Posts

Mengupas Mitos Maskulinitas

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Hidup sebagai manusia adalah sebuah kompleksitas antara menjadi diri sendiri yang otentik dan juga tuntutan dari kelompok sosial di mana tiap individu ditempatkan. Seperti lagu yang dibawakan oleh Tulus, “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, aku setuju bahwa ada beberapa tuntutan yang harus diberikan dalam kehidupan bersosial, dengan tujuan adanya perkembangan menjadi pribadi yang lebih baik. Ada juga beberapa tuntutan lain dari lingkungan kita, yang mungkin perlu kita pertimbangkan, karena belum tentu membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Lahir dengan jenis kelamin “laki-laki” pun lambat laun akan disertai dengan berbagai tuntutan dari lingkungan sosial, mulai dari keluarga, teman sepergaulan, rekan-rekan dalam belajar maupun bekerja, gereja, maupun masyarakat secara umum. Namun seperti yang aku sampaikan, tak semua tuntutan yang diberikan kepada kita sebagai laki-laki harus dilakukan, karena ada tuntutan yang bersifat faktual, tapi ada juga tuntutan yang bersifat mitos.

Hal-hal di bawah ini merupakan mitos maskulinitas yang mungkin kerap kudengar dan justru menjadi tuntutan kepada kaum laki-laki. Buat kamu, pembaca laki-laki, coba cek, benar atau enggak, dan tambahkan juga di kolom komentar, mitos apa yang kerap disematkan padamu. Dan buat kamu, pembaca perempuan, kamu bisa kirim dan ajak dialog teman, atau saudaramu laki-laki, atau pasanganmu.

1. “Ga Ngerokok? Ga Jantan Banget Sih!”

Tawaran merokok, mungkin dihadirkan ketika berada di warung, sembari ngopi, atau menunggu makanan dibawakan oleh pelayan warung. Aku pun sering ditawari merokok sejak SMP hingga sampai saat ini. Ketika aku masih berusia belasan, aku menolak tawaran mereka. Lalu sebagian responsnya ialah, “Ga jantan kamu, Ar!” Aku pernah merokok tapi itu cuma mencoba karena penasaran. Aku merasa biasa saja setelah menghirup tembakau yang dilinting tersebut, tidak merasa lebih jantan dari sebelum aku menghirupnya, maka kurasa ke”jantan”anku tidak bergantung pada sebatang rokok.

Seiring aku belajar tentang media, periklanan dan branding, sebenarnya kejantanan dari aktivitas merokok, hanyalah sebuah branding yang dibuat oleh perusahaan rokok. Jika kita melihat sebagian iklan rokok, tentu aktor yang dipakai ialah laki-laki dengan badan atletis, melakukan aktivitas yang mengandalkan kekuatan, atau mungkin juga dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi penyelamat, seperti koboi.

Perlu kita pahami, tujuan dari branding tersebut agar membentuk persepsi bahwa laki-laki keren harus merokok. Dan hal terpenting, bos dari perusahaan rokok sendiri tidak merokok, info ini bisa kita lihat di Internet.

Bagi kita yang berusaha menjadikan Alkitab sebagai landasan hidup, mari kita lihat sejenak surat Paulus di Roma 12:1:

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Aku tidak anti terhadap perokok, aku pun tetap bergaul dengan teman-teman yang merokok. Namun bagi kita yang bukan perokok maupun yang masih menjadi perokok, gumulkanlah bagaimana hidup kita dapat menjadi persembahan,dan pilihan kita bukan disebabkan jebakan branding yang ditawarkan oleh dunia.

2. “Gitu Aja Kok Nangis, Lemah Kaya Perempuan!”

Heeeiiii… jangan remehkan perempuan. Perempuan adalah ciptaan yang kuat, mampu merawat kita selama kurang lebih 9 bulan dalam perut mereka dan berani melewati ancaman hidup mati demi berlangsungnya kehidupan setiap kita.

Perlu kita sadari, komentar di atas sangat mungkin terucap dari orang yang terdekat dengan kita, salah satunya keluarga. Dalam beberapa kasus, mulai dari yang kecil, saat kita belajar sepeda lalu jatuh, orang tua tentu meminta kita berhenti menangis. Beranjak lebih dewasa pun, kita tentu pernah menangis disebabkan permasalahan yang lebih kompleks, seperti ditinggalkan oleh orang terkasih (entah putus dari relasi pacaran atau bahkan ditinggal meninggal oleh kerabat), sedang dalam permasalahan berat, atau situasi di mana emosi sedih kita tak terbendung. Dan ketika air mata keluar, mungkin ada beberapa orang yang menyuruh kita menangis, karena kita adalah laki-laki, apakah memang tidak boleh?

Apa kata Alkitab tentang menangis? Banyak tokoh Alkitab mengenai menangis, salah satunya adalah Yesus, seperti tertulis dalam Yohanes 11:35, “Maka menangislah Yesus,” di mana Yesus berduka akan kematian Lazarus. Yusuf anak Yakub pun dalam rasa rindunya juga menangis menghampiri saudara-saudaranya, tertulis dalam Kejadian 45:2. “Setelah itu menangislah ia keras-keras, sehingga kedengaran kepada orang Mesir dan kepada seisi istana Firaun.”

Aku pun memahami bahwa emosi sedih, bahkan hingga harus menangis, adalah sebuah bagian dari hidup, termasuk bagi laki-laki. Seperti tertulis pada Pengkhotbah 3:4, bahwa: ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari. Dalam aspek psikologi pun, mengutarakan emosi senang maupun sedih, termasuk menangis, memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh, dibandingkan memendam emosi dalam diri. Maka, bagi kita laki-laki, menangislah jika memang dibutuhkan.

3. “Cowok Wajar kok Aktif Seks Sebelum Menikah.”

Ucapan ini mungkin tidak terucap di dalam gedung gereja atau ketika dalam sebuah kegiatan kerohanian, namun sangat mungkin tersampaikan dalam obrolan antar lelaki di tempat nongkrong. Kenapa kesenjangan dialog ini bisa terjadi? Karena aspek seksualitas di Indonesia, masih menjadi hal tabu untuk diperbincangkan dalam ruang ibadah maupun ruang pendidikan. Dan manusia, dengan segala rasa ingin tahunya, akan mencari informasi secara mandiri, walaupun belum tentu dari sumber yang tepat dan belum tentu mendapatkan informasi yang akan berbuah baik.

Berbagai riset yang dapat kita akses melalui berbagai media open source, menunjukkan aktivitas seks usia remaja dan muda menunjukkan angka yang tinggi. Secara empiris pun, ketika aku sedang berpacaran, ada saja teman yang bertanya, “Udah ngapain aja?” Ataupun dalam kondisi nongkrong santai, mungkin saja ada topik mengenai pengalaman melepas keperjakaannya. Bagi yang belum, mungkin akan dilekatkan dengan label “cupu” dan dimotivasi untuk mendapatkan pengalaman seksual sebelum menikah.

Dengan jelas, Allah memerintahkan, “Jangan berzina,” dalam Keluaran 20:14! Berzina bukan hanya perbuatan selingkuh dari pasangan yang sudah menikah. KBBI pun mengartikan “zina” sebagai perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Rasul Paulus juga memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus, di mana mereka hidup di suatu kota dengan tingkat pelacuran yang tinggi, agar menjaga kekudusan. Dituliskan dalam 1 Korintus 6:18 “Jauhkanlah dirimu dari percabulan. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.

Apakah mudah bagi seorang laki-laki untuk menjaga kekudusan sebelum menikah? Tentu tidak mudah. Salah satunya dikarenakan sebagian dari kita mengetahui informasi mengenai seksualitas bukan dari institusi yang mendidik, melainkan dari industri pornografi. Aku pun hidup dalam keluarga yang merasa tabu untuk berbicara seksualitas, sehingga aku pernah mengonsumsi pornografi. Tetapi semakin dewasa, kita perlu mengetahui, bahwa konten pornografi yang kita nikmati, bukanlah suatu pengalaman seksualitas yang nyata, melainkan hanya narasi palsu dari industri. Maka jangan jadikan konten pornografi sebagai patokan standar aktivitas seksual dalam kehidupan kita, boys!

Bagi kita, yang mungkin belum pernah melakukan hubungan seksual, bersabarlah dan jangan merasa kikuk. Dan bagi yang sudah pernah terjatuh ke dalam dosa ini, mari kita refleksikan arti kehadiran pasangan kita, serta makna dari menjadi satu tubuh. Pahamilah bahwa pacar kita, istri kita kelak, ataupun perempuan yang kita temui di mana pun, bukanlah budak dari hawa nafsu kita, karena setiap manusia adalah sama di hadapan-Nya. Dan maknailah bahwa menjadi satu tubuh, akan menjadi sempurna ketika Tuhan juga menyatukan kita dengan pasangan kita, menjadi satu roh dan daging dalam kasih-Nya.

Mitos-Mitos Lainnya dalam Gender

Aku yakin, masih banyak tuntutan lainnya yang diberikan lingkungan sosial terhadap predikat yang miliki, entah sebagai laki-laki dan perempuan. Tentu kita perlu meminta hikmat dari Tuhan, apakah benar tuntutan tersebut membawa kebaikan bagi kita, atau tuntutan tersebut hanyalah mitos yang belum tentu valid kebenarannya. Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian (Amsal 2:6).

Aku membuka ruang diskusi bagi kita, apakah ada mitos-mitos lainnya yang dituntut oleh lingkungan kita? Bagaimana kita merespons tuntutan yang tidak faktual tersebut?

Selamat menjadi manusia yang otentik, seturut kehendak Tuhan.

Baca Juga:

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’.