sharingkan sama aku malam ini.”

“Ya ampun, tugas baru di tengah pikiran yang sedang mumet ini,” aku refleks merespon.

Namun, entah mengapa aku tergerak untuk mengikuti tantangan itu di tengah banyaknya bacaan yang harus kubaca. Menit demi menit pun berlalu. Aku merenung, mengingat kembali bagaimana perjalanan yang telah kulalui bersama Tuhan selama ini. Dan, aku benar-benar tersanjung akan pemeliharaan-Nya.

Aku mencoba memosisikan diriku seperti seorang pemazmur. Aku berdoa kepada-Nya, meminta Dia memampukanku untuk dapat bermazmur sama seperti pemazmur lakukan kepada-Nya. Dan, puji Tuhan, Ia menolongku untuk perlahan keluar dari jerat kejenuhan itu sampai akhirnya aku pun dimampukan-Nya untuk bermazmur, menaikkan puji-pujian dari dalam hatiku sendiri kepada-Nya.

Dan inilah mazmur yang ingin kubagikan kepadamu:

Masa jenuh menghampiriku. Aku tiba di semester di mana tesis adalah tanggung jawab di pagi, siang, dan malamku. Mau baca yang itu tidak bisa tanpa baca yang ini terlebih dahulu. Namun ketika ingin membaca yang ini, rasanya berat sekali untuk memulai.

Aku memandang teman labku. Ia begitu keren dan beruntung. Ia bisa ikut bersama profesorku ke negara yang sangat kuimpi-impikan tanpa ada hambatan sedikit pun.

Rasa iri hati dan jenuh pun mulai berikatan dalam diriku.

Siapakah yang bisa menghilangkan rasa itu? Siapakah dia yang sanggup “menamparku” untuk tidak membandingkan diriku dengan pencapaian orang lain? Siapakah dia yang mampu memberikan hikmat di tengah hari-hariku yang terasa datar? Siapakah pribadi yang bisa memberiku ketenangan di tengah deadline tesisku yang tinggal satu minggu?

Yesus! Ya, Yesus. Dialah segalanya bagiku. Dia sempurna, sangat sempurna membimbingku. Dialah yang bisa mengubah rasa berat itu menjadi sukacita. Dialah yang sanggup “menamparku” dari rasa iriku sebelum satu hari berlalu melalui firman-Nya di saat teduhku. Dia jugalah yang mampu memberikan hikmat dan ketenangan di saat aku bangun dari tidurku.

Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk segalanya. Satu setengah tahun Engkau menyertaiku dengan sempurna. Masakan jiwaku lunglai hanya untuk melalui satu semester yang tersisa?

Berserah, memiliki relasi intim dengan-Mu, dan setia bersama orang-orang yang kesukaannya Taurat Engkau membuatku terus beriman kepada-Mu.

Mampukan aku Tuhan, tanpa-Mu aku tidak bisa apa-apa.

Itulah isi mazmurku. Sebuah mazmur sederhana yang meluap dari hatiku, yang menjadi pujian dan ucapan syukurku kepada Tuhan atas penyertan-Nya. Saat ini, mungkin ada di antara kamu yang memiliki beban yang serupa denganku, kamu mengalami masa jenuh dan penuh tekanan. Namun, kiranya firman Tuhan terus menjadi pengingat untukmu yang sedang menuntaskan studimu, ataupun segala pergumulan lain yang kamu alami.

Pergumulan, kesulitan, bahkan bahaya memang kadang tidak dapat kita hindari. Namun yang pasti Tuhan selalu memberikan jaminan bahwa Dia selalu menjadi pembimbing kita yang sempurna.

Aku ingin menantangmu sama seperti yang pemimpin kelompok kecilku lakukan. Buatlah mazmurmu, jiwai dan hidupilah. Mazmurkanlah itu kepada Tuhan setiap waktu dan bagikanlah juga kepada orang-orang lain, agar semakin banyak orang yang bermazmur kepada Tuhan dan dikuatkan-Nya.

*Tulisan ini dibuat saat aku sedang menempuh studiku di Taiwan pada 30 Oktober 2018.

Baca Juga:

Rabu Abu, Momen untuk Kita Berbalik dari Dosa

Sahabat, hari ini kita mengawali masa prapaskah dengan Rabu Abu. Terlepas dari gerejamu merayakannya atau tidak, ada satu pesan penting yang bisa kita terima dan lakukan dalam perjalanan kita menyambut anugerah keselamatan yang Tuhan telah berikan.

Memiliki Yesus

Selasa, 6 April 2010

Baca: Mazmur 66:1-15

Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. —Ibrani 13:5

Di dalam sebuah ibadah penginjilan di Irlandia, pembicaranya menjelaskan apa artinya tinggal di dalam Kristus dan percaya sepenuh kepada-Nya di dalam setiap pencobaan. Ketika menyimpulkan khotbahnya, ia berulang kali mengatakan, “Ini berarti bahwa dalam keadaan apa pun, Anda bisa terus berkata, ‘Karena itulah, aku memiliki Yesus.’”

Kemudian, kesempatan untuk bersaksi diberikan pada ibadah itu. Seorang wanita muda berkata, “Beberapa menit yang lalu, aku menerima telegram ini, yang berbunyi, ‘Ibu sakit parah; pulang dengan kereta secepatnya.’ Saat membaca pesan ini, aku sadar bahwa khotbah yang disampaikan pada malam ini ditujukan bagiku. Hatiku melonjak dan berkata, ‘Karena itulah, aku memiliki Yesus.’ Seketika itu juga rasa damai dan kekuatan memenuhi jiwaku.”

Sekitar tiga atau empat minggu kemudian, penginjil tersebut menerima surat dari wanita yang memberikan kesaksian tadi, yang mengatakan, “Terima kasih sekali lagi untuk khotbah yang Anda sampaikan hari itu. Hidupku kini terus-menerus menjadi mazmur kemenangan yang tiada henti, karena aku telah menyadari bahwa apa pun yang terjadi di dalam kehidupan, oleh karena itulah, aku memiliki Yesus.” Wanita yang percaya kepada Kristus ini telah menemukan di dalam Juruselamatnya, seorang Pribadi yang akan bersamanya untuk “menempuh api dan air,” dan “mengeluarkannya sehingga bebas” (Mzm. 66:12).

Jika Anda mengalami pencobaan atau penderitaan besar, ingatlah—karena itulah, Anda memiliki Yesus! —HGB

Aku temukan tempat perlindungan di dalam Yesus,
Aku bersembunyi di dalam kasih-Nya yang ilahi;
Dia sepenuhnya memahami kerinduan jiwaku yang terdalam
Dengan lembut Dia membisikkan, “Kau milik-Ku.” —Christiansen

Jika di tiap situasi kita tinggal di dalam Kristus,
kita akan merasakan Kristus tinggal bersama kita di tiap situasi.

Kuasa Pujian

Senin, 5 April 2010

Baca: Yesaya 61:1-3

Tuhan telah mengurapi aku . . . untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung. —Yesaya 61:1,3

Pujian itu berkuasa! Saat pendeta berkebangsaan Skotlandia, Robert Murray McCheyne, bermasalah dengan kebekuan hati terhadap segala sesuatu tentang Tuhan, ia akan menyanyikan puji-pujian bagi Allah sampai ia merasa dibangkitkan lagi rohnya. Mereka yang tinggal serumah dengannya sering dapat mengatakan jam berapa McCheyne bangun karena ia selalu memulai harinya dengan menaikkan mazmur pujian.

Suatu hari, saat McCheyne sedang mempersiapkan hatinya untuk berkhotbah, di dalam jurnalnya ia menuliskan, “Apakah hatiku rindu untuk dikuduskan secara menyeluruh? . . . Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu . . . Aku sudah merasakan begitu banyak kematian dan dukacita sehingga aku tak bisa lagi berduka atas kematian ini. Menjelang malam, aku bersemangat lagi. Mengalami ketenangan roh melalui [pujian mazmur] dan doa.” McCheyne telah dipulihkan dengan memuji Tuhan.

Mungkin Anda merasa seolah-olah terperosok di dalam sesuatu yang disebut John Bunyan sebagai “rawa tanpa pengharapan”. Naikkan pujian bagi Tuhan. Sang Pemazmur berkata, “Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya” (89:2). Ketika kita melakukannya, pujian bukan hanya mengalir dari bibir kita, tetapi juga dari hati kita. Tuhan senang memberikan “minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar” (Yes. 61:3).

Ya, “bermazmur bagi Allah kita itu baik”—di setiap waktu (Mzm. 147:1). —PVG

Jiwa, puji Raja Sorga,
Bawa persembahanmu,
Engkau ditebus-Nya juga,
Sampai hidupmu sembuh. Lyte
(Nyanyian Rohani GMI, No. 38)

Jika merasakan roh Anda berbeban berat, kenakanlah jubah pujian.