Posts

Pergumulanku untuk Melepaskan Diri dari Jeratan Dosa Seksual

Oleh Aimee*

Aku adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang memiliki riwayat jatuh ke dalam dosa seksual sejak SMP.

Kisah ini bermula saat aku duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu aku berpacaran dengan teman gerejaku yang juga melayani sebagai pemain keyboard. Statusnya sebagai pelayan di gerejaku membuat berpikir bahwa dia adalah lelaki yang baik dan pasti menghargaiku sebagai seorang perempuan. Tapi, nyatanya tidak sama sekali.

Suatu ketika, saat kedua orangtuaku sedang tidak berada di rumah, dia datang menemuiku. Awalnya kami mengobrol seperti biasa. Tapi, kemudian dia mulai melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dia lakukan dalam berpacaran. Saat itu aku tidak bisa menolak ataupun berontak, dan setelah peristiwa itu aku jadi merasa jijik dengan tubuhku sendiri. Memang saat itu kami tidak sampai melakukan hubungan seksual. Tapi perlakuannya kepadaku hari itu menjadi awal dari kejatuhanku ke dalam dosa seksual. Tak lama setelah peristiwa itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pacaran dengannya karena aku takut terjadi hal-hal lain yang tidak kuinginkan.

Godaan untuk terjatuh semakin dalam ke dosa seksual pun kembali datang. Secara tak sengaja, aku melihat video porno di ponsel ayahku. Di satu sisi aku merasa jijik menonton video porno, tapi di sisi lainnya aku jadi semakin penasaran. Akhirnya, untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku pun membaca cerita-cerita porno. Tak berhenti sampai di situ, rasa ingin tahu itu kembali meningkat menjadi praktik masturbasi hingga aku duduk di kelas 1 SMA. Di masa-masa awal, setiap kali usai melakukan masturbasi, aku diliputi rasa bersalah kemudian berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Namun, seakan menjadi sebuah siklus, tetap saja aku tergoda untuk melakukan masturbasi.

Masturbasi yang kulakukan itu membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri hingga aku memutuskan untuk berhenti dari melakukan praktik ini. Namun, walaupun aku telah berhenti melakukan masturbasi, aku tetap jatuh ke dalam dosa imajinasi seks sampai aku duduk di semester 4 kuliah.

Aku baru mengalami lahir baru saat duduk di semester pertama kuliah. Sejak saat itulah aku mulai mengerti tentang bersaat teduh setiap hari. Akan tetapi, itu tidak menolongku untuk bisa berhenti berimajinasi tentang seks. Aku berusaha untuk mengatasi pergumulan ini seorang diri. Aku mengikuti seminar tentang pornografi, membaca artikel-artikel tentang bagaimana bisa lepas dari dosa seksual, dan tentunya berdoa meminta pertolongan Tuhan serta berkomitmen untuk disiplin saat teduh dan berdoa. Akan tetapi, usaha-usahaku itu tidak membuahkan hasil. Malahan, aku merasa bahwa hubungan pribadiku dengan Allah menjadi hilang. Di satu sisi aku bersaat teduh dan melayani Tuhan di persekutuan. Tapi, di sisi lainnya aku tetap terjerat di dalam dosa seksual. Aku merasa diriku seperti orang yang munafik.

Aku merasa putus asa dan tak tahu lagi harus melakukan apa untuk melepaskan diriku dari jeratan dosa seksual. Dalam kondisi inilah akhirnya aku berdoa sambil bersujud kepada Allah, sesuatu yang sebelumnya jarang kulakukan. Dalam doa, aku menangis karena aku merasa lelah sekali untuk berjuang melepaskan diri dari jeratan dosa ini. Sampai di titik ini aku menyadari bahwa usahaku melepaskan diri dari dosa ini sendirian tidak membuahkan hasil. Semakin aku merasa mampu menyelesaikan pergumulan dosa ini sendirian, justru semakin aku tidak mampu membereskannya. Akhirnya, dengan pertolongan Tuhan, aku memberanikan diri untuk menceritakan pergumulan ini kepada kakak rohaniku walaupun di dalam hatiku aku merasa malu untuk menceritakannya.

Ketika kakak rohaniku mengetahui pergumulanku, dia tidak menghakimiku, malahan menanggapiku dengan penuh kasih. Dia mengingatkanku tentang anugerah Allah melalui Kristus yang mati di kayu salib. Allah tahu bahwa manusia tidak akan pernah mampu menyelesaikan dosanya sendiri, oleh karena itu Dia menganugerahkan Kristus untuk membebaskan manusia dari dosa. Ketika aku menerima Kristus sebagai juruselamatku, dosa-dosaku dihapuskan (1 Yohanes 1:9) . Akan tetapi, aku tetap perlu berjuang untuk tidak lagi melakukan dosa.

Setelah bercerita dengan kakak rohaniku, aku jadi teringat akan firman Tuhan yang pernah disampaikan dalam sebuah ibadah di persekutuan tempatku melayani. “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang kukehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Roma 7:15).

Ketika aku mempelajari kembali perkataan Paulus yang tertulis secara lengkap di kitab Roma 7:13-26, aku mendapati bahwa aku masih hidup sebagai orang yang tidak merdeka. Aku mengizinkan dosa menawan diriku, dan sebagaimanapun perjuanganku untuk melawan dosa, pada kenyataannya aku selalu jatuh kembali karena pada dasarnya aku adalah orang berdosa. Oleh karena itu, satu-satunya Pribadi yang dapat menyucikan dan melepaskanku dari jeratan dosa adalah Kristus.

Sejak saat itu, aku tidak lagi mengandalkan kekuatanku sendiri untuk berjuang lepas dari jerat dosa seksual ini. Dengan pertolongan Allah dan bimbingan kakak rohaniku, perlahan-lahan aku mampu bangkit. Ketika aku mulai kembali tergoda untuk melakukan masturbasi, aku mengingat firman-Nya supaya aku tidak melakukan dosa. Pada akhirnya, aku menyadari bahwa perjuangan yang seharusnya kulakukan adalah dengan bersandar pada anugerah Allah, bukan pada usaha-usahaku semata yang kulakukan tanpa melibatkan Allah.

Perjuangan untuk melepaskan diri dari jerat dosa bukanlah perkara yang mudah, tetapi bukan pula mustahil. Ketika aku sedang menikmati saat teduhku, melalui firman Tuhan dalam Mazmur 51, aku diingatkan bahwa Daud pun pernah jatuh ke dalam dosa, tetapi Allah memakai Daud menjadi alat-Nya bagi Israel. Daud begitu menyesali perbuatannya hingga ia berseru: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” (Mazmur 51:3).

Aku bersyukur kepada Allah karena pertolongan-Nya sajalah aku bisa dimerdekakan dari dosa. Walaupun aku telah jatuh berkali-kali ke dalam dosa yang sama, Allah menyadarkanku bahwa betapa Dia mencintaiku dan Dia ingin aku kembali kepadanya. “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6).

Sampai saat ini aku tidak lagi melakukan praktik masturbasi. Tetapi, ketika aku sedang lemah, seringkali dosa untuk berimajinasi tentang seks kembali datang dan menggodaku. Namun, setiap kali godaan itu datang, aku berusaha mengingat nasihat dan firman yang Allah nyatakan melalui saat teduhku dalam Mazmur 51. Aku hanya bisa berdecak kagum pada karya Allah dalam hidupku yang telah membebaskanku dari jeratan dosa seksual. Seperti pemazmur yang kagum akan Allah, demikian juga aku hendak berkata:

“Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu ya Allah! Betapa besar jumlahnya!” (Mazmur 139:17).

Terpujilah Allah karena kasih-Nya!

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

#Selfie

Aku adalah seorang yang ketagihan selfie. Buatku, selfie ini sangat menarik. Aku bisa menunjukkan kepada teman-teman di media sosialku tentang aktivitas dan prestasi yang telah kuraih. Begitu menyenangkan rasanya. Akan tetapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa di balik ketagihanku berselfie, ada satu hal yang sejatinya sedang kulupakan.

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Masturbation Your Master?

Sebuah kata yang diawali dengan huruf “M”. Ada banyak istilah untuk merujuk pada kata ini, sebuah aktivitas untuk merangsang gairah seksual oleh diri sendiri, atau kita kenal dengan nama masturbasi.

Pengalaman pertamaku dengan masturbasi sebenarnya dimulai ketika aku masih berusia 5 atau 6 tahun. Waktu itu, secara tidak sengaja tanganku menyentuh bagian vital tubuhku, dan sejak saat itu aku merasa ketagihan.

Di usiaku yang ke-9 tahun, aku menerima Kristus. Tetapi, tidak ada seorang pun yang mengatakan kepadaku apa pandangan Alkitab mengenai masturbasi. Bagiku sendiri, tidak ada yang salah dengan masturbasi karena aku pikir aktivitas ini bukanlah sesuatu yang membahayakan.

Seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai merasa penasaran tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Kekristenan terhadap masturbasi. Hampir seluruh artikel-artikel yang kubaca menentang masturbasi karena tindakan ini selalu berkaitan dengan hawa nafsu, pornografi, dan juga fantasi seksual. Dari apa yang kubaca, aku menemukan bahwa masturbasi itu dianggap salah karena bisa dengan mudah membawa kita jatuh ke dalam dosa hawa nafsu. Jadi, kupikir, jika masturbasi yang kulakukan tidak membuatku berpikir penuh hawa nafsu, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari bermasturbasi.

Salah satu hal aku syukuri adalah waktu itu aku tidak jatuh terlalu dalam ke dalam dosa pornografi. Jika saja saat itu aku sering mengonsumsi tayangan-tayangan porno, bisa saja aku akan kecanduan lebih lagi dengan masturbasi. Akan tetapi, dampak dari masturbasi yang kulakukan adalah aku jadi sering berfantasi seksual. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba untuk menghancurkan kebiasaan ini. Tapi, karena aku sendiri tidak terlalu yakin bahwa masturbasi adalah sesuatu yang sungguh-sungguh salah, dengan segera aku kembali terjatuh dalam kebiasaan ini.

Di tahun 2014, Tuhan menolongku untuk menghancurkan beberapa keterikatanku dengan dosa seksual. Salah satunya adalah masturbasi. Suatu ketika, di hari Minggu bulan April, hasratku untuk melakukan kebiasaan masturbasi tiba-tiba menurun secara signifikan tanpa aku melakukan apapun. Tuhan mengizinkanku untuk merasakan sebuah masa di mana aku terbebas dari jerat kebiasaan masturbasi selama beberapa bulan.

Namun, tak lama berselang, hasratku kembali seperti sedia kala. Karena selama beberapa bulan sebelumnya aku pernah hidup tanpa hasrat untuk melakukan masturbasi, aku menyadari bahwa lewat peristiwa ini Tuhan ingin menunjukkan padaku bahwa masturbasi bukanlah tindakan yang berkenan pada-Nya. Aku tahu bahwa masturbasi bukanlah sesuatu yang dapat memuliakan Allah, atau membangun diriku menjadi lebih baik, bahkan sekalipun jika masturbasi itu kulakukan tanpa berfantasi seksual atau pornografi.

Sekarang, aku sedang berjuang untuk mematahkan kebiasaan ini. Dalam perjalananku untuk melepaskan diri dari jeratan dosa seksual, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu tentang masturbasi.

1. Masturbasi bisa menyebabkan kita kecanduan

Dari perjalananku selama bertahun-tahun untuk lepas dari jeratan dosa seksual, aku mendapati bahwa semakin sering aku memberi kesempatan untuk diriku jatuh ke dalamnya, semakin dosa itu akan mengikatku. Masturbasi telah menjadi tuan atas hidupku dan membuatku kecanduan. Ketika godaan untuk melakukannya datang, aku tidak mampu lagi untuk berkata “tidak”. Alih-alih melawan, aku malah “taat” dan terjatuh kembali dalam godaan seksual itu.

Hal ini tentu bukanlah gambaran tentang kebebasan dan kepenuhan hidup seperti yang Alkitab tuliskan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Galatia 5:10).

2. Masturbasi bisa membuat kita kehilangan kendali atas diri sendiri

Kebiasaanku untuk melakukan masturbasi membuatku berpikir bahwa aku bisa mendapatkan kenikmatan seksual kapan saja aku mau. Masturbasi membuatku kehilangan kendali atas nafsu seksual yang muncul dalam diriku. Mengapa harus menunggu untuk mendapatkan kenikmatan seksual jika aku bisa dengan segera memuaskannya sendiri?

Alkitab berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Ketika aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri, sesungguhnya aku akan rentan terhadap serangan dan godaan yang menarikku untuk jatuh dalam dosa.

Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Timotius 1:7), dan salah satu buah Roh adalah pengendalian diri (Galatia 5:23). Bagaimana caranya aku bisa dipenuhi oleh Roh Kudus (Efesus 5:18) apabila aku tidak memberi diriku untuk dikuasai oleh-Nya?

3. Masturbasi bisa jadi hanyalah sebuah pelarian dari masalah yang jauh lebih serius

Ketika aku mengenang kembali masa-masa saat aku begitu tertarik dengan masturbasi, aku menyadari bahwa saat itu ada luka-luka batin ataupun masalah yang tidak ingin aku selesaikan. Ada rasa kesepian dan kesedihan mendalam yang pada akhirnya membuatku mengalihkan perhatian dari semuanya itu dengan mencari kepuasan seksual.

Di lain waktu, ketika aku merasa frustrasi, stres, ataupun marah karena sesuatu, aku mencoba memulihkan diriku dengan mencari kepuasan seksual dengan harapan supaya aku bisa melupakan sejenak segala masalahku. Bahkan, ketika aku hanya merasa sekadar bosan pun, aku akan mencari-cari sesuatu yang bisa membuatku gembira.

Apa yang kulakukan itu adalah sebuah lingkaran setan. Ketika suatu masalah tidak diselesaikan dengan cara yang benar, masalah itu akan terus menerus datang dan menekanku. Akibatnya, aku menjadikan masturbasi dan tindakan lainnya yang tidak sehat sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah itu. Akan tetapi, kenikmatan yang didapat dari masturbasi hanyalah sementara. Setelahnya, aku malah harus bergumul dengan perasaan bersalah dan kekosongan diri.

Dalam perjalananku untuk keluar dari jeratan masturbasi, aku terus menerus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menjadikan masturbasi sebagai pelarianku. Sebagai gantinya, aku belajar untuk menceritakan perasaanku kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolongku melihat masalah dalam cara pandang-Nya, dan juga berdiri dalam kebenaran-Nya.

Seiring berjalannya waktu, semakin aku menyerahkan hidupku pada Tuhan atas setiap masalah yang kuhadapi, aku pun semakin dimampukan untuk lepas dari jeratan kenyamanan sesaat masturbasi dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berkenan pada-Nya.

4. Masturbasi membuat kita kehilangan yang terbaik dari Tuhan

Alkitab memang tidak secara spesifik menyebut masturbasi sebagai sebuah dosa, namun aku percaya bahwa kita semua dipanggil untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang bisa merintangi kita dari sebuah pertandingan iman (Ibrani 12:1-2).

Seorang penulis dan pembicara dari Amerika, Dannah Gresh menulis sebuah buku berjudul “What Are You Waiting For? The One Thing No One Ever Tells You About Sex”. Dalam buku itu dia menuliskan bahwa seks diciptakan Tuhan sebagai sarana untuk kita saling mengenal dan saling menghormati pasangan kita dalam sebuah ikatan pernikahan. Oleh karena itu, dia percaya bahwa masturbasi membuat kita kehilangan tujuan ideal Allah untuk hasrat seksual yang Dia berikan pada kita.

Aku setuju dengan pemikiran Dannah Gresh. Dalam tahun-tahun ketika aku terjebak dalam kebiasaan masturbasi, aku sempat berpikir bahwa kenikmatan seksual itu hanyalah tentang mendapatkan, bukan tentang memberi. Pemikiran inilah yang membuatku mencari-cari cara sendiri untuk memuaskan tubuhku. Akan tetapi, pemikiran seperti ini tidak menolongku untuk kelak bisa saling mengenal dan dikenal oleh pasanganku dalam pernikahan.

Aku percaya bahwa maksud Tuhan dalam sebuah pernikahan adalah supaya seorang lelaki dan perempuan saling memberi dan menyerahkan satu sama lain atas dasar kasih (Efesus 5:21-32). Hal ini juga berlaku dalam kehidupan seksual mereka. Suami dan istri harus mengabdikan diri untuk saling memberi kenikmatan seksual sebagai perwujudan kasih antara satu sama lain. Ketika mereka memberi, mereka pun menerima. Akan tetapi, apabila seseorang hanya berfokus untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya saja, sukacita yang didapatkan dari persatuan seksual mereka akan berkurang. Ini bukanlah gambaran kehidupan seksual yang baik karena salah satu atau bahkan keduanya lebih mendominasi.

Oleh karena alasan ini, aku tidak percaya bahwa masturbasi adalah kehendak Tuhan untuk kehidupan seksualku, bahkan jika seandainya aku kelak tidak menikah. Ketika aku kehilangan bagian terbaik yang Tuhan sudah tetapkan, maka aku tidak bisa mengalami-Nya secara sempurna dalam hidupku.

5. Kita bisa lepas dari jeratan masturbasi

Mungkin saat ini kamu terbiasa melakukan masturbasi dan ingin lepas dari jeratannya. Kamu bisa melakukannya sebab ada harapan. Tuhan ingin membawa pemulihan ke dalam hidup kita.

Jika saat ini kamu sering menonton tayangan pornografi atau melakukan fantasi seksual, belajarlah secara perlahan untuk menguranginya hingga akhirnya kamu dapat menghapus dua hal ini dari kehidupanmu. Dengan kamu melakukan hal ini, artinya kamu sedang memulai untuk perlahan-lahan membebaskan dirimu dari jerat kecanduan masturbasi.

Semakin banyak waktu yang aku lakukan bersama Tuhan—entah itu memuji Dia lewat pujian, membaca Alkitab, berdoa, ikut komunitas orang percaya, melayani orang lain, dan sebagainya—aku semakin dimampukan untuk lepas dari jerat masturbasi. Ketika aku melakukan ini semua, sesungguhnya aku sedang belajar untuk mengaplikasikan apa yang Alkitab katakan dalam Galatia 5:16-17. “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.”

Jika kamu, sama sepertiku, pernah menjadikan masturbasi sebagai jawaban atas masalahmu, aku mendorongmu untuk menyelidiki dirimu lebih dalam mengenai masalah apa yang sesungguhnya sedang kamu berusaha untuk hindari. Menghadapi masalah itu mungkin bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan terkadang bisa jadi menyakitkan. Akan tetapi, dari pengalamanku, aku belajar bahwa rasa sakit dan susah payah yang dilakukan ini jauh lebih baik daripada kita harus menanggung beban tambahan yang jauh lebih berat ketika kita tidak menyelesaikan masalah-masalah ini. Tuhan ada dan Dia bersedia untuk menyelesaikan masalah ini bersamamu. Dia akan memberimu penghiburan dan pertolongan yang kamu butuhkan ketika kamu sungguh-sungguh mengambil langkah untuk mencari pemulihan dari-Nya.

Dalam perjalananku keluar dari jeratan masturbasi, mungkin saja aku masih mengalami jatuh bangun, tapi aku punya pengharapan bahwa aku bisa lepas sepenuhnya dari jeratan ini. Maukah kamu bergabung denganku untuk berusaha melepaskan diri dari jeratan dosa dan menikmati kebebasan yang Tuhan berikan?

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Di semester awal kuliahku, aku nyaris dikeluarkan dari universitas karena nilai-nilaiku yang buruk. Segala cara untuk memperbaiki nilai sudah kulakukan, tetapi hasilnya nihil. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi?