Posts

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Oleh Vika Vernanda, Depok

Sebuah dokumen berisi kalender akademis baru saja dikirim oleh temanku. Salah satu poinnya menyatakan bahwa batas akhir pengumpulan tugas akhir diundur hingga akhir bulan Juli. Aku mulai menghitung waktu yang kuperlukan untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir, hinga kudapatkan kesimpulan bahwa aku harus memulai penelitian lagi di awal bulan Mei.

Pandemi yang menjangkiti dunia dan Indonesia berdampak besar pada semua bidang, salah satunya pendidikan. Semua jenjang pendidikan melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sehingga setiap siswa dan mahasiswa bisa tetap mengerjakan bagiannya untuk menuntut ilmu, namun penerapan PJJ menjadi kesulitan tersendiri bagi sebagian mahasiswa tingkat akhir. Mereka yang awalnya bisa melakukan penelitian langsung di laboratorium dan di lapangan, kali ini tidak bisa melakukannya. Akibatnya penulisan tugas akhir dan waktu kelulusan jadi terhambat. Aku adalah salah seorang di antara mereka.

Pengumpulan tugas akhir yang diundur merupakan kabar baik bagi beberapa temanku, namun tidak bagiku. Penelitian untuk tugas akhirku rencananya dilakukan di rumah sakit, tapi saat ini sangat berisiko untuk pergi kesana. Pihak universitas dan rumah sakit juga tidak memberikan izin untuk melakukan penelitian. Rencana penelitianku di awal bulan Mei jadi sangat tidak mungkin kulakukan. Padahal, aku sudah merencanakan dengan rapi studiku supaya aku bisa lulus tepat waktu. Sekarang, semua rencanaku terancam berantakan. Aku sangat khawatir jika aku tidak bisa lulus tepat waktu.

Ketika aku menyampaikan kekhawatiranku pada temanku, aku teringat pada firman yang dibahas dalam kelompok tumbuh bersama yang kuikuti kemarin.

Kami membahas tentang surat Paulus bagi jemaat Filipi yang berisi tentang permintaan agar sehati sepikir dalam Kristus. Pada Filipi 4:6-7 ditulis demikian:

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

David Sanford pada bukunya Journey Through Philippians, menuliskan bahwa berdoa dalam segala sesuatu dengan ucapan syukur memberikan implikasi seperti pada ayat 7, yaitu damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran kita. Damai ini hadir bukan karena kita memiliki kontrol, punya rencana, atau tahu jelas berbagai pilihan yang ada dalam hidup kita. Damai ini juga bukan merupakan sesuatu yang kita pikirkan dan kehendaki. Itu semua adalah kedamaian Allah— kedamaian yang terjadi bukan karena kita mengetahui semua hal dengan pasti sesuai rencana, namun ketika kita mempercayakan setiap hal kepada Allah.

Kalimat itu sangat menegurku. Aku tahu, mungkin sulit bagi kita untuk berpegang pada damai sejahtera Allah di tengah kondisi yang sangat tidak sesuai harapan. Banyak harapan dan rencana yang gagal akibat pandemi yang sedang kita alami bersama. Aku mengalaminya, dan untuk sesaat, itu menjauhkanku dari damai-Nya.

Menikmati firman ini membuatku tenang. Namun terkadang perasaan khawatir itu kembali muncul, dan ketika itu datang aku mencoba mengingat lagi bahwa Allah memegang masa depanku. Bagianku saat ini adalah tetap mengerjakan tugas akhir yang bisa dikerjakan dari rumah, dengan perasaan damai sejahtera karena mengetahui bahwa Allah bekerja. Terkait lulus tepat waktu, saat ini aku sudah lebih tenang jika bukan itu yang Allah mau; tapi aku percaya bahwa aku akan lulus pada waktu-Nya.

Pemahaman akan damai sejahtera Allah yang tidak kita dapatkan karena pengertian kita, mengingatkanku untuk tetap berdoa dan meyerahkan kekhawatiranku kepada-Nya. Maka, mari tetap berpengharapan dan menyandarkan kekuatan kita pada Allah, yang sudah menyiapkan rencana terbaik dalam hidup kita.

Untukmu yang juga sedang harap-harap cemas menanti kebijakan terkait tugas akhir, mari percaya bahwa Allah tetap bekerja. Bahwa di tengah kondisi yang terjadi, Allah tetap menjaga, dan itu membuat kita menikmati kedamaian dari-Nya. Lulus pada waktu-Nya juga adalah hal yang indah bukan?

Baca Juga:

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Mungkin kita pun punya pertanyaan yang sama seperti Habakuk. Apakah jawaban Tuhan terhadapnya?

Yuk baca artikel ini.

4 Cara untuk Menentramkan Hati Sahabat dalam Masa Sulitnya

Oleh Chong Shou En, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Walking With Suffering Friends

Teman yang bersedia mendengar curhat, merelakan bahunya untuk bersandar, dan mengerti tetesan air mata. Dalam hidup ini, kita membutuhkan dan perlu menjadi teman seperti itu.

Namun, menjadi seorang kawan di kala susah bukanlah hal yang mudah. Ketika seseorang sedang berada di titik nadir, seringkali apa yang kita ucapkan atau lakukan bisa berdampak besar. Peduli tapi dengan cara yang salah, pemilihan kata yang tidak tepat, bisa mematahkan semangat teman yang awalnya menghampiri kita untuk mendapatkan penghiburan dan dukungan.

Dalam bahasa Inggris, ada frasa “Job’s comforter”, atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut juga sebagai “Penghibur Ayub”. Jika dicari di Google, frasa itu berarti seseorang yang “memperburuk keadaan dengan dalih menghibur”. Jika kamu tidak asing dengan kisah Ayub di Alkitab, mungkin kamu bisa menebak frasa itu mengacu kepada tiga sahabat Ayub yang bukannya mendukung dan menghibur Ayub yang tengah menderita, malah membuatnya semakin berduka dengan menuduh dan mengkritiknya.

Namun, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kisah Ayub, terkhusus untuk kita belajar bagaimana seharusnya menjadi sahabat bagi seorang kawan yang tengah melalui masa-masa sulit.

1. Proaktiflah untuk menjangkau lebih dulu

Ayub adalah orang yang saleh, dia diberkati Allah dengan keluarga besar dan makmur. Suatu hari, Allah mengizinkan Iblis mencobai Ayub untuk melihat bagaimana dia akan merespons. Dalam waktu singkat, Ayub kehilangan seluruh anak dan harta kekayaannya, serta menderita sakit parah. Lalu, tiga orang sahabatnya datang mengunjunginya.

“Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing…mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” (Ayub 2:11). Ketiga sahabat Ayub bahkan mengoyakkan pakaiannya serta menangis, dan duduk meratap bersama Ayub selama tujuh hari (Ayub 2:12-13).

Tindakan yang menunjukkan ketulusan dan kepedulian ini amatlah mengagumkan dan dapat kita teladani. Kita pun harus berani untuk proaktif mengambil langkah, mendekati teman yang membutuhkan penghiburan.

2. Jangan menghakimi

Meskipun ketiga sahabat Ayub melakukan langkah yang baik di awal, mereka kemudian dikenal sebagai sahabat yang buruk.

Awalnya mereka mampu berempati dan ikut berduka bersama Ayub selama tujuh hari, tapi kemudian masalah dimulai saat mereka mulai bicara. Alih-alih menghibur dan menyemangati Ayub, mereka malah menghakimi.

Mereka mengatakan pada Ayub bahwa dia telah berdosa dan layak menerima semua penderitaan ini karena kesalahannya sendiri. Padahal, Alkitab menuliskan bahwa Ayub adalah seorang yang saleh dan jujur (Ayub 1:1).

Mereka mengatakan bahwa Ayub lancang, tidak jujur, dan tidak takut akan Allah. Mereka bahkan menuduh Ayub menikmati kejahatannya (Ayub 20:12), dan anak-anaknya pantas mendapatkan musibah (Ayub 18:19). Semua perkataan ini bukanlah hal yang perlu Ayub dengar saat itu.

Suatu ketika aku bercerita tentang pengalaman pahitku kepada seorang teman. Aku menjelaskan beberapa perubahan sifatku yang menurutnya meresahkan. Tapi, aku malah sakit hati ketika dia menanggapiku dengan mengkritik apa yang kuceritakan. Meskipun kritikan itu ada benarnya dan aku meminta maaf atasnya, pengalaman ini membuat relasi kami merenggang dan aku melihatnya dengan persepsi yang berbeda.

Kita perlu berhati-hati untuk tidak menghakimi satu sama lain dan menarik kesimpulan sendiri tentang penderitaan yang dialami orang lain.

3. Tetaplah diam dan mendengarkan

Elihu, sahabat Ayub yang keempat, tetap berdiam di saat tiga sahabat yang lain saling berargumen. Dia hanya bicara saat yang lain sudah selesai mengemukakan pendapat mereka.

Seperti Elihu, kita seharusnya tidak cepat untuk mengutarakan apa yang terpikirkan di pikiran kita, karena bisa saja itu bukanlah hal yang baik atau sungguh diperlukan oleh teman kita.

Seorang teman tentaraku baru-baru ini bercerita bagaimana dia dan pacarnya sering bertengkar. Setiap kali dia bercerita tentang masalah-masalah yang dihadapinya sebagai tentara, pacarnya malah mendikte dia langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menuntaskan masalah itu. Sebenarnya temanku sudah tahu solusinya, dia cuma ingin telinga yang bersedia mendengar. Ketika mendengarkan masalahnya, aku dalam hati mengucap syukur karena mampu mendengarkan keluh kesahnya tanpa berusaha mengguruinya dengan memberinya solusi menurut pandanganku atas masalahnya.

4. Doronglah dan semangatilah

Ketika akhirnya Elihu berbicara, dia tidak menghakimi Ayub dengan menerka-nerka dosa apa yang sudah Ayub lakukan di masa lalu. Elihu memberi masukan atas apa yang Ayub katakan. “Lalu marahlah Elihu… karena ia [Ayub] menganggap dirinya lebih benar dari pada Allah” (Ayub 32:2).

Namun, Elihu juga satu-satunya dari empat sahabat yang menawarkan harapan kepada Ayub. Elihu mengakui keadaan sulit yang Ayub alami, kemudian menyampaikan janji pemulihan dan kebaikan Allah: “Ia berdoa kepada Allah, dan Allah berkenan menerimanya; ia akan memandang wajah-Nya dengan bersorak-sorai, dan Allah mengembalikan kebenaran kepada manusia” (Ayub 33:26).

Elihu memberitahu Ayub bahwa Allah punya rencana dan Dia mengizinkan penderitaan bagi kebaikan kita. Elihu memberikan harapan dan sudut pandang yang positif bagi Ayub.

Ketika aku masuk wajib militer, aku mengalami titik terendah dalam hidupku karena bergumul dengan dosa-dosa dan keraguanku akan keselamatan hidupku. Setiap Jumat malam, aku mulai ikut acara kelompok pemuda sepupuku.

Kelompok itu ramah dan baik, tapi seorang mentor, perempuan muda berusia 30 tahunanlah yang berinisiatif pertama kali untuk mengenalku dan bertanya bagaimana perjalanan rohaniku selama ini. Dia tampak tulus dan dewasa, jadi aku dengan yakin menceritakan pergumulanku padanya.

Pembicaraan kami terasa hangat dan jujur. Meskipun aku sebenarnya tahu harus melakukan apa dalam menghadapi situasiku, dorongan semangat dan doa darinya terasa begitu mengangkatku dan menghiburku.

Wajib militer yang harus kulalui menghalangiku untuk ikut kelompok pemuda itu lagi. Namun, syukur kepada Allah, aku dimampukan-Nya lepas dari masa-masa keraguan dan depresi, yang salah satunya karena dukungan dan persahabatan dari seorang mentor yang kutemui itu.

Pada akhirnya, marilah kita jadi orang yang cepat untuk mendengar dan merangkul, lambat untuk bicara, bahkan lebih lambat lagi untuk menghakimi.

Paling terutama, janganlah ragu untuk menjangkau, karena meskipun kita tidak sempurna dan sering salah berkata atau bertindak, kita bisa berdoa dan percaya Allah akan memimpin kita dalam tiap interaksi kita dengan teman-teman yang sedang berbeban berat.

Kiranya kita menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita, di saat mereka sungguh membutuhkan penguatan dan penghiburan.

Baca Juga:

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Blepo artinya melihat dengan mata. Horao, artinya melihat dengan hati. Kata yang manakah yang mewakili cara kita melihat dan memaknai sesuatu?